Kamis, 14 November 2013

Perlukah Ada KPK (Yang Independen) ?*

Pengantar
Pertanyaan di atas sebagai judul dapat dianggap absurd (menggelikan dan tak masuk akal), namun saya ajukan karena rupanya pertanyaan ini sekarang masih menjadi debat dalan kalangan penegak hukum. Menurut saya ada beberapa alasan mengapa ada debat perlu tidaknya KPK. Beberapa kejadian akhir-akhir ini yang menyangkut Pimpinan KPK membuat publik juga mulai meyakini bahwa seperti juga dahulu Pengadilan Tipikor, sekarang giliran KPK untuk "digoyang".
Yang "kurang-terlihat" adalah adanya "konflik" antara penegak hukum konvensional (kepolisian dan kejaksaan) dengan penegak hukum non­konvensional ini (Penyidik dan Penuntut Umum KPK). Konflik ini menyangkut (seperti biasa) masalah kewenangan (baca: kekuasaan). Publik memang telah lama merasa bahwa pembentukan KPK dengan kewenangannya yang lebih luas dari yang dipunyai oleh Kepolisian dan Kejaksaan, serta peralatannya yang "canggih", telah menimbulkan sejumlah "gesekan", apalagi bilamana KPK dalam media massa di "jago" kan sebagai "pahlawan" pemberantasan korupsi. Yang kurang baik juga adalah dengan terus “mendengungkan” (terutama oleh media massa dan para aktivis), bahwa KPK dibentuk justru karena ketidakpercayaan publik kepada lembaga kepolisian dan kejaksaan.
Karena itu adalah sah-sah saja untuk bertanya "apa sebenamya Komisi Pemberantasan Korupsi itu?" dan "mengapa pula dibentuk serta apa tugasnya" . 

Sekelumit sejarah
Menurut pengetahuan saya ketika di Indonesia pemerintah Orde Baru melakukan usaha pertama untuk menanggulangi atau menangkal korupsi dengan membentuk Komisi-4, maka di Hong Kong juga sudah ada gerakan serupa dan mereka terkesan dengan usaha Singapura. Di Singapura waktu itu (1968) telah dibentuk dan bekerja suatu badan khusus yang independen bemama CPIB (Corrupt Practices Investigation Bureau), yang kemudian menjadi contoh dibentuknya di Hong Kong, badan independen bernama: ICAC (Independent Commission Agains Corruption), pada 15 Februari 1974.[1]
Komisi-4 di Indonesia didirikan untuk melaksanakan UU No.24/1960, yang merupakan UU Anti-Korupsi pertama untuk Indonesia (menggantikan Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957). Adapun anggotanya adalah: Dr. Mohammad Hatta (Ketua), Wilopo, SH, I.J. Kasimo, Prof. Ir. Johannes, dan Anwar Tjokroaminoto (KepPres No.13/1970). Semuanya adalah tokoh-tokoh politik nasional yang tidak tercela integritasnya. Untuk apa Komisi-4 ini? Menurut perkiraan saya adalah agar "krisis korupsi" yang diakui pada waktu itu, dapat diselesaikan secara hukum dengan "adil" dan "independen". Jadi masalah "independen" dalam pemberantasan korupsi sudah diakui perlunya di Indonesia dalam tahun 1970 (lebih dari 40 tahun yang lalu!). Masyarakat juga merespon usaha pemerintah ini antara lain dengan menyelenggarakan panel diskusi oleh Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia tanggal 10-12 Agustus 1970. Tokoh-tokoh pendidikan dan hukum yang berbicara antara lain: Prof. Oemar Seno Adji, Prof. Ismail Sunny, Lukman Wiriadinata, Yap Thiam Hien, Prof Emil Salim, Prof. Kuntjaraningrat dan Prof. Fuad Hasan.[2]
 
Mengapa perlu KPK
Karena itu mengapa kita sekarang seolah-olah ingin mundur empatpuluh tahun lagi? Diakui bahwa fenomena korupsi ini tidaklah sederhana. Perilaku ini termanifestasi (ada, dan jelas terlihat) ataupun berbentuk laten (ada, tetapi belum terlihat jelas) dalam berbagai gaya (style) dan dalam berbagai corak (pattern). Fenomena ini rumit (complex), baik dalam hal sebabnya, maupun dalam akibatnya. Akibatnya sudah sering didiskusikan, yaitu kerugian pada keuangan dan perekonomian negara (yang mengurangi kemampuan pembangunan) dan "rusaknya moral" pada (sebagian) warga negara. Hilangnya kepercayaan masyarakat pada hukum dan aparat penegak hukum menimbulkan sinisme (mafia peradilan dan mafia hukum). Tetapi untuk menentukan "sebab"-nya, hingga dapat ditemukan "obat"nya tidaklah mudah. Pada satu pihak ada pendapat (terutama dari kasus-kasus korupsi yang dibawa Polisi dan JPU ke Pengadilan), bahwa hal ini disebabkan oleh keadaan sosial-­ekonomi dari mereka yang berpenghasilan rendah-menengah (obatnya: naikkan gaji PNS?). Tetapi seperti terbukti dan perkara-perkara yang berhasil dibongkar KPK, korupsi terjadi juga di kalangan yang hidup berkecukupan, malah mewah (dan mungkin hidup mewah sekali), karena adanya keserakahan dan egoisme yang berlebihan.
Fenomena korupsi yang coba dianalisa dengan pendekatan "berbagai kausa" (multiple causes) mungkin scara mudah dan sederhana dapat dibagi dalam tiga kategori "definisi korupsi", sebagai berikut: (a) market-centered orientation, (b) public-interest-centered approach, dan (c) public-office-­centered perspective.[3] Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam kategori pertama, koruptor itu berperilaku sebagai pengusaha. Seorang pejabat negara itu (public official) mempergunakan jabatannya tergantung pada "pasar", yaitu "the supply of and demand for goverment services that are needed by the clients". Jadi yang manifest di sini adalah "economic rationality" dari korupsi (ingat korupsi BLBI dan DPR) dan yang dilihat adalah sebab timbulnya korupsi.
Dalam kategori kedua, maka pandangan tentang korupsi ditujukan pada akibatnya bagi masyarakat. Pejabat yang korup di sini memberi kemudahan (favours) dan keuntungan (rewards) yang tidak semestinya. Karena itu dia telah melakukan diskriminasi dan ketidakadilan serta merusak asas kepentingan umum seluruh masyarakat yang harus dilayaninya. Masalah utama di sini sering terletak pada arti atau penafsiran dari "kepentingan umum" (sering dirancukan dengan kepentingan "golongan/partai" atau "asal-daerah" atau "keluarga-besar").
Kategori ketiga, tekanannya adalah pada pelanggaran norma kepatutan seorang pejabat publik, yang dalam menduduki jabatannya wajib bersikap adil, jujur melayani warga. Pelanggaran norma dilakukan untuk keuntungan pribadi dan di sini kita berhadapan pada masalah "perilaku yang menyimpang" (deviant behavior): norma mana yang "benar" dan mana yang "salah"? Dilemanya adalah apakah mencukupi kebutuhan keluarga (sandang-pangan, pendidikan) lebih penting (norma yang lebih kuat) ketimbang bersikap adil dan jujur dalam melayani publik?  Di sini perilaku koruptif di definisikan sebagai telah melanggar aturan-aturan formal (hukum positif) yang ditentukan oleh negara. 

Mengapa pula kita bicarakan ketiga macam pendekatan ini? Pertama, karena ini menunjukkan rumitnya pemahaman tentang fenomena korupsi ini. Dalam negara seperti Indonesia (yang multi-kultural) memang tidak mudah menentukan apa yang "benar" dan "salah" dari kacamata "pejabat publik" (polisi, penuntut umum, hakim, dan pejabat-publik lainnya). Dari sini, kita sampai pada alasan kedua, yaitu perlunya suatu "badan independen". Suatu badan penangkal korupsi (seperti KPK) yang dapat dipercaya untuk "bebas" dari tekanan-tekanan "politik" (umumnya melalui kekuasaan: "political power" dan/atau "economic power'') yang dapat menghanyutkan penegak hukum dan penegak keadilan (hakim) ke arah "melindungi" koruptor-koruptor besar. Untuk saya inilah yang sekarang harus dijadikan dasar untuk tetap menghendaki (tetap merasa perlu) adanya suatu Komisi Independen, yang ditugaskan "menanggulangi" masalah krisis korupsi yang sudah di "wanti-wanti" Bung Hatta empat puluh tahun yang lalu, agar "korupsi jangan menjadi budaya Indonesia".[4] Masalah dalam budaya "ketimuran" kita ini adalah bahwa pemberian (gift, hadiah) kepada orang yang dihormati itu adalah "biasa" (patut??). makin hormat kita pada seseorang (orang tua, mertua, majikan, guru), maka budaya meng­"isyarat"-kan, makin besar pula harus pemberiannya. Hal ini sering disalahgunakan pejabat-pejabat kita, untuk: mengharapkan, meminta, menuntut dan malahan "memeras".

Jadi apa kesimpulannya? Menurut saya KPK memang diperlukan di Indonesia dan juga pasangannya, yaitu Pengadilan khusus untuk kasus­-kasus korupsi besar dan rumit (Pengadilan Tipikor).[5] Alasan-alasan mengapa diperlukan suatu pengadilan khusus, tidak jauh berbeda dengan alasan perlunya KPK yang independen. Dengan segala hormat bagi kalangan pengadilan, namun disaksikan bahwa selama masa Orde Baru dan juga sekarang, pengadilan kita belum dapat dikatakan independen (suatu "independent judiciary"). Kecuali itu, kasus-kasus korupsi itu sungguh "rumit", baik dari "gaya dan corak" peristiwanya, maupun dari aspek pembuktiannya. Diperlukan memang hakim-hakim yang tangguh dan terdidik, untuk memeriksa perkara korupsi besar di Indonesia. Dan tentunya pula personil penyidik dan penuntut umum KPK yang dapat menyidik dan mendakwa koruptor-koruptor yang "lihay". Namun, yang harus dijaga adalah jangan lembaga ini menjadi Kopkamtib-baru (dengan kekuasaan-luar-biasa)  dan merasa menjadi “pahlawan anti-korupsi”. Mudah-mudahan-.
 
*Tulisan ini pertama kali dibuat pada 3 September 2009 kemudian direvisi pada 6 Juli 2015


[1] Meskipun tahun 1968 Hong Kong ingin meniru Singapura dengan membentuk badan yang terlepas dari Kepolisian, namun hal ini ditentang oleh Kepolisian Hong Kong, karena ingin mempromosikan unitnya yang dibentuk tahun 1952, yaitu ACB (Anti-Corruption Branch). Lihat, Jeremiah K.H. Wong, "The ICAC and Its Anti-corruption Measures" dalam Rance P.L. Lee (Editor), 1981, Corruption and Its Control in Hong Kong, The Chinese University Press, hal. 45-51.
[2] Jadi ± 40 tahun yang lalu "social awareness" tentang bahaya laten (ada, tetapi belum nampak nyata) korupsi sudah dipunyai masyarakat kita, Lihat, Mardjono Reksodiputro, 1994, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Lembaga Kriminologi VI, hal 135.
[3] Rance P.L. Lee, op.cit, hal. 2-3, yang mengambilnya dari Arnold J. Heidenheimer (Ed), 1970, Political Corruption : Readings in Comparative Analysis, Holt, Rinehart and Winston, hal. 3-28.
[4] Dari pandangan Bung Hatta (menurut tafsiran saya ini), maka tekanannya adalah "mendidik dan memobilisasi masyarakat agar anti-korupsi", ini adalah tugas yang sering dilupakan KPK kita, disamping tugas represifnya dan tugas preventifnya.
[5] Gagasan adanya pengadilan khusus untuk kasus-kasus korupsi diintrodusirkan pertama kali di Indonesia oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) dalam Diskusi Publik yang pertama tahun 2000 di Jakarta. Hasil Diskusi Publik selama enam hari di Hotel Indonesia itu, kemudian direkomendasikan kepada pemerintah (Presiden Abdurrahman Wahid).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar