Pendahuluan
Dalam
rangka HUT DRC, saya ingin menyumbang beberapa catatan sementara saya tentang
suatu permasalahan hukum yang menarik untuk disimak dan mungkin diteliti lebih
lanjut, maknanya untuk pembentukan hukum pidana nasional di Indonesia. Saya
ingin menyampaikan selamat HUT pada DRC, sebuah pusat penelitian hukum yang
ingin mengabadikan dekan fakultas hukum UI yang pertama (Prof Djokosoetono,SH
1950 – 1962) yang patungnya dapat dilihat di muka gedung FHUI di Kampus Depok.
Apa permasalahan hukumnya ?
Seperti
dapat kita lihat bersama dari siaran media pers, maka saat ini ada ambivalensi dalam kita memandang pidana
mati. Pada satu pihak ada pendapat bahwa, kalaupun pidana mati masih akan
diterapkan di Indonesia, pidana ini merupakan “pidana khusus”[1]
Kekhususan pidana mati ini adalah, bahwa tempatnya bukan lagi sebagai pidana
pokok yang paling berat dan bahwa penerapannya akan dilakukan secara sangat
hati-hati dan hanya pada kejahatan yang mengancam keselamatan Negara (seperti
Terorisme dan Pemberontakan Bersenjata) atau dengan telah memberi kesempatan
yang cukup bagi terpidana yang melakukan kejahatan yang sangat meresahkan
masyarakat untuk memohon pengampunan atas perbuatannya kepada Presiden. Sesuai
konstitusi kita, maka Presiden mendapat hak prerogatif untuk memberi pengampunan/grasi
kepada seorang terpidana. Pendapat di atas adalah juga pendapat saya sebagai
warganegara dan sebagai akademisi.
Ambivalensi
yang saya maksud adalah pendapat bahwa grasi yang diberikan oleh Presiden
kepada seorang warganegara Indonesia terpidana kejahatan narkoba yang dipidana
mati oleh pengadilan kita, ditentang dan menjadi polemik yang berkepanjangan dalam
masyarakat, termasuk oleh Ketua Mahkamah Konstitusi[2].Tetapi
ambivalensi yang berbeda lagi, juga
terlihat dengan kerasnya protes masyarakat terhadap warganegara Indonesia yang
di pidana mati di luar negeri. Mereka menginginkan bahwa pemerintah Indonesia
berusaha keras untuk meminta pengampunan secara hukum (grasi) dari pemerintah negara
yang bersangkutan.Pada satu pihak menentang grasi yang diberikan oleh presiden
kita, tetapi di pihak lain meminta kepala negara asing memberi grasi untuk orang Indonesia yang
dipidana mati oleh pengadilan asing. Ambivalensi ini terlihat juga di media
massa dan dipergunakan para pejabat/politisi untuk menarik perhatian diri (pencitraan)
menjelang Pemilu 2014.
Beberapa pertanyaan hukum
1)Bagaimana
kedudukan hukum pidana mati di Indonesia ?
2)Bagaimana
kedudukan hak prerogatif Presiden dalam memberi Grasi ?
3)Apabila
pidana mati adalah bagian dari hukum positif kita, bagaimana sebaiknya: ancaman
pidana mati – sebagai alternatif dengan pidana lain ataukah tanpa alternatif ?
Kedudukan hukum pidana mati
Hukum
positif Indonesia masih menerima pidana mati itu dalam peraturan
perundangan-undangan kita. Konsep Rancangan KUHP pun (setahu saya konsep versi
tahun 2008 ) masih menjadikan pidana
mati sebagai pidana khusus. Namun, bila kita melihat kepada UUD/Konstitusi
kita, maka dapat ditafsirkan bahwa pidana mati itu bertentangan dengan
konstitusi.[3]
Usaha untuk memohon kepada Mahkamah Konstitusi kita, menyatakan pidana mati itu
bertentangan dengan konstitusi pernah ditolak.[4]
Debat hukum
tentang pidana mati ini tidak hanya ada di Indonesia, tetap diseluruh dunia. Pada
satu pihak dikatakan bahwa pidana ini bertentangan dengan asas hak asasi manusia yang melindungi jiwa
manusia. Akan tetapi dikatakan pula, bahwa pidana ini masih diperlukan untuk
melindungi masyarakat terhadap ancaman kejahatan yang sangat serius atau keji, Jalan tengah yang biasa diambil adalah tetap mempertahankan pidana mati dalam
hukum positif, namun hampir tidak pernah menjatuhkan putusan pidana mati atau
kalaupun terjadi memberi terpidana grasi.
Alasan-alasan
untuk tetap mempertahankan pidana mati adalah antara lain sebagai berikut : dikatakan
bahwa kejahatan dapat dicegah maupun dikurangi dalam masyarakat, hanya dengan pidana yang berat (a.l
pidana mati). Untuk kejahatan narkoba dan pembunuhan contohnya adalah negara
tetangga kita Singapura dan Malaysia. Malahan untuk kejahatan narkoba mereka mengancam
pidana mati tanpa alternatif (mandatory
death penalty). Pendekatan seperti ini adalah memang pandangan mashab klasik, yang berasumsi bahwa manusia itu “bebas
dalam memilih” (melakukan kejahatan atau tidak) dan “bersifat hedonis” (akan
menolak kejahatan dengan ancaman pidana berat/mati).[5] Pendapat yang mirip mengatakan “apa
artinya menghukum mati beberapa orang, untuk menyelamatkan ribuan orang menjadi
korban”.Suatu problema moral yang dilematis. Dan dari segi hukum sering
dikatakan bahwa “isyu pidana mati (sebagai isyu HAM) adalah isyu kedaulatan hukum
masing-masing negara, dan harus diserahkan kepada setiap pemerintahan negara
untuk mencari keseimbangan antara hak-hak individu yang bersaing dengan hak-hak
kolektivitas”. Pada saat ini tidak ada konsensus internasional tentang apakah
pidana mati harus dihapus selamanya.
Penelitian
yang menarik untuk DRC adalah
mempertanyakan ambivalensi masyarakat Indonesia tentang pidana-mati ini, dan
bagaimana sikap komunitas hukum kita? Dengan masih banyaknya pra-sangka dan
kecurigaan terhadap kejujuran sistem peradilan pidana kita[6], apakah
kita dapat diyakinkan terhadap usaha SPP Terpadu untuk meminimalisasi “peradilan
sesat” (miscarriage of justice)?
Mengapa organisasi profesi hukum tidak tertarik untuk membicarakan hal ini ?
Bagaimana “hati-nurani” kita?
Tentang hak prerogatif Presiden
Dalam Undang-undang
No 5/2010 (yang merubah UU No 22/2002) tentang Grasi, dikatakan bahwa Presiden
memberikan pengampunan ini untuk “menegakkan keadilan hakiki dan hak asasi
manusia”. Kewenangan dalan undang-undang ini berasal dari Konstitusi kita pasal
14 yang menyatakan: (1)Presiden memberi
grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan Mahkamah Agung. Menurut saya
dalam pengertian “menegakkan keadilan dan HAM” terkandung pula pemahaman bahwa apabila
pengadilan menjatuhkan pidana-mati, maka hal ini belum dapat dieksekusi sebelum
Presiden diberi kesempatan untuk memberi pengampunan. Inilah yan dinamakan hak
prerogatif dari seorang Kepala Negara[7]. Hak
semacam ini ada di semua negara demokratis serta dapat dibedakan antara Pardon dan Clemency (kejahatan dimaafkan dan pidana dibatalkan) – serta Commutation dan Remission (mengurangi
pidana, tanpa menghapus sifat jahat perbuatannya). Sedangkan Reprieve adalah penangguhan hukuman,
biasanya pidana-mati, karena sedang menunggu keputusan grasi. Kesempatan
Presiden memberi grasi adalah wewenang konstitusional, sehingga sangat
mengherankan bahwa wewenang ini ditentang (a.l oleh Ketua Mahkamah
Konstitusi dan juga Anggota Legislatif),
malah ada ahli hukum tatanegara yang beranggapan bahwa sebaiknya Presiden
membatalkan putusan pemberian grasi ini. Dapatkah ? Semua ini membingungkan
perkembangan hukum di Indonesia. Bagaimana pengertian kita tentang kepastian
hukum?[8]
Adalah
menarik bilamana DRC mau melaksanakan
penelitian tentang hal ini ! Apa artinya fakta sejarah kita bahwa hak
prerogatif Presiden memberi grasi ini telah dicantumkan dalam ke-4 konstitusi
kita: UUD 1945, Konstitusi RIS 1950, UUDasar Sementara 1950 (-1959) dan UUD
1945 dengan Perubahan Ke-1 (1999), Ke-2 (2000), Ke-3 (2001) dan Ke-4 (2002). Apakah
hak prerogatif ini dapat “digugat” (dilawan secara politik dan/atau hukum) ?
Dapatkah seorang Hakim (Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Pengadilan
Tinggi/Negeri) memberi komentar atas suatu kebijakan hukum oleh Kepala Negara
yang wewenangnya diberikan oleh konstitusi ? Apa implikasi komentar semacam ini?
Bagaimanakah akibatnya pada kepastian hukum ?
Ancaman pidana mati – wajib (mandatory) ataukah alternatif ?
Di
Singapura dan Malaysia seseorang yang ketahuan menguasai (found in possession of) lebih dari sejumlah tertentu narkoba
ataupun memproduksi (manufacturing)
narkoba, wajib dipidana mati (receives a mandatory death sentence). Di
Indonesia ancaman pidana mati selalu dicantumkan dengan alternatif, misalnya
pidana penjara seumur hidup ataupun penjara 15 tahun. Namun, di Indonesia kita
juga mengenal pidana minimum-khusus untuk beberapa tindak pidana tertentu,
disamping adanya pidana minimum-umum satu hari.
Umumnya
pidana mati diancamkam untuk kejahatan yang dianggap sebagai sangat serius,
baik perbuatannya ataupun akibatnya. Perbuatan membunuh manusia dengan
berencana, mencoba membunuh Kepala Negara, melakukan pengkhianatan (treason), termasuk kategori perbuatan
serius yang di banyak negara diancam pidana mati. Dalam hal tindak pidana yang
terkait dengan narkoba, maka pada dasarnya pidana mati diancam untuk para
pemasok (supplier) dan para penggedar
(distributor), sedangkan para
pengguna/mereka yang “kecanduan” diancam pidana penjara tertentu atau pidana
kewajiban untuk mengikuti program rehabilitasi/pengobatan melepas “kecanduan”. Di
Indonesia belum pernah ada “pemasok atau penggedar besar” yang dibawa ke
Pengadilan. Seperti juga pada judi dan manipulasi pajak “bos-besar” dan “penyandang-dana” selalu diluar jangkauan aparat penegak hukum
kita.
Seorang
hakim dapat dikatakan menjalankan tiga macam peranan, yaitu: menegakkan norma
(dengan menafsirkan keadilan), membuat hukum (dengan mengubah penafsiran lama
ke arah pembaruan) dan menjadi administrator (dengan mengawasi dijalankannya
putusannya). Kadang-kadang dia dipaksa juga berperan sebagai politikus (dengan
mengikuti keinginan publik sewaktu-waktu).Mengenai hal yang terakhir ini (opini
publik),seorang sarjana hukum Belanda M.P Vrij mengajukan teori subsosialnya
tentang akibat suatu kejahatan, yang
berpengaruh pada politik pemidanaan, yaitu:1)dorongan mengulangi dari pelaku (misalnya, pelaku kejahatan narkoba), 2)rasa
tidak puas korban(misalnya, publik) ,
3)keinginan meniru oleh pihak ketiga(misalnya,
pelaku potensial), dan 4)rasa kecewa pihak keempat (misalnya, keluarga korban dan keluarga pelaku). Adapun fungsi
penghukuman adalah mengatasi kemungkinan terjadi gejolak sosial akibat tindak
pidana tersebut.[9]
Apakah pidana mati solusinya ?
Politik
kriminal (criminal policy) di
Indonesia tidak mengenal ancaman pidana mutlak, pidana tanpa alternatif (mandatory punishment). Konsep
Rancangan KUHPidana yang diserahkan kepada Pemerintah tahun 1993,malahan
menganjurkan agar diperbanyak pidana dengan alternatif, terutama alternatif
denda, karena adalah “rahasia-umum” bahwa konsep pemasyarakatan narapidana di
Indonesia telah lama gagal. Lembaga yang dimaksudkan untuk membina narapidana
kembali ke masyarakat sebagai warga yang akan taat hukum, telah berubah menjadi
lembaga yang memberi pengalaman penderitaan-pahit bagi narapidana dan
keluarganya (terutama bagi mereka dari kalangan ekonomi lemah, dengan banyaknya
“biaya-siluman” yang harus disediakan) serta menjadi “sekolah tinggi
kejahatan”, bagi para pemula.
Dengan
ancang-ancang pendekatan di atas ini, apakah DRC tidak tertarik untuk mengkaji sistem pemidanaan di Indonesia
dewasa ini dengan membandingkannya dengan sistem yang disarankan oleh Konsep
Rancangan KUHPidana versi ke-1 (asli – 1993) ? Suatu sistem hukum pidana
materiil dan formil (substantive and
procedural criminal law) suatu negara hanyalah dapat dianggap efektif
mencapai sasarannya, kalau sistem pemidanaannya dianggap adil dan beradab serta
didukung oleh masyarakat negara tersebut.
Penutup
Pada akhir
karangan ini saya ingin juga menyampaikan sedikit sejarah tentang Prof
Djokosotoeno yang saya kenal semasa saya menjadi mahasiswa. Sungguh sangat
cocok untuk menamakan suatu lembaga peneilitian dan pengkajian hukum dengan
nama “Djokosoetono”. Saya mengikuti perkuliahan beliau sejak masuk Fakultas
Hukum dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat (FH-IPK) UI tahun 1955, yaitu untuk
matakuliah: Ilmu Negara, Hukum Tatanegara, dan Filsafat Hukum (saya lulus tahun
1961). Kesan saya, banyak sekali bahan bacaan asing yang beliau sampaikan,
dalam kuliah maupun ujian lisan, sambil mengkritik dan mengkomentari suasana
ketatanegaraan kita pada tahun-tahun itu. Sayangnya beliau tidak pernah
menuliskan pemikiran beliau. Lulus tahun 1938 dari Rechtshogeschool (RH) di Batavia dan kemudian diangkat menjadi
Asisten (1938-1942), menandakan beliau memang lulusan pilihan RH.[10] Pengabdiannya
pada ilmu hukum tercatat a.l sebagai dekan FH-IPK pertama (1950-1958) dengan
Panitera Prof. Dr.mr.Hazairin, dan kemudian (1958-1962) dengan Wakil Dekan
Prof.mr.Soebekti dan Panitera Prof.mr.Soejono Hadinoto Joedonegoro. Asisten
didikan beliau yang terkenal adalah
antara lain Prof.Padmo Wahjono,SH, Prof.Dr.Ismail Suny,SH dan Prof.Dr.Harun Al
Rasid, SH. Semoga DRC dengan tenaga
muda pilihan sekarang ini, dapat meneruskan cita-cita Prof.Djokosoetono untuk
memajukan ilmu hukum di Indonesia.
-00O00-
*Tulisan ini disampaikan pada HUT Djokosoetono Research Center (DRC) 5 Desember 2012.
[1] Lihat Konsep Rancangan KUHP Nasonal yang pernah diserahkan kepada
Menteri Kehakiman Ismail Saleh SH,, pada akhir masa jabatan beliau Maret 1993.Untuk
diserahkan kepada Menteri Kehakiman berikutnya Oetojo Oesman SH, dengan Dirjen
Hukum dan Perundang-undangan Prof.Dr.Bagir Manan,SH
[2] Hal ini menarik karena dapat ditafsirkan bahwa Ketua MK ataupun lembaga
MK menyangsikan hak prerogatif ini, yang diberikan oleh Pasal 14 UUD kita.
[3] Lihat pasal 28A:Setiap orang
berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya; dan
pasal 28I: Hak untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa, … adalah hak asasi manisia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apa pun.
[4] Terkait uasah kita menyelamatkan orang Indonesia dari pidana mati
di Malaysia, ingat bagaimana tahun 1995 timbul ketegangan diplomatik antara
Filipina dengan Singapura, karena eksekusi pidana mati seorang pekerja-migran
Filipina Flor Contemplacion, yang dipidana karena pembunuhan.
[5] Dua mashab lain yang menentang adalah Mashab Positivis (ada banyak
faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku manusia) dan Mashab Kritis (apa yang merupakan
kejahatan yang perlu pidana berat,tergantung pada siapa yang berkuasa dan
merasa kepentingannya terancam). Baik Singapura maupun Malaysia tidak dapat
membuktikan bahwa kejahatan narkoba di masyarakat mereka berkurang.
[6] Terutama dalam hal penangkapan dan penahanan serta pencarian alat
bukti, biasanya pada tersangka “street
crimes” ,sering banyak terjadi
manipulasi yang sering berujung kepada pemerasan tersangka dan keluarganya.
Tahap pra ad-yudikasi, ad-yudikasi dan purna ad-yudikasi SPP Indonesia masih
mengandung banyak masalah.
[7] Pasal serupa adalah juga pasal 107 (1) UUDasar Sementara RI dan
pasal 160 (1) Konstitusi RIS. Dalam sejarah pengertian prerogative orders di Inggris, dikatakan: “they were originally the means whereby Sovereigns controlled the
operation of their officials … and to such people that powers are delegated”.
[8] Ingat dan pertimbangkan juga
JPU yang merasa berhak mengajukan Kasasi atas keputusan bebas terdakwa, karena
KUHAP tidak mencantumkan larangan. Mengajukan PK berkali-kali oleh Terpidana
dan JPU, serta pengajuan bersamaan PK dan Grasi oleh Terpidana/Advokatnya.
[9] Lihat Mardjono Reksodiputro,2009,Menyelaraskan Pembaruan Hukum,Jakarta:KHN, hal.5-7
[10] Lihat A.W.H. Massier,2003, Van Recht naar Hukum-Indonesische juristen
en hun taal 1915-2000, Disertasi Doktor di Universiteit Leiden, 11
September 2003, hal.125,152,156-157,164,180.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar