Minggu, 03 November 2013

66 tahun merdeka - masihkah ada harapan untuk Reformasi Hukum ?*



PENGANTAR
Tulisan ini merupakan suatu retrospeksi tentang pengalaman mengikuti reformasi hukum yang dimulai tahun 1998 – 13 tahun yang lalu – sambil mengenang tahap-tahap tertentu dalam sejarah Negara Indonesia yang telah 66 tahun merdeka (1945-2011).
Sudah 66 tahun kita merdeka dan sudah 11 tahun ada Komisi Hukum Nasional. Bagaimana sebenarnya kemajuan di negara kita ini ? Khususnya kemajuan di bidang hukum. Mengapa harus hukum ? Karena dua kali pelengseran presiden kita (ataukah tiga kali ?) membawa harapan-harapan baru bahwa konstitusi kita (UUD 1945 yang pernah diagungkan itu) benar-benar akan membawa bangsa Indonesia menjadi masyarakat yang “adil dan makmur”. Kemajuan hukum penting, karena seperti dikatakan oleh Konstitusi kita dengan Pancasilanya, bahwa Indonesia adalah “negara berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan kekuasaan”.
Tahun 1996/1997 (sebelum lengsernya Presiden Suharto) Badan Perencanaan  Pembangunan Nasional (Bappenas) merasa perlu melakukan survey diagnostik mengenai kondisi hukum di Indonesia setelah kita memasuki Repelita ke-6 (1993 – 1998). Hasilnya terbit setahun kemudian dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Sebelum hasil survey ini (dengan rekomendasi-rekomendasinya) dapat dibahas dan diterapkan oleh komunitas hukum kita, terjadi perubahan politik yang cukup dahsyat Memang tidak separah (dan berdarah) seperti pada turunnya Presiden Sukarno tahun 1965, tetapi tetap membawa korban. Perpindahan dari Suharto ke Presiden Habibie hanya sebentar membawa kegembiraan di kalangan hukum, konflik Timor Timur yang membawa juga cukup banyak korban, kembali menunjukkan bahwa Indonesia masih “negara berdasarkan kekuasaan dan belum berdasarkan hukum” !
Kita memasuki Era Reformasi (dengan slogannya “hilangkan KKN” : Korupsi – Kolusi – dan Nepotisme), dimulai dengan Habibie yang kemudian tidak dipilih kembali oleh MPR dan kemudian digantikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid dengan Wakil Presiden Megawati. Mencoba mengemban aspirasi “ganyang KKN” dan reformasi di bidang hukum, maka dibentuklah Komisi Hukum Nasional (KHN) dan Komisi Ombudsman Nasional (KON) dalam tahun 2000. Yang pertama adalah untuk membantu mendesain suatu pola reformasi di bidang hukum, dan yang kedua adalah untuk menerima dan meneruskan untuk ditindaklanjuti, pengaduan tentang penyalahgunaan kewenangan hukum oleh birokrasi. Berhasilkah mereka ? Kita melihat dahulu sebentar ke era sebelumnya.

ERA SUKARNO-SUHARTO-DAN HABIBE
Era ini penuh gejolak, dimulai 1950 dan berahir tahun 1999, lebih kurang 40 tahun – 10 tahun pertama dengan pemerintahan Orde Lama (Bung Karno dan pada awalnya dengan Bung Hatta, sebagai penjelmaan “Dwi-Tunggal”) dan 30 tahun berikutnya dalam pemerintahan Orde Baru (Pak Harto dengan Wapres terakhir Pak Habibie, yang kemudian meneruskan sisa waktu Pak Harto). Menurut saya pada era ini hukum kurang atau malah tidak mendapat perhatian. Jaman Orla, politik yang dominan, sedangkan pada jaman Orba fokus adalah pada  ekonomi. Hukum seakan-akan dianggap tidak bermanfaat untuk kemajuan masyarakat. Kita ingat pendapat Bung Karno bahwa dengan para sarjana hukum tidak mungkin diadakan revolusi (“met juristen kan je geen revolutie maken”). Menunjukkan celaan beliau kepada kekakuan berpikir para sarjana hukum kita !  Coba kita lihat contoh di bawah ini.
Hukum perdata yang tertulis dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Hindia Belanda – Burgerlijk Wetboek – BW) dinyatakan secara resmi oleh Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro hanya sebagai pedoman. Meskipun demikian dalam kenyataannya pengadilan dan para advokat tetap mempergunakan pasal-pasalnya secara utuh. Teks KUHPerdata, KUHDagang dan KUHPidana masih tetap dalam bahasa Belanda (sebagai teks otentik), dan tidak pernah dibuat terjemahan resmi (otentik); namun di pengadilan dipergunakan teks terjemahan yang tidak-otentik. Demikian pula sikap kepada HIR (Herziend Indonesische Reglement), KUHAcara Pidana, meskipun kemudian tahun 1981 diundangkan KUHAP Nasional. Banyak sarjana hukum, banyak pelanggaran hukum (oleh penguasa maupun rakyatnya), banyak fakultas hukum, namun hukum sepertinya tetap beku dan bisu, kurang dapat mempedomani kebijakan-kebijakan yang benar-benar ingin membangun negara hukum Indonesia. Lebih baikkah era selanjutnya ?

ERA GUS DUR DAN MEGAWATI
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan Sekretaris Kabinet Dokter Marsilam Simanjuntak, SH rupanya memang serius ingin memulai era baru dengan membangun suatu pemerintahan yang pro-rakyat dan sungguh-sungguh menjalankan “rule of law”. Melalui antara lain Komisi Hukum Nasional (KHN) dan Komisi Ombudsman Nasional (KON), menurut pendapat saya ingin diupayakan dua asas utama rule of law yaitu : Accountable Government dan  Access to Justice. Sayang tidak pernah terungkap secara jelas siapa yang “membisikkan” kepada Gus Dur tentang perlunya kedua komisi ini, dan bagaimana peranan kedua komisi ini dalam pemerintahan Gus Dur serta apa yang sebenarnya diharapkannya dari kedua komisi ini untuk masa depan Indonesia. Ketidakjelasan ini telah memubazirkan peranan kedua komisi ini dalam membangun suatu keberpihakan yang lebih besar kepada hukum oleh “peguasa Indonesia” (baca: “kekuasaan politik dan kekuasan ekonomi”).Keterlibatan Gus Dur dalam “Bulogate dan Bruneigate” dan peng”lengser”annya kemudian, tidak juga membantu didukungnya secara nyata  cita-cita rule of law  di Indonesia.
Wapres Megawati adalah yang mewakili Gus Dur melantik kedua komisi ini. Kemungkinan besar beliau tidak pernah diajak bicara secara mendalam tentang maksud Gus Dur dengan kedua komisi ini. Seperti Gus Dur Megawati juga mempunyai “orang dekat” bidang hukum yaitu Bambang Kesowo, SH.LLM yang telah lama bertugas memimpin Sekretariat Kabinet.Namun dalam masa kepemimpinan Megawati sebagai Presiden menggantikan Gus Dur, tidak banyak juga perhatian dicurahkan kepada pembangunan di bidang hukum, kecuali pembuatan berbagai peraturan (yang terkenal adalah UU tentang Terorisme dan UU tentang KPK). Masa kepresidenan Megawati, bagi saya, juga tidak mengubah wajah hukum yang coreng-moreng.

ERA SBY JILID 1
Presiden SBY yang semula pernah menjabat Menteri Koordinator PolHuKam (bidang Politik Hukum dan Keamanan) diharapkan oleh banyak kalangan akan mempunyai lebih banyak simpati pada perlunya rule of law dijalankan secara sungguh-sungguh di Indonesia. Penghormatan dalam kehidupan bernegara akan asas ini akan membantu kalangan investor mempercayai hukum Indonesia (terutama setelah krisis ekonomi Asia 1997), dan membantu pula kepercayaan kembali masyarakat kepada hukum untuk menjadi pedoman memperoleh keamanan dan mencapai kesejahteraan pada diri dan keluarganya. Asas rule of law ini tidak saja penting untuk para sarjana hukum dan penegak hukum, karena asas ini juga  penting, misalnya untuk kalangan bisnis (pegusaha domestik dan asing), kalangan kesehatan (para dokter dan pengelola rumah sakit/rumah sehat serta apotik), kalangan pemborong bangunan (para insinyur infrastruktur dan kawasan hunian) dan kalangan media massa (media massa cetak dan televisi). Semuanya berkepentingan bahwa kehidupan berbangsa dilakukan berlandaskan hukum dan bukan kekuasaan.
Apakah hal ini tercapai ? Empat syarat utama tercapainya rule of law dapat diajukan di sini : a)Pemerintahan yang bertanggung jawab di bawah hukum; b)Undang-undang yang jelas, diterbitkan, ajeg dan adil serta melindungi hak-hak asasi warganegara (a.l keamanan pribadi dan milik); c)Proses pembuatan undang-undang dan penegakkannya yang terbuka, adil dan efisien; d)Penyelenggaraan dan akses kepada pengadilan dilaksanakan oleh atau  melalui tenaga yang ahli dalam jumlah yang cukup, serta mencerminkan keragaman penduduk Indonesia yang multikultural (World Justice Project, Rule of  Law Index,2011). Apakah hal ini tercapai dalam pemerintahan SBY Jilid 1 ?  Mari kita lihat.
Dibandingkan dengan jaman Orde Baru, diakui telah banyak dicapai kemajuan di bidang pertanggungjawaban pemerintah secara umum di bawah hukum. Hal ini dapat kita lihat a.l dengan ketaatan/kesediaan pemerintah melalui menteri-menterinya mempertanggungjawabkan kebijakannya di DPR. Hal yang tidak terbayangkan dalam masa Orde Baru, karena pemerintah dikuasai Golkar dan DPRpun dikuasai Golkar. Namun beberapa kelemahan perlu disoroti, seperti dicoba ditunjukkan di bawah ini.
Legislasi undang-undang yang dilakukan di DPR ,seharusnya melalui suatu “rencana” yang terbuka untuk diskusi/komentar di forum publik” (dikenal sebagai Prolegnas). Hal ini hanya terjadi pada awal, tetapi karena ketiadaan jadwal yang jelas dan konsisten, maka publik kemudian sukar mengikuti diskusi di DPR. Juga para anggota DPR yang turut dalam diskusi lebih mementingkan “pesan sponsor yang tidak jelas”, ketimbang aspirasi masyarakat. Di bidang penegakan hukum, baik perdata maupun pidana, prosesnya masih dikeluhkan sebagai sering tidak adil bagi mereka yang tidak mampu “membayar penegak hukum”. Kelompok advokat yang seharusnya membuka akses ke pengadilan, juga terlibat dalam “mafia hukum” ini.
Seharusnya DPR berfungsi sebagai “pengawas” jalannya pemerintahan yang baik, konsepnya adalah “good governance”. Sayangnya, permainan partai politik sering menyebabkan DPR lebih mengutamakan kepentingan partai, ketimbang kepentingan masyarakat luas. Apabila kepentingan partai terkait perbedaan dalam ideologi partai, hal ini tentu dapat dimaklumi. Namun yang terjadi justru lebih  dipentingkannya  kekuasaan untuk mengisi pundi-pundi partai dan (tentu saja) pundi-pundi pribadi. Contohnya adalah skandal “Bangar” DPR yang “dibocorkan” dalam kasus Nasruddin (mantan Bendahara partai). Yang jelas sosok anggota DPR banyak terlihat sebagai  bukan sosok negarawan, namun lebih sosok pengusaha (yang mengutamakan keuntungan pribadi). Dalam keadaan yang suram seperti ini, masih ada sedikit “cahaya matahari”, yaitu kebebasan berpendapat yang tercermin antara lain dalam bebagai diskusi publik dan juga di media massa. Hal ini harus dipertahankan dan dibela oleh para cendekiawan dan praktisi hukum. Karena kebebasan menyatakan pikiran dan mengkritik pemerintah,  adalah tiang utama dalam mempertahankan demokrasi sosial dan politik di Indonesia. Bagaimana dengan masa kepemimpinan lanjutan Presiden SBY ?

ERA SBY JILID 2
Pada tahun 2010 dilaporkan bahwa dalam ASEAN Corruption Perception Index, Indonesia masih dinilai buruk (2,8), jauh di bawah Singapura (9,3), Brunei (5,5), Malaysia (4,4) dan Thailand (3,5). Sedikit bangga Karena di atas Vietnam (2,7) dan Filipina (2,4). Dilihat dari Income Per Capita Indonesia (USD 2.155) masih di bawah Filipina (2.477), Thailand (4.134), dan Malaysia (7.817). Apalagi Brunei (USD 38.146) dan Singapura (37.416). Korupsi dan kemiskinan serta pengangguran masih mewarnai wajah negara kita.
Menurut hitungan orang Jawa kemerdekaan kita sudah meliwati 8 windhu (64 tahun), dan sudah mempunyai 6 (enam) presiden (dikatakan juga 8 presiden, bila mengikutsertakan Syafruddin Prawiranegara dan Assaat). Pada masa presiden SBY dalam masa baktinya yang kedua, saya mencatat anomali sebagai berikut :
-Indonesia adalah negara dengan penduduk terbesar ke-4 di dunia, tetapi juga termasuk terbesar dalam kemiskinan serta kesenjangan antara kaya dan miskin (misalnya angka kemiskinan di NTT, adalah 21,23%)  – dan termasuk dalam permasalahan ini adalah besarnya “utang negara” dan “utang swasta”, tetapi juga tercatatnya konglomerat Indonesia termasuk 10 terkaya di ASEAN (a.l dari Sinar Mas, BCA, Bumi Resources, Bayan Resources, dan Sampoerna).
-Indonesia adalah negara terbesar ke-3 sebagai “negara demokratik”, tetapi nyatanya di daerah belahan Timur Indonesia, rakyat belum dapat sepenuhnya menikmati perlindungan terhadap pelanggaran HAM oleh aparat pemerintah (daerah dan pusat) – masalah kekerasan di Papua akhir-akhir ini (baik oleh aparat keamanan,maupun oleh penduduk) sungguh mencoreng muka kita sebagai negara demokratik.Juga persentase penduduk miskin di provinsi Papua dan provinsi Papua Barat merupakan yang tertingi di antara 33 provinsi di Indonesia (37% dan 35%). Otonomi Khusus Papua (UU No 21/2001) dan Dana Otsus yang tidak dilaksanakan dengan baik (terjadi penyimpangan yang menyolok – Harian Republika,4 November 2011, hal 23-24).Akibatnya Kongres Rakyat Papua ke III, 19 Oktober 2011, berakhir rusuh dengan kekerasan.  
-Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia, tetapi belum dapat menjalankan dengan baik asas kebebasan beragama dan kewajiban menghormati agama lain sesuai dengan Konstitusinya, serta belum dapat menghindari terjadinya manipulasi agama oleh/melalui politik – menghormati kehidupan beragama berarti juga penghormatan terhadap tempat peribadatan agama bersangkutan, kasus di kota Bogor (GKI Yasmin) sudah sepantasnya diselesaikan dengan ketegasan pemerintah.
-Indonesia adalah negara yang kaya dengan berbagai ragam tanaman dan hewan, namun tidak mampu untuk melindungi kepunahan hutannya dan satwanya - adanya perusakan hutan oleh perusahaan besar maupun oleh penduduk setempat, belum mendapat perhatian yang cukup serius dan nyata dari pemerintah - adanya Menteri Kehutanan dan Menteri Lingkungan Hidup tidak membantu banyak terhadap “kekuasaan ekonomi” perusahaan besar (nasional dan asing) yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan di Indonesia.  
Anomali di atas memang tidak enak dibaca, namun kita harus mengakui bahwa kalaupun ada perbedaan pendapat tentang besaran “aspek negatif”nya, tetapi tetap dalam kenyataannya anomali itu ada.

PENUTUP
Setelah kita meliwati masa Orde Lama dengan Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Revolusi, yang mengutamakan politik sebagai panglima, kita telah memasuki masa Orde Baru dengan Pak Harto sebagai Bapak Pembangunan yang mengutamakan ekonomi sebagai panglima. Sekarang kita sedang memasuki Era Reformasi yang pada awalnya menginginkan reformasi di segala bidang dan terutama di bidang hukum, dimulai dari amandemen terhadap UUD 1945, berbagai TAP-MPR(S) dan juga peraturan-peraturan yang menjurus kepada KKN. Adanya Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, KPK, Pengadilan TIPIKOR, PPATK, KPPU, KHN,KON Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, Komnas HAM, dan lainnya  yang sejenis, menunjukkan bahwa reformasi di bidang hukum dianggap penting sebagai motor penggerak terjadinya perubahan radikal dari keadaan iklim politik dan iklim ekonomi masa Orde Baru. Aspirasi awal era reformasi ini, sekarang hampir tidak terdengar lagi.
Aspirasi masyarakat memang sering tidak terdengar nyata, seperti heningnya malam, tetapi seperti arus sungai, arus aspirasi itu terus mengalir makin lama makin deras dan kemudian terkumpul dalam “samudra frustrasi”, yang  akhirnya dapat mengamuk seperti ombak yang dapat memecah batu karang ! (mengutip pendapat orang-bijak).Kiasan yang terkandung dalam kalimat di atas adalah serupa seperti yang sering dikatakan “waspadailah kemungkinan adanya bom waktu”. Ini bukan peringatan untuk aparat intel keamanan negara, tetapi ini adalah peringatan untuk para politisi, para pimpinan dan tokoh partai, dan para pejabat negara (eksekutif, yudikatf dan legislatif).
Dalam kedua jaman yang telah lalu itu, Negara Indonesia belum sepenuhnya merupakan perwujudan dari rakyat dengan  “bhineka tunggal ika”-nya (sebaiknya kita mengedepankan konsep masyarakat Indonesia yang “multikultural” dengan perlindungan tentang kesetaraan beragam kebudayaan di Indonesia). Negara diwujudkan hanya sebatas  bagaimana keinginan  pemerintahan yang berkuasa waktu itu, dan ini juga lebih dikuasai oleh kaum elit politik (dan elit bisnis) yang berkuasa. Gambaran sekarang pun menunjukkan bagaimana berkuasanya kelompok-kelompok yang dekat dengan elit partai dan elit bisnis, dan bagaimana pemerintahan seperti itu akan lebih mementingkan hukum yang membela kepentingan kaum elit, ketimbang kepentingan kelompok mayoritas yang kekuasaannya sangat marjinal. Tentu saja hal ini tidak baik untuk pembangunan hukum di Indonesia.      
Apabila kita tidak dapat mengendalikan korupsi di Indonesia, apabila pemerintah tunduk kepada kepentingan partai-partai politik yang berusaha untuk memperkaya pundi-pundi partai secara melawan hukum dan membiarkan perusahaan-perusahaan besar (asing dan domestik) berkolusi dengan pejabat-pejabat inti dengan merugikan hak-hak rakyat dan keuangan negara, maka bukan tidaklah mungkin bahwa aspirasi untuk mencapai masyarakat adil dan makmur akan menjadi “samudra frustrasi”. Ingat protes-protes yang  sekarang terjadi di Wallstreet ,New York dan yang sekarang juga  terjadi di Timur Tengah (demonstrasi melawan kerakusan korporasi dan pemerintahan yang otoriter).
Yang memerlukan perhatian pula adalah agar kita tidak meremehkan arti tanah bagi rakyat. Bagi petani dan warga desa, tanah itu seolah-olah “pusaka yang keramat”. Karena itu tidak ada harga kompensasi yang dapat dianggap “sudah layak” dalam alam pikiran mereka. Akuisisi tanah untuk perkembangan perindustrian ataupun pembangunan infrastruktur, serta tumbuhnya urbanisasi dalam bentuk daerah perkotaan, harus selalu dapat dirasakan oleh rakyat sebagai benar-benar menguntungkan mereka beserta keluarganya. Terutama oleh mereka yang terpaksa harus merelakan tanah mereka dan mencari tempat-tinggal di lokasi lain. Kegagalan negara untuk memberikan kompensasi yang adil (termasuk kegagalan menghilangkan calo-calo tanah), dan kurangnya perhatian kepada mereka untuk dibantu dalam menyesuaikan diri kepada kondisi baru dan tempat pemukiman baru, sangat memungkinkan terbentuknya  “bom waktu” untuk di kemudian hari. Peraturan agraria kita sebenarnya tidaklah buruk dan bersalah. Didalamnya telah terdapat pengakuan dan perlindungan akan hak-hak rakyat atas tanahnya. Yang keliru adalah penjabarannya dalam peraturan pelaksana dan penegakannya yang sering bersifat represif. Kita membutuhkan sebagai lanjutan dari Undang-undang Agraria 1961, suatu undang-undang yang mengatur tentang akuisisi tanah untuk keperluan pembangunan ekonomi, yang dilaksanakan sebagai akuisisi tanah atas nama negara dan yang seterusnya berakibat pula  pemindahkan rakyat dari lokasinya semula. Diperlukan suatu peraturan tentang “land acquisition, rehabilitation and resettlement”, yang lebih adil, mungkin  seperti yang ada  di India.


Enam-puluh-enam tahun merdeka dari penjajahan asing ternyata belumlah dirasakan dapat menghilangkan penindasan oleh kekuasaan politik, maupun terjadinya penindasan oleh kemiskinan dan oleh kebodohan bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Memang tentu saja banyak pula warga Indonesia yang mendapat “untung” (konglomerat Indonesia ? kelompok “middle class”/kelas menengah yang mulai muncul ?),dari keadaan ini – lihatlah gemerlapnya dunia malam di kota-kota besar Indonesia. Namun lebih banyak lagi yang “buntung” (merugi dalam kemerdekaan ini) – lihatlah rusaknya lahan pertanian, banyaknya pengangguran dan pengemis di jalanan. Kalau benar demikian apakah memang reformasi hukum dapat membantu memperbaiki keadaan ? Kita jangan lupa bahwa kemakmuran yang lebih besar pada kelompok “middle class”/ kelas menengah-baru ini, juga akan membawa keinginan yang lebih besar akan kebebasan dalam kegiatan ekonomi, tetapi juga dalam kehidupan politik. Bagaimana reformasi hukum dapat membantu mengarahkan terbentuknya peraturan-peraturan yang adil dan berpihak kepada “the silent majority”, itu adalah tantangan kita bersama, dan  jawabannya ada pada para pembaca!

*Suatu catatan-pribadi pada penghujung tahun 2011- tahun ke 11 Komisi Hukum Nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar