Pengantar
Judul diatas segera
menarik perhatian,karena menimbulkan pertanyaan: apa yang mau dikorupsi di Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) ? Dan mengapa ada keadaan darurat ?Saya
juga mencari jawaban atas kedua pertanyaan tersebut dan mencoba menjawabnya
sebagai berikut. Memang Direktorat Jenderal (baca: Kantor Pemerintah) yang
terkenal “basah” dan menyebarkan “aroma korupsi” adalah antara lain: Bea Cukai,
Pajak dan Imigrasi. Di ketiga kantor ini “klien”nya adalah:
perusahaan,pengusaha. dan (umumnya) orang yang berkecukupan dalam harta
kekayaan. Tetapi di Ditjen Pemasyarakatan (PAS), “klien”nya pada umumnya adalah
“rakyat kecil” yang miskin harta dan miskin pengetahuan hukum. Bagaimana dapat terjadi korupsi dalam
suasana demikian ?
Tetapi dalam dekade
terakhir (dalam era reformasi ini). kita melihat ada perubahan dalam “klien”
Lapas, mulai kita saksikan banyak pemilik perusahaan, pengusaha besar dan orang
yang berkecukupan harta, menjadi penghuni Lapas (karena menjadi terpidana
korupsi).Aroma “diskriminasi” antara penghuni Lapas yang berharta dan yang
miskin, mulai tercium di sini. Fasilitas yang sangat tidak mencukupi di Lapas
disertai dengan kapasitas Lapas yang diisi sangat berlebihan (disebut dengan “over capacity”- seharusnya “over crowded”) – menimbulkan “pasar
gelap” (black market) untuk
memperoleh “fasilitas langka” (a.l.ruangan, pangan, kunjungan, dan kesempatan pengobatan).
Disinilah mulainya “korupsi” dalam pengertian “menjual keistimewaan atau
kesempatan”. Tetapi mengapa ini telah
menjadi keadaan darurat ?
Berita-berita yang mulai
terdengar dan tersebar sejak dua tahun yang lalu, membuat kita menjadi sangat terkejut.
Karena banyak Lapas rupanya telah berada
di bawah kendali “mafia narkoba”. Adanya “mafia korupsi” dalam Lapas sudah
sangat memprihatinkan kita, apalagi kalau keadaan ini bergabung dengan “mafia
narkoba”. Ini sungguh keadaan
“gawat-darurat” !
Gawat-Darurat[1]
Keadaan ini disebabkan
adanya kerjasama (kolusi) antara
“mafia korupsi” di Lapas dengan “mafia narkoba” yang mulai menanam pengaruhnya
di Lapas.Seharusnya dalam komunitas Lapas yang terkendali-erat sebagai
komunitas narapidana (napi) dalam Lapas dengan “pengamanan-tinggi” (high or maximum security), maka setiap
perilaku menyimpang dan tidak disiplin akan cepat terungkap dan mendapat sanksi
untuk menjerakan pelaku dan mencegah napi lain mencontoh.Sikap seperti ini akan
dilakukan oleh petugas yang memahami “budaya penjara”[2].
Ini tidak terjadi dalam Lapas-lapas yang sekarang mendapat sorotan media-massa.
Kecurigaan tentu timbul bahwa semua
kegawatan yang terjadi itu (termasuk kemungkinan “pemberontakan” oleh napi,
“dibiarkan” oleh petugas (tentu dengan balas-jasa – hanky-panky). Dalam keadaan seperti ini, maka kegawatan tersebut telah meningkat menjadi keadaan darurat.
Korupsi yang sekarang
dicoba ditanggulangi oleh KPK adalah korupsi besar yang merugikan negara bermilyar dolar (misalnya,korupsi di
bidang Migas) atau trilyunan rupiah (misalnya,korupsi di sektor Pajak dan Bea
Cukai).Tetapi berbeda sekali dengan korupsi
di Lapas[3],
karena itu mungkin luput dari perhatian publik (atau dirasakan kurang berarti)
karena pihak yang dirugikan adalah “klien” Lapas yang merupakan “pelanggar
hukum” (warga masyarakat yang tercela).Dilupakan bahwa sekarang perilaku “oknum-petugas” terhadap “klien” Lapas yang
menurut istilah mereka adalah “warga-binaan”(untuk di-didik menjadi warga taat
hukum), telah sangat bertentangan dengan
konsep “pemasyarakatan narapidana” yang dicetuskan 50 tahun yang lalu oleh
Dr.Sahardjo, Menteri Kehakiman era Bung Karno.
Dengan masuknya “narkoba “
ke dalam Lapas, dan diduga telah menjadi “bisnis-tambahan”
oknum-petugas tertentu, maka tidaklah keliru untuk meminta pertanggungjawaban pimpinan Ditjen PAS[4].
Mulai dari Dirjen dan jajaran di kantornya, sampai Kepala Lapas dan jajarannya.
Menurut hemat saya “narkoba” seratus kali lebih berbahaya daripada “korupsi”,
target “korupsi” adalah mengganggu “keuangan-negara” – tetapi target “narkoba”
adalah merusak “anak-bangsa” (agar menjadi budak-budak pedagang narkoba).
Manakah yang lebih jahat “oknum-petugas” Lapas yang melindungi
“Bandar-Narkoba” yang merusak Warga-masyarakat dibandingkan dengan “oknum-petugas” Pajak atau Bea Cukai yang
melindungi “Pengusaha-besar” yang merugikan keuangan Negara ? Kalau saya yang
pertama,dan karena kita telah sepakat
bahwa, korupsi harus diberantas secara tuntas dengan “prosedur luar-biasa” (extra-ordinary measures),bukankah kesepakatan itu juga
harus berlaku untuk narkoba ? Kita sudah mempunyai BNN (Badan Narkotika
Nasional) untuk menghadapi para Bandar-narkoba di tengah masyarakat, tetapi bagaimana dengan Bandar-narkoba yang
berlindung dalam Lapas ?
Pengawasan terhadap Jajaran Ditjen PAS[5]
Dalam era Reformasi yang sudah
bergulir 15 tahun ini, maka salah satu asas yang utama adalah akuntabilitas, yang berisi
“keterbukaan” dan “pengawasan”. Kesediaan Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan
mempunyai “komisi pengawas” menunjukkan kesepakatan mereka dengan asas
akuntabilitas (meskipun masih ada juga “gesekan”). Tetapi kita semua
menyaksikan bahwa asas ini tidak dianut
oleh Ditjen PAS, buktinya adalah dalam KUHAP tahun 1980 sudah tercantum adanya “Hakim WasMat” (hakim yang mengawasi
dan mengamati Lapas-yang juga dikenal di Luar Negeri), tetapi dalam UU
Pemasyarakatan 1995, kehadiran
“pengawasan dari luar” ditolak.
Ini adalah kebiasaan-keangkuhan pejabat
pemerintahan di Indonesia, yang menolak pengawasan dari luar jajarannya yang
bukan atasannya. Konsep “civil society”
mengharuskan adanya pengawasan oleh dan akuntabilitas kepada publik. Bencana nasional “Lapas jadi sarang Bandar-narkoba”,
harus segera diatasi dengan akuntabilitas melalui suatu “Komisi Pengawas
Pemasyarakatan”(ini harus merupakan “tindakan darurat pertama”) yang terdiri
seluruhnya dari orang-luar Pemasyarakatan.Tindakan darurat kedua adalah mengaktifkan Hakim Wasmat. Untuk saya bencana yang
mungkin akan kita hadapi dalam 5-10 tahun mendatang dari narkoba yang bersarang
di Lapas adalah lebih besar dari
bahaya korupsi yang sekarang meluas di Indonesia.
Ahmad Tabroni[6] meyampaikan dalam analisanya tentang
“darurat lapas nasional” ini, adanya empat permasalahan:a) “kelebihan
kapasitas”; b)”lemahnya koordinasi dan pengawasan”; c)”minimnya kesejahteraan
petugas”; dan d)”melencengnya filosofi pemasyarakatan”. Saya sangat setuju
dengan analisa dari seorang pemerhati masalah Lapas dari kalangan publik ini,
tetapi sya ingin menggaris bawahi
masalah “melencengnya filosofi pemasyarakatan”. Bukankah ini sangat
memalukan bagi kalangan Ditjen Pemasyarakatan (bukan saja yang sekarang berada
di sana, tetapi juga mereka yang telah pensiun !). Untuk apa mereka mempunyai
Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP), untuk apa mereka mencanangkan adanya “ilmu”
pemasyarakatan narapidana, kalau tempat pembinaan (Lapas) menjadi sarang
“Bandar narkoba” (yang bila tidak dirazia BNN tidak akan pernah terbongkar !). Masalah
“kesempitan” Anggaran dan Fasilitas,
malah dijadikan “kesempatan” bersekongkol denga “mafia narkoba”!
Mencari Pemimpin
Dari uraian di atas, maka
pertanyaan yang akan timbul adalah siapa
yang sanggup “membersihkan” jaringan korupsi yang berkolusi dengan jaringan
narkoba di Lapas-lapas Indonesia ? Beberapa minggu lalu Kementerian Hukum dan
HAM sedang mencari seorang Direktur Jenderal yang punya kredibilitas,kemampuan,komitmen
dan program-kerja untuk mengatasi “gawat-darurat” dalam Lapas-lapas Indonesia.[7]
Apakah pejabat ini dapat dicari dari “orang-dalam” Ditjen PAS ? Saya berpendapat tidak mungkin. Ini bukan
ketidak-percayaan pada “kejujuran”, tetapi seperti telah terlihat terulang-kali
di Indonesia , “sukar untuk menindak
teman-sejawat yang telah lama
sama-sama berkarier di kantor yang sama”, juga “sukar melawan sistem anti-hukum
yang sudah berurat-berakar kemana-mana”. Jadi harus dicari seseorang dari luar jajaran Pemasyarakatan !
Saya hanya dapat menyebut
beberapa kriteria – orang yang
memenuhinya masih perlu dicari. Kriterianya (bagi) saya adalah sebagai berikut:
1)Harus berasal dari militer atau kepolisian – mengapa ? Karena “pembersihan
Lapas” harus dengan “tangan keras – tegas – tapi adil”;
2)Kalau dari militer sebaiknya punya pengalaman
sebagai Polisi Militer dan kalau
dari kepolisian, sebaiknya punya pengalaman di BNN – mengapa ? Karena
militer harus punya pengalaman “kepolisian” dan polisi harus punya pengalaman “memerangi
narkoba”;
3)Sebaiknya juga punya pengalaman di bidang intelejen –
mengapa ? Karena “pembersihan Lapas” dari jaringan narkoba dan korupsi harus
memakai bantuan informan dan “under cover
agents”; dan
4)Sebaiknya laki-laki – mengapa ? Ini bukan masalah gender, tetapi para “hantu mafia narkoba” (mereka adalah “pemodal”
yang berada dibelakang Bandar-narkoba) mungkin akan “menyepelekan” perempuan –
tetapi memang sebaiknya ada Wakil Dirjen yang perempuan,yang dapat
menyusun strategi mencari informasi dari istri-istri dan ibu-ibu para narapidana,
merekalah yang secara teratur mengunjungi dan mendapat berbagai keluhan masalah
dari keluarganya di Lapas-lapas.
Penutup
“Benang Kusut Jeruji Besi” seperti yang diistilahkan oleh Forum
Keadilan dan analisa “Darurat Lapas
Nasional” istilah Ahmad Tabroni, mengajak kita merenungkan bagaimana pembaruan dalam sistem
kepenjaraan kita melalui konsep “Pemasyarakatan Sahardjo” (1963), yang ingin
menghilangkan sistem “bui” jaman penjajahan
Hindia Belanda, dapat begitu dicemari oleh anak-buah Ditjen
Pemasyarakatan, sehingga menjadi “Sarang
Kejahatan” (istilah Forum Keadilan, hal 12).
Apa yang salah ? Oknumkah ? Sistemkah ? Pendidikan di AKIP kah ?
Dan seperti pada
masalah-maslah sosial yang lain di Indonesia – benang kusut permasalahan sosial
ini memerlukan pengkajian mendalam oleh
ahli-ahli ilmu sosial – tidak ada gunanya negara kita membanggakan
“kemajuan di bidang ekonomi yang tinggi” serta “kemajuan di bidang teknologi
yang canggih”, kalau masalah-masalah sosial seperti ini saja tidak/belum dapat kita atasi.
Makalah ini telah disampaikan pada Radio Talk Show dan Diskusi Publik di Komisi
Hukum Nasional RI Rabu, 28 Agustus 2013.
[1] Lihat juga, Ahmad Tabroni “Darurat Lapas Nasional” dalam Suara Pembaruan,Rabu, 21 Agustus 2013, hal.10
dan lihat juga Majalah Forum Keadilan No
16, 25 Agustus 2013 yang membahas tentang “Benang Kusut Jeruji Besi”- Kongsi
Bandar Ekstasi dengan Pejabat Penjara.
[2] Dalam buku-buku Kriminologi dibahas sebagai “Prison Culture” – lihat A.Josias Simon R & Thomas Sunaryo,2011,
Studi Kebudayaan Lembaga Pemayarakatan
di Indonesia, Penerbit Lubuk Agung.
[3] Kemungkinan korupsi terbesar di Lapas adalah di bidang pengadaan
Pangan dan Obat-obatan
[4] Kalau sekarang publik menkritik Kepala Negara karena banyaknya mis-management dan korupsi dalam jajaran
pemerintah/kementerian, mengapa kita tidak mengkritik Ditjen PAS untuk
bertanggungjawab?
[5] Lihat juga Muhammad Mustofa, “Penjara harus diurus oleh Kementerian
tersendiri”,Forum Keadilan,No 16,25
Agustus 2013, hal.18
[6] Ahmad Tabroni,Op.cit
[7] Ada lebih dari 600 Lapas di seluruh pelosok Nusantara kita !