Minggu, 24 November 2013

Polmas Ditinjau dari Aspek Yuridis dan Implementasi Penegakan Hukum*



 

Pengantar

Rujukan utama yang dipergunakan adalah tulisan Kapolri serta bahan terjemahan Community Policing Consortium dan TOR yang disusun Panitia.(1) Judul yang diminta dari saya adalah “aspek yuridis dan implementasi penegakan hukum (khususnya dalam Sistem Peradilan Pidana – CJS).

Alih bahasa “Community Policing” dengan adanya buku Kapolri adalah “Perpolisian Masyarakat”, disingkat “Polmas”. Saya menerima alih bahasa ini untuk menunjukkan pada bentuknya sebagai suatu “lembaga” atau “pranata” (kata benda), namun dalam hal yang dimaksud adalah “gaya” atau “aktivitas”-nya (kata kerja), saya cenderung memakai alih bahasa “Pemolisian Masyarakat“ atau  “Pemolisian Komuniti”.(2)

Sebagai landasan akan dipergunakan pengertian (definisi) “Community Policing” yang dipergunakan Kapolri Sutanto (hal. 32-39). Dengan merujuk pada Dr.C. Robert C. Trojanowicz (1994) dideskripsikan Community Policing sebagai “a philosophy of full service personalized policing”. Dan sehubungan dengan Sistem Peradilan Pidana (SPP/CJS) saya menggambarkannya sebagai suatu sistem dengan kepolisian, kejaksaan dan pengadilan serta lembaga pemasyarakatan sebagai subsistemnya. Pelanggar hukum berasal dari masyarakat dan akan kembali pula ke masyarakat. Diperlukan keterpaduan kerja dalam SPP ini.(3)

Tulisan ini akan mencoba membahas implementasi strategi Polmas dari aspek penegakan hukum. Pembahasan juga dilakukan dengan pendekatan “pencegahan/penangkalan kejahatan” (crime prevention) melalui SPP Terpadu (integrated criminal justice system).


Pendekatan Terpadu Dalam SPP
Sistem peradilan pidana bertujuan untuk “menanggulangi kejahatan”, dalam arti “mengendalikan kejahatan” agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Tersirat disini pengakuan bahwa “melenyapkan kejahatan” adalah mustahil; ungkapan orang bijak adalah bahwa “setiap masyarakat (komuniti), akan menghasilkan pelaku kejahatan yang patut didapatnya”. Batas-batas toleransi masyarakat diukur dengan keberhasilan SPP menyelesaikan sebagian besar dari keluhan dan laporan kejahatan yang terjadi, dengan cara membawa pelakunya ke pengadilan dan menerima pidana (polisi sebagai “crime fighter”).
Peranan dan kerjasama (terpadu) kepolisian, kejaksaan dan pengadilan tercermin dalam uraian di atas. Namun ini bukanlah keseluruhan tugas SPP.  Tugas yang tidak kalah utamanya adalah mencegah terjadinya kejahatan, berarti mencegah warga masyarakat menjadi korban pelaku kejahatan. Disini peran kepolisian adalah sentral. Di samping kedua tugas di atas, masih ada pula t ugas ketiga, yaitu mencegah bahwa mereka yang sedang ataupun telah selesai menjalankan pidana tidak mengulangi  lagi perbuatan mereka (tidak menjadi residivis) yang melanggar hukum itu. Disini peranan lembaga pemasyarakatan adalah sentral.

Kalau dilihat dari sisi masyarakat, menurut urutan prioritas mereka, maka tugas yang dibebankan kepada SPP adalah: (1) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, (2) menyelesaikan kejahatan yang terjadi, dan (3) mengusahakan agar pelaku kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatan setelah dipidana.

Keempat unsur SPP di atas: kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan dapat ditambah satu unsur lagi, yaitu lembaga advokat (lembaga pembela) yang sebenarnya lebih berperan di lembaga pengadilan, agar terdakwa-pelaku memperoleh peradilan yang wajar (a fair trial). Keempat atau kelima  unsur SPP ini, masing-masing berdiri sendiri secara administratif. Kerjasama erat keterpaduan dalam sistem, dengan masing-masing melaksanakan fungsinya, adalah suatu keharusan, karena paling tidak ada 3 (tiga) kerugian yang dapat terjadi, apabila tidak bekerja sebagai sistem terpadu:
(a)       kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing, sehubungan dengan fungsi mereka dalam mengendalikan kejahatan;
(b)       kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah pokok masing-masing, karena keterkaitannya dalam pelaksanaan tugas bersama; dan

(c)       apabila tanggungjawab masing-masing usnur tidak jelas terbagi berdasarkan kesepakatan bersama, maka masing-masing unsur cenderung tidak memperhatikan aktivitas menyeluruh dari sistem ini.

Keterpaduan bekerja unsur-unsur dalam SPP yang merupakan solusi menghindari ketiga kerugian di atas, di Jepang dimisalkan sebagai: “seperangkat roda-gigi (seperti dalam arloji) yang secara cermat dan ulet terus menjaga kombinasi yang baik antara kerja masing-masing roda-gigi tersebut (agar tujuan tercapai).” Kerugian kelemahan salah satu unsur SPP yang dapat merambat ke unsur-unsur lain, dapat dimisalkan dengan “teori bejana – berhubungan”: “satu titik tinta dalam air salah satu bejana, secara lambat tapi pasti akan mengeruhkan air semua bejana-bejana tersebut”.(4)

Pencegahan Kejahatan (Secara Umum)
Dari pengertian yang diberikan oleh Trojanowics, kita dapat memfokuskan diskusi kita pada a.l.:
(1)       bahwa Polmas mempunyai falsafah kerja kepolisian yang bersifat personal (dalam arti anggota polisi yang sama bertugas di komuniti yang sama);
(2)       bahwa Polmas mempunyai gaya manajemen dan strategi organisasi yang memprioritaskan pemecahan permasalahan secara pro-aktif (bukan re-aktif) bersama-sama dengan masyarakat;
(3)       bahwa Polmas mempunyai tujuan memahami dan menanggulangi sebab kejahatan maupun sebab permasalahan lain dalam masyarakat, dengan bekerja dalam hubungan kemitraan polisi-masyarakat (polisi sebagai “problem solver”).

Meskipun diskusi dalam makalah ini berdasarkan pemahaman saya tentang pengertian Polmas, akan tetapi uraian yang lebih luas akan diberikan pada tujuan Polmas bekerja dalam kemitraan dengan masyarakat, menanggulangi kejahatan maupun masalah-masalah sosial lainnya yang ada dalam wilayah kerja anggota polisi bersangkutan (butir 3 di atas).

Dalam membuat strategi pelaksanaan (implementasi) pemolisian komuniti, saya sependapat agar implementasi atau aktivitasnya harus berupa a.l.:(5)
(a)       memprioritaskan (mendahulukan) usaha pencegahan kejahatan secara umum (general crime prevention programs);
(b)       berupaya memahami keinginan masyarakat untuk dapat “merasa-aman” ataupun sekurang-kurangnya menghilangkan “rasa-takut” terhadap kemungkinan gangguan kejahatan ataupun gangguan ketertiban lainnya (the feeling of safety and security); dan
(c)       membangun, mengembangkan dan merawat hubungan kemitraan Polisi dengan Masyarakat (termasuk LSM) untuk bersama-sama menyelesaikan masalah-masalah sosial yang ada dalam komuniti bersangkutan (to solve the social problems in the respective community).

Dalam konsep luar negeri (Amerika Serikat) maka pendekatan ini diberi nama (istilah) COPPS (Community Oriented Policing and Problem Solving), atau “Pemolisian dan Pemecahan Masalah (oleh Kepolisian) Yang Berorientasi Pada Masyarakat” (PPM yang BPM?).

Adapun program (-program) pencegahan kejahatan yang akan diimplementasikan di bawah (lembaga) Polmas dengan falsafah pemolisian komuniti harus berorientasi pada keperluan nyata komunitas bersangkutan: rasa aman di rumah, di lingkungan kerja dan di lingkungan RT, RW dan Kelurahan. Antara lain mulai dapat diprogramkan cara-cara “akal-sehat” (common-sense) meningkatkan keamanan di rumah, di pekerjaan dan di daerah pemukiman dan daerah usaha (safety at home, at the job and in the neighborhood).
 

Keperluan Beralih dari Perpolisian Tradisional

Dalam konteks SPP yang diuraikan di atas, tujuan sistem adalah menanggulangi kejahatan dengan ukuran keberhasilan penyelesaian laporan (kasus) dan penghukuman pelaku. Proses SPP ini memang berat (lebih berfokus) pada cara kerja re-aktif (menangani laporan kasus) dan bersifat represif (membawa pelaku ke pengadilan untuk dihukum). Seperti dikatakan oleh Kapolri Sutanto: “... kualitas pelayanan ... terjebak hanya pada peningkatan kemampuan teknis yang bersifat represif”. (Sutanto, h. 39). Memang “perpolisian tradisional” lebih menekankan pada angka statistik penyelesaian kasus (“crimes solved” atau “offenses cleared by arrest”) yang merupakan parameter “hard data” untuk membuktikan berhasilnya kegiatan (pekerjaan, tugas) kepolisian. Pada hal parameter “soft data” tidak kalah pentingnya untuk mengukur kesuksesan kerja kepolisian. Membangun “rasa-aman” dan menghilangkan “rasa-takut” hanya dapat terjadi melalui kegiatan dengan falsafah pemolisian komuniti, yang mengubah “paradigma lama” dengan “paradigma baru” (lihat Satjipto Rahardjo, sebagai dikutip oleh Sutanto, hal. 41).

Seperti dikemukakan di atas, pemolisian komuniti (sebagai kegiatan lembaga Polmas) merupakan falsafah kerja, gaya menajemen dan strategi organisasi. Dengan demikian paradigma baru membawa implikasi (akibat langsung) bagi manajemen dan struktur organisasi (lihat Lihawa, h. 31 dslnya). Gaya manajemen dan strategi organisasi ini harus mengharmonisasikan antara “penegakan hukum” (law enforcement) dan “pencegahan dan pemecahan masalah sosial” (prevention and solution of social problems) untuk meningkatkan keamanan (safety) dalam masyarakat. Inilah hubungan antara (lembaga) Polmas (CP as an institution) dengan COPPS (Community Oriented Policing and Problem Solving) sebagai program kepolisian (lihat pula Lihawa, h. 21-30).

Melalui uraian ini ingin ditekankan bahwa dewasa ini diseluruh dunia “gaya pemolisian” (policing style) telah diubah (mengalami rekonstruksi) dengan mengedepankan kepentingan komunitas penghunian (residential communities) dan komunitas kebudayaan (cultural communities). Perkembangan di kota-kota Indonesia dan perkembangan lokalitas kebudayaan di daerah perkotaan maupun pedesaan dalam masyarakat majemuk Indonesia, karena itu perlu diperhatikan dan dipahami oleh kepolisian. Terutama dalam kerangka atau keterkaitannya dengan lembaga Polmas.

Gaya pemolisian yang berubah ini menekankan agar anggota polisi (atau kantor kepolisian) mempercayai masukan dari masyarakat (rely on input from the community), dalam memutuskan kegiatan-kegiatan jenis apa yang diperlukan komunitas lokal yang bersangkutan (ini yang dimaksud dengan “community oriented approach”) dan yang akan merupakan kegiatan utama (prioritas) kepolisian. Setelah permasalahan diidentifikasi dan diberikan prioritas, maka diperlukan kegiatan bersama untuk pemecahannya (lihat misalnya Lihawa, h. 26 dan gambar 2, serta bandingkan dengan h. 40-45).

Suatu model cara (proses) pemecahan permasalahan adalah yang dikenal sebagai Scanning – Analysis – Response – dan Assessment (disingkat S.A.R.A). Pertama, harus ditentukan “apa permasalahannya” (scanning), selanjutnya perlu “dikupas permasalahannya” (analysis), kemudian dicari bersama “respon yang sesuai” (response), dan terakhir jangan lupa melakukan “penilaian hasil respon polisi” (assessment) apakah efektif dan apakah ada kemajuan (improvement) dalam “kualitas hidup” komunitas bersangkutan. Dalam menjalani proses ini, bukan saja partisipasi aktif masyarakat diusahakan, tetapi juga harus dipikirkan respon-respon dengan pendekatan yang lebih kreatif dan inovatif.(6)


Polisi dan Pengelolaan Konflik

Pekerjaan kepolisian dapat dinamakan “pengelolaan konflik”, baik dalam penegakan hukum (law enforcement) maupun dalam pemecahan masalah (problem solving). Kedua jenis pengelolaan konflik ini memang berbeda, dan karena itu itu saya sering mengatakan bahwa wajah polisi dapat “angker” (dalam menegakkan hukum), tetapi dapat pula “tersenyum” (dalam berusaha mendamaikan dengan memecahkan masalah). Ada berbagai jenis “konflik” dan juga berbagai peran polisi dalam memecahkan masalah konflik, yang terakhir ini misalnya sebagai “mediator” (perantara) ataupun “negosiator” (perunding; lihat Suparlan, h. 113).(7)

Saya ingin melihat pengertian konflik ini lebih konseptual dan berdasarkan pada pemahaman bahwa warga masyarakat itu punya perspektif atau pandangan yang sering berbeda tentang kehidupan ini serta permasalahannya. Tindakan kita dan penolakan kita terhadap perilaku tertentu (misalnya yang dipersepsikan sebagai perilaku menyimpang atau melanggar hukum) didasarkan pada nilai-nilai yang kita miliki dan yang mempedomani dan memotivasi pikiran dan perilaku kita. Dan apabila dua (atau lebih) pihak (baik individu, maupun kelompok) berhubungan dengan memiliki (atau merasa memiliki) sasaran-sasaran yang tidak sejalan, maka terjadilah “konflik”. Konflik ini tidak perlu dalam bentuk kekerasan, dan bukannya tidak mungkin bahwa “konflik” itu juga dapat kreatif.

Dalam penegakan hukum (dengan mempergunakan kewenangannya menangkap, menahan, menggeledah dan menyita) polisi mengelola “konflik” (warga yang melanggar hukum) dengan kekerasan (force, bukan violence). Disini polisi menunjukkan wajahnya yang “angker”. Tetapi dalam kegiatan pemecahan masalah, wajah yang diperlihatkan polisi adalah wajah yang tersenyum. Disini terjadi pengelolaan “konflik” (misalnya karena polarisasi nilai atau komunikasi antar budaya yang berbeda atau karena masalah ketidaksetaraan dan rasa ketidakadilan) oleh polisi, yang bertujuan membatasi dan menghindari kekerasan (dengan mendorong a.l. perubahan perilaku atau persetujuan perdamaian atau dengan membangun hubungan baru). Polmas dapat mengelola konflik dalam kedua bentuk di atas, baik dengan kekerasan (wajah angker) maupun tidak (wajah tersenyum). Namun selalu yang harus dikedepankan adalah “keinginan” atau “masukan” masyarakat dan dikelola bersama dengan masyarakat.

Masyarakat Indonesia yang majemuk ini sangat potensial mengalami “community conflicts”.(8) Karena itu mereka yang bertugas dalam lembaga Polmas harus disiapkan untuk menghadapi timbulnya konflik-konflik yang laten maupun manifes (tidak terlihat dan yang terlihat). Potensi konflik juga dapat timbul dari mereka yang menjadi atau merasa menjadi korban dari ketidakadilan ataupun dari diskriminasi. Polmas karena itu juga harus mempunyai bagian yang mengurusi keluhan warga masyarakat yang merasa menjadi korban kejahatan maupun ketidakadilan sosial, politik ataupun budaya.

Penutup

Adanya Surat Keputusan Kapolri No. 737/X/2005, tanggal 13 Oktober 2005, yang berisi lampiran: “Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat Dalam Penyelengagraan Tugas Polri”, memang baik untuk menyamakan persepsi dan pemahaman kita tentang Community Policing. Namun, dikusi-diskusi yang lebih mendalam, disertai contoh-contoh keberhasilan maupun kegagalan implementasi dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, tetap harus dilakukan.

Perjalanan untuk mencapai Polri dengan polisi sipil yang profesional dan modern serta demokratis memerlukan waktu. Namun pepatah kuno dari Cina mengatakan: “Perjalanan seribu mil, harus dimulai dengan satu langkah-awal”. Langkah-langkah awal sudah diayunkan dan mudah-mudahan perjalanan ini tidak banyak mengalami hambatan.
 
*Tulisan ini telah disampaikan dalam Seminar “Implementasi Strategi Perpolisian Masyarakat dalam Upaya Memelihara Kamtibmas dalam Rangka Mewujudkan Kamdagri” untuk PASIS SESPIM DIK REG 42 T.P. 2006. (Lembang-Bandung, 11 Mei 2006).
 
Catatan:
(1)     Drs. Sutanto, Jend. Pol, POLMAS: Paradigma Baru Polri, YPKIK, 2006; Drs. Ronny Lihawa (editor), Memahami Community Policing (judul asli: Understanding Community Policing, a Framework for Action), YPKIK, August 2005; TOR: “Implementasi Strategi Perpolisian Masyarakat Dalam Upaya Memelihara Kamtibmas Dalam Rangka Mewujudkan Keamanan Dalam Negeri”, Pasis Sespim Dik Reg 42 T.P.2006.
(2)     Lihat karangan-karangan tentang “Pemolisian Masyarakat” dalam Parsudi Suparlan (Editor), Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, YPKIK, 2004.
(3)     Lihat karangan-karangan tentang SPP dalam buku Mardjono Reksodiputro, a.l. Buku Kedua: Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, LKUI, 1994, hal. 98-101 dan hal. 140-147. Dalam memberikan definisi (pengertian) dapat dibedakan antara definisi yang bersifat “konseptual” dan yang bersifat “administratif”. Pengertian (definisi) yang dipergunakan dalam makalah ini adalah bersifat administratif sebagai dasar kerja pragmatis.
(4)     SPP yang terpadu juga mengasumsikan adanya tujuan yang merupakan kebijakan (politik) kriminal (criminal policy) yang merupakan landasan kerja bagi semua unsur SPP. Sekaligus kebijakan kriminal ini dapat merupakan pedoman bagi profesionalisasi tenaga-tenaga dalam SPP, karena kebijakan kriminal (tujuan SPP) tersebut telah dihayati bersama, sehingga fungsi dan tugas unsur-unsur tidak terisolasi (terkotak-kotak).
(5)     Terms of Reference (TOR) Panitia, h.02. Menurut saya, Community Policing (dengan alih bahasa Pemolisian Komuniti) adalah suatu aktivitas atau “gaya manajemen” dan “strategi organisasi” yang diharapkan dapat menjadikan Polri suatu kepolisian sipil yang profesional dan modern serta demokratis. Polmas sendiri, menurut saya, merujuk kepada lembaganya atau pranata yang bekerja dengan falsafah Pemolisian Komuniti.
(6)     Scanning, adalah menentukan apa yang sebenarnya dirasakan oleh masyarakat sebagai masalah. Analisys adalah menyelidiki apa yang merupakan kausa dari masalah yang telah diidentifikasi tersebut dan apakah ada masalah-masalah lain yang terkait. Response, merupakan pilihan bersama Polisi-Masyarakat untuk memecahkan atau menjawab permasalahan tersebut. Disini, dengan pendekatan Pemolisian Komuniti, pemecahannya dapat bersifat non-konvensional atau inovatif. Terakhir adalah Assessment, yang sering terlupakan, yaitu melakukan evaluasi seberapa jauh “pemecahan masalah” telah efektif dan memuaskan masyarakat.
(7)       Parsudi Suparlan, op.cit., h. 113-127.
(8)   Dalam + 5 tahun terakhir ini masyarakat Indonesia telah mengalami perubahan yang cukup drastis (perubahan ini sering dinamakan “reformasi”). Bukan saja perubahan ketatanegaraan dan politik, tetapi juga perubahan sosial dan ekonomi. Akibat ini adalah timbulnya “tekanan” (stresses) dan “ketegangan” (tensions) dalam struktur sosial yang perlu dikelola secara arif dan bijaksana. Secara umum saya melihat mulai adanya “racial tensions” karena dirasakan adanya “diskriminasi” dan “ketidakadilan” yang menimbulkan “polarisasi” dalam masyarakat. Lebih menghawatirkan lagi adalah timbulnya “intimidasi psikis maupun fisik” terhadap kelompok atau golongan tertentu dalam masyarakat. Semua ini dapat meletus menjadi “konflik dengan kekerasan”. Polmas harus mempunyai tenaga-tenaga terlatih untuk mengantisipasi dan mengakomodasi peristiwa-peristiwa tersebut.

  Daftar Pustaka
1.      Lihawa Ronny, 2005, Memahami Community Policing
2.      Reksodiputro, Mardjono, 1994, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana
3.      Suparlan, Parsudi, 2004, Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia
4.      Sutanto, 2006, POLMAS : Paradigma Baru Polri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar