Pengantar
Yang dimaksud sebagai “benang kusut” oleh KHN adalah
simpang-siurnya gugatan terhadap kewenangan
“luar-biasa” yang diberikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang dianggap
melanggar HAM yang dilindungi oleh konstitusi kita (UUD 1945 yang telah
diamandemen). Sedangkan pendapat mendukung penyadapan diberikan oleh pihak lain
karena kewenangan ini telah diberikan oleh UU KPK (2002), meskipun hanya secara
umum. Perbedaan pendapat ini ditambah lagi dengan adanya pasal-pasal dalam UU
Telekomunikasi (1999) dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (2008) yang
melarang ataupun sangat membatasi kegiatan penyadapan ini. Dalam Rancangan
Hukum Acara Pidana yang akan datang diatur pula kewenangan penyadapan ini
secara umum dan terbatas. Mahkamah Konstitusi juga pernah memberikan putusannya
a.l agar penyadapan ini diberi legitimasi lebih jelas dalam suatu undang-undang
tersendiri.
Tulisan ini tidak
akan membicarakan “bunyi pasal” ataupun debat yang telah berkembang di forum
media massa. Apa yang ingin digambarkan di sini adalah alasan yang sering
dikemukakan dalam bahan pustaka luar negeri tentang keperluannya terhadap “tindakan
luar-biasa” (extra-ordinary measure)
ini dan usaha untuk tetap dapat melindungi hak warga atas privacy (yang merupakan HAM dalam konstitusi)
serta mencegah penyalahgunaannya (abuse
of power).
Ambivalensi
Pada tahun 2010
dalam Desain Hukum (Newsletter KHN) Vol.10,No.! (Jan-Febr), saya mengkritik tidak
konsistennya cara berpikir kita. Apa yang saya maksudkan ? Pikiran kita
bercabang dua tentang integritas pejabat-pejabat negara kita (termasuk Polisi
dan JPU serta Hakim). Kita sudah tidak percaya lagi pada kejujuran dan profesionalitas
mereka, yang kemudian terakumulasi pada ketidakpercayaan warga pada hukum dan
pengadilan. Tetapi pada saat bersamaan kita mau juga mempercayakan “tindakan
luar-biasa” dalam bentuk wewenang penyidikan ini kepada mereka – tidakkah kita takut pada terjadinya
penyalahgunaan wewenang oleh mereka ?
Ambivalensi yang lain adalah kita ingin memberantas
korupsi, yang sudah kita kategorikan sebagai extra-ordinary crime, dan karena
itu perlu extra-ordinary measures untuk menanggulanginya, tetapi sekarang
kita tidak berani memberikan kewenangan penyadapan sebagai “tindakan
luar-biasa” untuk memperkuat wewenang KPK. Debat tentang KPK ini kemudian
mengarah pada ketakutan sebagian kita
bahwa KPK tidak dapat independen,
dan akan melakukan “tebang-pilih” kasus korupsi yang dibawanya ke Pengadilan.
Menurut hemat saya ambivalensi yang menimbulkan
“benang kusut ini” ini disebabkan kita
tidak paham ( tidak mau memahami ?) tujuan dan perkembangan dari “inception” atau penyadapan sebagai
tindakan luar-biasa dalam menanggulangi kejahatan yang sifatnya sangat tertutup.
Menanggulangi kejahatan yang
sangat tertutup
Tentu pada dasarnya semua kejahatann itu tertutup,
dilakukan agar tidak diketahui peristiwanya (seperti dilaksanakan se-olah-olah
bunuh-diri atau kecelakaan) atau sekurang-kurangnya tidak jelas pelakunya
(menyembunyikan bukti).Tetapi ada kejahatan
yang “lebih-tertutup” lagi, yaitu yang dikenal sebagai “organized crime” (kejahatan terorganisasi – saya biasa singkat
sebagai KTO). Kejahatan ini sangat sulit dilacak dan disidik, karena dilakukan
dengan organisasi-rahasia yang rapih dan dana yang besar serta sering kali
dengan perlindungan oknum-oknum penegak hukum yang tidak jujur. Dalam bahan
pustaka kriminologi dan kepolisian kejahatan KTO ini sering digambarkan a.l.
meliputi kejahatan narkoba, pencucian-uang,
kejahatan perdagangan manusia, dan perdagangan gelap senjata. Untuk menemukan
bukti awal yang cukup untuk penyidikan, maka diperlukan cara-cara yang tidak lazim, yaitu “entrapment” (penjebakan
oleh polisi undercover yang bertindak
sebagai “provokator”) dan “inception/wiretapping” (penyadapan,
yang merupakan bagian dari “electronic surveillance – monitoring secara elektronik).Contoh
KTO yang tertua adalah kejahatan oleh Mafia
(Amerika dan Rusia), Yakuza (Jepang) dan Triad
(Cina). Apakah korupsi juga dapat
dikategorikan sebagai KTO ?
Korupsi adalah KTO
PBB melalui Convention
Against Transnational Organized Crime (UNTOC – Palermo, 2000) telah memasukkan korupsi sebagai KTO Transnasional. Dan Indonesia
telah meratifikasi, mengesahkan dan mengundangkannya melalui UU No 5/2009.Dengan masuknya Korupsi sebagai
KTO, maka dapatlah dibenarkan bahwa cara-cara yang tidak lazim dalam penyidikan
tindak pidana berupa “monitoring-elektronik” maupun “penjebakan” terhadap seseorang “terduga” korupsi dapat dilakukan
di Indonesia. Oleh karena itu,seharusnya tidak
ada permasalahan yang perlu diperdebatkan tentang kewenangan KPK melakukan
tindakan luar-biasa berupa monitoring-elektronik (dan penjebakan) ini.
Pada waktu ini di Indonesia, lembaga negara yang berwenang
melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan secara elektronik memang hanyalah KPK. Jadi memang hal
ini menimbulkan “ketegangan antar
lembaga”,karena bukankah lembaga Kepolisian dan lembaga Kejaksaan juga
mendapat tugas menanggulangi kejahatan korupsi di Indonesia ? Malahan
Kepolisian dan Kejaksaan juga bertugas melawan KTO! Jadi logisnya mereka memang juga
“berhak” atas wewenang tindakan luar-biasa ini. Kalau pun ada keragu-raguan memberikannya kepada
Kepolisian dan Kejaksaan, hal itu – menurut saya - lebih disebabkan ketidakpercayaan tehadap kemampuan kedua lembaga ini mengendalikan
kemungkinan penyalahgunaan wewenang yang besar ini.
Penyadapan untuk melawan KTO
Apabila kegiatan monitoring-elektronik ini dilakukan
dengan sangat terkendali oleh ahli yang punya dedikasi dan integritas (berani
jujur !) maka tindakan luar-biasa ini akan sangat membantu mengurangi kejahatan terorganisasi seperti
: Korupsi, Manipulasi Pajak, Narkoba, Pencucian Uang, Penjualan Manusia,
Penjualan Senjata Gelap, dan Terorisme. Dua
kejahatan yang pertama sangat merugikan keuangan negara dan dilakukan oleh
orang-orang “terhormat dari kelas sosial tinggi dan dalam rangka jabatannya”
(ini adalah definisi Sutherland tentang kejahatan kerah-putih/WCC).Pelakunya
sebagian besar adalah eksekutif-bisnis yang punya lobi kuat di kalangan politik
dan memang tidak mudah “tertangkap” melakukan kejahatannya. Tujuan mereka
awalnya adalah meningkatkan keuntungan perusahaannya dalam persaingan bisnis
antar perusahaan. Karena mereka tidak segan melanggar hukum, maka merekapun
akan “tersandera” dalam kegiatan KTO dari “mafia-Indonesia” di bidang manipulasi
pajak, spekulasi tanah, dan proyek-proyek besar negara. Dalam gambaran seperti
ini, maka kita harus memahami bahwa memang hanya melalui “monitoring-elektronik”
dan “penjebakan” kasus-kasus korupsi
besar dan manipulasi pajak oleh perusahaan-perusahaan besar dapat dibongkar. Tetapi bagaimana dengan HAM warganegara
terhadap intervensi negara pada “privacy”
dalam komunikasi yang tidak melanggar hukum dan kesakralan rumah pribadi ?
Perlu ada aturan yang jelas
tentang “Inception” dan “Entrapment”
Pertama, harus dipisahkan antara kejahatan “biasa”
dengan kejahatan “luar-biasa” (maksud saya: kejahatan serius yang sangat tersembunyi dilakukannya, umumnya
pelakunya adalah kelompok “white collar criminals”, dan
termasuk kejahatan terorganisasi/KTO). Untuk kejahatan “luar-biasa” ini
diperkenankan dilakukan pula “tindakan luar-biasa” berupa “electronic surveillance” (a.l. penyadapan) dan “entrapment” (penjebakan).
Kedua, perlu diatur tentang pengertian yang dimaksud dengan “electronic surveillance” dan
“entrapment” ini secara cukup rinci – apa yang ada dalam Rancangan KUHAP
belum cukup. Termasuk di sini adalah sejauh
mana hasil kedua bentuk “tindakan luar-biasa” ini dapat dipakai sebagai alat bukti di
Pengadilan kita.
Ketiga, perlu diatur tentang tata-cara (prosedur) pelaksanaan kedua bentuk “tindakan luar-biasa”
ini – termasuk di sini siapa yang boleh melakukan, perlu ada pihak di luar
instansi bersangkutan yang member ijin – permohonan tertulis memuat bukti apa
yang dicari – jangka waktu ijin – dapat diperpanjang berapa kali, selama berapa
waktu – perlu adanya laporan tertulis
kepada Komisi Khusus di DPR tentang apa yang telah dilakukan, dalam laporan
semester (tidak perlu memuat hasil tindakan).
*Makalah ini telah Disampaikan dalam Radio
Talks Kerjasama Komisi Hukum
Nasional dengan Kantor Berita Radio (KBR)
68 H Jakarta; Rabu, 24 Juli 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar