Pengantar
Rujukan utama yang
dipergunakan adalah tulisan Kapolri serta bahan terjemahan Community
Policing Consortium dan TOR yang disusun Panitia.(1)
Judul yang diminta dari saya adalah “aspek yuridis dan implementasi penegakan
hukum (khususnya dalam Sistem Peradilan Pidana – CJS).
Alih bahasa “Community Policing”
dengan adanya buku Kapolri adalah “Perpolisian Masyarakat”, disingkat “Polmas”.
Saya menerima alih bahasa ini untuk menunjukkan pada bentuknya sebagai suatu
“lembaga” atau “pranata” (kata benda), namun dalam hal yang dimaksud adalah
“gaya” atau “aktivitas”-nya (kata kerja), saya cenderung memakai alih bahasa
“Pemolisian Masyarakat“ atau “Pemolisian
Komuniti”.(2)
Sebagai landasan akan dipergunakan
pengertian (definisi) “Community Policing” yang dipergunakan Kapolri
Sutanto (hal. 32-39). Dengan merujuk pada Dr.C. Robert C. Trojanowicz (1994)
dideskripsikan Community Policing sebagai “a philosophy of full
service personalized policing”. Dan sehubungan dengan Sistem Peradilan
Pidana (SPP/CJS) saya menggambarkannya sebagai suatu sistem dengan kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan serta lembaga pemasyarakatan sebagai subsistemnya. Pelanggar hukum berasal dari masyarakat dan akan kembali
pula ke masyarakat. Diperlukan keterpaduan kerja dalam SPP ini.(3)
Tulisan ini akan mencoba membahas
implementasi strategi Polmas dari aspek penegakan hukum. Pembahasan juga dilakukan dengan pendekatan
“pencegahan/penangkalan kejahatan” (crime prevention) melalui SPP
Terpadu (integrated criminal justice system).
Pendekatan
Terpadu Dalam SPP
Sistem peradilan
pidana bertujuan untuk “menanggulangi kejahatan”, dalam arti “mengendalikan
kejahatan” agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Tersirat disini
pengakuan bahwa “melenyapkan kejahatan” adalah mustahil; ungkapan orang bijak
adalah bahwa “setiap masyarakat (komuniti), akan menghasilkan pelaku kejahatan
yang patut didapatnya”. Batas-batas toleransi masyarakat diukur dengan
keberhasilan SPP menyelesaikan sebagian besar dari keluhan dan laporan
kejahatan yang terjadi, dengan cara membawa pelakunya ke pengadilan dan
menerima pidana (polisi sebagai “crime fighter”).
Peranan dan
kerjasama (terpadu) kepolisian, kejaksaan dan pengadilan tercermin dalam uraian
di atas. Namun ini bukanlah keseluruhan tugas SPP. Tugas yang tidak kalah utamanya adalah
mencegah terjadinya kejahatan, berarti mencegah warga masyarakat menjadi korban
pelaku kejahatan. Disini peran kepolisian adalah sentral. Di samping kedua
tugas di atas, masih ada pula t ugas ketiga, yaitu mencegah bahwa mereka yang
sedang ataupun telah selesai menjalankan pidana tidak mengulangi lagi perbuatan mereka (tidak menjadi
residivis) yang melanggar hukum itu. Disini peranan lembaga pemasyarakatan
adalah sentral.
Kalau dilihat dari
sisi masyarakat, menurut urutan prioritas mereka, maka tugas yang dibebankan
kepada SPP adalah: (1) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, (2)
menyelesaikan kejahatan yang terjadi, dan (3) mengusahakan agar pelaku
kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatan setelah dipidana.
Keempat unsur SPP
di atas: kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan dapat
ditambah satu unsur lagi, yaitu lembaga advokat (lembaga pembela) yang
sebenarnya lebih berperan di lembaga pengadilan, agar terdakwa-pelaku
memperoleh peradilan yang wajar (a fair trial). Keempat
atau kelima unsur SPP ini, masing-masing
berdiri sendiri secara administratif. Kerjasama erat keterpaduan dalam sistem,
dengan masing-masing melaksanakan fungsinya, adalah suatu keharusan, karena
paling tidak ada 3 (tiga) kerugian yang dapat terjadi, apabila tidak bekerja
sebagai sistem terpadu:
(a) kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau
kegagalan masing-masing, sehubungan dengan fungsi mereka dalam mengendalikan
kejahatan;
(b) kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah pokok
masing-masing, karena keterkaitannya dalam pelaksanaan tugas bersama; dan
(c) apabila tanggungjawab masing-masing usnur tidak jelas
terbagi berdasarkan kesepakatan bersama, maka masing-masing unsur cenderung
tidak memperhatikan aktivitas menyeluruh dari sistem ini.
Keterpaduan bekerja
unsur-unsur dalam SPP yang merupakan solusi menghindari ketiga kerugian di
atas, di Jepang dimisalkan sebagai: “seperangkat roda-gigi (seperti dalam
arloji) yang secara cermat dan ulet terus menjaga kombinasi yang baik antara
kerja masing-masing roda-gigi tersebut (agar tujuan tercapai).” Kerugian
kelemahan salah satu unsur SPP yang dapat merambat ke unsur-unsur lain, dapat
dimisalkan dengan “teori bejana – berhubungan”: “satu titik tinta dalam air
salah satu bejana, secara lambat tapi pasti akan mengeruhkan air semua
bejana-bejana tersebut”.(4)
Pencegahan
Kejahatan (Secara Umum)
Dari pengertian
yang diberikan oleh Trojanowics, kita dapat memfokuskan diskusi kita pada a.l.:
(1) bahwa
Polmas mempunyai falsafah kerja kepolisian yang bersifat personal (dalam
arti anggota polisi yang sama bertugas di komuniti yang sama);
(2) bahwa
Polmas mempunyai gaya manajemen dan strategi organisasi yang
memprioritaskan pemecahan permasalahan secara pro-aktif (bukan re-aktif)
bersama-sama dengan masyarakat;
(3) bahwa Polmas mempunyai tujuan
memahami dan menanggulangi sebab kejahatan maupun sebab permasalahan
lain dalam masyarakat, dengan bekerja dalam hubungan kemitraan
polisi-masyarakat (polisi sebagai “problem solver”).
Meskipun diskusi dalam makalah ini
berdasarkan pemahaman saya tentang pengertian Polmas, akan tetapi uraian yang
lebih luas akan diberikan pada tujuan Polmas bekerja dalam kemitraan dengan
masyarakat, menanggulangi kejahatan maupun masalah-masalah sosial lainnya yang
ada dalam wilayah kerja anggota polisi bersangkutan (butir 3 di atas).
Dalam membuat strategi pelaksanaan
(implementasi) pemolisian komuniti, saya sependapat agar implementasi atau
aktivitasnya harus berupa a.l.:(5)
(a) memprioritaskan
(mendahulukan) usaha pencegahan kejahatan secara umum (general crime
prevention programs);
(b) berupaya
memahami keinginan masyarakat untuk dapat “merasa-aman” ataupun
sekurang-kurangnya menghilangkan “rasa-takut” terhadap kemungkinan gangguan kejahatan
ataupun gangguan ketertiban lainnya (the feeling of safety and security);
dan
(c) membangun,
mengembangkan dan merawat hubungan kemitraan Polisi dengan Masyarakat (termasuk
LSM) untuk bersama-sama menyelesaikan masalah-masalah sosial yang ada dalam komuniti
bersangkutan (to solve the social problems in the respective community).
Dalam konsep luar negeri (Amerika
Serikat) maka pendekatan ini diberi nama (istilah) COPPS (Community Oriented
Policing and Problem Solving), atau “Pemolisian dan Pemecahan Masalah (oleh
Kepolisian) Yang Berorientasi Pada Masyarakat” (PPM yang BPM?).
Adapun program (-program) pencegahan
kejahatan yang akan diimplementasikan di bawah (lembaga) Polmas dengan falsafah
pemolisian komuniti harus berorientasi pada keperluan nyata komunitas
bersangkutan: rasa aman di rumah, di lingkungan kerja dan di lingkungan RT, RW
dan Kelurahan. Antara lain mulai dapat diprogramkan cara-cara “akal-sehat” (common-sense)
meningkatkan keamanan di rumah, di pekerjaan dan di daerah pemukiman dan daerah
usaha (safety at home, at the job and in the neighborhood).
Keperluan Beralih dari Perpolisian Tradisional
Dalam konteks SPP yang diuraikan di
atas, tujuan sistem adalah menanggulangi kejahatan dengan ukuran keberhasilan
penyelesaian laporan (kasus) dan penghukuman pelaku. Proses SPP ini memang
berat (lebih berfokus) pada cara kerja re-aktif (menangani laporan kasus) dan
bersifat represif (membawa pelaku ke pengadilan untuk dihukum). Seperti
dikatakan oleh Kapolri Sutanto: “... kualitas pelayanan ... terjebak hanya pada
peningkatan kemampuan teknis yang bersifat represif”. (Sutanto, h. 39). Memang
“perpolisian tradisional” lebih menekankan pada angka statistik penyelesaian
kasus (“crimes solved” atau “offenses cleared by arrest”) yang
merupakan parameter “hard data” untuk membuktikan berhasilnya kegiatan
(pekerjaan, tugas) kepolisian. Pada hal parameter “soft data” tidak
kalah pentingnya untuk mengukur kesuksesan kerja kepolisian. Membangun
“rasa-aman” dan menghilangkan “rasa-takut” hanya dapat terjadi melalui kegiatan
dengan falsafah pemolisian komuniti, yang mengubah “paradigma lama” dengan
“paradigma baru” (lihat Satjipto Rahardjo, sebagai dikutip oleh Sutanto, hal.
41).
Seperti dikemukakan di atas, pemolisian
komuniti (sebagai kegiatan lembaga Polmas) merupakan falsafah kerja, gaya
menajemen dan strategi organisasi. Dengan demikian paradigma baru membawa
implikasi (akibat langsung) bagi manajemen dan struktur organisasi (lihat
Lihawa, h. 31 dslnya). Gaya manajemen dan strategi organisasi ini harus mengharmonisasikan
antara “penegakan hukum” (law enforcement) dan “pencegahan dan pemecahan
masalah sosial” (prevention and solution of social problems) untuk
meningkatkan keamanan (safety) dalam masyarakat. Inilah hubungan antara
(lembaga) Polmas (CP as an institution) dengan COPPS (Community
Oriented Policing and Problem Solving) sebagai program kepolisian (lihat
pula Lihawa, h. 21-30).
Melalui uraian ini ingin ditekankan
bahwa dewasa ini diseluruh dunia “gaya pemolisian” (policing style)
telah diubah (mengalami rekonstruksi) dengan mengedepankan kepentingan
komunitas penghunian (residential communities) dan komunitas kebudayaan (cultural
communities). Perkembangan di kota-kota Indonesia dan perkembangan
lokalitas kebudayaan di daerah perkotaan maupun pedesaan dalam masyarakat
majemuk Indonesia, karena itu perlu diperhatikan dan dipahami oleh kepolisian.
Terutama dalam kerangka atau keterkaitannya dengan lembaga Polmas.
Gaya pemolisian yang berubah ini
menekankan agar anggota polisi (atau kantor kepolisian) mempercayai masukan
dari masyarakat (rely on input from the community), dalam memutuskan
kegiatan-kegiatan jenis apa yang diperlukan komunitas lokal yang bersangkutan
(ini yang dimaksud dengan “community oriented approach”) dan yang akan
merupakan kegiatan utama (prioritas) kepolisian. Setelah permasalahan
diidentifikasi dan diberikan prioritas, maka diperlukan kegiatan bersama
untuk pemecahannya (lihat misalnya Lihawa, h. 26 dan gambar 2, serta
bandingkan dengan h. 40-45).
Suatu model cara (proses) pemecahan
permasalahan adalah yang dikenal sebagai Scanning – Analysis – Response – dan
Assessment (disingkat S.A.R.A). Pertama, harus ditentukan “apa
permasalahannya” (scanning), selanjutnya perlu “dikupas permasalahannya”
(analysis), kemudian dicari bersama “respon yang sesuai” (response),
dan terakhir jangan lupa melakukan “penilaian hasil respon polisi” (assessment)
apakah efektif dan apakah ada kemajuan (improvement) dalam “kualitas
hidup” komunitas bersangkutan. Dalam menjalani proses ini, bukan saja
partisipasi aktif masyarakat diusahakan, tetapi juga harus dipikirkan
respon-respon dengan pendekatan yang lebih kreatif dan inovatif.(6)
Polisi dan Pengelolaan Konflik
Pekerjaan kepolisian dapat dinamakan
“pengelolaan konflik”, baik dalam penegakan hukum (law enforcement)
maupun dalam pemecahan masalah (problem solving). Kedua jenis
pengelolaan konflik ini memang berbeda, dan karena itu itu saya sering
mengatakan bahwa wajah polisi dapat “angker” (dalam menegakkan hukum), tetapi
dapat pula “tersenyum” (dalam berusaha mendamaikan dengan memecahkan masalah).
Ada berbagai jenis “konflik” dan juga berbagai peran polisi dalam memecahkan
masalah konflik, yang terakhir ini misalnya sebagai “mediator”
(perantara) ataupun “negosiator” (perunding; lihat Suparlan, h. 113).(7)
Saya ingin melihat pengertian konflik
ini lebih konseptual dan berdasarkan pada pemahaman bahwa warga masyarakat itu
punya perspektif atau pandangan yang sering berbeda tentang kehidupan ini serta
permasalahannya. Tindakan kita dan penolakan kita terhadap perilaku tertentu
(misalnya yang dipersepsikan sebagai perilaku menyimpang atau melanggar hukum)
didasarkan pada nilai-nilai yang kita miliki dan yang mempedomani dan
memotivasi pikiran dan perilaku kita. Dan apabila dua (atau lebih) pihak (baik
individu, maupun kelompok) berhubungan dengan memiliki (atau merasa memiliki)
sasaran-sasaran yang tidak sejalan, maka terjadilah “konflik”. Konflik ini
tidak perlu dalam bentuk kekerasan, dan bukannya tidak mungkin bahwa “konflik”
itu juga dapat kreatif.
Dalam penegakan hukum (dengan
mempergunakan kewenangannya menangkap, menahan, menggeledah dan menyita) polisi
mengelola “konflik” (warga yang melanggar hukum) dengan kekerasan (force,
bukan violence). Disini polisi menunjukkan wajahnya yang “angker”.
Tetapi dalam kegiatan pemecahan masalah, wajah yang diperlihatkan polisi
adalah wajah yang tersenyum. Disini terjadi pengelolaan “konflik” (misalnya
karena polarisasi nilai atau komunikasi antar budaya yang berbeda atau karena
masalah ketidaksetaraan dan rasa ketidakadilan) oleh polisi, yang bertujuan
membatasi dan menghindari kekerasan (dengan mendorong a.l. perubahan
perilaku atau persetujuan perdamaian atau dengan membangun hubungan baru).
Polmas dapat mengelola konflik dalam kedua bentuk di atas, baik dengan
kekerasan (wajah angker) maupun tidak (wajah tersenyum). Namun selalu yang harus dikedepankan adalah “keinginan”
atau “masukan” masyarakat dan dikelola bersama dengan masyarakat.
Masyarakat
Indonesia yang majemuk ini sangat potensial mengalami “community conflicts”.(8)
Karena itu mereka yang bertugas dalam lembaga Polmas harus disiapkan untuk
menghadapi timbulnya konflik-konflik yang laten maupun manifes (tidak terlihat
dan yang terlihat). Potensi konflik juga dapat timbul dari mereka yang menjadi
atau merasa menjadi korban dari ketidakadilan ataupun dari diskriminasi. Polmas
karena itu juga harus mempunyai bagian yang mengurusi keluhan warga masyarakat
yang merasa menjadi korban kejahatan maupun ketidakadilan sosial, politik
ataupun budaya.
Penutup
Adanya Surat Keputusan
Kapolri No. 737/X/2005, tanggal 13 Oktober 2005, yang berisi lampiran:
“Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat Dalam
Penyelengagraan Tugas Polri”, memang baik untuk menyamakan persepsi dan
pemahaman kita tentang Community Policing. Namun, dikusi-diskusi yang
lebih mendalam, disertai contoh-contoh keberhasilan maupun kegagalan
implementasi dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, tetap harus dilakukan.
Perjalanan untuk
mencapai Polri dengan polisi sipil yang profesional dan modern serta demokratis
memerlukan waktu. Namun pepatah kuno dari Cina mengatakan: “Perjalanan seribu
mil, harus dimulai dengan satu langkah-awal”. Langkah-langkah awal sudah
diayunkan dan mudah-mudahan perjalanan ini tidak banyak mengalami hambatan.
*Tulisan ini telah disampaikan dalam Seminar “Implementasi Strategi
Perpolisian Masyarakat dalam Upaya Memelihara Kamtibmas dalam Rangka Mewujudkan
Kamdagri” untuk PASIS SESPIM DIK REG 42 T.P. 2006.
(Lembang-Bandung, 11 Mei 2006).
Catatan:
(1)
Drs.
Sutanto, Jend. Pol, POLMAS: Paradigma Baru Polri, YPKIK, 2006; Drs.
Ronny Lihawa (editor), Memahami Community Policing (judul asli: Understanding
Community Policing, a Framework for Action), YPKIK, August 2005; TOR: “Implementasi
Strategi Perpolisian Masyarakat Dalam Upaya Memelihara Kamtibmas Dalam Rangka
Mewujudkan Keamanan Dalam Negeri”, Pasis Sespim Dik Reg 42 T.P.2006.
(2)
Lihat
karangan-karangan tentang “Pemolisian Masyarakat” dalam Parsudi Suparlan
(Editor), Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, YPKIK, 2004.
(3)
Lihat
karangan-karangan tentang SPP dalam buku Mardjono Reksodiputro, a.l. Buku
Kedua: Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, LKUI, 1994, hal. 98-101
dan hal. 140-147. Dalam memberikan definisi (pengertian) dapat dibedakan antara
definisi yang bersifat “konseptual” dan yang bersifat “administratif”.
Pengertian (definisi) yang dipergunakan dalam makalah ini adalah bersifat
administratif sebagai dasar kerja pragmatis.
(4)
SPP
yang terpadu juga mengasumsikan adanya tujuan yang merupakan kebijakan (politik)
kriminal (criminal policy) yang merupakan landasan kerja bagi semua
unsur SPP. Sekaligus kebijakan kriminal ini dapat merupakan pedoman bagi
profesionalisasi tenaga-tenaga dalam SPP, karena kebijakan kriminal (tujuan
SPP) tersebut telah dihayati bersama, sehingga fungsi dan tugas unsur-unsur
tidak terisolasi (terkotak-kotak).
(5)
Terms
of Reference (TOR)
Panitia, h.02. Menurut saya, Community Policing (dengan alih bahasa
Pemolisian Komuniti) adalah suatu aktivitas atau “gaya manajemen” dan “strategi
organisasi” yang diharapkan dapat menjadikan Polri suatu kepolisian sipil yang
profesional dan modern serta demokratis. Polmas sendiri, menurut saya, merujuk
kepada lembaganya atau pranata yang bekerja dengan falsafah Pemolisian
Komuniti.
(6)
Scanning, adalah menentukan apa yang
sebenarnya dirasakan oleh masyarakat sebagai masalah. Analisys adalah
menyelidiki apa yang merupakan kausa dari masalah yang telah diidentifikasi
tersebut dan apakah ada masalah-masalah lain yang terkait. Response,
merupakan pilihan bersama Polisi-Masyarakat untuk memecahkan atau menjawab
permasalahan tersebut. Disini, dengan pendekatan Pemolisian Komuniti,
pemecahannya dapat bersifat non-konvensional atau inovatif. Terakhir adalah Assessment,
yang sering terlupakan, yaitu melakukan evaluasi seberapa jauh “pemecahan
masalah” telah efektif dan memuaskan masyarakat.
(7)
Parsudi Suparlan, op.cit., h. 113-127.
(8) Dalam + 5 tahun terakhir ini
masyarakat Indonesia telah mengalami perubahan yang cukup drastis (perubahan
ini sering dinamakan “reformasi”). Bukan
saja perubahan ketatanegaraan dan politik, tetapi juga perubahan sosial dan
ekonomi. Akibat ini adalah timbulnya “tekanan” (stresses) dan
“ketegangan” (tensions) dalam struktur sosial yang perlu dikelola secara
arif dan bijaksana. Secara umum saya melihat mulai adanya “racial tensions”
karena dirasakan adanya “diskriminasi” dan “ketidakadilan” yang menimbulkan
“polarisasi” dalam masyarakat. Lebih menghawatirkan lagi adalah timbulnya
“intimidasi psikis maupun fisik” terhadap kelompok atau golongan tertentu dalam
masyarakat. Semua ini dapat meletus menjadi “konflik dengan kekerasan”. Polmas
harus mempunyai tenaga-tenaga terlatih untuk mengantisipasi dan mengakomodasi
peristiwa-peristiwa tersebut.
Daftar Pustaka
1.
Lihawa Ronny, 2005, Memahami
Community Policing
2.
Reksodiputro, Mardjono,
1994, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana
3.
Suparlan, Parsudi, 2004,
Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia
4.
Sutanto, 2006, POLMAS :
Paradigma Baru Polri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar