Sekali lagi tentang reformasi
Banyak
orang sudah bosan dan kecewa kalau ada tulisan tentang reformasi, apalagi
reformasi di bidang hukum. Tetapi makalah ini ingin mengangkat kembali tema
reformasi karena dalam persaingan mencari Presiden yang akan datang masih
diperlukan masukan dari masyarakat tentang harapan mereka. Tulisan ini dibuat
bersama, berdasarkan sebuah tulisan terdahulu yang dibuat dan diedarkan oleh Subagio Sutjitro SH (seorang Lansia
yang menulis tanpa-pretensi dengan menyatakan dirinya “bukan siapa-siapa” –
orang Inggris mengatakannya “I am a
Nobody” ).Tulisan tersebut sudah beredar lebih dari dua tahun - dengan mengangkat tema utama “ perlu adanya Reformasi Moral !”)[1].
Tentu
kita dapat saja bersikap skeptis tentang: “apa yang dimaksudkannya dengan moral
itu”? Moral siapa ? Memang “moral” dapat didefinisikan sebagai sikap hidup yang
dapat membedakan antara baik dengan buruk. Tetapi baik dan buruk menurut siapa
?[2]
Tetapi
kalau kita mau jujur melihat sekitar kita, maka ada benarnya pendapat bahwa “Negara
RI sudah di pinggir jurang”[3]. Untuk sekedar ilustrasi tentang keadaan
suram itu akan diajukan tujuh masalah berat yang dihadapi Indonesia saat ini
(tahun 2013 menghadapi Pemilu 2014). Tujuh masalah itu menyangkut: Moral – Korupsi – Narkoba – Utang Negara
– Demokrasi ala Indonesia – Penderitaan Rakyat – dan Harga Minyak Dunia. Masalah-masalah
inilah yang harus dihadapi oleh pemimpim bangsa yang akan terpilih menjadi
Wakil Rakyat di DPR/DPRD dan tentunya oleh Presiden dan Wakil Presiden yang
dipilih secara langsun oleh rakyat.
Tetapi
makalah ini juga tidak ingin terlalu pesimistis dan skeptis, apalagi justru
ingin jauh dari sikap apatis, maka pemikiran dalam makalah ini justru bersifat
optimis karena melihat bahwa masih ada harapan – asal Presiden
yang akan datang bersedia memperhatikan tulisan ini. Meskipun makalah ini dapat
dianggap agak “tekabur” (karena ingin menyaingi makalah para penasihat Presiden yang akan datang), tetapi kami sangat berharap bahwa para Pembaca
yang budiman sudi merenungkan isi
makalah ini dan memberi tanggapan apakah memang masuk akal analisa dan solusinya.
Tujuh masalah berat yang kita hadapi
Kita
semua heran bahwa korupsi menjadi meningkat justru setelah Negara kita memasuki
Era Reformasi yang menggantikan Era Orde Baru (1967 – 1998).Bagi para penulis makalah ini, penyebabnya adalah
pada moral pejabat kita serta sebagian anggota masyarakat. Kerusakan moral (masalah ke-1) ini dalam istilahnya sudah van top tot teen (dari ujung rambut
kepala sampai kelingking jari kaki). Istilah ini berarti kerusakan moral itu
“telah menyeluruh” – dari pejabat yang paling tinggi sampai pegawai negeri yang
paling rendah.Artinya adalah bahwa mereka ini tidak dapat lagi menyadari apakah
perbuatan mereka itu (seperti “menerima atau memberi suap”, “memalsukan harga
pembelian barang/jasa atau pembayaran proyek pemerintah”, “memanipulasi pajak”
dan yang sejenis) adalah keliru, buruk, merugikan publik dan negara.Kalau kita
ikuti jalan pikiran ini, maka selama 30 tahun Era Orde Baru telah terjadi
perubahan nilai-nilai tentang perbuatan apa yang merugikan sesama kita (publik)
dan karena itu harus dihindari oleh seorang pejabat negara. Saran kami
disinilah seharusnya inti reformasi kita.
Akibat
kerusakan moral yang menyeluruh ini, maka terjadilah korupsi.Sebenarnya adanya korupsi dalam masyarakat kita sudah
diakui semasa Era Orde Lama oleh Presiden Soekarno dan suatu Komisi Negara yang
dipimpin oleh Wakil Presiden Moh.Hatta telah dibentuk untuk menyarankan
penanggulangnnya. Dari sinilah timbul pemeo (ejekan, olok-olok) bahwa di
Indonesia “korupsi telah membudaya”.Pemeo ini sering dikaitkan sebagai ucapan
Bung Hatta. Seingat kami (waktu itu tahun 1956/57 ketika kami mahasiswa FHUI)
maksud Bung Hatta justru “janganlah
korupsi di Indonesia membudaya”. Tetapi peringatan ini tidak diindahkan
oleh pemimpin-pemimpin bangsa kita, sehingga selama 30 tahun pimpinan Pak Harto
dengan Tim Ekonominya, perubahan nilai-nilai tentang tatacara memanfaatkan
sumber daya alam serta dana negara terjadi, terutama dimanfaatkan untuk
memperkaya diri, keluarga dan kelompok oleh mereka yang merupakan lingkaran
dalam sekeliling Pak Harto (kemudian dikenal sebagai “kelompok Cendana”). Tidak
ada angka jelas tentang besar dan luasnya korupsi pada Era Orde Baru, orang
hanya dapat menduga dengan melihat timbulnya konglomerasi perusahaan-perusahaan
yang dikuasai keluarga Pak Harto ataupun keluarga anggota kelompok Cendana.
Namun dalam Era Reformasi ini (mulai tahun 1998) dengan adanya keterbukaan
informasi melalui media massa, serta adanya berbagai organisasi masyarakat yang
memantau jalannya pemerintahan, maka menjadi lebih jelas adanya “korupsi besar-besaran” yang sistematis
(masalah ke-2) yang dilakukan pihak Eksekutif di Pusat dan Daerah, serta
diikuti pula oleh pihak Legislatif melalui kolusi antara anggota DPR/DPRD
dengan anggota Pemerintah Pusat dan Daerah. Apakah jajaran Yudikatif bebas dari
perbuatan a-moral ini ? Ternyata tidak ! Hakim, Jaksa dan Polisi pun tidak
kebal terhadap “virus wabah korupsi” yang mulai bersemi di Era Orde Baru.Sampai
saat ini KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) masih belum berhasil untuk “menetralisir”
sumber “virus wabah” ini.
Menurut
catatan yang dapat diperoleh, maka korupsi besar dan sistematis yang telah terjadi adalah a.l. :
-sebesar
-/+40% dari RAPBN 2012 Rp 1.418,5 Triliun atau -/+ Rp.567,40 Triliun; dan
-sebesar
-/+40% dari RAPBN 2013 Rp 1.657,9 Triliun atau -/+ Rp.663,16 Triliun; [4]
sehingga
dana yang mungkin dikorupsi dengan persentase 40% tersebut dari RAPBN 2012,
2013, dan 2014 saja dapat mencapai -/+ Rp.2.000,- Triliun. Sungguh angka yang
fatastis dan pasti akan menghambat proyek-proyek besar dan ambisius Pemerintah
SBY. Hal ini sebenarnya telah pernah
diperingatkan a.l. oleh Menko Hata Rajasa dalam suatu wawancara TV mengenai
MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Patutlah
warga masyarakat gelisah melihat besarnya utang Negara kita, yang perlu
dikembalikan dan tentu dengan bunganya – semua akan menjadi utang anak- cucu-
dan cicit kita !
Masalah ke-3
adalah Narkoba.Permasalahan ini
bukan masalah domestik Indonesia saja, tetapi menjadi masalah dunia – telah
menjadi transnational organized crime.
Ini disebabkan karena perdagangan narkoba ini telah menjadi suatu
gurita-kejahatan yang dikuasai oleh “pengusaha-jahat” yang hidup bermewah-mewah
di atas penderitaan mereka yang menjadi “pengguna-narkoba” (drug addicts).Kekuasaan “penjahat-berdasi”
(white collar criminals) yang
menguasai perdagangan narkoba mencapai puncaknya dengan kemampuan mereka
menguasai lembaga-lembaga pemasyrakatan (penjara) di Indonesia. Media massa
memberitakan bagaimana Lapas dijadikan “pabrik narkoba” dan bagaimana gembong
narapidana kejahatan narkoba masih dapat mengarahkan perdagangan narkoba di
luar penjara di Indonesia dari dalam sel penjara. Lebih menherankan lagi, baik
Dirjen Pemasyarakatan maupun kepala Lapas seperti kebal dari tuduhan terlibat
dalam “perdagangan narkoba” di dalam dan di luar penjara ini ! Penderitaan
masyarakat Indonesia dari keadaan ini haruslah dianggap sudah seperti “wabah
penyakit” dengan 5 juta penderita ketergantungan narkoba dan dengan 50 orang
(rakyat Indonesia) meninggal setiap hari karena wabah ini ! Meskipun sudah
dibentuk BNN (Badan Narkotika Nasional) yang bertugas menanggulangi
“wabah-narkoba” ini, tetapi sepertinya pemerintah kalah melawan “mafia narkoba”
di Indonesia ini.[5]
Utang Negara yang
semakin besar adalah masalah ke-4
yang disinyalir oleh berbagai media massa dan pakar-pakar ekonomi.[6]
Jumlahnya memang menakjubkan: tahun 2010 Rp.1.688,3 Triliun – tahun 2011 -/+
Rp.1.807,5 Triliun – dan di tahun 2011 -/+ Rp.1939 Triliun, jadi setiap tahun utang negara itu bertambah. Menurut Prof.Sumitro Djojohadikusumo pada
pertengahan Era Orde Baru (-/+ awal tahun 1980-an) dana bantuan (baca
pinjaman!) yang diperoleh dari luar negeri sekitar 20% masuk kantung pejabat
dan pengusaha secara illegal (berarti dikorupsi). Sekarang dana yang mengalir
kekantong pejabat dan pengusaha “hitam” diperkirakan sudah mencapai 40%. Utang
yang dibuat semasa Era Orde Baru (1967 – 1987 di bawah Pak Harto) harus dibayar
rakyat kita dibawah pimpinan Presiden RI yang berbeda (mulai Habibie, Gus Dur,
Megawati, dan SBY). Berarti semua
presiden yang akan datang harus menanggung utang negara yang makin lama makin
besar, termasuk dana yang dikorupsi dalam masa pemerintahannya. Jadi yang
perlu dipahami siapapun yang ingin jadi presiden RI di masa yang akan datang (terutama
presiden ke-7 yang akan terpilih nanti tahun 2014), bahwa utang-utang negara yang telah dikorupsi secara
sistematis dan berjumlah -/+ 40% dari RAPBN, harus dilunasi atau
sekurang-kurangnya diangsur kembali oleh Presiden RI yang berikutnya. Beban dan
tanggungjawab yang berat bagi seorang presiden yang berniat jujur untuk tidak
memanfaatkan kedudukannya menambah utang (dan korupsi) negara.
Ada
yang berpendapat bahwa salah satu kemajuan yang dicapai dalam Era Reformasi ini
(setelah 1998), adalah tumbuhnya proses demokrasi di Indonesia. Menurut
pengamatan publik, justru demokrasi ini
menjadi masalah ke-5 di Indonesia. Kita mendambakan adanya pemerintahan
yang benar demokratik di Indonesia[7] setelah mengalami
masa Era Orde Lama dengan “demokrasi terpimpin” nya Bung Karno (Presiden ke-1:1945-1967)
dan Era Orde Baru dengan “demokrasi Pancasila” nya Pak Harto (Presiden ke-2:
1967 – 1998). Pada kedua era itu demokrasi telah “diplintir” dengan adanya
Soekarno sebagai Presiden Seumur Hidup dan Soeharto sebagai Presiden yang
selalu dipilih kembali oleh MPR. Sekarang kita mempunyai pemilihan presiden
secara langsung oleh rakyat dan mempunyai beberapa presiden yang berganti
(Habibie-Gus Dur-Megawati-dan SBY). Tetapi benarkah kita telah memasuki era
demokrasi yang sesungguhnya ? Menurut berbagai pakar ilmu politik belum !
Menurut pakar-pakar ini yang kita hadapai sebagai masalah ke-5 di Indonesia
adalah terjadinya “demokrasi yang
berlandaskan money politics”.[8] Para warga negara
yang berhak memilih “dibayar untuk memenangkan seorang calon”. Suatu
pelanggaran besar dalam masyarakat demokratik yang harus dapat secara bebas dan
rahasia menyampaikan pilihannya tentang calon (-calon) yang akan mewakilinya di
DPR/DPRD dan akan menjabat sebagai Presiden atau Kepala Daerah.Ini dapat kita namakan
“demokrasi salah arah” atau “demokrasi acak-acakan”. Besarnya biaya untuk
kampanye seorang calon dan sering perlunya dia “menyuap” para konstituennya
telah mengakibatkan timbulnya sengketa Pemilu yang terus-menerus dan yang harus diselesaikan akhirnya melalui Mahkamah Konstitusi (MK).
Masalah ke-6 adalah “penderitaan
rakyat”
Tentu
tidak perlu banyak uraian tentang hal ini – media massa sudah cukup
memberitakan bagaimana setelah 68 tahun merdeka, rakyat masih melihat bagaimana
para elite bangsa kita (pegawai tinggi pemerintahan kita – pejabat terhormat di
DPR dan Mahkamah Agung RI – serta Pengusaha Besar dan Politikus/Pimpinan
Partai) hidup serba mewah, bukan karena kerja keras, tetapi karena “menyadap”
Anggaran Negara yang harusnya dapat digunakan untuk kesejahteraan rakyat (pangan
dan papan murah – pendidikan murah – kesehatan murah – lalu-lintas darat dan
laut murah – urusan dengan aparat penegak hukum dan aparat pamong-praja tidak
“diperas” ). Ini semua yang dijanjikan waktu rakyat akan “dibebaskan” dari
penjajahan Hindia Belanda. Tetapi banyak rakyat yang menggrutu bahwa keadaan
sekarang belum berubah – bedanya hanya bahwa “penjajah rakyat” ini adalah elite
bangsa sendiri ![9]
Masalah ke-7 adalah “kenaikan
harga minyak di dunia”[10]
Sumber
daya minyak Indonesia diperkirakan sudah sangat berkurang (dibanding tahun 1980-an,
30 tahun lalu). Apalagi Indonesia sekarang harus mengimpor minyak dan harga
minyak di dunia bertambah mahal, menyebabkan subsidi untuk menekan harga BBM di
dalam negeri telah naik terus, mengakibatkan perlunya kebijakan yang tidak
populer adalah menaikkan harga BBM subsidi dan melarang kendaraan pemerintah
memakai BBM subsidi. Naiknya harga minyak di dunia ini ternyata sangat mempengaruhi
perekonomian Indonesia, yang sedang menghadapi tekanan inflasi yang tinggi,
subsidi BBM yang besar dan pelebaran defisit perdagangan minyak.[11]
Keadaan Indonesia yang baik yang
diharapkan
Dalam
dua periode kepresidenan yang akan datang (2014-2019 dan 2019-2024), maka
diharapkan bahwa Indonesia yang “adil dan makmur” (Gemah Ripah Loh Jinawe) itu, akan mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
1)-Bangsa
Indonesia telah dapat membebaskan diri dari korupsi (dalam Indeks Persepsi
Korupsi menjadi di atas dekat dengan Singapura) dan juga pengangguran menjadi
sangat berkurang serta kita dapat menghindari bahaya narkoba yang meluas sekarang
ini;
2)-Terdapat
kestabilan politik yang benar (murni), dalam arti bahwa partai (-partai) yang
berkuasa dapat bekerja sama (bukan koalisi-semu) membangun iklim politik sehat
dengan partai (-partai) oposisi (yang jelas berjuang untuk kepentingan rakyat);
3)-Adanya
jadwal waktu yang jelas dengan kemungkinan keberhasilan seperti berikut:
3.1.Tahun 2016 : terlihat tanda-tanda Indonesia akan “bebas” dari Korupsi dan
Narkoba;
3.2.2017
: terlihat mulai adanya kesejahteraan, kemakmuran, serta pembangunan
sarana, prasarana dan proyek-proyek
lainnya secara serentak di ke 33 Propinsi
negara kita;
3.3.2018
: terlihat Korupsi dan kejahatan Narkoba sudah sangat berkurang di
Indonesia;
3.4.2019
: telah terlihat keberhasilan nyata pemerintah dalam mengurangi secara
signifikan angka pengangguran; dan kemudian:
memasuki periode ke-2 dari Presiden RI yang sukses ini, maka antara lain
terlihat:
3.5.2022
: Indonesia dapat menganggap dirinya bebas dari “pengangguran” dalam
arti semua orang yang mau bekerja
untuk mendapat nafkah-hidup mempunyai
pekerjaan yang berpenghasilan; dan
3.6.2024 : Pada akhir periode ke 2 Presiden Ri ini, maka Indonesia telah
mencapai
tujuan kemerdekaannya dari penjajahan
Belanda, yaitu menjadi Bangsa yang
“Adil-Makmur-Sejahtera-dan Sentosa” –
sesuai cita-cita Konstitusi kita.
Harapan
para warganegara yang sekarang ada dengan umur berkepala 7, adalah bahwa
keadaan seperti diharapkan ini ,dapatlah
kiranya terjadi lebih cepat dari
jadwal di atas – Mengapa begitu ? Karena mereka mengharap masih dapat
menyaksikan keadaan yang digambarkan di atas (tahun 2024 umur para Lansia ini
sudah sekitar 85 tahun !).Kalau saja
benar-benar dapat terjadi “reformasi moral” di Indonesia, maka mulai tahun 2016
“moral kita telah mulai bersemi menjadi
Mutiara kebanggaan bangsa Indonesia”.[12]
Kendala-kendala yang perlu
diperhatikan
Meskipun
kami optimis dengan konsep “reformasi moral” yang harus dijalankan oleh
Presiden RI yang akan datang, namun perlu kiranya diingatkan adanya dua kendala
besar yang perlu diselesaikan oleh Presiden baru ini.
Pertama,
tentu adalah masalah korupsi yang sudah sangat “merajalela” di Indonesia;
meskipun pemerintah telah berkali-kali melalui pidato Presiden-presiden maupun pejabat-pejabatnya
menyatakan akan memberantasnya “sampai ke-akar-akarnya” dan “tanpa
pandang-bulu”, namun hasilnya masih amat sangat mengecewakan. Kekecewaan
mayarakat (terutame para Lansia) adalah bahwa dalam 15 tahun kesempatan
reformasi di Indonesia, korupsi “tidak juga dapat dibasmi”.Hal ini disebabkan
oleh “kekhilafan (kesalahan yang tidak disadari) dari presiden-presiden yang
lalu (terutama Presiden-presiden B.J.Habibie, Megawati, dan SBY) dalam
membiarkan berkembangnya “model multi-partai”[13]
berdasarkan UU No.2/1999. Presiden Sukarno melalui Dekritnya 5 Juli 1959
memilih model “sedikit partai politik” dan ini pula yang dilakukan oleh Presiden
Suharto. Sistem multi-partai politik ini telah menjadi awal berkembangnya
“korupsi” untuk atau demi partai politik !
Kedua
adalah, pelaksanaan demokrasi di Indonesia yang sudah didasarkan pada”money politics”. Keinginan rakyat yang
mempejuangkan dalam reformasi tahun 1998 perubahan pemerintahan menjadi
demokratis, adalah baik dan benar. Namun, pemerintahan Orde Baru selama 30
tahun (!968 – 1998) tidak mempersiapkan rakyat untuk hal itu. Keinginan yang
sangat tanpa persiapan dan dengan sistem multi-partai politik dalam Era
Reformasi[14] telah mempengaruhi
nilai-nilai para pemimpin dengan menghalalkan “kesempatan berkuasa” untuk
melakukan korupsi demi-partai, untuk mendanai kebesaran partai dan untuk
mempergunakan uang untuk mendapat suara (membeli suara – money politics).
Jalan ke luar dari 7 Masalah yang
di ajukan di atas
Bagi
para Lansia (mereka yang berusia kepala 6 dan 7), yang melihat bahwa malapetaka
yang akan dapat terjadi, karena “negara sudah dipinggir jurang”, maka jalan ke
luar permasalahan ini haruslah “revolusioner”
(tidak dalam arti kekerasan, tetapi dalam pemikirannya):
1-Pertama-tama perlu dilaksanakan
reformasi moral – agar dampaknya segera dan
membuat kejutan pada para koruptor, maka
harus diterapkan hukuman mati bagi
koruptor yang menimbulkan kerugian bagi
negara Rp 1 Milyar atau lebih (US$ 100
Ribu). Hukuman mati tersebut diancamkan
tanpa alternatif (absolute penalty),
sama
seperti ancaman hukuman mati bagi pemilik
narkoba (dengan jumlah minimal
tertentu) seperti di Singapura dan
Malaysia. Hukuman mati ini harus diberlakukan
juga untuk kejahatan narkoba (disamakan
dengan di Singapura dan Malaysia),
sehingga diharapkan bahwa dalam waktu dua
periode Presiden yang akan datang
(2014 – 2024) korupsi dan narkoba sudah
jauh berkurang dibanding kenyataan
sekarang (2009-2014).
2-Pengeluaran bagi setiap proyek
pembangunan yang mempergunakan APBN/D
harus dilakukan secara on line –
gagasan on line accounting diharapkan
agar,
pertama tidak mudah mengubah pembukuan dan
kedua, agar dapat dimonitor dari
jarak-jauh pada waktu yang sama. Dalam
kemajuan teknologi informasi sekarang ini
haruslah dapat dikembangkan suatu sistem
pengawasan keuangan yang canggih dan
mudah untuk mendeteksi adanya “kecurigaan”
terjadi manipulasi oleh pejabat-pejabat
yang mengelola
keungan negara. Setiap kali terdapat kecurigaan adanya manipulasi,
maka segera akan diterjunkan suatu tim
khusus untuk memeriksa “on the spot”.
3-Diperlukan dana sebesar 10.000
Trilyun Rupiah (setara dengan US$ 1 Milyar-
Disamping APBN Rutin Tahunan)
untuk pembangunan di Indonesia selama 10
tahun (2 masa kepresidenan) – karena itu Presiden yang akan kita pilih
nanti
harus dapat membuktikan kemampuannya memperoleh dana ini.
Dana yang
besar ini janganlah dikumpulkan melalui negosiasi dengan pihak asing
atau berupa pinjaman, tetapi harus
merupakan dana yang direncanakan dan akan
dipersiapkan (tentu dengan dasar berbagai
kajian dan prediksi ilmiah) oleh para ahli
dan
pendukung serta pemikir Calon-calon Presiden yad, dengan memanfaatkan
sumber-daya-alam Indonesia. Rencana yang
matang sudah harus dipikirkan dan
diperdebatkan diantara para Calon-Presiden
dalam tahu 2014 ini.Keperluan dana
yang besar ini adalah untuk mendukung
tercapainya “Masterplan Percepatan
dan
Perluasan Pembagunan Ekonomi Indonesia” (MP3EI
yang dibentuk Mei 2011), yang
saat ini tersendat-sendat pelaksanaannya.
Lebih-lebih lagi dalam keadaan ekonomi
Indonesia dewasa ini (dengan melemahnya
rupiah dan naiknya harga minyak dunia).
Kesimpulan
Persoalan
utama di Indonesia sekarang ini adalah “masalah moral”, membangkitkan “kesadaran
akan penyakit-moral pemimpin bangsa” adalah tugas utama Presiden yang akan
datang. Orang bijak mengatakan “sebelum kita dapat menyembuhkan-diri dari suatu
penyakit, perlu kesadaran dulu adanya penyakit itu pada kita”. Masyarakat
Indonesia, para pemilih dalam PEMILU 2014 dan Pemilihan Langsung Presiden YAD,
belum sepenuhnya percaya dan sadar bahwa
“penyakit bangsa kita sebenarnya berada pada para pemimpinnya” (yang sering
dianggap “putera-puteri terbaik bangsa”). Karena itu dalam kampanye yang akan
diselenggarakan menjelang pemilihan anggota DPR maupun Presiden nanti, harus
ditekankan pada perlunya para pemilih mendalami benar-benar bahwa calon yang dipilihnya harus mempunyai
integritas dan berani menegakkan dan mempertegas hukum yang telah ada.[15]
Kata bersayap (kata yang
mengandung kiasan) dan semboyan untuk Pemilu 2014 adalah “Agar Negara Tidak Masuk Jurang –
Maka Perlu Ada Reformasi Moral Di Indonesia !”[16]
*Ditulis bersama Subagio Sutjitro; seorang pensiunan pengusaha
swasta. Kami berdua adalah Sarjana Hukum Universitas Indonesia
dan sekarang berusia diatas 75 tahun.
[1] Semula dalam bulan Januari
2011, tulisan Subagio Sutjitro merupakan
surat terbuka kepada Presiden SBY tentang perlunya “Reformasi Hukum”. Tulisan
selanjutnya dengan isi yang hampir sama merujuk pada perlunya “Reformasi
Moral”.Dalam tulisan terakhir tersebut pemikirannya tertuang dalam makalah setebal
94 halaman, dan disertai dengan 6 buah Lampiran yang berisi penjelasan.
[2] Dalam makalah ini “moral” diartikan sebagai kesadaran dan sikap
hidup yang mementingkan usaha mensejahterakan orang lain – mendahulukan orang
lain daripada diri sendiri atau keluarga sendiri – dan dalam hidup berbangsa
dan bernegara di Indonesia ini benar-benar meyakini Pancasila sebagai falsafah
hidup, dan menjalankannya, bila menjadi pemimpin bangsa Indonesia.
[3] Yang dimaksudkan dengan ucapan ini adalah bahwa keadaan sudah
“gawat-darurat”, atau istilah Mochtar
Kusumaatmadja tentang kondisi hukum kita “desperate but not (yet) hopeless”.Sudah perlu masuk dalam kebijakan
dan operasi gawat-darurat – kalau mau menyelamatkannya!
[4] Korupsi besar dan sistematis yang merupakan “penjarahan” APBN/D terakhir
diketahui dengan tertangkapnya seorang intelektual (gurubesar teladan ITB) yang
memimpin Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (yang bergaji
hampir 300juta Rp sebulan).Dengan mengacu pada peristiwa serupa di Pertamina
tahun 1974/1975, maka sebabnya diperkirakan:1)tatakelola kelembagaan migas
nasional yang bermasalah, dan 2)migas
dijadikan “sapi perah” partai politik yang dominan atau berkuasa.Keadaan serupa
dapat dilihat pula di sektor-sektor lain, seperti a.l.:pertanian, kesehatan,
pendidikan.
[5] Situasi dan analisa terakhir dapat dibaca dalam majalah Forum Keadilan No.16 – 25 Agustus 2013,
yang mengambil tema “Kongsi Bandar Ekstasi dan Pejabat Negara”.
[6] Misalnya oleh Kwik Kian Gie
yang menyangsikan kebenaran bahwa telah dicapai pertumbuhan ekonomi Indonesia 6,3%
dalam tahu 2011 dan mempermasalahkan juga tentang rencana “redemonisasi rupiah”,
yang akan mengubah besaran Utang Negara, misalnya dari tadinya -/+ 2000 Triliun
menjadi 2,0 Triliun saja.
[7]Budaya demokrasi harus sesuai dengan masyarakat Indonesia yang
multi-kultural dan memperhatikan kesetaraan antar warganegara: etnis,agama,jender
dll.
[8] Money Politics ini adalah
sebenarnya “menjual kursi DPR kepada calon-calon kaya-uang”, tentu dengan
nantinya meminta imbalan (favours) –
uang itu kemudian dipakai “membeli-suara” para pemilih – dan beban utang para
anggota DPR yang terpilih akan menjadi sumber korupsi dalam pengembaliannya.
[9] Masalah penderitaan dalam negeri (mahalnya sandang – pangan dan
pengangguran) ditambah lagi dengan permasalahan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di
luar negeri a.l ada -/+ 300 menghadapi hukuman mati.
[10] Harga minyak dunia akhir-akhir ini naik lagi, karena adanya kekhawatiran
terjadi operasi militer AS ke Suriah dan meyulut kerusuhan di Timur Tengah yang
menyumbang sepertiga minyak mentah dunia.
[11] Masalah ini diperparah dengan semakin terpuruknya nilai Rupiah terhadap
Dolar AS (ke Rp 11.000+) sedanglan cadangan devisa Indonesia juga sudah menipis
(akhir Juli 2013-hanya 92.6 Miliar Dolar AS).
[12] Seorang cendekiawan Jerman Schpenhauer dalam bukunya Aphhorismen zur Lebensweisheit, menulis
(terjemahan SS) bahwa: “Kebanggaan yang
paling murah adalah Kebanggaan Nasional” .Maksudnya adalah kita seharusnya
dapat mencapai kebanggaan yang paling murah ini dengan melakukan reformasi
moral yang akan dapat menghilangkan korupsi dari Indonesia.
[13] Dalam tahun 2014 ada 15 Partai Politik
[14] Era Reformasi telah melupakan pandangan Herbert Spencer (dalam bukunya Of Ethics): “Political changes should never be made
after overcoming great resistance” – dalam pandangan makalah ini, perubahan
ke demokrasi dengan multi-partai adalah suatu kekeliruan, begitu pula kebijakan
de-sentralisasi pemerintahan – karena tanpa persiapan yang baik, maka
menimbulkan maraknya korupsi.
[15] Ada ungkapan yang mengatakan (Evelyn
Abbot):”A democracy without a great man is a dangerous form of
democracy” – yang dimaksud disini adalah dia harus jujur-bersih dari
korupsi; harus berani tegas (dimana perlu mendorong hukuman berat kepada teman
atau keluarga yang korupsi); berpihak dan memberi perhatian kepada penderitaan
rakyat; adil dan bijaksana dalam membuat keputusan; sadar akan sifat masyarakat
yang multi-kultural dan menghormatinya; mempuynyai pengalaman memimpin
masyarakat (organisasi atau kota); berpendidikan (mengenal sopan santun dan
bersedia terus belajar).
[16]Untuk mendukung optimisme
makalah perlu diingat pendapat Corneille
(dalam bukunya Le Menteur),
“On trouve bien souvent plus qu’on ne croit trouver” – Kita sering mendapat temuan yang lebih besar daripada yang kita
sangka dan harapkan sebelumnya – Jadi optimislah ! Dan bagi mereka yang masih
pesimistis ingat perkataan Horatius
; “Si quid novisti rectiius istis,
candidus imperti; si non, his uter mecum – Kalau Anda mengetahui cara yang
lebih baik, mohon dikemukakan; bila tidak dukung saya !