Di
DPR saat ini sedang dibicarakan suatu rancangan undang-undang yang menarik
perhatian, karena antara lain memuat suatu ketentuan dapatnya seseorang atau
suatu korporasi masuk dalam “daftar
terduga kejahatan”.
Kejahatan
yang dimaksud di sini adalah “pendanaan
terorisme”.Kejahatan macam apa yang dirumuskan dalam RUU ini ? Apabila kita
pelajarai secara saksama, maka RUU Pencegahan dan Pemberantasan Pendanaan
Terorisme adalah suatu peraturan yang menghubungkan antara kejahatan “pencucian
uang” (UU No.8/2010) dengan kejahatan “terorisme” (UU No.15/2003). Bagaimana ?
Kita
tahu bahwa rumusan delik tentang terorisme memang masih banyak diperdebatkan di
Indonesia, tetapi demikian juga halnya di berbagai negara di dunia.Memang tidak
dapat disangkal, bahwa apa yang oleh suatu pemerintahan dicap terorisme, oleh para
pelakunya dapat diberi pembenaran sebagai suatu “perjuangan kemerdekaan”. Kita sendiri
pernah mengalami hal tersebut, ketika antara tahun 1945 -1949 pemuda-pemuda
Indonesia memperjuangkan pembebasan kita dari penjajahan Hindia Belanda. Jadi ?
Ya, disinilah peranan dari hukum, melalui pengadilan dan yurisprudensi hukum
Indonesia untuk lebih mempedomani pengertian “delik terorisme”. Sayangnya
memang Mahkamah Agung kita sangat lemah dalam membuat yurisprudensi tetap.
Kalau ada putusan yang penting, tidak ada kemampuan hakim agung kita membuat
argumentasi hukum yang dapat dipergunakan sebagai pedoman-kerja para penegak
hukum dan pedoman mengembangkan ilmu hukum di fakutas hukum Indonesia.Memang sayang,
tetapi “Ya, apa boleh buat(…!)” dan karena itu tidak mustahil bahwa
undang-undang baru ini juga akan membawa ketidak-adilan pada sejumlah warga
masyarakat.
Mari
kita lihat pengertian “pencucian uang” dan “pendanaan terorisme”.Pengertian
kedua-duanya ada dalam peraturan yang bersangkutan, tetapi bagaimana
keterkaitannya ? Pencucian-uang pada dasarnya merujuk pada kegiatan
“menyembunyikan asal-usul yang tidak sah dari hasil kejahatan”, sedangkan pendanaan-terorisme
merujuk kepada “penyediaan dana untuk kegiatan terorisme”. Kita tahu bahwa
dalam hal pencucian-uang asal-usul dana selalu tidak sah (illicit), sedangkan dalam hal pendanaan-terorisme dana itu dapat
berasal dari sumber yang sah, maupun tidak sah. Karena itu dalam pendanaan
kegiatan terror, pelaku tidak mengutamakan menyembunyikan asal-usul dana,
tetapi yang lebih penting adalah menyembunyikan kegiatan pendanaannya dan
tujuan serta sifat dari kegiatan yang didanai. Tentu saja dalam kedua jenis
kejahatan ini, masalahnya adalah penggunaan secara tidak sah dari sektor
kegiatan keuangan masyarakat (baik transaksi yang resmi mapun transaksi “tidak-resmi”)[1].
Dengan demikian, maka memang tujuan RUU ini adalah: a)mencegah, menemukan dan “menghukum”
dana-dana tidak-sah yang masuk dalam sistem keuangan negara kita, dan juga b)mencegah,
menemukan dan “menghukum” kegiatan pendanaan kepada para teroris (baik
individual, organisasi massa, ataupun korporasi).[2]
Memang
karena karakter (sifat) kejahatan ini yang tertutup dan punya dampak politik,
maka pencegahan dan pemberantasannya sulit sekali. Undang-undang ini akan
memakai cara “memotong sumber dana” – Mengapa ? Karena menurut bebrapa sumber,
biaya mendukung “terorisme” di dunia ini (Al Qaeda, FARC di Columbia,
Taliban,dll) dapat sampai 1,5 Milyar Dolar Amerika per tahun[3].
Biaya ini diperlukan untuk merawat jaringan yang menopang kegiatan terorisme
ini, seperti: radikalisasi, rekrutmen, persenjataan dsb-nya untuk menemukan
orang-orang yang bersedia melalukan kegiatan terror. Pendanaan juga sering
disalurkan melalui organisasi-amal, tanpa mereka yang beramal sadar tujuan dana
ini. Dikatakan bahwa orang-orang Katolik di Amerika Serikat yang berasal dari Irlandia
merupakan donor yang membiayai “perjuangan Irlandia Utara melawan Inggris”.
Contoh-contoh lain dapat pula diperkirakan.[4]
Masalah inilah yang harus diperhatikan di Indonesia, karena kita semua tahu
kelemahan dari administrasi dan pengawasan di Indonesia, antara lain di jalur sistem
peradilan pidana, sehingga memang mungkin sekali terjadi penyalahgunaan
undang-undang ini dalam pertarungan kekuasaan antar kelompok bisnis. Solusinya
? Ya, bersihkan aparat sistem peradilan pidana kita dari KKN dan lakukan
pengawasan yang cermat oleh LSM-LSM !
Dimasukkannya
seseorang atau suatu organisasi/korporasi dalam Daftar Terduga Teroris, memang
punya dampak besar pada hak-hak sipil Terduga. Mungkin hampir sama dengan kejadian
masa-lalu apabila masuk
“black list” Pemerintahan Suharto/Orde
Baru, “terduga Anggota PKI” atau “terduga Anggota Kelompok Oposisi terhadap
Pemerintah”. Dulu mereka akan “mati-sipil”, tidak dapat beraktivitas secara
normal dalam bermasyarakat. Dalam kaitan dengan UU baru ini, harta kekayaan mereka
akan dibekukan (termasuk kemungkinan di luar negeri, bila diduga bagian dari
jaringan terror internasional)[5].
Putusan masuk daftar memang dilakukan melalui penetapan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat (pasal 27 ayat 5 dan 6) dan dapat dapat diajukan keberatan (pasal
32), namun seperti pengalaman waktu-lalu, sangat diharapkan bahwa prosedur
hukum ini dilakukan dengan sangat hati-hati oleh pejabat-pejabat yang
berintegritas tinggi (jujur dan berani melawan ketidakadilan yang
diketahuinya). Di negara-negara demokrasi maka yang utama harus dipelihara
adalah kepercayaan masyarakat kepada hukum – kepada sistem peradilan pidana
yang punya integritas tinggi – pada Mahkamah Agung yang merupakan “benteng
terakhir keadilan”. Apakah di Indonesia rakyat dapat tetap merasa aman-tenteram
dengan UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pedanaan Terorisme ini,
hanya sejarah yang akan menentukan. Rakyat Indonesia mempunyai pengalaman pahit
dengan “kebuntuan hukum” dan “kemandulan Mahkamah Agung” dalam masa Orde Baru –
Semoga hal serupa tidak akan terjadi lagi sekarang di Era Reformasi !.(mr)-
*Pada saat tulisan ini dibuat; UU no 9/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme masih berupa draft.
[1]
Transaksi tidak-resmi atau informal dilakukan tidak melalui sistem perbankan,
misalnya di Filipina: Padala, di
Cina: Fei-chi’en dan Timur Tengah: Hawala – lihat juga Penjelasan pasal 20
(1) RUU..
[2] Masalah ini menarik perhatian dunia terutama
setelah peristiwa 11 September 2001 – di mana kemudian Presiden Bush
mengeluarkan Instruksi Presiden (Executive
Order) On Terror Financing.
[3]
LorretaNapoleon,2004,T$rror Inc., Penguin Books
[4]
Korporasi atau Organisasi Amal memang perlu juga mendapat perhatian dalam
pemikiran melawan terorisme ini – memang tidak mudah dalam konteks Konstitusi
kita dan HAM. Aparat penegak hukum yang “berani jujur” adalah yang kita
perlukan di sini dan sekarang !
[5]
Di Uni Eropa, maka sanksi keuangan yang diberikan kepada terduga pendanaan
terorisme adalah:
a)kewajiban melakukan pemblokiran/pembekuan harta
kekayaan; dan b)larangan untuk langsung atau tidak langsung menyediakan layanan
keuangan kepada mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar