Kamis, 14 November 2013

Mengapa terjadi “benang kusut” dalam Penyadapan oleh KPK ?*



Pengantar
Yang dimaksud sebagai “benang kusut” oleh KHN adalah simpang-siurnya  gugatan terhadap kewenangan “luar-biasa” yang diberikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang dianggap melanggar HAM yang dilindungi oleh konstitusi kita (UUD 1945 yang telah diamandemen). Sedangkan pendapat mendukung penyadapan diberikan oleh pihak lain karena kewenangan ini telah diberikan oleh UU KPK (2002), meskipun hanya secara umum. Perbedaan pendapat ini ditambah lagi dengan adanya pasal-pasal dalam UU Telekomunikasi (1999) dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (2008) yang melarang ataupun sangat membatasi kegiatan penyadapan ini. Dalam Rancangan Hukum Acara Pidana yang akan datang diatur pula kewenangan penyadapan ini secara umum dan terbatas. Mahkamah Konstitusi juga pernah memberikan putusannya a.l agar penyadapan ini diberi legitimasi lebih jelas dalam suatu undang-undang tersendiri.  

Tulisan ini tidak akan membicarakan “bunyi pasal” ataupun debat yang telah berkembang di forum media massa. Apa yang ingin digambarkan di sini adalah alasan yang sering dikemukakan dalam bahan pustaka luar negeri tentang keperluannya terhadap “tindakan luar-biasa” (extra-ordinary measure) ini dan usaha untuk tetap dapat melindungi hak warga atas privacy (yang merupakan HAM dalam konstitusi) serta mencegah penyalahgunaannya (abuse of power).

Ambivalensi
Pada tahun 2010 dalam Desain Hukum (Newsletter KHN) Vol.10,No.! (Jan-Febr), saya mengkritik tidak konsistennya cara berpikir kita. Apa yang saya maksudkan ? Pikiran kita bercabang dua tentang integritas pejabat-pejabat negara kita (termasuk Polisi dan JPU serta Hakim). Kita sudah tidak percaya lagi pada kejujuran dan profesionalitas mereka, yang kemudian terakumulasi pada ketidakpercayaan warga pada hukum dan pengadilan. Tetapi pada saat bersamaan kita mau juga mempercayakan “tindakan luar-biasa” dalam bentuk wewenang penyidikan ini kepada mereka – tidakkah kita takut pada terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh mereka ?

Ambivalensi yang lain adalah kita ingin memberantas korupsi, yang sudah kita kategorikan sebagai extra-ordinary crime, dan karena itu perlu extra-ordinary measures untuk menanggulanginya, tetapi sekarang kita tidak berani memberikan kewenangan penyadapan sebagai “tindakan luar-biasa” untuk memperkuat wewenang KPK. Debat tentang KPK ini kemudian mengarah pada ketakutan sebagian kita bahwa KPK tidak dapat independen, dan akan melakukan “tebang-pilih” kasus korupsi yang dibawanya ke Pengadilan.

Menurut hemat saya ambivalensi yang menimbulkan “benang kusut ini” ini disebabkan kita tidak paham ( tidak mau memahami ?) tujuan dan perkembangan dari “inception” atau penyadapan sebagai tindakan luar-biasa dalam menanggulangi kejahatan yang sifatnya sangat tertutup.

Menanggulangi kejahatan yang sangat tertutup
Tentu pada dasarnya semua kejahatann itu tertutup, dilakukan agar tidak diketahui peristiwanya (seperti dilaksanakan se-olah-olah bunuh-diri atau kecelakaan) atau sekurang-kurangnya tidak jelas pelakunya (menyembunyikan bukti).Tetapi ada kejahatan yang “lebih-tertutup” lagi, yaitu yang dikenal sebagai “organized crime” (kejahatan terorganisasi – saya biasa singkat sebagai KTO). Kejahatan ini sangat sulit dilacak dan disidik, karena dilakukan dengan organisasi-rahasia yang rapih dan dana yang besar serta sering kali dengan perlindungan oknum-oknum penegak hukum yang tidak jujur. Dalam bahan pustaka kriminologi dan kepolisian kejahatan KTO ini sering digambarkan a.l. meliputi kejahatan narkoba, pencucian-uang, kejahatan perdagangan manusia, dan perdagangan gelap senjata. Untuk menemukan bukti awal yang cukup untuk penyidikan, maka diperlukan cara-cara yang tidak lazim, yaitu “entrapment” (penjebakan oleh polisi undercover yang bertindak sebagai “provokator”) dan “inception/wiretapping” (penyadapan, yang merupakan bagian dari “electronic surveillance monitoring secara elektronik).Contoh KTO yang tertua adalah kejahatan oleh Mafia (Amerika dan Rusia), Yakuza (Jepang) dan Triad (Cina). Apakah korupsi juga dapat dikategorikan sebagai KTO ?

Korupsi  adalah KTO
PBB melalui Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC – Palermo, 2000) telah memasukkan korupsi sebagai KTO Transnasional. Dan Indonesia telah meratifikasi, mengesahkan dan mengundangkannya melalui UU No 5/2009.Dengan masuknya Korupsi sebagai KTO, maka dapatlah dibenarkan bahwa cara-cara yang tidak lazim dalam penyidikan tindak pidana berupa “monitoring-elektronik” maupun “penjebakan”  terhadap seseorang “terduga” korupsi dapat dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu,seharusnya tidak ada permasalahan yang perlu diperdebatkan tentang kewenangan KPK melakukan tindakan luar-biasa berupa monitoring-elektronik (dan penjebakan) ini.

Pada waktu ini di Indonesia, lembaga negara yang berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan secara elektronik memang hanyalah KPK. Jadi memang hal ini menimbulkan “ketegangan antar lembaga”,karena bukankah lembaga Kepolisian dan lembaga Kejaksaan juga mendapat tugas menanggulangi kejahatan korupsi di Indonesia ? Malahan Kepolisian dan Kejaksaan juga bertugas melawan KTO! Jadi logisnya mereka memang  juga “berhak” atas wewenang tindakan luar-biasa ini. Kalau pun ada keragu-raguan memberikannya kepada Kepolisian dan Kejaksaan, hal itu – menurut saya -  lebih disebabkan ketidakpercayaan tehadap kemampuan kedua lembaga ini mengendalikan kemungkinan penyalahgunaan wewenang yang besar ini.

Penyadapan untuk melawan KTO
Apabila kegiatan monitoring-elektronik ini dilakukan dengan sangat terkendali oleh ahli yang punya dedikasi dan integritas (berani jujur !) maka tindakan luar-biasa ini akan sangat membantu mengurangi kejahatan terorganisasi seperti : Korupsi, Manipulasi Pajak, Narkoba, Pencucian Uang, Penjualan Manusia, Penjualan Senjata Gelap, dan Terorisme. Dua kejahatan yang pertama sangat merugikan keuangan negara dan dilakukan oleh orang-orang “terhormat dari kelas sosial tinggi dan dalam rangka jabatannya” (ini adalah definisi Sutherland tentang kejahatan kerah-putih/WCC).Pelakunya sebagian besar adalah eksekutif-bisnis yang punya lobi kuat di kalangan politik dan memang tidak mudah “tertangkap” melakukan kejahatannya. Tujuan mereka awalnya adalah meningkatkan keuntungan perusahaannya dalam persaingan bisnis antar perusahaan. Karena mereka tidak segan melanggar hukum, maka merekapun akan “tersandera” dalam kegiatan KTO dari “mafia-Indonesia” di bidang manipulasi pajak, spekulasi tanah, dan proyek-proyek besar negara. Dalam gambaran seperti ini, maka kita harus memahami bahwa memang hanya melalui “monitoring-elektronik” dan “penjebakan kasus-kasus korupsi besar dan manipulasi pajak oleh perusahaan-perusahaan besar dapat dibongkar. Tetapi bagaimana dengan HAM warganegara terhadap intervensi negara pada “privacy” dalam komunikasi yang tidak melanggar hukum dan kesakralan rumah pribadi ?

Perlu ada aturan yang jelas tentang “Inception” dan “Entrapment”
Pertama, harus dipisahkan antara kejahatan “biasa” dengan kejahatan “luar-biasa” (maksud saya: kejahatan serius yang sangat tersembunyi dilakukannya, umumnya pelakunya adalah kelompok “white collar criminals”, dan termasuk kejahatan terorganisasi/KTO). Untuk kejahatan “luar-biasa” ini diperkenankan dilakukan pula “tindakan luar-biasa” berupa “electronic surveillance” (a.l. penyadapan) dan “entrapment” (penjebakan).

Kedua, perlu diatur tentang pengertian yang dimaksud dengan “electronic surveillance” dan “entrapment” ini secara cukup rinci – apa yang ada dalam Rancangan KUHAP belum cukup. Termasuk di sini adalah sejauh mana hasil kedua bentuk “tindakan luar-biasa” ini dapat dipakai sebagai alat bukti di Pengadilan kita.

Ketiga, perlu diatur tentang tata-cara (prosedur) pelaksanaan kedua bentuk “tindakan luar-biasa” ini – termasuk di sini siapa yang boleh melakukan, perlu ada pihak di luar instansi bersangkutan yang member ijin – permohonan tertulis memuat bukti apa yang dicari – jangka waktu ijin – dapat diperpanjang berapa kali, selama berapa waktu – perlu adanya laporan tertulis kepada Komisi Khusus di DPR tentang apa yang telah dilakukan, dalam laporan semester (tidak perlu memuat hasil tindakan).  


*Makalah ini telah Disampaikan dalam Radio Talks Kerjasama Komisi Hukum Nasional dengan Kantor Berita Radio (KBR) 68 H Jakarta; Rabu, 24 Juli 2013.
    


Tidak ada komentar:

Posting Komentar