Pengembangan Ilmu
Kepolisian dan Implementasinya
Dalam Meningkatkan
Kompetensi SDM POLRI
Menuju Strive For Excellence:
Ilmu
Kepolisian Dengan Pendekatan
Multi-Disiplin
atau Inter-Disiplin ?*
Pengantar
Tugas yang
diberikan Panitia telah saya ubah dengan judul tersebut di atas, dan saya akan
mencoba melaksanakannya dengan uraian di bawah ini.
Makalah ini akan
mengambil tiga sub-tema:
-Perlunya Ilmu
Kepolisian sebagai Pengetahuan Keahlian
-Pendekatan
Multi-Disiplin dan Inter-Disiplin
-Polisi
Intelektual dan sebagai Problem Solver
Melalui ketiga sub-tema
tersebut saya mencoba berargumentasi bahwa diperlukan sejumlah tenaga pilihan kepolisian
yang bergelar Doktor Ilmu Kepolisian untuk melanjutkan reformasi di bidang
POLRI.
Ilmu
Kepolisian sebagai Pengetahuan Keahlian
Sebenarnya istilah
Ilmu Kepolisian (Police Science) di
Indonesia sudah dimulai awal tahun 1950-an dengan terbentuknya Perguruan Tinggi
Ilmu Kepolisian di Jakarta, sebagai kelanjutan dari Akademi Kepolisian yang
pindah dari Yogyakarta. Angkatan pertama lulusan PTIK (Juni 1952) diberi nama
Angkatan Parikesit, terdiri dari 16 lulusan, antara lain Hoegeng Imam Santoso
(mantan Kapolri) dan Soebroto Brotodiredjo (mantan Gubernur PTIK yang pertama
dan dosen PTIK). Dari tahun 1950 – 1965 Ketua Dewan Gurubesar PTIK adalah
Prof.Mr.Djokosoetono yang juga merupakan Dekan Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan
Kemasyarakatan Universitas Indonesia (1950 – 1962).Karena beliau adalah gurubesar
Ilmu Negara dan Hukum Tatanegara, maka sebagian kurikulum PTIK adalah berisi
muatan hukum, serupa pada FH dan IPK UI.Beberapa matakuliah pun dikuliahkan
bersama di kampus UI di Salemba. Mula-mula gelar yang diperoleh lulusan PTIK adalah
Dokterandus (Drs) dan kemudian diganti menjadi Sarjana Ilmu Kepolisian[1]
Dalam tahun 1996
pendidikan PTIK yang disederajatkan dengan pendidikan S-1, ditingkatkan dengan
pendidikan S-2 dengan bekerjasama Universitas Indonesia. Dibentuklah Program
Kajian Ilmu Kepolisian pada Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
Lulusan mendapat gelar Magister Ilmu Kepolisian. Pada tahun 2002 dimulai
pendidikan Doktor Ilmu Kepolisian pada Program Pasca Sarjana UI. Sampai tahun
2009 sudah ada 10 (lulusan) Doktor Ilmu Kepolisian dari UI.[2]
Pendekatan
inter-disiplin atau multi-disiplin ?
Harsja Bachtiar [3]
melihat ilmu kepolisian itu, sebagai suatu bidang keahlian yang baru yang merupakan hasil gabungan unsur-unsur
pengetahuan yang berasal dari berbagai bidang pengetahuan keahlian yang sudah
lama ada dan berkembang. Pada mulanya dari ilmu hukum pidana dan acara pidana,
kriminologi, kriminalistik (kimia, fisika, biologi), dan ilmu kedokteran
forensik. Pengetahuan ini terutama diperlukan untuk penegakan hukum dalam suatu
kasus kejahatan.Tetapi kemudian ilmu kepolisian juga diperkaya dengan
unsur-unsur pengetahuan dari bidang ilmu-ilmu sosial seperti antara lain:
sosiologi hukum, antropologi hukum, ilmu manajemen, dan ilmu administrasi. Perluasan
pengetahuan ini diperlukan untuk membangun keahlian dalam menghadapi dan
memecahkan masalah-masalah yang terjadi di masyarakat dan juga di dalam
organisasi kepolisian sendiri. Tentu cara melihat pertumbuhan ilmu kepolisian
di Indonesia ini dapat dinamakan sebagai pendekatan multi-disiplin atau multi-bidang. Namun, Bachtiar juga menjelaskan bahwa
akan diperlukan tahap-tahap perkembangan
tertentu selanjutnya bagi ilmu kepolisian untuk dapat terpadu dengan unsur-unsur
yang berasal dari disiplin lainnya. Pada akhirnya ilmu kepolisian Indonesia diharapkan
juga akan tumbuh menjadi suatu cabang ilmu pengetahuan tersendiri, dengan pendekatan
yang kita dapat namakan inter-disiplin atau
antar-bidang.
Untuk menekankan
pentingnya perkembangan ilmu kepolisian, dalam pendidikan tinggi dikatakan oleh
Bachtiar[4]:
“Kemampuan
anggota-anggota profesi kepolisian untuk memberi pelayanan yang berdayaguna dan
tepatguna … banyak tergantung pada perkembangan pendidikan tinggi Ilmu
Kepolisian dan perkembangan pengetahuan Ilmu Kepolisian yang harus memberi isi
pada pendidikan tersebut”
Berdasarkan
pendapat Bachtiar tersebut, saya berpendapat bahwa Ilmu Kepolisian Indonesia
haruslah mengembangkan dirinya melalui
penelitian-penelitian tentang masalah-masalah yang dihadapi para anggota
kepolisian Indonesia, dengan memperhatikan kenyataan-kenyataan dan kebudayaan
Indonesia. Melalui penelitian-penelitian tersebut dicoba dibangun kerangka
teori yang sesuai dengan fakta, konsep dan generalisasi berdasarkan kenyataan-kenyataan
tersebut yang ditemukan di Indonesia.Penelitian-penelitian ini dapat dilakukan
melalui penelitian untuk Tesis Magister Ilmu Kepolisian, maupun untuk Disertasi
Doktor Ilmu Kepolisian.
Seorang pemikir
lain tentang ilmu kepolisian Indonesia, Parsudi Suparlan[5] mempunyai pendapat yang agak berbeda.
Menurut Suparlan dasar dari Ilmu Kepolisian terdapat dalam Ilmu Administrasi
Kepolisian yang intinya adalah:
“ilmu
mengenai bagaimana membangun dan memantapkan organisasi dan pranata-pranata
kepolisian, kebudayaan dan etika kepolisian, manajemen personil, birokrasi dan
keuangan, sesuai kebutuhan masyarakat untuk dapat menciptakan rasa aman dan
keteraturan sosial, mengayomi dan melindungi masyarakat dan warga serta harta
benda mereka, mencegah terjadinya dan memerangi kejahatan yang dilakukan
perseorangan ataupun kelompok sesuai dengan hukum yang berlaku”
Dengan mendasarkan
diri pada pemahaman di atas,kemudian Suparlan berpendapat bahwa ilmu kepolisian
“adalah sebuah bidang ilmu yang corak pendekatannya antar-bidang” atau inter-disiplin. Dan dikatakannya, yang dinamakan
ilmu kepolisian intinya: “sebenarnya adalah sebuah ilmu yang
mempelajari masalah-masalah sosial dan penanganannya.”
Masalah
kejahatan sebagai masalah sosial
Baik pendapat
Bachtiar maupun Suparlan, menurut saya, membenarkan pendapat bahwa inti profesi
kepolisian adalah menangani masalah kejahatan dalam masyarakat Indonesia.
Mereka juga melihat bahwa masalah kejahatan itu adalah suatu problema sosial
yang harus dipecahkan (berarti dipahami) sebagai suatu kenyataan dalam
masyarakat (berarti usaha pencegahan dan penindakannya harus dibenarkan dan
didukung oleh masyarakat yang bersangkutan). Oleh karena itulah
penelitian-penelitian tentang kejahatan (dan apa yang dinamakan kejahatan oleh
hukum Negara belum tentu dibenarkan oleh masyarakat Adat) dan cara
penanganannya, tidak selalu dapat mempergunakan teori-teori yang dikembangkan
dalam masyarakat
di luar Indonesia.
Disinilah pentingnya Ilmu Kepolisian Indonesia, yang harus berakar pada
kenyataan-kenyataan dan kebudayaan masyarakat Indonesia.
Membangun teori
dalam Ilmu Kepolisian Indonesia, menurut saya, akan membantu kita dalam
menafsirkan data (misalnya: mengapa peristiwa korupsi di Indonesia begitu
tinggi ?) dan memungkinkan kita mengkaitkan teori ilmu kepolisian dengan
teori-teori di bidang lain (misalnya teori hukum tentang pemidanaan atau teori kriminologi
tentang “kesempatan”). Tentu teori ilmu kepolisian Indonesia kemudian perlu dilihat
kebenarannya dalam praktek, dan yang
mungkin akan membuka perspektif baru untuk penelitian lanjutan atau penelitian yang
baru sama sekali.Demikianlah kita akan memperkaya Ilmu Kepolisian Indonesia,
yang tidak semata-mata mempergunakan teori-teori yang dibangun dalam masyarakat
asing.
Pengetahuan ilmiah
kita tentang macam-macam kejahatan, tinggi-rendahnya kejahatan menurut lokasi
dan waktu, cara penanganan yang berbeda menurut daerah, dan lain sebagainya, dibangun
atas dasar pengamatan (observasi) maupun pengalaman. Semua data ini akan kita
pahami melalui teori yang telah kita bangun ataupun akan membuka wawasan baru tentang teori yang
berbeda.
Untuk dapat
memerangi (istilah Suparlan) atau memahami (istilah Reksodiputro) kejahatan,
diperlukan suatu bidang pengetahuan keahlian khusus (istilah Bachtiar) yang
dinamakan Ilmu Kepolisian. Untuk membangun ilmu pengetahuan ini, maka dilakukanlah
pendidikan tertentu dalam pengetahuan keahlian tersebut, mulai dari tingkat Sekolah
Polisi, Akademi Kepolisian sampai Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (sekarang
Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian - STIK).
Yang terakhir ini telah mempunyai dua
strata S-1 dan S-2. Pertanyaannya sekarang
adalah perlukah ada S-3 Ilmu Kepolisian ? Dengan merujuk kepada uraian saya di
atas, saya berpendapat perlu !
Pertanyaan
berikutnya adalah dimana tempatnya,
apakah di STIK ataukah di sebuah universitas ?. Kalau saya melihat kepada
“sejarah” pembentukan dan penyempurnaan kurukulum S-2 Ilmu Kepolisian di
Universitas Indonesia, dalam tahap-tahap perkembangan dari suatu bidang
pengetahuan dengan pendekatan multi-bidang (multi-disiplin) menuju suatu bidang
pengetahuan dengan pendekatan antar-bidang (inter-disiplin), maka saya
berkesimpulan bahwa pendidikan doktor ilmu kepolisian,sebaiknya[6]:
1)Pendidikan
dan penelitiannya jangan mengarah
pada penguasaan ilmu hukum – memang seorang polisi akan bekerja dalam ranah
hukum (khususnya hukum pidana dan lebuh khusus lagi hukum acara pidana), akan
tetapi dia bukan akan menjadi sarjana/doktor ilmu hukum. Pengetahuan hukum yang
diperlukan adalah hanya yang memerlukan penanganan khusus, seperti : Korupsi, Kejahatan
Terorganisasi/Trans-nasional, Perdagangan Manusia, Kejahatan Narkoba serta yang
berhubungan dengan upaya-paksa (penangkapan,penahanan, penggeledahan, penyitaan)
yang dapat/boleh dilakukan.
2)Perlunya
seorang polisi mengenal masyarakat di mana nanti dia akan bekerja. Dia harus
memahami sifat masyarakat Indonesia yang multi-kultural dan tidak sekedar
membaca dan menghafal tentang kebinekaan masyarakat Indonesia. Karena itu
diperlukan penguasaan tentang Sosiologi (masyarakat) Indonesia dan beda
permasalahan masyarakat perkotaan dan perdesaan, serta pengetahuan yang baik
tentang Antropologi Budaya dengan perhatian khusus pada penelitian- penelitian bidang
pengetahuan ini di Indonesia.
3)Perlunya
pemahaman yang benar tentang penegakkan perlindungan HAM serta masalah jender
dalam masyarakat Indonesia, bukan sekedar membaca laporan dan bahan dari luar
Indonesia (asing). Pemeriksaan kasus-kasus pelanggaran HAM perlu mendapat
pembahasan khusus, terutama yang pernah terjadi di Indonesia dan mendapat
sorotan dan kritik dari luar negeri.
4)Perlu
dipelajari teknik-teknik penyelidikan dan penyidikan bebagai kejahatan serta
cara-cara pencegahannya. Diperlukan pengetahuan dasar tertentu untuk mendalami
dan mengembangkan pengetahuan tentang teknik-teknik peyidikan dan interogasi
ini, dalam usaha pengembangan ilmu-ilmu forensik (Ilmu Kedokteran, Ilmu Kimia,
Ilmu Fisika,Ilmu Matematika dan Komputer,Psikologi dan Kriminologi, dsb-nya,
yang dapat kita namakan ilmu bantuan kepolisian).Karena itu Laboratorium Kriminal
Kepolisian harus diawaki oleh doktor-doktor ilmu bantuan kepolisian tersebut.
Di
atas adalah gambaran umum tentang bidang-bidang/masalah-masalah penelitian
untuk disertasi Ilmu Kepolisian. Berdasarkan banyaknya ahli-ahli dari luar
bidang utama Ilmu Kepolisian yang akan terlibat langsung ataupun tidak langsung
dalam penelitian disertasi Ilmu Kepolisian, maka menurut saya sebaiknya program
S-3 Ilmu Kepolisian dikembangkan dalam
suatu universitas ataupun dapat
berupa program kerjasama dengan suatu universitas.
Polisi
Intelektual dan sebagai Problem Solver[7]
Sebuah buku yang
terjemahannya disebarluaskan tahun 2009 oleh Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia
(LCKI) yang dipimpin oleh mantan Kapolri Prof.Da’I Bachtiar mengambarkan
tentang “polisi yang diinginkan oleh
masyarakat” yang bekerja dalam sistem “pemolisian demokratis”. Saya
mendukung pemikiran dalam buku itu dan mengharap bahwa reformasi di bidang
pemolisian Indonesia akan mengarah kepada suatu cara kerja penanganan kejahatan
di Indonesia yang demokratis dan berdasarkan sains. Saya memahaminya sebagai suatu
bagian dari strategi umum agar polisi dekat dengan masyarakat di mana dia
bekerja.Karena itu salah satu ciri yang utama adalah selalu mau membuka jalur
komunikasi dengan warga masyarakat (termasuk di sini untuk terbuka menerima
keluhan/ gugatan/ tuduhan dan dengan mempunyai prosedur untuk memeriksanya
secara terbuka/transparan). Ini termasuk
dalam usaha meningkatkan kemampuan SDM POLRI dengan slogan: “strive for excellence !”
Saya berpendapat
pula bahwa untuk mendapatkan kondisi
seperti ini, maka kita memerlukan konsep tentang yang kita inginkan:
“polisi-intelektual” dan polisi yang
dapat menjadi “problem solver”/”pemecah
masalah” (polisi dengan “wajah
tersenyum” sebagai lawan dari polisi dengan “wajah angker/represif”). Sosok polisi seperti ini juga dapat
menjadi bahan penelitian disertasi Ilmu Kepolisian. Adapun beberapa ciri dari
sosok polisi yang diinginkan ini adalah:
a)Mempunyai
intelegensia (yang tinggi) dengan kemampuan melihat visi ke depan dan bersedia
menerima pemikiran dan gagasan baru (intelligent
and creative);
b)Bersedia
untuk bertanggungjawab penuh dalam mengambil keputusan dan kebijakan yang
penting (responsible and accountable);
c)Mempunyai
kemahiran dalam berkomunikasi (lisan dan tulisan) dan kemahiran dalam melakukan
negosiasi (communicative and open to
reason).
*Makalah ini telah disampaikan dalam Seminar di depan Mahasiswa
Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian
Angkatan Ke-63 tanggal 25/9/2014.
[1] Lihat juga: Harsja W.Bachtiar.1993.Ilmu Kepolisian: Suatu Bidang Pengetahuan Keahlian Yang Baru, Jakarta,Agustus
1993 (tdak diterbitkan),hal 108 - 115
[2] Mardjono Reksodiputro,2004, Ilmu
Kepolisian dan Perkembangannya di Indonesia (makalah dalam rangka Sewindu
KIK-UI) – Mereka adalah: Jusuf (2004), Chrysnanda DL (2006), I.Indiarto
(2006), Irawati Harsono (2007), Agus Wantoro (2007), Petrus R.Golose (2008), Rycko
A.Dahniel (2008); Aris Budiman (2008), Benny J.Mamoto (2008) dan Bakharuddin
M.Syah (2009).
[3] Harsya Bacgtiar,1994,Ilmu
Kepolisian.Suatu Cabang Ilmu Pengetahuan Yang Baru,Grasindo,hal 16
[4] Loc.cit.
[5] Chrysnanda DL dan Yulizar Syafri (Editor),2008,Ilmu Kepolisian - In Memoriam Prof.Parsudi Suparlan,PhD,hal.27
[6] Kesimpulan ini merupakan hasil diskusi tahun 1996/1997 dalam
mengembangkan kurikulum S2 Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, tetapi
dapat juga berlaku untuk pedoman penyusunan suatu kurikulum dan bidang
penelitian untuk S3 Ilmu Kepolisian.
[7] Lihat Mardjono Reksodiputro,2013, “Pendidikan Polri Yang Saya Kenal Dan Saran Menghadapi Tantangan di Masa
Depan (Makalah disampaikan di Semarang dalam Seminar PUSHAM UII dengan AKPOL).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar