Rabu, 21 Januari 2015

Pengembangan Ilmu Kepolisian dan Implementasinya Dalam Meningkatkan Kompetensi SDM POLRI Menuju Strive For Excellence



Pengembangan Ilmu Kepolisian dan Implementasinya
Dalam Meningkatkan Kompetensi SDM POLRI
Menuju Strive For Excellence:
Ilmu Kepolisian Dengan Pendekatan
Multi-Disiplin atau Inter-Disiplin ?*


Pengantar
Tugas yang diberikan Panitia telah saya ubah dengan judul tersebut di atas, dan saya akan mencoba melaksanakannya dengan uraian di bawah ini.

Makalah ini akan mengambil tiga sub-tema:
-Perlunya Ilmu Kepolisian sebagai Pengetahuan Keahlian
-Pendekatan Multi-Disiplin dan Inter-Disiplin
-Polisi Intelektual dan sebagai Problem Solver

Melalui ketiga sub-tema tersebut saya mencoba berargumentasi bahwa diperlukan sejumlah tenaga pilihan kepolisian yang bergelar Doktor Ilmu Kepolisian untuk melanjutkan reformasi di bidang POLRI.


Ilmu Kepolisian sebagai Pengetahuan Keahlian

Sebenarnya istilah Ilmu Kepolisian (Police Science) di Indonesia sudah dimulai awal tahun 1950-an dengan terbentuknya Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian di Jakarta, sebagai kelanjutan dari Akademi Kepolisian yang pindah dari Yogyakarta. Angkatan pertama lulusan PTIK (Juni 1952) diberi nama Angkatan Parikesit, terdiri dari 16 lulusan, antara lain Hoegeng Imam Santoso (mantan Kapolri) dan Soebroto Brotodiredjo (mantan Gubernur PTIK yang pertama dan dosen PTIK). Dari tahun 1950 – 1965 Ketua Dewan Gurubesar PTIK adalah Prof.Mr.Djokosoetono yang juga merupakan Dekan Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan Universitas Indonesia (1950 – 1962).Karena beliau adalah gurubesar Ilmu Negara dan Hukum Tatanegara, maka sebagian kurikulum PTIK adalah berisi muatan hukum, serupa pada FH dan IPK UI.Beberapa matakuliah pun dikuliahkan bersama di kampus UI di Salemba. Mula-mula gelar yang diperoleh lulusan PTIK adalah Dokterandus (Drs) dan kemudian diganti  menjadi Sarjana Ilmu  Kepolisian[1]

Dalam tahun 1996 pendidikan PTIK yang disederajatkan dengan pendidikan S-1, ditingkatkan dengan pendidikan S-2 dengan bekerjasama Universitas Indonesia. Dibentuklah Program Kajian Ilmu Kepolisian pada Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Lulusan mendapat gelar Magister Ilmu Kepolisian. Pada tahun 2002 dimulai pendidikan Doktor Ilmu Kepolisian pada Program Pasca Sarjana UI. Sampai tahun 2009 sudah ada 10 (lulusan) Doktor Ilmu Kepolisian dari UI.[2]


Pendekatan inter-disiplin atau multi-disiplin ?

Harsja Bachtiar [3] melihat ilmu kepolisian itu, sebagai suatu bidang keahlian yang baru yang  merupakan hasil gabungan unsur-unsur pengetahuan yang berasal dari berbagai bidang pengetahuan keahlian yang sudah lama ada dan berkembang. Pada mulanya dari ilmu hukum pidana dan acara pidana, kriminologi, kriminalistik (kimia, fisika, biologi), dan ilmu kedokteran forensik. Pengetahuan ini terutama diperlukan untuk penegakan hukum dalam suatu kasus kejahatan.Tetapi kemudian ilmu kepolisian juga diperkaya dengan unsur-unsur pengetahuan dari bidang ilmu-ilmu sosial seperti antara lain: sosiologi hukum, antropologi hukum, ilmu manajemen, dan ilmu administrasi. Perluasan pengetahuan ini diperlukan untuk membangun keahlian dalam menghadapi dan memecahkan masalah-masalah yang terjadi di masyarakat dan juga di dalam organisasi kepolisian sendiri. Tentu cara melihat pertumbuhan ilmu kepolisian di Indonesia ini dapat dinamakan sebagai pendekatan multi-disiplin atau multi-bidang. Namun, Bachtiar juga menjelaskan bahwa akan  diperlukan tahap-tahap perkembangan tertentu selanjutnya bagi ilmu kepolisian untuk dapat terpadu dengan unsur-unsur yang berasal dari disiplin lainnya. Pada akhirnya ilmu kepolisian Indonesia diharapkan juga akan tumbuh menjadi suatu cabang ilmu pengetahuan tersendiri, dengan pendekatan yang kita dapat namakan inter-disiplin atau antar-bidang.

Untuk menekankan pentingnya perkembangan ilmu kepolisian, dalam pendidikan tinggi dikatakan oleh Bachtiar[4]:

“Kemampuan anggota-anggota profesi kepolisian untuk memberi pelayanan yang berdayaguna dan tepatguna … banyak tergantung pada perkembangan pendidikan tinggi Ilmu Kepolisian dan perkembangan pengetahuan Ilmu Kepolisian yang harus memberi isi pada pendidikan tersebut”

Berdasarkan pendapat Bachtiar tersebut, saya berpendapat bahwa Ilmu Kepolisian Indonesia haruslah  mengembangkan dirinya melalui penelitian-penelitian tentang masalah-masalah yang dihadapi para anggota kepolisian Indonesia, dengan memperhatikan kenyataan-kenyataan dan kebudayaan Indonesia. Melalui penelitian-penelitian tersebut dicoba dibangun kerangka teori yang sesuai dengan fakta, konsep dan generalisasi berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut yang ditemukan di Indonesia.Penelitian-penelitian ini dapat dilakukan melalui penelitian untuk Tesis Magister Ilmu Kepolisian, maupun untuk Disertasi Doktor Ilmu Kepolisian.  

Seorang pemikir lain tentang ilmu kepolisian Indonesia, Parsudi Suparlan[5] mempunyai pendapat yang agak berbeda. Menurut Suparlan dasar dari Ilmu Kepolisian terdapat dalam Ilmu Administrasi Kepolisian yang intinya adalah:

“ilmu mengenai bagaimana membangun dan memantapkan organisasi dan pranata-pranata kepolisian, kebudayaan dan etika kepolisian, manajemen personil, birokrasi dan keuangan, sesuai kebutuhan masyarakat untuk dapat menciptakan rasa aman dan keteraturan sosial, mengayomi dan melindungi masyarakat dan warga serta harta benda mereka, mencegah terjadinya dan memerangi kejahatan yang dilakukan perseorangan ataupun kelompok sesuai dengan hukum yang berlaku”

Dengan mendasarkan diri pada pemahaman di atas,kemudian Suparlan berpendapat bahwa ilmu kepolisian “adalah sebuah bidang ilmu yang corak pendekatannya antar-bidang” atau inter-disiplin. Dan dikatakannya, yang dinamakan ilmu kepolisian intinya:  “sebenarnya adalah sebuah ilmu yang mempelajari masalah-masalah sosial dan penanganannya.”




Masalah kejahatan sebagai masalah sosial

Baik pendapat Bachtiar maupun Suparlan, menurut saya, membenarkan pendapat bahwa inti profesi kepolisian adalah menangani masalah kejahatan dalam masyarakat Indonesia. Mereka juga melihat bahwa masalah kejahatan itu adalah suatu problema sosial yang harus dipecahkan (berarti dipahami) sebagai suatu kenyataan dalam masyarakat (berarti usaha pencegahan dan penindakannya harus dibenarkan dan didukung oleh masyarakat yang  bersangkutan). Oleh karena itulah penelitian-penelitian tentang kejahatan (dan apa yang dinamakan kejahatan oleh hukum Negara belum tentu dibenarkan oleh masyarakat Adat) dan cara penanganannya, tidak selalu dapat mempergunakan teori-teori yang dikembangkan dalam masyarakat
di luar Indonesia. Disinilah pentingnya Ilmu Kepolisian Indonesia, yang harus berakar pada kenyataan-kenyataan dan kebudayaan masyarakat Indonesia.

Membangun teori dalam Ilmu Kepolisian Indonesia, menurut saya, akan membantu kita dalam menafsirkan data (misalnya: mengapa peristiwa korupsi di Indonesia begitu tinggi ?) dan memungkinkan kita mengkaitkan teori ilmu kepolisian dengan teori-teori di bidang lain (misalnya teori hukum tentang pemidanaan atau teori kriminologi tentang “kesempatan”). Tentu teori ilmu kepolisian Indonesia kemudian perlu dilihat kebenarannya dalam praktek, dan  yang mungkin akan membuka perspektif baru untuk penelitian lanjutan atau penelitian yang baru sama sekali.Demikianlah kita akan memperkaya Ilmu Kepolisian Indonesia, yang tidak semata-mata mempergunakan teori-teori yang dibangun dalam masyarakat asing.

Pengetahuan ilmiah kita tentang macam-macam kejahatan, tinggi-rendahnya kejahatan menurut lokasi dan waktu, cara penanganan yang berbeda menurut daerah, dan lain sebagainya, dibangun atas dasar pengamatan (observasi) maupun pengalaman. Semua data ini akan kita pahami melalui teori yang telah kita bangun ataupun  akan membuka wawasan baru tentang teori yang berbeda.  

Untuk dapat memerangi (istilah Suparlan) atau memahami (istilah Reksodiputro) kejahatan, diperlukan suatu bidang pengetahuan keahlian khusus (istilah Bachtiar) yang dinamakan Ilmu Kepolisian. Untuk membangun ilmu pengetahuan ini, maka dilakukanlah pendidikan tertentu dalam pengetahuan keahlian tersebut, mulai dari tingkat Sekolah Polisi, Akademi Kepolisian sampai Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (sekarang Sekolah Tinggi  Ilmu Kepolisian - STIK). Yang terakhir ini telah  mempunyai dua strata S-1 dan S-2. Pertanyaannya sekarang adalah perlukah ada S-3 Ilmu Kepolisian ? Dengan merujuk kepada uraian saya di atas, saya berpendapat perlu !

Pertanyaan berikutnya adalah dimana tempatnya, apakah di STIK ataukah di sebuah universitas ?. Kalau saya melihat kepada “sejarah” pembentukan dan penyempurnaan kurukulum S-2 Ilmu Kepolisian di Universitas Indonesia, dalam tahap-tahap perkembangan dari suatu bidang pengetahuan dengan pendekatan multi-bidang (multi-disiplin) menuju suatu bidang pengetahuan dengan pendekatan antar-bidang (inter-disiplin), maka saya berkesimpulan bahwa pendidikan doktor ilmu kepolisian,sebaiknya[6]:

1)Pendidikan dan penelitiannya jangan mengarah pada penguasaan ilmu hukum – memang seorang polisi akan bekerja dalam ranah hukum (khususnya hukum pidana dan lebuh khusus lagi hukum acara pidana), akan tetapi dia bukan akan menjadi sarjana/doktor ilmu hukum. Pengetahuan hukum yang diperlukan adalah hanya yang memerlukan penanganan khusus, seperti : Korupsi, Kejahatan Terorganisasi/Trans-nasional, Perdagangan Manusia, Kejahatan Narkoba serta yang berhubungan dengan upaya-paksa (penangkapan,penahanan, penggeledahan, penyitaan) yang dapat/boleh dilakukan.

2)Perlunya seorang polisi mengenal masyarakat di mana nanti dia akan bekerja. Dia harus memahami sifat masyarakat Indonesia yang multi-kultural dan tidak sekedar membaca dan menghafal tentang kebinekaan masyarakat Indonesia. Karena itu diperlukan penguasaan tentang Sosiologi (masyarakat) Indonesia dan beda permasalahan masyarakat perkotaan dan perdesaan, serta pengetahuan yang baik tentang Antropologi Budaya dengan perhatian khusus pada penelitian- penelitian bidang pengetahuan ini di Indonesia.

3)Perlunya pemahaman yang benar tentang penegakkan perlindungan HAM serta masalah jender dalam masyarakat Indonesia, bukan sekedar membaca laporan dan bahan dari luar Indonesia (asing). Pemeriksaan kasus-kasus pelanggaran HAM perlu mendapat pembahasan khusus, terutama yang pernah terjadi di Indonesia dan mendapat sorotan dan kritik dari luar negeri.

4)Perlu dipelajari teknik-teknik penyelidikan dan penyidikan bebagai kejahatan serta cara-cara pencegahannya. Diperlukan pengetahuan dasar tertentu untuk mendalami dan mengembangkan pengetahuan tentang teknik-teknik peyidikan dan interogasi ini, dalam usaha pengembangan ilmu-ilmu forensik (Ilmu Kedokteran, Ilmu Kimia, Ilmu Fisika,Ilmu Matematika dan Komputer,Psikologi dan Kriminologi, dsb-nya, yang dapat kita namakan ilmu bantuan kepolisian).Karena itu Laboratorium Kriminal Kepolisian harus diawaki oleh doktor-doktor ilmu bantuan kepolisian tersebut.

Di atas adalah gambaran umum tentang bidang-bidang/masalah-masalah penelitian untuk disertasi Ilmu Kepolisian. Berdasarkan banyaknya ahli-ahli dari luar bidang utama Ilmu Kepolisian yang akan terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam penelitian disertasi Ilmu Kepolisian, maka menurut saya sebaiknya program S-3 Ilmu Kepolisian dikembangkan dalam suatu universitas ataupun dapat berupa program kerjasama dengan suatu universitas.


Polisi Intelektual dan sebagai Problem Solver[7]

Sebuah buku yang terjemahannya disebarluaskan tahun 2009 oleh Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) yang dipimpin oleh mantan Kapolri Prof.Da’I Bachtiar mengambarkan tentang “polisi yang diinginkan oleh masyarakat” yang bekerja dalam sistem “pemolisian demokratis”. Saya mendukung pemikiran dalam buku itu dan mengharap bahwa reformasi di bidang pemolisian Indonesia akan mengarah kepada suatu cara kerja penanganan kejahatan di Indonesia yang demokratis dan berdasarkan sains. Saya memahaminya sebagai suatu bagian dari strategi umum agar polisi dekat dengan masyarakat di mana dia bekerja.Karena itu salah satu ciri yang utama adalah selalu mau membuka jalur komunikasi dengan warga masyarakat (termasuk di sini untuk terbuka menerima keluhan/ gugatan/ tuduhan dan dengan mempunyai prosedur untuk memeriksanya secara terbuka/transparan). Ini termasuk dalam usaha meningkatkan kemampuan SDM POLRI dengan slogan: “strive for excellence !”

Saya berpendapat pula  bahwa untuk mendapatkan kondisi seperti ini, maka kita memerlukan konsep tentang yang kita inginkan: “polisi-intelektual”  dan polisi yang dapat menjadi “problem solver”/”pemecah masalah” (polisi dengan “wajah tersenyum” sebagai lawan dari polisi dengan “wajah angker/represif”). Sosok polisi seperti ini juga dapat menjadi bahan penelitian disertasi Ilmu Kepolisian. Adapun beberapa ciri dari sosok polisi yang diinginkan ini adalah:

a)Mempunyai intelegensia (yang tinggi) dengan kemampuan melihat visi ke depan dan bersedia menerima pemikiran dan gagasan baru (intelligent and creative);

b)Bersedia untuk bertanggungjawab penuh dalam mengambil keputusan dan kebijakan yang penting (responsible and accountable);

c)Mempunyai kemahiran dalam berkomunikasi (lisan dan tulisan) dan kemahiran dalam melakukan negosiasi (communicative and open to reason).

Untuk mengarahkan kebijakan dan mendidik anggota kepolisian menjadi polisi-intelektual dan sebagai pemecah-masalah, maka diperlukan sejumlah tenaga pilihan yang mampu dan mau melakukan strategi ini. Mereka adalah doktor-doktor ilmu kepolisian yang merupakan harapan melanjutkan reformasi di bidang kepolisian Indonesia.

*Makalah ini telah disampaikan dalam Seminar di depan Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian Angkatan Ke-63 tanggal 25/9/2014.





[1] Lihat juga: Harsja W.Bachtiar.1993.Ilmu Kepolisian: Suatu Bidang Pengetahuan Keahlian Yang Baru, Jakarta,Agustus 1993 (tdak diterbitkan),hal 108 - 115
[2] Mardjono Reksodiputro,2004, Ilmu Kepolisian dan Perkembangannya di Indonesia (makalah dalam rangka Sewindu KIK-UI) – Mereka adalah: Jusuf (2004), Chrysnanda DL (2006), I.Indiarto (2006), Irawati Harsono (2007), Agus Wantoro (2007), Petrus R.Golose (2008), Rycko A.Dahniel (2008); Aris Budiman (2008), Benny J.Mamoto (2008) dan Bakharuddin M.Syah (2009).
[3] Harsya Bacgtiar,1994,Ilmu Kepolisian.Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan Yang Baru,Grasindo,hal 16
[4] Loc.cit.
[5] Chrysnanda DL dan Yulizar Syafri (Editor),2008,Ilmu Kepolisian - In Memoriam Prof.Parsudi Suparlan,PhD,hal.27
[6] Kesimpulan ini merupakan hasil diskusi tahun 1996/1997 dalam mengembangkan kurikulum S2 Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, tetapi dapat juga berlaku untuk pedoman penyusunan suatu kurikulum dan bidang penelitian untuk S3 Ilmu Kepolisian.
[7] Lihat Mardjono Reksodiputro,2013, “Pendidikan Polri Yang Saya Kenal Dan Saran Menghadapi Tantangan di Masa Depan (Makalah disampaikan di Semarang dalam Seminar PUSHAM UII dengan AKPOL).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar