Kamis, 14 November 2013

Apakah kita serius memiskinkan Koruptor ?*


Pengantar

Beberapa waktu yang lalu saya menulis “Me’miskin’kan Koruptor- Caranya?” Dan salah satu kesimpulan saya adalah bahwa di Indonesia itu “korupsi itu akan menguntungkan” (corruption does pay). Sebagai akademisi tentu saya tidak berpretensi bahwa cara yang saya tawarkan itu dalam praktek penegak hukum akan mudah.Tentu akan ada sanggahan, baik dari sesama akademisi maupun dari penegak hukum (JPU yang tersinggung ? dan Advokat yang menolak !). Tetapi bukankah kata orang bijak “rasa makanan itu hanya terbukti setelah dimakan” (alih bahasa bebas dari “the proof is in the pudding”). Indonesia punya UU Tindak Pidana Ekonomi (1955) yang menyatakan “korporasi/badan hukum dapat diminta pertanggungjawaban pidana”. Kita juga punya ketentuan serupa mulai UU Lingkungan Hidup dan selanjutnya dalam berbagai undang-undang baru sering dicantumkan bahwa apabila kejahatan itu dilakukan Korporasi, maka hukuman dendanya “berlipat-ganda”. Tetapi adakah kita pernah mendengar atau membaca di surat kabar bahwa ada perusahaan besar/korporasi menjadi Tersangka (oleh Polisi) atau Terdakwa (oleh JPU) atau Terpidana (oleh Pengadilan/MA)? Saya lebih dari 50 tahun ini hanya membaca satu kasus di mana Terdakwa I adalah sebuah PT (yaitu Newmont Minahasa Raya) disamping Terdakwa II adalah Presiden Direkturnya – kasus di Pengadilan Negeri Manado tahun 2005-2007. Jadi pernah saya bertanya : “ Apakah kita serius dengan ingin meminta pertanggungjawaban pidana kepada korporasi ?” Saya meragukannya – meskipun beberapa minggu yang lalu ada gurubesar Belanda yang khusus diundang Pemerintah kita memberi ceramah tentang bagaimana Belanda sudah 30 tahun “memidana korporasi”. Karena sekarang mulai ada berita dari KPK akan “me’miskin’kan koruptor”, maka saya sekarang pun ingin bertanya “seriuskah niat ini ?” (Ataukah seperti pertanggungjawaban pidana Korporasi?.)


Masalah pembuktian “terbalik” dan prosedur “in rem”

Masalah utamanya (menurut saya) adalah tentang “pembalikan beban pembuktian”. Seperti telah beberapa kali saya sampaikan dalam ceramah dan makalah,hal ini tidak ada kaitannya  dengan asas “praduga tidakbersalah”. Yang diminta dari Terdakwa bukan untuk membuktikan ketidaksalahannya terhadap dakwaan JPU (karena JPU harus membuktikan kesalahan Terdakwa). Yang diminta dari Terdakwa hanya membuktikan bahwa harta yang disita dan dipersangkakan berasal dari suatu kejahatan adalah diperoleh Terdakwa secara sah bukan berasal dari kejahatan. Kalau dia tidak dapat membuktikan perolehan harta tersebut secara sah, maka “harta itu dianggap tercemar (tainted property)” dan pada waktunya nanti akan diminta melalui prosedur perdata menjadi milik negara.. Dalam proses hukum acara perdata ini, maka Jaksa/Pengacara Negara akan mendalilkan kepada Pengadilan Perdata bahwa “karena harta kekayaan ini tercemar secara hukum, maka tidak jelas kepemilikannnya”,dan karena itu dimohon untuk dinyatakan “dirampas” (diambil alih kepemilikannya) menjadi kekayaan Negara.Di luar negeri prosedur ini dinamakan “in rem procedure” (prosedur gugatan terhadap barang).[1]



Baik dalam hukum perdata maupun hukum pidana “beban pembuktian” (siapa yang wajib membuktikan dalilnya) adalah titik pusat dari hukum acaranya. Dalam hukum pidana maka JPU wajib memajukan bukti tentang fakta-fakta yang dipersangkakanya merupakan dasar dakwaannya tentang tindak pidana (korupsi atau pencucian uang) yang dilakukan oleh Terdakwa. Dalam hukum Anglo-American (common law) maka JPU harus membuktikan kesalahan Terdakwa “beyond a reasonable doubt” (kemungkinan akan adanya kekeliruan hanyalah 5% atau kurang). Ini beda untuk hukum perdata, dimana pihak yang mengajukan bukti suatu fakta cukup membuktikan “by a preponderance of the evidence” (cukup membuktikan kebenarannya 55% atau lebih dibanding bukti lawannya – dikenal sebagai “the balance of probability”). Untuk membuktikan bahwa Terdakwa melakukan kejahatan, maka JPU wajib membuktikan kesalahan Terdakwa. Dan karena ada dugaan bahwa kejahatan itu melibatkan atau menghasilkan harta “tidak sah”, maka JPU berhak meminta Hakim untuk menanyakan kepada Terdakwa asal-usul “harta tertentuyang telah disita oleh Penyidik/JPU (dengan alasan terkait kejahatan yang akan didakwakan: Korupsi atau Pencucian Uang). Kalau Terdakwa tidak dapat meyakinkan dengan bukti 55% saja tentang  kesahan pemilikannya di muka Pengadilan Pidana, maka harta itu oleh hakim dinyatakan “tercemar secara hukum” dan diperintahkan kepada JPU untuk mengajukannya kepada Pengadilan Perdata untuk memeriksa kepemilikan harta tersebut. Inilah yang di luar negeri dikenal sebagai “in rem procedure” . Secara singkat yang digugat bukan “orang” (manusia atau badan hukum – gugatan in personam), tetapi bendanya dalam arti hak kebendaannya yang dicurigai tidak sah dan kalau tidak ada yang dapat membuktikan sebaliknya, maka dalam proses perdata oleh hakim di Pengadilan Perdata dinyatakan menjadi milik Negara.[2]



Penutup

Gugatan in rem (in rem action) harus dilakukan, agar tidak terjadi peristiwa seperti masa lalu, dimana “tersangka atau terdakwa atau terpidana” warga negara atau penduduk Indonesia yang “terkait G30S/PKI” dapat begitu saja kehilangan hartanya ! Proses perdata tidak akan lama, bila dilakukan berdasarkan adanya “harta tercemar” yang diajukan di muka Pengadilan Perdata untuk mencari “Pemilik yang Sah” - Bila tidak ada yang mengakui dan dapat membuktilan kesahan pemilikannya atas harta itu, maka harta itu menjadi milik negara (hampir serupa dengan barang “selundupan” yang tidak ada yang mau mengakuinya !).




*Makalah ini telah disampaikan dalam Diskusi Publik KHN 26 Juni 2013.





[1] KUHP Belanda dalam tahun 1992 menambahkan Pasal 33a yang dalam ayat (1) menyatakan “The following are subject to forfeiture:…f.rights in rem and rights in personam pertaining to the objects specified in a through e”.Maksud saya adalah bahwa Belanda juga mengenal kemungkinan untuk merampas rights in rem (zakelijke rechten) atas suatu benda.


[2] Lihat juga dan bandingkan dengan Pasal 37A dan 38B UU No.20 Tahun 2001 tentang Korupsi  dan  Pasal 77, 78 dan 79 (4), (5) dan (6) UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar