Pengantar
Pertanyaan di atas sebagai judul dapat dianggap absurd (menggelikan
dan tak masuk akal), namun saya ajukan karena rupanya pertanyaan ini sekarang
masih menjadi debat dalan kalangan
penegak hukum. Menurut saya ada beberapa alasan mengapa ada debat perlu
tidaknya KPK. Beberapa kejadian akhir-akhir ini yang menyangkut Pimpinan KPK
membuat publik juga mulai meyakini bahwa seperti juga dahulu Pengadilan
Tipikor, sekarang giliran KPK untuk "digoyang".
Yang
"kurang-terlihat" adalah adanya "konflik"
antara penegak hukum konvensional (kepolisian dan kejaksaan) dengan penegak
hukum nonkonvensional ini (Penyidik dan Penuntut Umum KPK). Konflik ini
menyangkut (seperti biasa) masalah kewenangan (baca: kekuasaan). Publik memang telah lama merasa bahwa pembentukan KPK
dengan kewenangannya yang lebih luas dari yang dipunyai oleh Kepolisian dan
Kejaksaan, serta peralatannya yang "canggih", telah menimbulkan
sejumlah "gesekan", apalagi bilamana KPK dalam media massa di
"jago" kan sebagai "pahlawan" pemberantasan korupsi. Yang
kurang baik juga adalah dengan terus “mendengungkan” (terutama oleh media massa
dan para aktivis), bahwa KPK dibentuk justru karena ketidakpercayaan publik
kepada lembaga kepolisian dan kejaksaan.
Karena
itu adalah sah-sah saja untuk bertanya "apa sebenamya Komisi Pemberantasan
Korupsi itu?" dan "mengapa pula dibentuk serta apa tugasnya" .
Sekelumit sejarah
Menurut
pengetahuan saya ketika di Indonesia pemerintah Orde Baru melakukan usaha
pertama untuk menanggulangi atau menangkal korupsi dengan membentuk Komisi-4,
maka di Hong Kong juga sudah ada gerakan serupa dan mereka terkesan dengan
usaha Singapura. Di Singapura waktu itu (1968) telah dibentuk dan bekerja suatu
badan khusus yang independen bemama CPIB (Corrupt Practices Investigation
Bureau), yang kemudian menjadi contoh dibentuknya di Hong Kong, badan
independen bernama: ICAC (Independent Commission Agains Corruption), pada
15 Februari 1974.[1]
Komisi-4 di Indonesia didirikan untuk melaksanakan UU No.24/1960, yang merupakan UU Anti-Korupsi
pertama untuk Indonesia (menggantikan Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957). Adapun anggotanya adalah:
Dr. Mohammad Hatta (Ketua), Wilopo, SH, I.J. Kasimo, Prof. Ir. Johannes, dan
Anwar Tjokroaminoto (KepPres No.13/1970). Semuanya adalah tokoh-tokoh politik nasional yang tidak tercela integritasnya. Untuk apa Komisi-4 ini? Menurut
perkiraan saya adalah agar "krisis korupsi" yang diakui pada waktu
itu, dapat diselesaikan secara hukum
dengan "adil" dan "independen". Jadi masalah
"independen" dalam pemberantasan korupsi sudah diakui perlunya di
Indonesia dalam tahun 1970 (lebih dari 40 tahun yang lalu!). Masyarakat juga
merespon usaha pemerintah ini antara lain dengan menyelenggarakan panel diskusi
oleh Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia tanggal 10-12 Agustus 1970.
Tokoh-tokoh pendidikan dan hukum yang berbicara antara lain: Prof. Oemar Seno
Adji, Prof. Ismail Sunny, Lukman Wiriadinata, Yap Thiam Hien, Prof Emil Salim,
Prof. Kuntjaraningrat dan Prof. Fuad Hasan.[2]
Mengapa perlu KPK
Karena
itu mengapa kita sekarang seolah-olah ingin mundur empatpuluh tahun lagi?
Diakui bahwa fenomena korupsi ini tidaklah sederhana. Perilaku ini termanifestasi
(ada, dan jelas terlihat) ataupun berbentuk laten (ada, tetapi belum terlihat
jelas) dalam berbagai gaya (style) dan dalam berbagai corak (pattern).
Fenomena ini rumit (complex), baik dalam hal sebabnya, maupun dalam
akibatnya. Akibatnya sudah sering
didiskusikan, yaitu kerugian pada keuangan dan perekonomian negara (yang
mengurangi kemampuan pembangunan) dan "rusaknya moral" pada
(sebagian) warga negara. Hilangnya kepercayaan masyarakat pada hukum dan aparat
penegak hukum menimbulkan sinisme (mafia peradilan dan mafia hukum). Tetapi
untuk menentukan "sebab"-nya,
hingga dapat ditemukan "obat"nya tidaklah mudah. Pada satu pihak ada
pendapat (terutama dari kasus-kasus korupsi yang dibawa Polisi dan JPU ke
Pengadilan), bahwa hal ini disebabkan oleh keadaan sosial-ekonomi dari mereka
yang berpenghasilan rendah-menengah (obatnya: naikkan gaji PNS?). Tetapi
seperti terbukti dan perkara-perkara yang berhasil dibongkar KPK, korupsi
terjadi juga di kalangan yang hidup berkecukupan, malah mewah (dan mungkin hidup
mewah sekali), karena adanya keserakahan dan egoisme yang berlebihan.
Fenomena
korupsi yang coba dianalisa dengan
pendekatan "berbagai kausa" (multiple causes) mungkin
scara mudah dan sederhana dapat dibagi dalam tiga kategori "definisi korupsi", sebagai berikut: (a) market-centered
orientation, (b) public-interest-centered approach, dan (c) public-office-centered
perspective.[3] Secara
singkat dapat dikatakan bahwa dalam kategori pertama, koruptor itu berperilaku
sebagai pengusaha. Seorang pejabat
negara itu (public official) mempergunakan jabatannya tergantung pada
"pasar", yaitu "the supply of and demand for goverment
services that are needed by the clients". Jadi yang manifest di sini
adalah "economic rationality" dari korupsi (ingat korupsi BLBI
dan DPR) dan yang dilihat adalah sebab timbulnya korupsi.
Dalam
kategori kedua, maka pandangan
tentang korupsi ditujukan pada akibatnya bagi masyarakat. Pejabat yang korup di
sini memberi kemudahan (favours) dan keuntungan (rewards) yang
tidak semestinya. Karena itu dia telah melakukan diskriminasi dan ketidakadilan
serta merusak asas kepentingan umum
seluruh masyarakat yang harus dilayaninya. Masalah utama di sini sering
terletak pada arti atau penafsiran dari "kepentingan umum" (sering
dirancukan dengan kepentingan "golongan/partai" atau
"asal-daerah" atau "keluarga-besar").
Kategori
ketiga, tekanannya adalah pada pelanggaran norma kepatutan seorang
pejabat publik, yang dalam menduduki jabatannya wajib bersikap adil, jujur
melayani warga. Pelanggaran norma dilakukan untuk keuntungan pribadi dan di
sini kita berhadapan pada masalah "perilaku yang menyimpang" (deviant
behavior): norma mana yang "benar" dan mana yang
"salah"? Dilemanya adalah apakah mencukupi kebutuhan keluarga
(sandang-pangan, pendidikan) lebih penting (norma yang lebih kuat) ketimbang
bersikap adil dan jujur dalam melayani publik?
Di sini perilaku koruptif di definisikan sebagai telah melanggar
aturan-aturan formal (hukum positif) yang ditentukan oleh negara.
Mengapa pula kita bicarakan ketiga macam
pendekatan ini? Pertama, karena ini menunjukkan rumitnya pemahaman tentang fenomena korupsi
ini. Dalam negara seperti Indonesia (yang multi-kultural) memang tidak mudah menentukan apa yang
"benar" dan "salah" dari kacamata "pejabat publik"
(polisi, penuntut umum, hakim, dan pejabat-publik lainnya). Dari sini, kita
sampai pada alasan kedua, yaitu perlunya suatu "badan
independen". Suatu badan penangkal korupsi (seperti KPK) yang dapat
dipercaya untuk "bebas" dari tekanan-tekanan "politik"
(umumnya melalui kekuasaan: "political power" dan/atau "economic
power'') yang dapat menghanyutkan penegak hukum dan penegak keadilan
(hakim) ke arah "melindungi" koruptor-koruptor besar. Untuk saya
inilah yang sekarang harus dijadikan dasar untuk tetap menghendaki (tetap
merasa perlu) adanya suatu Komisi Independen, yang ditugaskan
"menanggulangi" masalah krisis korupsi yang sudah di
"wanti-wanti" Bung Hatta empat puluh tahun yang lalu, agar "korupsi jangan menjadi
budaya Indonesia".[4]
Masalah dalam budaya "ketimuran" kita ini adalah bahwa pemberian (gift,
hadiah) kepada orang yang dihormati itu adalah "biasa" (patut??).
makin hormat kita pada seseorang (orang tua, mertua, majikan, guru), maka
budaya meng"isyarat"-kan, makin besar pula harus pemberiannya. Hal
ini sering disalahgunakan pejabat-pejabat kita, untuk: mengharapkan, meminta,
menuntut dan malahan "memeras".
Jadi apa kesimpulannya? Menurut saya KPK memang diperlukan di Indonesia
dan juga pasangannya, yaitu Pengadilan khusus untuk kasus-kasus korupsi besar
dan rumit (Pengadilan Tipikor).[5]
Alasan-alasan mengapa diperlukan suatu pengadilan khusus, tidak jauh berbeda
dengan alasan perlunya KPK yang independen. Dengan segala hormat bagi kalangan pengadilan,
namun disaksikan bahwa selama masa Orde Baru dan juga sekarang, pengadilan kita
belum dapat dikatakan independen (suatu "independent judiciary"). Kecuali
itu, kasus-kasus korupsi itu sungguh "rumit", baik dari "gaya
dan corak" peristiwanya, maupun dari aspek pembuktiannya. Diperlukan
memang hakim-hakim yang tangguh dan terdidik, untuk memeriksa perkara korupsi
besar di Indonesia. Dan tentunya pula personil penyidik dan penuntut umum KPK
yang dapat menyidik dan mendakwa koruptor-koruptor yang "lihay". Namun, yang harus dijaga adalah jangan
lembaga ini menjadi Kopkamtib-baru (dengan
kekuasaan-luar-biasa) dan merasa menjadi “pahlawan anti-korupsi”. Mudah-mudahan-.
*Tulisan ini pertama kali dibuat pada 3 September 2009 kemudian direvisi pada 6 Juli 2015
[1] Meskipun tahun 1968 Hong Kong ingin meniru Singapura dengan membentuk
badan yang terlepas dari Kepolisian, namun hal ini ditentang oleh Kepolisian
Hong Kong, karena ingin mempromosikan unitnya yang dibentuk tahun 1952, yaitu
ACB (Anti-Corruption Branch). Lihat, Jeremiah K.H. Wong, "The
ICAC and Its Anti-corruption Measures" dalam Rance P.L. Lee (Editor),
1981, Corruption and Its Control in Hong
Kong, The Chinese University Press, hal. 45-51.
[2] Jadi ± 40 tahun
yang lalu "social awareness" tentang bahaya laten (ada, tetapi
belum nampak nyata) korupsi sudah dipunyai masyarakat kita, Lihat, Mardjono
Reksodiputro, 1994, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Lembaga
Kriminologi VI, hal 135.
[3] Rance P.L. Lee, op.cit, hal. 2-3, yang mengambilnya
dari Arnold J. Heidenheimer (Ed), 1970, Political Corruption : Readings in
Comparative Analysis, Holt, Rinehart and Winston, hal. 3-28.
[4] Dari pandangan Bung Hatta (menurut tafsiran saya ini), maka tekanannya
adalah "mendidik dan memobilisasi masyarakat agar anti-korupsi", ini
adalah tugas yang sering dilupakan KPK kita, disamping tugas represifnya dan
tugas preventifnya.
[5] Gagasan adanya
pengadilan khusus untuk kasus-kasus korupsi diintrodusirkan pertama kali di
Indonesia oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) dalam Diskusi Publik yang pertama
tahun 2000 di Jakarta. Hasil Diskusi Publik selama enam hari di Hotel Indonesia
itu, kemudian direkomendasikan kepada pemerintah (Presiden Abdurrahman Wahid).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar