Kamis, 07 November 2013

Ambivalensi dan Ketidakpastian Hukum*



Pendahuluan

Dalam rangka HUT DRC, saya ingin menyumbang beberapa catatan sementara saya tentang suatu permasalahan hukum yang menarik untuk disimak dan mungkin diteliti lebih lanjut, maknanya untuk pembentukan hukum pidana nasional di Indonesia. Saya ingin menyampaikan selamat HUT pada DRC, sebuah pusat penelitian hukum yang ingin mengabadikan dekan fakultas hukum UI yang pertama (Prof Djokosoetono,SH 1950 – 1962) yang patungnya dapat dilihat di muka gedung FHUI di Kampus Depok.

Apa permasalahan hukumnya ?
Seperti dapat kita lihat bersama dari siaran media pers, maka saat ini ada ambivalensi dalam kita memandang pidana mati. Pada satu pihak ada pendapat bahwa, kalaupun pidana mati masih akan diterapkan di Indonesia, pidana ini merupakan “pidana khusus”[1] Kekhususan pidana mati ini adalah, bahwa tempatnya bukan lagi sebagai pidana pokok yang paling berat dan bahwa penerapannya akan dilakukan secara sangat hati-hati dan hanya pada kejahatan yang mengancam keselamatan Negara (seperti Terorisme dan Pemberontakan Bersenjata) atau dengan telah memberi kesempatan yang cukup bagi terpidana yang melakukan kejahatan yang sangat meresahkan masyarakat untuk memohon pengampunan atas perbuatannya kepada Presiden. Sesuai konstitusi kita, maka Presiden mendapat hak prerogatif untuk memberi pengampunan/grasi kepada seorang terpidana. Pendapat di atas adalah juga pendapat saya sebagai warganegara dan sebagai akademisi.

Ambivalensi yang saya maksud adalah pendapat bahwa grasi yang diberikan oleh Presiden kepada seorang warganegara Indonesia terpidana kejahatan narkoba yang dipidana mati oleh pengadilan kita, ditentang dan  menjadi polemik yang berkepanjangan dalam masyarakat, termasuk oleh Ketua Mahkamah Konstitusi[2].Tetapi ambivalensi yang berbeda lagi,  juga terlihat dengan kerasnya protes masyarakat terhadap warganegara Indonesia yang di pidana mati di luar negeri. Mereka menginginkan bahwa pemerintah Indonesia berusaha keras untuk meminta pengampunan secara hukum (grasi) dari pemerintah negara yang bersangkutan.Pada satu pihak menentang grasi yang diberikan oleh presiden kita, tetapi di pihak lain meminta kepala negara asing  memberi grasi untuk orang Indonesia yang dipidana mati oleh pengadilan asing. Ambivalensi ini terlihat juga di media massa dan dipergunakan para pejabat/politisi untuk menarik perhatian diri (pencitraan) menjelang Pemilu 2014.

Beberapa pertanyaan hukum
1)Bagaimana kedudukan hukum pidana mati di Indonesia ?
2)Bagaimana kedudukan hak prerogatif Presiden dalam memberi Grasi ?
3)Apabila pidana mati adalah bagian dari hukum positif kita, bagaimana sebaiknya: ancaman pidana mati – sebagai alternatif dengan pidana lain ataukah tanpa alternatif ?

Kedudukan  hukum pidana mati
Hukum positif Indonesia masih menerima pidana mati itu dalam peraturan perundangan-undangan kita. Konsep Rancangan KUHP pun (setahu saya konsep versi tahun  2008 ) masih menjadikan pidana mati sebagai pidana khusus. Namun, bila kita melihat kepada UUD/Konstitusi kita, maka dapat ditafsirkan bahwa pidana mati itu bertentangan dengan konstitusi.[3] Usaha untuk memohon kepada Mahkamah Konstitusi kita, menyatakan pidana mati itu bertentangan dengan konstitusi pernah ditolak.[4]

Debat hukum tentang pidana mati ini tidak hanya ada di Indonesia, tetap diseluruh dunia. Pada satu pihak dikatakan bahwa pidana ini bertentangan dengan asas  hak asasi manusia yang melindungi jiwa manusia. Akan tetapi dikatakan pula, bahwa pidana ini masih diperlukan untuk melindungi masyarakat terhadap ancaman kejahatan yang sangat serius atau keji, Jalan tengah yang biasa diambil adalah tetap mempertahankan pidana mati dalam hukum positif, namun hampir tidak pernah menjatuhkan putusan pidana mati atau kalaupun terjadi memberi terpidana grasi.

Alasan-alasan untuk tetap mempertahankan pidana mati adalah antara lain sebagai berikut : dikatakan bahwa kejahatan dapat dicegah maupun dikurangi dalam masyarakat, hanya dengan pidana yang berat (a.l pidana mati). Untuk kejahatan narkoba dan pembunuhan contohnya adalah negara tetangga kita Singapura dan Malaysia. Malahan untuk kejahatan narkoba mereka mengancam pidana mati tanpa alternatif (mandatory death penalty). Pendekatan seperti ini adalah memang pandangan mashab klasik, yang berasumsi bahwa manusia itu “bebas dalam memilih” (melakukan kejahatan atau tidak) dan “bersifat hedonis” (akan menolak kejahatan dengan ancaman pidana berat/mati).[5] Pendapat yang mirip mengatakan “apa artinya menghukum mati beberapa orang, untuk menyelamatkan ribuan orang menjadi korban”.Suatu problema moral yang dilematis. Dan dari segi hukum sering dikatakan bahwa “isyu pidana mati (sebagai isyu HAM) adalah isyu kedaulatan hukum masing-masing negara, dan harus diserahkan kepada setiap pemerintahan negara untuk mencari keseimbangan antara hak-hak individu yang bersaing dengan hak-hak kolektivitas”. Pada saat ini tidak ada konsensus internasional tentang apakah pidana mati harus dihapus selamanya.

Penelitian yang menarik untuk DRC adalah mempertanyakan ambivalensi masyarakat Indonesia tentang pidana-mati ini, dan bagaimana sikap komunitas hukum kita? Dengan masih banyaknya pra-sangka dan kecurigaan terhadap kejujuran sistem peradilan pidana kita[6], apakah kita dapat diyakinkan terhadap usaha SPP Terpadu untuk meminimalisasi “peradilan sesat” (miscarriage of justice)? Mengapa organisasi profesi hukum tidak tertarik untuk membicarakan hal ini ? Bagaimana “hati-nurani” kita?

Tentang hak prerogatif Presiden
Dalam Undang-undang No 5/2010 (yang merubah UU No 22/2002) tentang Grasi, dikatakan bahwa Presiden memberikan pengampunan ini untuk “menegakkan keadilan hakiki dan hak asasi manusia”. Kewenangan dalan undang-undang ini berasal dari Konstitusi kita pasal 14 yang menyatakan: (1)Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan Mahkamah Agung. Menurut saya dalam pengertian “menegakkan keadilan dan HAM”  terkandung pula pemahaman bahwa apabila pengadilan menjatuhkan pidana-mati, maka hal ini belum dapat dieksekusi sebelum Presiden diberi kesempatan untuk memberi pengampunan. Inilah yan dinamakan hak prerogatif dari seorang Kepala Negara[7]. Hak semacam ini ada di semua negara demokratis serta dapat dibedakan antara Pardon dan Clemency (kejahatan dimaafkan dan pidana dibatalkan) – serta Commutation dan  Remission (mengurangi pidana, tanpa menghapus sifat jahat perbuatannya). Sedangkan Reprieve adalah penangguhan hukuman, biasanya pidana-mati, karena sedang menunggu keputusan grasi. Kesempatan Presiden memberi grasi adalah wewenang konstitusional, sehingga sangat mengherankan bahwa wewenang ini ditentang (a.l oleh Ketua Mahkamah Konstitusi  dan juga Anggota Legislatif), malah ada ahli hukum tatanegara yang beranggapan bahwa sebaiknya Presiden membatalkan putusan pemberian grasi ini. Dapatkah ? Semua ini membingungkan perkembangan hukum di Indonesia. Bagaimana pengertian kita tentang kepastian hukum?[8]

Adalah menarik bilamana DRC mau melaksanakan penelitian tentang hal ini ! Apa artinya fakta sejarah kita bahwa hak prerogatif Presiden memberi grasi ini telah dicantumkan dalam ke-4 konstitusi kita: UUD 1945, Konstitusi RIS 1950, UUDasar Sementara 1950 (-1959) dan UUD 1945 dengan Perubahan Ke-1 (1999), Ke-2 (2000), Ke-3 (2001) dan Ke-4 (2002). Apakah hak prerogatif ini dapat “digugat” (dilawan secara politik dan/atau hukum) ? Dapatkah seorang Hakim (Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi/Negeri) memberi komentar atas suatu kebijakan hukum oleh Kepala Negara yang wewenangnya diberikan oleh konstitusi ? Apa implikasi komentar semacam ini? Bagaimanakah akibatnya pada kepastian hukum ?


Ancaman pidana mati – wajib (mandatory)  ataukah alternatif ?
Di Singapura dan Malaysia seseorang yang ketahuan menguasai (found in possession of) lebih dari sejumlah tertentu narkoba ataupun memproduksi (manufacturing) narkoba,  wajib dipidana mati (receives a mandatory death sentence). Di Indonesia ancaman pidana mati selalu dicantumkan dengan alternatif, misalnya pidana penjara seumur hidup ataupun penjara 15 tahun. Namun, di Indonesia kita juga mengenal pidana minimum-khusus untuk beberapa tindak pidana tertentu, disamping adanya pidana minimum-umum satu hari.

Umumnya pidana mati diancamkam untuk kejahatan yang dianggap sebagai sangat serius, baik perbuatannya ataupun akibatnya. Perbuatan membunuh manusia dengan berencana, mencoba membunuh Kepala Negara, melakukan pengkhianatan (treason), termasuk kategori perbuatan serius yang di banyak negara diancam pidana mati. Dalam hal tindak pidana yang terkait dengan narkoba, maka pada dasarnya pidana mati diancam untuk para pemasok (supplier) dan para penggedar (distributor), sedangkan para pengguna/mereka yang “kecanduan” diancam pidana penjara tertentu atau pidana kewajiban untuk mengikuti program rehabilitasi/pengobatan melepas “kecanduan”. Di Indonesia belum pernah ada “pemasok atau penggedar besar” yang dibawa ke Pengadilan. Seperti juga pada judi dan manipulasi pajak “bos-besar” dan “penyandang-dana”  selalu diluar jangkauan aparat penegak hukum kita.

Seorang hakim dapat dikatakan menjalankan tiga macam peranan, yaitu: menegakkan norma (dengan menafsirkan keadilan), membuat hukum (dengan mengubah penafsiran lama ke arah pembaruan) dan menjadi administrator (dengan mengawasi dijalankannya putusannya). Kadang-kadang dia dipaksa juga berperan sebagai politikus (dengan mengikuti keinginan publik sewaktu-waktu).Mengenai hal yang terakhir ini (opini publik),seorang sarjana hukum Belanda M.P Vrij mengajukan teori subsosialnya tentang akibat  suatu kejahatan, yang berpengaruh pada politik pemidanaan, yaitu:1)dorongan mengulangi dari pelaku (misalnya, pelaku kejahatan narkoba), 2)rasa tidak puas korban(misalnya, publik) , 3)keinginan meniru oleh pihak ketiga(misalnya, pelaku potensial), dan 4)rasa kecewa pihak keempat (misalnya, keluarga korban dan keluarga pelaku). Adapun fungsi penghukuman adalah mengatasi kemungkinan terjadi gejolak sosial akibat tindak pidana tersebut.[9] Apakah pidana mati solusinya ?

Politik kriminal (criminal policy) di Indonesia tidak mengenal ancaman pidana mutlak, pidana tanpa alternatif (mandatory punishment). Konsep Rancangan KUHPidana yang diserahkan kepada Pemerintah tahun 1993,malahan menganjurkan agar diperbanyak pidana dengan alternatif, terutama alternatif denda, karena adalah “rahasia-umum” bahwa konsep pemasyarakatan narapidana di Indonesia telah lama gagal. Lembaga yang dimaksudkan untuk membina narapidana kembali ke masyarakat sebagai warga yang akan taat hukum, telah berubah menjadi lembaga yang memberi pengalaman penderitaan-pahit bagi narapidana dan keluarganya (terutama bagi mereka dari kalangan ekonomi lemah, dengan banyaknya “biaya-siluman” yang harus disediakan) serta menjadi “sekolah tinggi kejahatan”, bagi para pemula.

Dengan ancang-ancang pendekatan di atas ini, apakah DRC tidak tertarik untuk mengkaji sistem pemidanaan di Indonesia dewasa ini dengan membandingkannya dengan sistem yang disarankan oleh Konsep Rancangan KUHPidana versi ke-1 (asli – 1993) ? Suatu sistem hukum pidana materiil dan formil (substantive and procedural criminal law) suatu negara hanyalah dapat dianggap efektif mencapai sasarannya, kalau sistem pemidanaannya dianggap adil dan beradab serta didukung oleh masyarakat negara tersebut.   

Penutup
Pada akhir karangan ini saya ingin juga menyampaikan sedikit sejarah tentang Prof Djokosotoeno yang saya kenal semasa saya menjadi mahasiswa. Sungguh sangat cocok untuk menamakan suatu lembaga peneilitian dan pengkajian hukum dengan nama “Djokosoetono”. Saya mengikuti perkuliahan beliau sejak masuk Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat (FH-IPK) UI tahun 1955, yaitu untuk matakuliah: Ilmu Negara, Hukum Tatanegara, dan Filsafat Hukum (saya lulus tahun 1961). Kesan saya, banyak sekali bahan bacaan asing yang beliau sampaikan, dalam kuliah maupun ujian lisan, sambil mengkritik dan mengkomentari suasana ketatanegaraan kita pada tahun-tahun itu. Sayangnya beliau tidak pernah menuliskan pemikiran beliau. Lulus tahun 1938 dari Rechtshogeschool (RH) di Batavia dan kemudian diangkat menjadi Asisten (1938-1942), menandakan beliau memang lulusan pilihan RH.[10] Pengabdiannya pada ilmu hukum tercatat a.l sebagai dekan FH-IPK pertama (1950-1958) dengan Panitera Prof. Dr.mr.Hazairin, dan kemudian (1958-1962) dengan Wakil Dekan Prof.mr.Soebekti dan Panitera Prof.mr.Soejono Hadinoto Joedonegoro. Asisten didikan  beliau yang terkenal adalah antara lain Prof.Padmo Wahjono,SH, Prof.Dr.Ismail Suny,SH dan Prof.Dr.Harun Al Rasid, SH. Semoga DRC dengan tenaga muda pilihan sekarang ini, dapat meneruskan cita-cita Prof.Djokosoetono untuk memajukan ilmu hukum di Indonesia.

-00O00-



*Tulisan ini disampaikan pada HUT Djokosoetono Research Center (DRC) 5 Desember 2012.
[1] Lihat Konsep Rancangan KUHP Nasonal yang pernah diserahkan kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh SH,, pada akhir masa jabatan beliau Maret 1993.Untuk diserahkan kepada Menteri Kehakiman berikutnya Oetojo Oesman SH, dengan Dirjen Hukum dan Perundang-undangan Prof.Dr.Bagir Manan,SH
[2] Hal ini menarik karena dapat ditafsirkan bahwa Ketua MK ataupun lembaga MK menyangsikan hak prerogatif ini, yang diberikan oleh Pasal 14 UUD kita.
[3] Lihat pasal 28A:Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya;  dan  pasal 28I: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, … adalah hak asasi manisia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
[4] Terkait uasah kita menyelamatkan orang Indonesia dari pidana mati di Malaysia, ingat bagaimana tahun 1995 timbul ketegangan diplomatik antara Filipina dengan Singapura, karena eksekusi pidana mati seorang pekerja-migran Filipina Flor Contemplacion, yang dipidana karena pembunuhan.
[5] Dua mashab lain yang menentang adalah Mashab Positivis (ada banyak faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku manusia)  dan Mashab Kritis (apa yang merupakan kejahatan yang perlu pidana berat,tergantung pada siapa yang berkuasa dan merasa kepentingannya terancam). Baik Singapura maupun Malaysia tidak dapat membuktikan bahwa kejahatan narkoba di masyarakat mereka berkurang.
[6] Terutama dalam hal penangkapan dan penahanan serta pencarian alat bukti, biasanya pada tersangka “street crimes” ,sering  banyak terjadi manipulasi yang sering berujung kepada pemerasan tersangka dan keluarganya. Tahap pra ad-yudikasi, ad-yudikasi dan purna ad-yudikasi SPP Indonesia masih mengandung  banyak masalah.
[7] Pasal serupa adalah juga pasal 107 (1) UUDasar Sementara RI dan pasal 160 (1) Konstitusi RIS. Dalam sejarah pengertian prerogative orders di Inggris, dikatakan: “they were originally the means whereby Sovereigns controlled the operation of their officials … and to such people that powers are delegated”.
[8] Ingat dan pertimbangkan  juga JPU yang merasa berhak mengajukan Kasasi atas keputusan bebas terdakwa, karena KUHAP tidak mencantumkan larangan. Mengajukan PK berkali-kali oleh Terpidana dan JPU, serta pengajuan bersamaan PK dan Grasi oleh Terpidana/Advokatnya.
[9] Lihat Mardjono Reksodiputro,2009,Menyelaraskan Pembaruan Hukum,Jakarta:KHN, hal.5-7
[10] Lihat A.W.H. Massier,2003, Van Recht naar Hukum-Indonesische juristen en hun taal 1915-2000, Disertasi Doktor di Universiteit Leiden, 11 September 2003, hal.125,152,156-157,164,180.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar