Jumat, 22 November 2013

RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme*




Di DPR saat ini sedang dibicarakan suatu rancangan undang-undang yang menarik perhatian, karena antara lain memuat suatu ketentuan dapatnya seseorang atau suatu korporasi masuk dalam “daftar terduga kejahatan”.
Kejahatan yang dimaksud di sini adalah “pendanaan terorisme”.Kejahatan macam apa yang dirumuskan dalam RUU ini ? Apabila kita pelajarai secara saksama, maka RUU Pencegahan dan Pemberantasan Pendanaan Terorisme adalah suatu peraturan yang menghubungkan antara kejahatan “pencucian uang” (UU No.8/2010) dengan kejahatan “terorisme” (UU No.15/2003). Bagaimana ?

Kita tahu bahwa rumusan delik tentang terorisme memang masih banyak diperdebatkan di Indonesia, tetapi demikian juga halnya di berbagai negara di dunia.Memang tidak dapat disangkal, bahwa apa yang oleh suatu pemerintahan dicap terorisme, oleh para pelakunya dapat diberi pembenaran sebagai suatu “perjuangan kemerdekaan”. Kita sendiri pernah mengalami hal tersebut, ketika antara tahun 1945 -1949 pemuda-pemuda Indonesia memperjuangkan pembebasan kita dari penjajahan Hindia Belanda. Jadi ? Ya, disinilah peranan dari hukum, melalui pengadilan dan yurisprudensi hukum Indonesia untuk lebih mempedomani pengertian “delik terorisme”. Sayangnya memang Mahkamah Agung kita sangat lemah dalam membuat yurisprudensi tetap. Kalau ada putusan yang penting, tidak ada kemampuan hakim agung kita membuat argumentasi hukum yang dapat dipergunakan sebagai pedoman-kerja para penegak hukum dan pedoman mengembangkan ilmu hukum di fakutas hukum Indonesia.Memang sayang, tetapi “Ya, apa boleh buat(…!)” dan karena itu tidak mustahil bahwa undang-undang baru ini juga akan membawa ketidak-adilan pada sejumlah warga masyarakat.

Mari kita lihat pengertian “pencucian uang” dan “pendanaan terorisme”.Pengertian kedua-duanya ada dalam peraturan yang bersangkutan, tetapi bagaimana keterkaitannya ? Pencucian-uang pada dasarnya merujuk pada kegiatan “menyembunyikan asal-usul yang tidak sah dari hasil kejahatan”, sedangkan pendanaan-terorisme merujuk kepada “penyediaan dana untuk kegiatan terorisme”. Kita tahu bahwa dalam hal pencucian-uang asal-usul dana selalu tidak sah (illicit), sedangkan dalam hal pendanaan-terorisme dana itu dapat berasal dari sumber yang sah, maupun tidak sah. Karena itu dalam pendanaan kegiatan terror, pelaku tidak mengutamakan menyembunyikan asal-usul dana, tetapi yang lebih penting adalah menyembunyikan kegiatan pendanaannya dan tujuan serta sifat dari kegiatan yang didanai. Tentu saja dalam kedua jenis kejahatan ini, masalahnya adalah penggunaan secara tidak sah dari sektor kegiatan keuangan masyarakat (baik transaksi yang resmi mapun transaksi “tidak-resmi”)[1]. Dengan demikian, maka memang tujuan RUU ini adalah: a)mencegah, menemukan dan “menghukum” dana-dana tidak-sah yang masuk dalam sistem keuangan negara kita, dan juga b)mencegah, menemukan dan “menghukum” kegiatan pendanaan kepada para teroris (baik individual, organisasi massa, ataupun korporasi).[2]

Memang karena karakter (sifat) kejahatan ini yang tertutup dan punya dampak politik, maka pencegahan dan pemberantasannya sulit sekali. Undang-undang ini akan memakai cara “memotong sumber dana” – Mengapa ? Karena menurut bebrapa sumber, biaya mendukung “terorisme” di dunia ini (Al Qaeda, FARC di Columbia, Taliban,dll) dapat sampai 1,5 Milyar Dolar Amerika per tahun[3]. Biaya ini diperlukan untuk merawat jaringan yang menopang kegiatan terorisme ini, seperti: radikalisasi, rekrutmen, persenjataan dsb-nya untuk menemukan orang-orang yang bersedia melalukan kegiatan terror. Pendanaan juga sering disalurkan melalui organisasi-amal, tanpa mereka yang beramal sadar tujuan dana ini. Dikatakan bahwa orang-orang Katolik di Amerika Serikat yang berasal dari Irlandia merupakan donor yang membiayai “perjuangan Irlandia Utara melawan Inggris”. Contoh-contoh lain dapat pula diperkirakan.[4] Masalah inilah yang harus diperhatikan di Indonesia, karena kita semua tahu kelemahan dari administrasi dan pengawasan di Indonesia, antara lain di jalur sistem peradilan pidana, sehingga memang mungkin sekali terjadi penyalahgunaan undang-undang ini dalam pertarungan kekuasaan antar kelompok bisnis. Solusinya ? Ya, bersihkan aparat sistem peradilan pidana kita dari KKN dan lakukan pengawasan yang cermat oleh LSM-LSM !

Dimasukkannya seseorang atau suatu organisasi/korporasi dalam Daftar Terduga Teroris, memang punya dampak besar pada hak-hak sipil Terduga. Mungkin hampir sama dengan kejadian masa-lalu apabila masuk
black list” Pemerintahan Suharto/Orde Baru, “terduga Anggota PKI” atau “terduga Anggota Kelompok Oposisi terhadap Pemerintah”. Dulu mereka akan “mati-sipil”, tidak dapat beraktivitas secara normal dalam bermasyarakat. Dalam kaitan dengan UU baru ini, harta kekayaan mereka akan dibekukan (termasuk kemungkinan di luar negeri, bila diduga bagian dari jaringan terror internasional)[5]. Putusan masuk daftar memang dilakukan melalui penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (pasal 27 ayat 5 dan 6) dan dapat dapat diajukan keberatan (pasal 32), namun seperti pengalaman waktu-lalu, sangat diharapkan bahwa prosedur hukum ini dilakukan dengan sangat hati-hati oleh pejabat-pejabat yang berintegritas tinggi (jujur dan berani melawan ketidakadilan yang diketahuinya). Di negara-negara demokrasi maka yang utama harus dipelihara adalah kepercayaan masyarakat kepada hukum – kepada sistem peradilan pidana yang punya integritas tinggi – pada Mahkamah Agung yang merupakan “benteng terakhir keadilan”. Apakah di Indonesia rakyat dapat tetap merasa aman-tenteram dengan UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pedanaan Terorisme ini, hanya sejarah yang akan menentukan. Rakyat Indonesia mempunyai pengalaman pahit dengan “kebuntuan hukum” dan “kemandulan Mahkamah Agung” dalam masa Orde Baru – Semoga hal serupa tidak akan terjadi lagi sekarang di Era Reformasi !.(mr)-  

*Pada saat tulisan ini dibuat; UU no 9/2013 tentang  Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme masih berupa draft.   


[1] Transaksi tidak-resmi atau informal dilakukan tidak melalui sistem perbankan, misalnya di Filipina: Padala, di Cina: Fei-chi’en dan Timur Tengah: Hawala – lihat juga Penjelasan pasal 20 (1) RUU..
[2]  Masalah ini menarik perhatian dunia terutama setelah peristiwa 11 September 2001 – di mana kemudian Presiden Bush mengeluarkan Instruksi Presiden (Executive Order) On Terror Financing.
[3] LorretaNapoleon,2004,T$rror Inc., Penguin Books
[4] Korporasi atau Organisasi Amal memang perlu juga mendapat perhatian dalam pemikiran melawan terorisme ini – memang tidak mudah dalam konteks Konstitusi kita dan HAM. Aparat penegak hukum yang “berani jujur” adalah yang kita perlukan di sini dan sekarang !
[5] Di Uni Eropa, maka sanksi keuangan yang diberikan kepada terduga pendanaan terorisme adalah:
a)kewajiban melakukan pemblokiran/pembekuan harta kekayaan; dan b)larangan untuk langsung atau tidak langsung menyediakan layanan keuangan kepada mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar