PENGANTAR
Tulisan ini merupakan
suatu retrospeksi tentang pengalaman mengikuti reformasi hukum yang dimulai
tahun 1998 – 13 tahun yang lalu – sambil mengenang tahap-tahap tertentu dalam
sejarah Negara Indonesia yang telah 66 tahun merdeka (1945-2011).
Sudah 66 tahun
kita merdeka dan sudah 11 tahun ada Komisi Hukum Nasional. Bagaimana sebenarnya
kemajuan di negara kita ini ? Khususnya kemajuan di bidang hukum. Mengapa harus
hukum ? Karena dua kali pelengseran presiden kita (ataukah tiga kali ?) membawa
harapan-harapan baru bahwa konstitusi kita (UUD 1945 yang pernah diagungkan itu)
benar-benar akan membawa bangsa Indonesia menjadi masyarakat yang “adil dan
makmur”. Kemajuan hukum penting, karena seperti dikatakan oleh Konstitusi kita
dengan Pancasilanya, bahwa Indonesia adalah “negara berdasarkan hukum dan bukan
berdasarkan kekuasaan”.
Tahun 1996/1997
(sebelum lengsernya Presiden Suharto) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) merasa perlu melakukan
survey diagnostik mengenai kondisi hukum di Indonesia setelah kita memasuki
Repelita ke-6 (1993 – 1998). Hasilnya terbit setahun kemudian dalam bahasa
Inggris dan bahasa Indonesia. Sebelum hasil survey ini (dengan
rekomendasi-rekomendasinya) dapat dibahas dan diterapkan oleh komunitas hukum
kita, terjadi perubahan politik yang cukup dahsyat Memang tidak separah (dan
berdarah) seperti pada turunnya Presiden Sukarno tahun 1965, tetapi tetap
membawa korban. Perpindahan dari Suharto ke Presiden Habibie hanya sebentar
membawa kegembiraan di kalangan hukum, konflik Timor Timur yang membawa juga
cukup banyak korban, kembali menunjukkan bahwa Indonesia masih “negara berdasarkan
kekuasaan dan belum berdasarkan hukum” !
Kita memasuki
Era Reformasi (dengan slogannya “hilangkan KKN” : Korupsi – Kolusi – dan
Nepotisme), dimulai dengan Habibie yang kemudian tidak dipilih kembali oleh MPR
dan kemudian digantikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid dengan Wakil Presiden
Megawati. Mencoba mengemban aspirasi “ganyang KKN” dan reformasi di bidang
hukum, maka dibentuklah Komisi Hukum Nasional (KHN) dan Komisi Ombudsman Nasional
(KON) dalam tahun 2000. Yang pertama adalah untuk membantu mendesain suatu pola
reformasi di bidang hukum, dan yang kedua adalah untuk menerima dan meneruskan
untuk ditindaklanjuti, pengaduan tentang penyalahgunaan kewenangan hukum oleh
birokrasi. Berhasilkah mereka ? Kita melihat dahulu sebentar ke era sebelumnya.
ERA SUKARNO-SUHARTO-DAN HABIBE
Era ini penuh
gejolak, dimulai 1950 dan berahir tahun 1999, lebih kurang 40 tahun – 10 tahun
pertama dengan pemerintahan Orde Lama (Bung Karno dan pada awalnya dengan Bung
Hatta, sebagai penjelmaan “Dwi-Tunggal”) dan 30 tahun berikutnya dalam pemerintahan
Orde Baru (Pak Harto dengan Wapres terakhir Pak Habibie, yang kemudian
meneruskan sisa waktu Pak Harto). Menurut saya pada era ini hukum kurang atau
malah tidak mendapat perhatian. Jaman Orla, politik yang dominan, sedangkan
pada jaman Orba fokus adalah pada ekonomi. Hukum seakan-akan dianggap tidak
bermanfaat untuk kemajuan masyarakat. Kita ingat pendapat Bung Karno bahwa
dengan para sarjana hukum tidak mungkin diadakan revolusi (“met juristen kan je geen revolutie maken”). Menunjukkan celaan
beliau kepada kekakuan berpikir para sarjana hukum kita ! Coba kita lihat contoh di bawah ini.
Hukum perdata
yang tertulis dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Hindia Belanda – Burgerlijk Wetboek – BW) dinyatakan
secara resmi oleh Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro hanya sebagai
pedoman. Meskipun demikian dalam kenyataannya pengadilan dan para advokat tetap
mempergunakan pasal-pasalnya secara utuh. Teks KUHPerdata, KUHDagang dan
KUHPidana masih tetap dalam bahasa Belanda (sebagai teks otentik), dan tidak
pernah dibuat terjemahan resmi (otentik); namun di pengadilan dipergunakan teks
terjemahan yang tidak-otentik. Demikian pula sikap kepada HIR (Herziend Indonesische Reglement), KUHAcara
Pidana, meskipun kemudian tahun 1981 diundangkan KUHAP Nasional. Banyak sarjana
hukum, banyak pelanggaran hukum (oleh penguasa maupun rakyatnya), banyak
fakultas hukum, namun hukum sepertinya tetap beku dan bisu, kurang dapat
mempedomani kebijakan-kebijakan yang benar-benar ingin membangun negara hukum
Indonesia. Lebih baikkah era selanjutnya ?
ERA GUS DUR DAN MEGAWATI
Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan Sekretaris Kabinet Dokter Marsilam
Simanjuntak, SH rupanya memang serius ingin memulai era baru dengan membangun
suatu pemerintahan yang pro-rakyat dan sungguh-sungguh menjalankan “rule of law”. Melalui antara lain Komisi
Hukum Nasional (KHN) dan Komisi Ombudsman Nasional (KON), menurut pendapat saya
ingin diupayakan dua asas utama rule of
law yaitu : Accountable Government dan
Access to Justice. Sayang tidak pernah
terungkap secara jelas siapa yang “membisikkan” kepada Gus Dur tentang perlunya
kedua komisi ini, dan bagaimana peranan kedua komisi ini dalam pemerintahan Gus
Dur serta apa yang sebenarnya diharapkannya dari kedua komisi ini untuk masa
depan Indonesia. Ketidakjelasan ini telah memubazirkan peranan kedua komisi ini
dalam membangun suatu keberpihakan yang lebih besar kepada hukum oleh “peguasa Indonesia”
(baca: “kekuasaan politik dan kekuasan ekonomi”).Keterlibatan Gus Dur dalam “Bulogate dan Bruneigate” dan peng”lengser”annya kemudian, tidak juga membantu
didukungnya secara nyata cita-cita rule of law di Indonesia.
Wapres Megawati
adalah yang mewakili Gus Dur melantik kedua komisi ini. Kemungkinan besar
beliau tidak pernah diajak bicara secara mendalam tentang maksud Gus Dur dengan
kedua komisi ini. Seperti Gus Dur Megawati juga mempunyai “orang dekat” bidang
hukum yaitu Bambang Kesowo, SH.LLM yang telah lama bertugas memimpin Sekretariat
Kabinet.Namun dalam masa kepemimpinan Megawati sebagai Presiden menggantikan
Gus Dur, tidak banyak juga perhatian dicurahkan kepada pembangunan di bidang
hukum, kecuali pembuatan berbagai peraturan (yang terkenal adalah UU tentang
Terorisme dan UU tentang KPK). Masa kepresidenan Megawati, bagi saya, juga
tidak mengubah wajah hukum yang coreng-moreng.
ERA SBY JILID 1
Presiden SBY
yang semula pernah menjabat Menteri Koordinator PolHuKam (bidang Politik Hukum
dan Keamanan) diharapkan oleh banyak kalangan akan mempunyai lebih banyak
simpati pada perlunya rule of law dijalankan
secara sungguh-sungguh di Indonesia. Penghormatan dalam kehidupan bernegara
akan asas ini akan membantu kalangan investor mempercayai hukum Indonesia
(terutama setelah krisis ekonomi Asia 1997), dan membantu pula kepercayaan
kembali masyarakat kepada hukum untuk menjadi pedoman memperoleh keamanan dan
mencapai kesejahteraan pada diri dan keluarganya. Asas rule of law ini tidak saja penting untuk para sarjana hukum dan
penegak hukum, karena asas ini juga penting, misalnya untuk kalangan bisnis (pegusaha
domestik dan asing), kalangan kesehatan (para dokter dan pengelola rumah
sakit/rumah sehat serta apotik), kalangan pemborong bangunan (para insinyur
infrastruktur dan kawasan hunian) dan kalangan media massa (media massa cetak
dan televisi). Semuanya berkepentingan bahwa kehidupan berbangsa dilakukan
berlandaskan hukum dan bukan kekuasaan.
Apakah hal ini
tercapai ? Empat syarat utama tercapainya rule
of law dapat diajukan di sini : a)Pemerintahan yang bertanggung jawab di
bawah hukum; b)Undang-undang yang jelas, diterbitkan, ajeg dan adil serta
melindungi hak-hak asasi warganegara (a.l keamanan pribadi dan milik); c)Proses
pembuatan undang-undang dan penegakkannya yang terbuka, adil dan efisien; d)Penyelenggaraan
dan akses kepada pengadilan dilaksanakan oleh atau melalui tenaga yang ahli dalam jumlah yang
cukup, serta mencerminkan keragaman penduduk Indonesia yang multikultural (World Justice Project, Rule of Law Index,2011). Apakah hal ini tercapai
dalam pemerintahan SBY Jilid 1 ? Mari
kita lihat.
Dibandingkan
dengan jaman Orde Baru, diakui telah banyak dicapai kemajuan di bidang
pertanggungjawaban pemerintah secara umum di bawah hukum. Hal ini dapat kita
lihat a.l dengan ketaatan/kesediaan pemerintah melalui menteri-menterinya mempertanggungjawabkan
kebijakannya di DPR. Hal yang tidak terbayangkan dalam masa Orde Baru, karena
pemerintah dikuasai Golkar dan DPRpun dikuasai Golkar. Namun beberapa kelemahan
perlu disoroti, seperti dicoba ditunjukkan di bawah ini.
Legislasi
undang-undang yang dilakukan di DPR ,seharusnya melalui suatu “rencana” yang
terbuka untuk diskusi/komentar di forum publik” (dikenal sebagai Prolegnas).
Hal ini hanya terjadi pada awal, tetapi karena ketiadaan jadwal yang jelas dan
konsisten, maka publik kemudian sukar mengikuti diskusi di DPR. Juga para
anggota DPR yang turut dalam diskusi lebih mementingkan “pesan sponsor yang
tidak jelas”, ketimbang aspirasi masyarakat. Di bidang penegakan hukum, baik
perdata maupun pidana, prosesnya masih dikeluhkan sebagai sering tidak adil
bagi mereka yang tidak mampu “membayar penegak hukum”. Kelompok advokat yang
seharusnya membuka akses ke pengadilan, juga terlibat dalam “mafia hukum” ini.
Seharusnya DPR
berfungsi sebagai “pengawas” jalannya pemerintahan yang baik, konsepnya adalah “good governance”. Sayangnya, permainan
partai politik sering menyebabkan DPR lebih mengutamakan kepentingan partai,
ketimbang kepentingan masyarakat luas. Apabila kepentingan partai terkait
perbedaan dalam ideologi partai, hal ini tentu dapat dimaklumi. Namun yang terjadi
justru lebih dipentingkannya kekuasaan untuk mengisi pundi-pundi partai dan
(tentu saja) pundi-pundi pribadi. Contohnya adalah skandal “Bangar” DPR yang
“dibocorkan” dalam kasus Nasruddin (mantan Bendahara partai). Yang jelas sosok
anggota DPR banyak terlihat sebagai bukan sosok negarawan, namun lebih sosok
pengusaha (yang mengutamakan keuntungan pribadi). Dalam keadaan yang suram
seperti ini, masih ada sedikit “cahaya matahari”, yaitu kebebasan berpendapat
yang tercermin antara lain dalam bebagai diskusi publik dan juga di media
massa. Hal ini harus dipertahankan dan dibela oleh para cendekiawan dan
praktisi hukum. Karena kebebasan menyatakan pikiran dan mengkritik pemerintah, adalah tiang utama dalam mempertahankan
demokrasi sosial dan politik di Indonesia. Bagaimana dengan masa kepemimpinan
lanjutan Presiden SBY ?
ERA SBY JILID 2
Pada tahun 2010
dilaporkan bahwa dalam ASEAN Corruption
Perception Index, Indonesia masih dinilai buruk (2,8), jauh di bawah
Singapura (9,3), Brunei (5,5), Malaysia (4,4) dan Thailand (3,5). Sedikit
bangga Karena di atas Vietnam (2,7) dan Filipina (2,4). Dilihat dari Income Per Capita Indonesia (USD 2.155)
masih di bawah Filipina (2.477), Thailand (4.134), dan Malaysia (7.817).
Apalagi Brunei (USD 38.146) dan Singapura (37.416). Korupsi dan kemiskinan
serta pengangguran masih mewarnai wajah negara kita.
Menurut hitungan
orang Jawa kemerdekaan kita sudah meliwati 8 windhu (64 tahun), dan sudah
mempunyai 6 (enam) presiden (dikatakan juga 8 presiden, bila mengikutsertakan Syafruddin
Prawiranegara dan Assaat). Pada masa presiden SBY dalam masa baktinya yang
kedua, saya mencatat anomali sebagai berikut :
-Indonesia
adalah negara dengan penduduk terbesar ke-4 di dunia, tetapi juga termasuk
terbesar dalam kemiskinan serta kesenjangan antara kaya dan miskin (misalnya
angka kemiskinan di NTT, adalah 21,23%) – dan termasuk dalam permasalahan ini adalah
besarnya “utang negara” dan “utang swasta”, tetapi juga tercatatnya konglomerat
Indonesia termasuk 10 terkaya di ASEAN (a.l dari Sinar Mas, BCA, Bumi Resources, Bayan Resources, dan Sampoerna).
-Indonesia
adalah negara terbesar ke-3 sebagai “negara demokratik”, tetapi nyatanya di
daerah belahan Timur Indonesia, rakyat belum dapat sepenuhnya menikmati
perlindungan terhadap pelanggaran HAM oleh aparat pemerintah (daerah dan pusat)
– masalah kekerasan di Papua akhir-akhir ini (baik oleh aparat keamanan,maupun
oleh penduduk) sungguh mencoreng muka kita sebagai negara demokratik.Juga
persentase penduduk miskin di provinsi Papua dan provinsi Papua Barat merupakan
yang tertingi di antara 33 provinsi di Indonesia (37% dan 35%). Otonomi Khusus
Papua (UU No 21/2001) dan Dana Otsus yang tidak dilaksanakan dengan baik
(terjadi penyimpangan yang menyolok – Harian Republika,4 November 2011, hal 23-24).Akibatnya
Kongres Rakyat Papua ke III, 19 Oktober 2011, berakhir rusuh dengan kekerasan.
-Indonesia
adalah negara Muslim terbesar di dunia, tetapi belum dapat menjalankan dengan
baik asas kebebasan beragama dan kewajiban menghormati agama lain sesuai dengan
Konstitusinya, serta belum dapat menghindari terjadinya manipulasi agama oleh/melalui
politik – menghormati kehidupan beragama berarti juga penghormatan terhadap tempat
peribadatan agama bersangkutan, kasus di kota Bogor (GKI Yasmin) sudah
sepantasnya diselesaikan dengan ketegasan pemerintah.
-Indonesia
adalah negara yang kaya dengan berbagai ragam tanaman dan hewan, namun tidak
mampu untuk melindungi kepunahan hutannya dan satwanya - adanya perusakan hutan
oleh perusahaan besar maupun oleh penduduk setempat, belum mendapat perhatian
yang cukup serius dan nyata dari pemerintah - adanya Menteri Kehutanan dan
Menteri Lingkungan Hidup tidak membantu banyak terhadap “kekuasaan ekonomi”
perusahaan besar (nasional dan asing) yang tidak memperhatikan kelestarian
lingkungan di Indonesia.
Anomali di atas
memang tidak enak dibaca, namun kita harus mengakui bahwa kalaupun ada
perbedaan pendapat tentang besaran “aspek negatif”nya, tetapi tetap dalam
kenyataannya anomali itu ada.
PENUTUP
Setelah kita
meliwati masa Orde Lama dengan Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Revolusi, yang
mengutamakan politik sebagai panglima, kita telah memasuki masa Orde Baru
dengan Pak Harto sebagai Bapak Pembangunan yang mengutamakan ekonomi sebagai
panglima. Sekarang kita sedang memasuki Era Reformasi yang pada awalnya
menginginkan reformasi di segala bidang dan terutama di bidang hukum, dimulai
dari amandemen terhadap UUD 1945, berbagai TAP-MPR(S) dan juga
peraturan-peraturan yang menjurus kepada KKN. Adanya Mahkamah Konstitusi, Komisi
Yudisial, KPK, Pengadilan TIPIKOR, PPATK, KPPU, KHN,KON Komisi Kepolisian,
Komisi Kejaksaan, Komnas HAM, dan lainnya yang sejenis, menunjukkan bahwa reformasi di
bidang hukum dianggap penting sebagai motor penggerak terjadinya perubahan
radikal dari keadaan iklim politik dan iklim ekonomi masa Orde Baru. Aspirasi
awal era reformasi ini, sekarang hampir tidak terdengar lagi.
Aspirasi
masyarakat memang sering tidak terdengar nyata, seperti heningnya malam, tetapi
seperti arus sungai, arus aspirasi itu terus mengalir makin lama makin deras
dan kemudian terkumpul dalam “samudra frustrasi”, yang akhirnya dapat mengamuk seperti ombak yang
dapat memecah batu karang ! (mengutip pendapat orang-bijak).Kiasan yang
terkandung dalam kalimat di atas adalah serupa seperti yang sering dikatakan
“waspadailah kemungkinan adanya bom waktu”. Ini bukan peringatan untuk aparat
intel keamanan negara, tetapi ini adalah peringatan untuk para politisi, para
pimpinan dan tokoh partai, dan para pejabat negara (eksekutif, yudikatf dan legislatif).
Dalam kedua
jaman yang telah lalu itu, Negara Indonesia belum sepenuhnya merupakan
perwujudan dari rakyat dengan “bhineka
tunggal ika”-nya (sebaiknya kita mengedepankan konsep masyarakat Indonesia yang
“multikultural” dengan perlindungan tentang kesetaraan beragam kebudayaan di
Indonesia). Negara diwujudkan hanya sebatas bagaimana keinginan pemerintahan yang berkuasa waktu itu, dan ini
juga lebih dikuasai oleh kaum elit politik (dan elit bisnis) yang berkuasa.
Gambaran sekarang pun menunjukkan bagaimana berkuasanya kelompok-kelompok yang
dekat dengan elit partai dan elit bisnis, dan bagaimana pemerintahan seperti
itu akan lebih mementingkan hukum yang membela kepentingan kaum elit, ketimbang
kepentingan kelompok mayoritas yang kekuasaannya sangat marjinal. Tentu saja
hal ini tidak baik untuk pembangunan hukum di Indonesia.
Apabila kita
tidak dapat mengendalikan korupsi di Indonesia, apabila pemerintah tunduk
kepada kepentingan partai-partai politik yang berusaha untuk memperkaya pundi-pundi
partai secara melawan hukum dan membiarkan perusahaan-perusahaan besar (asing
dan domestik) berkolusi dengan pejabat-pejabat inti dengan merugikan hak-hak rakyat
dan keuangan negara, maka bukan tidaklah mungkin bahwa aspirasi untuk mencapai
masyarakat adil dan makmur akan menjadi “samudra frustrasi”. Ingat
protes-protes yang sekarang terjadi di Wallstreet ,New York dan yang sekarang
juga terjadi di Timur Tengah
(demonstrasi melawan kerakusan korporasi dan pemerintahan yang otoriter).
Yang memerlukan
perhatian pula adalah agar kita tidak meremehkan arti tanah bagi rakyat. Bagi
petani dan warga desa, tanah itu seolah-olah “pusaka yang keramat”. Karena itu
tidak ada harga kompensasi yang dapat dianggap “sudah layak” dalam alam pikiran
mereka. Akuisisi tanah untuk perkembangan perindustrian ataupun pembangunan
infrastruktur, serta tumbuhnya urbanisasi dalam bentuk daerah perkotaan, harus
selalu dapat dirasakan oleh rakyat sebagai benar-benar menguntungkan mereka
beserta keluarganya. Terutama oleh mereka yang terpaksa harus merelakan tanah
mereka dan mencari tempat-tinggal di lokasi lain. Kegagalan negara untuk memberikan
kompensasi yang adil (termasuk kegagalan menghilangkan calo-calo tanah), dan
kurangnya perhatian kepada mereka untuk dibantu dalam menyesuaikan diri kepada
kondisi baru dan tempat pemukiman baru, sangat memungkinkan terbentuknya “bom waktu” untuk di kemudian hari. Peraturan
agraria kita sebenarnya tidaklah buruk dan bersalah. Didalamnya telah terdapat
pengakuan dan perlindungan akan hak-hak rakyat atas tanahnya. Yang keliru
adalah penjabarannya dalam peraturan pelaksana dan penegakannya yang sering
bersifat represif. Kita membutuhkan sebagai lanjutan dari Undang-undang Agraria
1961, suatu undang-undang yang mengatur tentang akuisisi tanah untuk keperluan
pembangunan ekonomi, yang dilaksanakan sebagai akuisisi tanah atas nama negara
dan yang seterusnya berakibat pula pemindahkan
rakyat dari lokasinya semula. Diperlukan suatu peraturan tentang “land acquisition, rehabilitation and resettlement”,
yang lebih adil, mungkin seperti yang
ada di India.
Enam-puluh-enam tahun merdeka dari penjajahan
asing ternyata belumlah dirasakan dapat menghilangkan penindasan oleh kekuasaan
politik, maupun terjadinya penindasan oleh kemiskinan dan oleh kebodohan bagi
sebagian besar rakyat Indonesia. Memang tentu saja banyak pula warga Indonesia
yang mendapat “untung” (konglomerat Indonesia ? kelompok “middle class”/kelas menengah yang mulai muncul ?),dari keadaan ini – lihatlah gemerlapnya dunia malam di kota-kota
besar Indonesia. Namun lebih banyak lagi yang “buntung” (merugi dalam
kemerdekaan ini) – lihatlah rusaknya lahan pertanian, banyaknya pengangguran
dan pengemis di jalanan. Kalau benar demikian apakah memang reformasi hukum
dapat membantu memperbaiki keadaan ? Kita jangan lupa bahwa kemakmuran yang
lebih besar pada kelompok “middle class”/
kelas menengah-baru ini,
juga akan membawa keinginan yang lebih besar akan kebebasan dalam kegiatan
ekonomi, tetapi juga dalam kehidupan politik. Bagaimana reformasi hukum dapat
membantu mengarahkan terbentuknya peraturan-peraturan yang adil dan berpihak kepada
“the silent majority”, itu adalah
tantangan kita bersama, dan jawabannya
ada pada para pembaca!
*Suatu
catatan-pribadi pada penghujung tahun 2011- tahun ke 11 Komisi Hukum Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar