Sekelumit sejarah
Rancangan KUHAP Baru Indonesia punya
sejarah panjang, yang perlu diungkap agar memberi perspektif yang benar dalam
pembahasannya nanti di DPR. Pada Seminar Hukum Nasional ke-1 (1963 di UI) dan
kemudian Seminar Hukum Nasional ke-2 (1968 di UNDIP), para pembicara sudah
menyuarakan harapan mereka untuk mendapat suatu hukum acara pidana nasional
yang lebih manusiawi dan lebih memperhatikan hak-hak tersangka, terdakwa dan
terpidana. Ketidakpuasaan mereka adalah kepada pelaksanaan HIR (Reglemen
Indonesia Yang Diperbaharui). Lebih-lebih karena pada waktu itu Pemerintah
mulai dengan melemparkan konsepsi khas Indonesia, yang dikenal melalui simbol
dan semboyan “Pohon Beringin Pengayoman”
dan “Pemasyarakatan Narapidana”. Dua
semboyan yang seperti kita lihat sekarang tidak berarti banyak bagi
perlindungan HAM tersangka, terdakwa dan terpidana.
Sebenarnya kalau dikaji lebih
mendalam, maka ketidakpuasaan terhadap HIR adalah sebenarnya bukan kepada bunyi
harafiah HIR, tetapi kepada penafsiran dan pelaksanaan penegak
hukum (polisi dan JPU) serta pengadilan (hakim), lembaga pemasyarakatan
(penjara) terhadap bunyi HIR. Artinya semangat
penegak hukum dan pengadilan dalam melaksanakan HIR-lah yang dikritik. Mengapa
ini dapat terjadi ? Menurut saya “semangat penegak hukum dan pengadilan”
setelah Indonesia Merdeka, tetap membawa
semangat “polisi, JPU dan hakim” jaman kolonial Belanda ditambah apa yang mereka pelajari dari tiga tahun pendudukan militer (Kempetai)
Jepang ! Budaya-hukum penegak hukum dan pengadilan inilah yang harus
diperhatikan dan direformasi karena perubahan undang-undang saja tidak banyak membantu bila budaya-hukum
yang ada sekarang (koruptif – represif –dan otoriter) tidak berubah !
Cara pendekatan ini memang tidak lazim dalam pembahasan hukum (juristic approach), tetapi kalau kita
mau memakai socio-criminological approach
maka akan lebih mudah dijelaskan bagaimana budaya dan semangat ini
ditransformasikan dari atasan (kelompok senior) kepada bawahan (kelompok
yunior) selama bertahun-tahun (lebih dari 50 tahun) dan sekedar perubahan dalam
pedoman-kerja, ataupun undang-undang tidak mudah membawa pengaruh positif dalam
budaya kerja.
Masa HIR sampai dengan Seminar Nasional ke-2 dan KUHAP 1981
HIR diundangkan oleh pemerintah
Hindia Belanda pada tahun 1941 (S.1941- 44) dan dianggap sebagai pembaharuan
penting untuk penyidikan dan pendakwaan kasus kriminal golongan Bumiputera
(non-Eropa) di Indonesia. HIR ini merupakan pembaruan dari hukum acara pidana
sebelumnya yang diatur dalam IR (Inlandsch
Reglement-berlaku sejak 1846 dan
diperbarui tahun 1926). Pelaksanaan IR dikritik oleh suatu Komisi Belanda yang
dibentuk tahun 1928 a.l. karena tidak dapat memberikan jaminan adanya
penyidikan yang obyektif dan profesional (ahli) kepada orang-orang Bumiputera,
serta ditujukan kepada penggunaan yang tidak benar (tidak sah) dalam upaya paksa
(penggeledahan, penangkapan dan penyiksaan dalam penahanan sementara) –[kritik yang sayangnya masih dapat kita
dengar sekarang tahun 2013 – dalam masa kemerdekaan, yang telah lebih 50 tahun
merdeka dari penjajahan orang asing ! ]
Gubernur Jenderal L.de Jong yang merupakan
wakil Ratu Belanda di Indonesia (yang terakhir sebelum Jepang masuk), menulis
dalam bukunya a.l. bahwa tatacara peradilan pidana model IR ingin diubah
menjadi lebih manusiawi melalui HIR,
yang diundangkannya dalam tahun 1941.
Ternyata militer Jepang masuk ke Indonesia bulan Maret 1942. Dapatkah perbaikan
dalam proses peradilan pidana IR ini diubah
oleh HIR? Kalau menurut saya tidak !
Karena semangat “baru” HIR belum pernah diterapkan pemerintah Hindia Belanda
kepada alat penegak hukumnya. Cara-cara
IR-lah yang masih berlaku di Indonesia – semangat IR-lah yang berjalan dalam sistem peradilan pidana Indonesia
pada jaman pendudukan militer Jepang (1942 – 1945), ditambah dengan cara-cara
Kempetai Jepang (polisi-militer Jepang yan dikenal kejam). Jadi pada waktu
Pemerintah Republik Indonesia mengambil alih kekuasaan dari Jepang yang kalah
di Perang Dunia Kedua (Agustus 1945), semangat
alat penegak hukum (polisi dan jaksa) kita serta pengadilan (hakim) dan
kepenjaraan (lembaga pemasyarakatan) kita adalah bercirikan budaya-hukum IR1926
dengan kombinasi kekejaman Kempetai. Semangat dan budaya-hukum inilah yang
ingin diubah oleh tokoh-tokoh hukum seperti Asikin Kusumah Atmadja, Widojati,
Yap Thiam Hien, Nani Razak, Harjono Tjitrosubono, Suardi Tasrif, Oemar Seno
Adji, Moedjiono, dll. Kuhap 1981 bertujuan untuk hal ini, namun pada awal telah
terganjal oleh “benturan kepentingan” antara para penegak hukum (polisi dan
jaksa) serta pengadilan (hakim) dan lembaga pemasyarakatan. Usaha Moedjiono
untuk menyelamatkannya dengan semboyan “karya agung” yang menjamin HAM, tidak
terlaksana secara “mulus” dalam praktek di lapangan. Persaingan dan “perebutan
kewenangan” tetap ada !
Indonesia yang Tumbuh tapi tak Berubah
Judul ini saya kutip dari tulisan
Nasihin Masha (Republika 24 Mei 2013-hal.8), yang mengutipnya lagi dari pidato
perpisahan Gubernur BI Darmin Nasution (dengan kesimpulannya bahwa di Indonesia
memang ada “growth but without change”).
Ini konsep yang cocok tentang sistem peradilan pidana (SPP) kita serta KUHAP 1981-nya.
Sepertinya akan ada perubahan pada
tahun 1981-an dari konsep HIR yang kolonial ke konsep KUHAP yang nasionalis dan
memperhatikan terutama HAM dari
Tersangka,Terdakwa dan Terpidana. Kenyataannya keliru, banyak kasus menunjukkan bahwa semangat “IR-HIR dan
Kempetai” masih tetap belum berubah dari tahun 1981 ke 2013 ini (30 tahun !).Peradilan-sesat,
mafia-peradilan, penganiayaan dalam penyidikan, perlakuan tidak-beradab dalam
tahanan dan penjara tetap masih ada (ditambah dengan penjualan narkoba dari dan
di penjara) dan ini terjadi tanpa rasa malu atau bersalah dari negara (dan sekarang
ditambah dengan korupsi di jajaran SPP – hal yang tidak terdengar pada jaman
Hindia Belanda dan Kempetai !).
Jadi apa sebabnya ? Tentu akan banyak faktor dan alasan yang dapat dikemukakan. Tapi bagi
saya intinya adalah kepercayaan yang
keliru, bahwa perubahan
undang-undang akan membawa perubahan perilaku di SPP kita. Kelemahan kita adalah tidak dapat memahami konsep dan bila sudah diterima menaatinya ! Kelemahan
lain tidak disiplin pada asas –
contoh yang “kecil”: “banyak sepeda-motor, jalan di kanan-untuk menerobos” – “banyak
tidak merasa perlu memakai helm sepeda motor dan tidak perduli keselamatan
keluarga”. Contoh di lalulintas-jalan ini tercermin pula dalam lalulintas-ekonomi, mau “nrobos”,”cari
jalan-pintas”, jadi pengusaha mau cepat kaya,tidak peduli etika berbisnis, dll.
Mental (kepribadian) warga masyarakat serupa ini juga ada pada aparat penegak
hukum (polisi-JPU), hakim, advokat dan petugas pemasyarakatan.Secara sederhana
saya menamakan ini “hunter’s culture”
(budaya-pemburu)-ingin mendapat “buruan” (target lembaga dan atau pribadi),
tanpa peduli aturan. Apa memang pada
dasarnya orang Indonesia “tidak-disiplin” ? Tidak juga, buktinya kalau orang Indonesia ke Singapura dia akan
tertib mematuhi aturan.Jadi masalahnya
ada pada “budaya hukum” Indonesia
yang dipersepsikan masyarakat telah dicontohkan oleh pemimpin-pemimpin serta
tokoh-tokoh nasional dan daerah kita. Rakyat dan “bawahan” ikut dan
mencontoh yang memimpin.Maka adalah keliru kalau pemimpin merasa dengan membuat
peraturan baru-peraturan yang lebih rinci-memberi sanksi yang lebih berat pada
pelanggaran, maka semua itu dapat merubah perilaku warga ! Selama
Menteri/Pejabat Negara masih merasa “dia punya hak lebih (privilege)” , sepert boleh memotong arus lalulintas dengan
“pembuka-jalan” atau memasuki “jalur busway”
yang jelas terlarang, maka “rakyat-kecil” tidak malu untuk berbuat serupa.
Bukankah ada pepatah Indonesia mengatakan apabila “guru … berdiri, maka murid
pun … berlari” (maaf !).Jadi apa
pesan saya ? Janganlah mudah percaya bahwa dengan KUHAP baru, maka ada jaminan yang lebih baik terhadap hak-hak Tersangka,
Terdakwa dan Terpidana.Apa kalau begitu kita tetap saja pada KUHAP lama ? Tidak juga begitu – ada banyak hal
menarik untuk diamati bagaimana nantinya sikap alat penegak hukum (terutama
pemimpin dan pemikir mereka) serta pengadilan (tentu termasuk Mahkamah Agung) dan
pemasyarakatan narapidana akan menyikapi pikiran-pikiran progresif dalam KUHAP
baru.
KUHAP Lama (Kini) yang Terkotak-kotak
Sering dicanangkan oleh pimpinan
dalam SPP, adanya dan perlunya SPP Terpadu. Konsep “terpadu” ini janganlah diartikan perlunya
unsur-unsur SPP itu “seia-sekata” (nanti dapat menjadi “mafia peradilan”),
tetapi keterpaduan harus lebih diartikan:
“tercemarnya salah satu unsur SPP – lambat tapi pasti akan mencemari
unsur-unsur lainnya” – teori bejana–berhubungan; “meskipun setiap unsur SPP
mempunyai tujuan (“t”) organisasinya sendiri-sendiri, namun Tujuan (“T”) SPP
Terpadu harus bersinergi (T>t1+t2+t3 … tn)”; dan model SPP yang dianut
adalah Due Process Model (“kesempatan
pada Tersangka/Terdakwa untuk melawan pada setiap tahap penyidikan –pendakwaan -dan
pemeriksaan di sidang termasuk sebagai Terpidana) -model “lari-rintangan”.
Keterkotakan SPP Indonesia (karena
desain keliru KUHAP 1981) adalah karena dilupakannya asas universal SPP, bahwa
dalam negara-demokratis Pengadilan
adalah “sentral dan dominan” – karena hanya di Pengadilan dengan
pemeriksaan di sidang terbuka, warga dapat menyaksikan apakah “pra-duga tidak
bersalah” telah dijalankan ataukah bahwa yang terjadi “pemeriksaan sandiwara”- dimana
putusan bersalah sudah ditetapkan sebelumnya (direkayasa) atas nama negara.
Juga seharusnya ada kewenangan besar pada JPU untuk menutup perkara, bilamana menurut
pendapatnya kasus itu tak layak diajukan ke Pengadilan (kasus nenek pencuri 3
buah cokelat), juga meskipun JPU telah menyetujui BAP penyidik. Sekarang yang
kita lihat JPU sekedar “kurir” ke Pengadilan, yang di “paksa” selalu harus
menuntut hukuman (memenuhi target lembaga). Model “kurir” dan “rentut” (rencana penuntutan yang
wajib disetujui atasan), menurut hemat saya membuat JPU jadi pasif dan tidak bersemangat
menemukan keadilan (to seek justice).
Adanya “semangat-keterkotakan” juga
mengakibatkan, bahwa setiap unsur SPP (Kepolisian - Kejaksaan - Pengadilan - Organisasi
Advokat - dan Pemasyarakatan Narapidana) tidak merasa nyaman diawasi oleh unsur
lainnya dalam SPP. Contoh yang mudah terlihat adalah antara Kepolisian dengan
Kejaksaan, antara Advokat dengan Pengadilan serta antara Lembaga Pemasyarakatan
dengan Pengadilan. Penolakan adanya Hakim Pemeriksa Pendahuluan (Hakim
Komisaris) adalah pencerminan keinginan masing-masing unsur mempunyai monopoli kewenangan
dalam bidang fungsinya. Apabila semangat keterkotakan ini tidak dihilangkan
terlebih dahulu, maka sudah hampir pasti lembaga hakim baru ini akan mengalami
penolakan di DPR. Disamping keterkotakan ini terdapat pula karakteristik
patrimonial dan oligarki yang ada pada sistem IR masih terbawa dalam KUHAP 1981
kita. Ketergantungan pada “kuasa pucuk pimpinan” yang berasal dari “kelompok
angkatan” tertentu membuat sebenarnya SPP kita menjadi tidak demokratis dan
tidak terbuka pertanggungjawabannya. Inilah yang menyulitkan reformasi dalam
SPP Indonesia selama 15 tahun terakhir ini. SPP tumbuh (dengan bertambahnya
pengadilan, kantor kejaksaan, kantor kepolisaian, kantor advokat dan lembaga
pemasyarakatan), namun tidak ada perubahan dalam semangatnya tetap
mengacu pada konsep IR/HIR Hindia Belanda.
Penutup
Dalam usaha kita membenahi sistem
peradilan pidana kita secara benar-benar reformatif, menuju sistem modern dan
demokratis yang menghargai hak Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, maka
introspeksi ke dalam masing-masing unsur SPP adalah mutlak. Pepatah lama perlu
diingat “Untuk diri-sendiri kita dapat mendisiplinkan
diri untuk tidak melanggar hukum – tetapi dapatkah kita menjamin pada diri kita
(atau keluarga kita), bahwa kita atau keluarga kita akan bebas dari risiko
menjadi Tersangka,Terdakwa atau Terpidana ?” Simaklah keadaan sekeliling
kita !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar