Pengantar
Beberapa waktu yang lalu
saya menulis “Me’miskin’kan Koruptor- Caranya?”
Dan salah satu kesimpulan saya adalah bahwa di Indonesia itu “korupsi itu akan menguntungkan”
(corruption does pay). Sebagai
akademisi tentu saya tidak berpretensi bahwa cara yang saya tawarkan itu dalam
praktek penegak hukum akan mudah.Tentu akan ada sanggahan, baik dari sesama
akademisi maupun dari penegak hukum (JPU yang tersinggung ? dan Advokat yang
menolak !). Tetapi bukankah kata orang bijak “rasa makanan itu hanya terbukti
setelah dimakan” (alih bahasa bebas
dari “the proof is in the pudding”).
Indonesia punya UU Tindak Pidana Ekonomi (1955)
yang menyatakan “korporasi/badan hukum dapat diminta pertanggungjawaban pidana”.
Kita juga punya ketentuan serupa mulai UU Lingkungan Hidup dan selanjutnya dalam
berbagai undang-undang baru sering dicantumkan bahwa apabila kejahatan itu
dilakukan Korporasi, maka hukuman dendanya “berlipat-ganda”. Tetapi adakah kita
pernah mendengar atau membaca di surat kabar bahwa ada perusahaan
besar/korporasi menjadi Tersangka (oleh Polisi) atau Terdakwa (oleh JPU) atau
Terpidana (oleh Pengadilan/MA)? Saya lebih dari 50 tahun ini hanya membaca satu kasus di mana Terdakwa I adalah
sebuah PT (yaitu Newmont Minahasa Raya)
disamping Terdakwa II adalah Presiden Direkturnya – kasus di Pengadilan Negeri
Manado tahun 2005-2007. Jadi pernah saya bertanya : “ Apakah kita serius dengan
ingin meminta pertanggungjawaban pidana
kepada korporasi ?” Saya meragukannya – meskipun beberapa minggu yang lalu ada
gurubesar Belanda yang khusus diundang Pemerintah kita memberi ceramah tentang
bagaimana Belanda sudah 30 tahun “memidana korporasi”. Karena sekarang mulai ada berita dari KPK akan “me’miskin’kan koruptor”,
maka saya sekarang pun ingin bertanya “seriuskah niat ini ?” (Ataukah
seperti pertanggungjawaban pidana Korporasi?.)
Masalah pembuktian “terbalik” dan prosedur “in rem”
Masalah utamanya (menurut
saya) adalah tentang “pembalikan beban pembuktian”.
Seperti telah beberapa kali saya sampaikan dalam ceramah dan makalah,hal ini tidak ada kaitannya dengan asas “praduga tidakbersalah”. Yang
diminta dari Terdakwa bukan untuk
membuktikan ketidaksalahannya terhadap dakwaan JPU (karena JPU harus
membuktikan kesalahan Terdakwa). Yang diminta dari Terdakwa hanya membuktikan
bahwa harta yang disita dan dipersangkakan berasal dari suatu kejahatan adalah
diperoleh Terdakwa secara sah bukan berasal dari kejahatan. Kalau dia tidak
dapat membuktikan perolehan harta tersebut secara sah, maka “harta
itu dianggap tercemar (tainted property)” dan pada waktunya nanti akan
diminta melalui prosedur perdata menjadi milik negara.. Dalam proses hukum
acara perdata ini, maka Jaksa/Pengacara Negara akan mendalilkan kepada
Pengadilan Perdata bahwa “karena harta kekayaan ini tercemar secara hukum, maka
tidak jelas kepemilikannnya”,dan karena itu dimohon untuk dinyatakan “dirampas”
(diambil alih kepemilikannya) menjadi kekayaan Negara.Di luar negeri prosedur
ini dinamakan “in rem procedure” (prosedur gugatan terhadap barang).[1]
Baik dalam hukum perdata
maupun hukum pidana “beban
pembuktian” (siapa yang wajib membuktikan dalilnya) adalah titik pusat dari
hukum acaranya. Dalam hukum pidana maka JPU wajib memajukan bukti tentang
fakta-fakta yang dipersangkakanya merupakan dasar dakwaannya tentang tindak
pidana (korupsi atau pencucian uang) yang dilakukan oleh Terdakwa. Dalam hukum
Anglo-American (common law) maka JPU
harus membuktikan kesalahan Terdakwa “beyond
a reasonable doubt” (kemungkinan akan adanya kekeliruan hanyalah 5% atau
kurang). Ini beda untuk hukum perdata, dimana pihak yang mengajukan bukti suatu
fakta cukup membuktikan “by a
preponderance of the evidence” (cukup membuktikan kebenarannya 55% atau
lebih dibanding bukti lawannya – dikenal sebagai “the balance of probability”). Untuk membuktikan bahwa Terdakwa
melakukan kejahatan, maka JPU wajib membuktikan kesalahan Terdakwa. Dan karena
ada dugaan bahwa kejahatan itu melibatkan atau menghasilkan harta “tidak sah”,
maka JPU berhak meminta Hakim untuk
menanyakan kepada Terdakwa asal-usul
“harta tertentu” yang telah disita
oleh Penyidik/JPU (dengan alasan terkait kejahatan yang akan didakwakan:
Korupsi atau Pencucian Uang). Kalau Terdakwa tidak dapat meyakinkan dengan bukti 55% saja tentang kesahan
pemilikannya di muka Pengadilan Pidana,
maka harta itu oleh hakim dinyatakan “tercemar
secara hukum” dan diperintahkan kepada JPU untuk mengajukannya kepada
Pengadilan Perdata untuk memeriksa
kepemilikan harta tersebut. Inilah yang di luar negeri dikenal sebagai “in rem procedure” . Secara singkat yang
digugat bukan “orang” (manusia atau badan hukum – gugatan in personam), tetapi bendanya dalam arti hak kebendaannya yang
dicurigai tidak sah dan kalau tidak ada yang dapat membuktikan sebaliknya, maka
dalam proses perdata oleh hakim di Pengadilan Perdata dinyatakan menjadi milik
Negara.[2]
Penutup
Gugatan in rem (in rem action) harus dilakukan, agar tidak terjadi peristiwa
seperti masa lalu, dimana “tersangka atau terdakwa atau terpidana” warga negara
atau penduduk Indonesia yang “terkait
G30S/PKI” dapat begitu saja
kehilangan hartanya ! Proses perdata
tidak akan lama, bila dilakukan berdasarkan adanya “harta tercemar” yang
diajukan di muka Pengadilan Perdata untuk mencari “Pemilik yang Sah” -
Bila tidak ada yang mengakui dan dapat membuktilan kesahan pemilikannya atas
harta itu, maka harta itu menjadi milik negara (hampir serupa dengan barang
“selundupan” yang tidak ada yang mau mengakuinya !).
*Makalah ini telah disampaikan dalam Diskusi
Publik KHN 26 Juni 2013.
[1] KUHP Belanda dalam tahun 1992 menambahkan Pasal 33a yang dalam ayat
(1) menyatakan “The following are subject
to forfeiture:…f.rights in rem and
rights in personam pertaining to the objects specified in a through e”.Maksud
saya adalah bahwa Belanda juga mengenal kemungkinan untuk merampas rights in rem (zakelijke rechten) atas
suatu benda.
[2] Lihat juga dan bandingkan dengan Pasal 37A dan 38B UU No.20 Tahun
2001 tentang Korupsi dan Pasal 77, 78 dan 79 (4), (5) dan (6) UU No.8
Tahun 2010 tentang Pencucian Uang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar