Pertumbuhan Kejahatan dan
Penegakan Hukum
Pengantar
Kalau
melihat pada berita di media massa maupun laporan dari kepolisian, maka kejahatan di Indonesia dalam 10 tahun terakhir
ini meningkat. Yang banyak menarik perhatian karena keseriusannya, adalah
tentunya kejahatan korupsi dan kejahatan
narkoba. Pada korupsi yang menimbulkan kegelisahan masyarakat adalah
banyaknya pejabat negara dan tokoh politik yang menjadi pelakunya.[1] Sedangkan dalam hal narkoba peranan
pelaku berkebangsaan asing kelihatannya cukup dominan dan penyebaran narkoba
ini sudah hampir merata di Indonesia, termasuk pada generasi muda. Apa
yang sedang terjadi ?
Berbagai teori tentang
sebab-musabab kejahatan.
Suatu
ilmu pengetahuan yang cukup tua: Kriminologi,
mencoba menjelaskan mengapa orang melakukan kejahatan. Tetapi
hingga kini tidak ada teori yang memuaskan dalam menjelaskan sebab-musabab
kejahatan. Mengapa demikian ?
Secara
umum pendekatan dalam teori-teori tersebut dapat digolongkan ke dalam 3(tiga)
mashab besar : Klasik, Positivis dan Kritis. Mashab Klasik adalah yang melihat manusia sebagai bersifat “bebas-memilih”, rasional dan hedonistik.
Ini menjadi inti falsafah hukum pidana (materiil dan formil) kita (berakar pada
Code Napoleon 1810).Tokohnya adalah
a.l. Cesare Beccaria dan Feuerbach. Lawannya adalah mashab Positivis yang melihat manusia itu dipengaruhi oleh konstitusi fisiknya dan lingkungan sosialnya.
Tokohnya adalah a.l.Cesare Lombroso (1876), van Hamel dan Von Liszt. Mashab ketiga
adalah teori-teori yang berorientasi
sosiologis mulai dari Lacassagne, Tarde dan Bonger (Economic Conditions and Crime,1916), kemudian Edwin Sutherland tahun 1940-an (teori differential association dan white
collar crime) sampai dengan
teori-teori “radikal” tahun 1970-an dari Ian Taylor dkk (The New Criminology dan Critical
Criminology).
Berdasarkan
hukum pidana yang berlaku dan diterapkan di Indonesia, maka pendekatan/falsafah
Mashab Klasik masih dipertahankan,karena
kita masih percaya bahwa manusia itu “bebas-memilih” (free will) dan “rasional”
(karena itu cukup disosialisasikan aturan-aturan perbuatan yang diancam
pidana),serta juga bersifat “hedonistik” (akan menolak sesuatu yang
merugikan/menyakiti dirinya).Politik kriminal ini slogannya adalah: “berilah ancaman pidana yang berat”, dibarengi
“prevensi-individual” dan “prevensi-umum”. Ini akan cukup untuk mencegah orang
melakukan kejahatan. Politik kriminal yang menganjurkan hukuman penjara berat/lama
(termasuk hukuman mati) adalah penganut mashab ini.
Berbeda
adalah teori-teori yang dikembangkan oleh Mashab
Positivis yang lebih menekankan pada perlunya differensiasi pelaku (misalnya
perempuan hamil, anak, motivasi pelaku dan individual treatment) serta merujuk pada perlunya
usaha perbaikan lingkungan sosial (broken
homes, kemiskinan, kebodohan, dan daerah kumuh). Teori ini ditujukan pada “politik kriminal” yang berintikan
“re-sosialisasi” atau pemasyarakatan nara pidana (seperti “pengobatan” untuk
pecandu narkotika dan “pembinaan mental” untuk teroris/pengikut ajaran-agama
yang sesat).
Sedangkan
teori-teori Mashab Kritis ( (misalnya teori “differential
association” ) menyadarkan kita bahwa tidak
akan dapat dibuat satu teori umum yang akan menjelaskan semua macam kejahatan
yang dilakukan manusia. Suatu teori hanya dapat menjelaskan sebagian saja
dari “kebenaran” yang menyebabkan perbuatan tersebut dilakukan. Banyak faktor (multiple factors theories) yang
berkonvergensi menyebabkan terjadinya suatu perbuatan melanggar hukum pidana
(keserakahan – frustrasi – agresivitas dapat menyebabkan seorang membunuh).
Tetapi juga politik kriminal dari kelompok yang berkuasa (political power) dapat juga
mempengaruhi dan menentukan perbuatan macam apa yang dianggap kriminal
(misalnya perbuatan subversi dan korupsi).[2]
Bertambahnya perbuatan
yang dianggap kejahatan juga lebih menyulitkan kita untuk menjelaskan apa yang dinamakan kejahatan.Makin modern dan
kompleksnya kehidupan kita,maka lebih banyak juga aturan yang harus kita taati.
Pada waktu ini setiap ada undang-undang baru yang mengatur kehidupan
bermasyarakat kita (hukum administrasi
negara), maka hampir pasti ada
ketentuan tentang sanksi pidananya (administrative
penal law).[3]
Oleh karena itu tidak mungkin akan ada teori umum atau penjelasan umum tentang
sebab orang melakukan kejahatan. Melalui
riset kriminologi yang dicari adalah
hanya a.l. pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana terbentuknya aturan-aturan hukum pidana dan bagaimana reaksi masyarakat terhadap
masing-masing bentuk kejahatan tersebut (termasuk reaksi dari masing-masing
penegakan hukumnya). Melalui hasil riset-riset tersebut dicoba untuk membuat
kebijakan kriminal yang tepat. (Contoh
adalah kebijakan kriminal yang tidak
menghukum penjara, tetapi merehabilitasi, pengguna narkoba).
Tujuan Hukum dan
Per-UU-an Pidana
KUHP
kita aslinya dan yang otentik teksnya adalah Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie tahun 1918. Jadi umurnya
sudah hampir 100 tahun dan tentunya mencerminkan juga nilai dan norma pada masa
itu. Usaha untuk menciptakan KUHP Nasional sudah beberapa kali dilakukan dan
Rancangan terakhir (2013) pada dasarnya masih mengacu pada Rancangan yang
diserahkan 20 tahun yang lalu kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh.
Adapun
3 (tiga) prinsip yang menurut saya, merupakan pedoman dalam merumuskan perbuatan-perbuatan tertentu menjadi terlarang dan diancam pidana dalam
Rancangan KUHP 1993, adalah :
a)
hukum pidana juga
dipergunakan untuk menegaskan ataupun menegakkan
kembali nilai-nilai sosial dasar
(basic social values) hidup
bermasyarakat dalam Negara Indonesia;
b)
namun demikian, hukum
pidana sedapat mungkin hanya dipergunakan dalam keadaan dimana cara lain
melakukan pengendalian sosial (social
control) tidak atau belum efekti (ultimum remedium); dan
c)
dalam menggunakan hukum
pidana sesuai dengan kedua prinsip di atas, haruslah diusahakan dengan
sungguh-sungguh bahwa caranya seminimal
mungkin mengganggu hak dan kebebasan individu,
tanpa tentu saja mengurangi perlindungan terhadap
kepentingan kolektifitas masyarakat Indonesia
yang demokratis dan modern.
Prinsip
pertama dan kedua penting dalam kita
mempertimbangkan apakah suatu perbuatan
itu pantas untuk masuk dalam perundang-undangan hukum pidana (hukum pidana
materiil/hukum pidana substantif). Sedangkan prinsip ketiga, penting dalam tata-cara
pemidanaannya dan penegakkannya (hukum pidana formil/hukum
acara pidana).
Diperlukan riset untuk
menentukan apakah ketiga prinsip tersebut di atas memang telah dipergunakan
dalam menentukan aturan hukum pidana dalam RKUHP maupun di luar KUHP 1918,
ataukah terlalu banyak perbuatan
dinyatakan pelanggarannya adalah kejahatan, sehingga terjadi “inflasi pengertian
kejahatan”,yang dapat berakibat kurang
dihargainya hukum dan penegakan hukum.[4]
Penegakan Hukum Pidana
Hukum
pidana ditegakkan dengan membawa pelakunya ke Pengadilan dan memberinya hukuman.
Tujuan penegakkan hukum pidana tidak saja untuk memberi kepuasan kepada korban (doktrin retribusi/pembalasan), tetapi juga
untuk mencegah pelaku mengulangi
perbuatannya, dan tentu juga untuk mencegah pelaku potensial meniru perbuatan
tersebut.[5] Dalam konsep hukum pidana, yang
pertama disebut individual deterrence, sedangkan
yang kedua dikenal sebagai general
deterrence. Kedua konsep ini sebenarnya mengandung makna “membuat takut, sebagai dasar pencegahan”.
Oleh karena itu sering dikatakan bahwa dalam usaha pencegahan ini, maka hukuman
penjara yang lama akan merupakan cara yang benar untuk individual deterrence (tidak mengulangi lagi perbuatannya) dan general deterrence (tidak mau meniru
perbuatan tersebut).Pendekatan seperti
ini mengikuti mashab Klasik, karena berpendapat: manusia rasional yang
bebas-memilih, tidak akan mau memilih perbuatan yang akan menyengsarakannya
(pidana penjara).
Riset-riset
yang dilakukan untuk memverifikasi apakah penjatuhan pidana yang berat (penjara
yang lama atau seumur hidup) memang dapat memenuhi tujuan penegakkan hukum itu tidak atau belum membawa kepastian.
Seharusnya hal ini tidaklah mengherankan, karena kita juga belum memahami apa yang mendorong seseorang
melakukan kejahatan.
Ambillah
contoh, seperti kejahatan korupsi
atau kejahatan narkoba.Usaha untuk memberi
“ketakutan yang besar” kepada pelaku-potensial (seperti kepastian hukuman mati
untuk pelanggaran narkoba di Singapura dan Malaysia, serta beberapa kali hukuman mati untuk pelaku
korupsi di RRT) ternyata tidak memberi efek
jera yang diharapkan.Dengan
mengambil contoh di atas, maka
pendekatan “penjeraan” dan “menakuti” yang
dijadikan konsep inti dari penegakan hukum untuk kejahatan serius, memang perlu
dikaji ulang. Kalau kita ingin mengurangi kejahatan, maka pidana yang
berat yang bertujuan menakutkan warga, bukanlah “obat-mujarab”nya.[6]
Pendekatan
“penjeraan” melalui pemberian hukuman yang “menakutkan” menimbulkan
permasalahan baru. Kita tidak ingin hidup dalam masyarakat yang dicekam oleh
rasa takut yang mendalam , karena pidana yang dijatuhkan Pengadilan adalah
semata-mata karena mengikuti keinginan “balas-dendam” publik (didorong oleh pandangan
penguasa) yang kecewa (akibat ke-4 teori sub-sosial Vrij). Kita pun harus
sadar, bahwa suatu negara dimana penguasa dapat
sewenang-wenang menentukan apa saja yang boleh dan tidak-boleh dilakukan
warga dan dapat mengendalikan pengadilan, akan membawa masyarakatnya ke negara otoriter
(ingat tentang kejahatan subversi di masa Orde Baru).
Apa yang harus dilakukan
?
Pertama,
kita harus mau mengakui bahwa hukuman berat tidak akan menjerakan atau
menakutkan bagi pelaku atau calon-pelaku kejahatan serius, apalagi yang
bermotif keuntungan finansial (seperti korupsi atau penjualan narkoba illegal).
Karena mereka akan selalu merasa yakin dapat “lebih-pintar” dari pelaku yang
tertangkap, dan kalau pun tertangkap dan dipidana, mereka dengan keuangan yang
dipunyainya merasa akan dapat “membeli” kemudahan dan keringanan dalam sistem
peradilan pidana kita.Untuk itu suatu sistem
peradilan pidana yang “tidak-korup” dan bekerja secara efisien yang diperlukan
di sini.
Kedua,
yang terpenting adalah bahwa seorang pelaku kejahatan mengetahui adanya kepastian yang kuat, bahwa dia akan tertangkap dan diadili untuk
perbuatannya. Dan dalam kejahatan yang berimplikasi finansial (seperti
Korupsi dan Penjualan Narkoba illegal), dia tidak akan dapat menikmati
keuntungan finansialnya, malahan akan menjadi “lebih miskin” (denda
yang sangat tinggi, disertai perampasan keuntungan dari kejahatan), dari pada
sebelum melakukan perbuatannya. Kepastian tertangkap ini, tentunya harus pula
diikuti dengan keyakinan seorang pelaku bahwa dia tidak akan dapat menghindar
dari hukumannya. Karena itu sistem peradilan
pidana yang efektif dengan tenaga-tenaga yang benar-benar profesional yang mutlak diperlukan di sini.
Ketiga,
kita harus berani mengakui juga bahwa sistem
pemasyarakatan pidana di Indonesia merupakan kegagalan kita bersama, menerapkan
konvensi PPB tentang “standar minimum perlakuan terhadap narapidana” (tidak menderitakan narapidana berlebihan dan
tidak menjadikan perilakunya lebih-buruk). Kebijakan kriminal menghindarkan
pengguna-narkoba dari Lembaga Pemasyarakatan (dan memberi mereka kesempatan rehabilitasi) adalah
kebijakan kriminal yang positif. Di dalam LP mereka tidak akan dapat
menghidarkan diri dari “dorongan” tetap mengkonsumsi narkoba, malah akan
diperalat “bandar narkoba” (perhatikan laporan media massa tentang mudahnya bandar-narkoba yang berada di dalam
LP tetap dapat menjalankan usahanya di luar LP [7]
– sungguh mengherankan dunia bahwa tidak
profesionalnya para petugas Lapas, ditolerir selama ini di Indonesia !).
Keempat,
kita harus dapat menerima pendapat bahwa “masalah kejahatan” adalah bagian dari masalah sosial kita. Tidak
saja pelaku kejahatan adalah hasil
dari mayarakat kita (the society deserves
its criminals), tetapi juga cara kita menghadapi kejahatan itu adalah hasil masyarakat kita (the way you treat crime,reflects your
society). Jadi, lakukanlah
penelitian dan taatilah hasil penelitian dalam merumuskan kebijakan kriminal
yang efektif, efisien dan dengan tetap memperhatikan hak-hak Tersangka,
Terdakwa dan Terpidana.[8]
Kelima,
memang sering sekali sekali kejahatan yang terjadi menimbulkan amarah kita – misalnya; dalam kejahatan seksual
(apalagi terhadap anak-anak atau remaja) ,atau dalam kejahatan finansial yang
menimbulkan kerugian besar pada negara (seperti Korupsi dan penipuan finansial yang
merugikan banyak warga) – tetapi reaksi
kita sedapatnya janganlah emosional. Kepercayaan
harus tetap diberikan kepada Penegak Hukum dan Pengadilan untuk memeriksa dan
mengadili perilaku kejahatan ini secara rasional.
Penutup - Kesimpulan
1)
Apabila dikaji secara jujur,
maka sebagian besar pendekatan tersebut di atas belum atau tidak dilaksanakan dalam masa pemerintahan SBY Jilid Ke-2.
Pendekatan yang dilakukan adalah masih melihat kepada kejahatan (seperti
Korupsi dan Narkoba) sebagai perilaku
sifat manusia perorangan yang buruk/jahat dan karena itu perlu hukuman yang
seberat-beratnya[9].
Akar permasalahan yang ada dalam sistem
pemerintahan dan masyarakat tidak/belum
dicari. Tidak heran bahwa, obat
mujarab “tangkap-adili - dan hukum berat” tidak memberi hasil berkurangnya
kejahatan Korupsi dan Narkoba di
Indonesia.
2)
Meskipun usaha bersama/kerjasama
antar Penegak Hukum (Kepolisian –
Kejaksaan – KPK – BNN) serta Lembaga Peradilan (PN – PT – MA) telah menunjukkan
peningkatan, namun “gesekan” dan “benturan” antar lembaga masih terjadi.[10]
Ketidakpercayaan kepada sistem penegakan hukum dan sistem peradilan (perdata
dan pidana) kita, diakibatkan kuatnya intervensi non-profesional dan intervensi
politik pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Hal ini sudah mulai berkurang dalam
pemerintahan SBY Jilid Ke- 2. Namun
perlu dijaga, agar keangkuhan/arogansi sektoral tidak berkembang kearah merasa
paling berjasa dalam peperangan melawan kejahatan (terutama kejahatan Korupsi dan Narkoba, yang telah dijadikan isyu
politik).
3)
Untuk masa lima tahun
Presiden Jokowi-JK, maka sebaiknya diusahakan agar strategi pemberantasan kejahatan (terutama Korupsi dan Narkoba)
tidak dijadikan isyu politk pencitraan perorangan atau instansi. Sebagai juga
strategi meningkatkan kemakmuran rakyat-kecil di Indonesia harus didasarkan
pada kenyataan masyarakat kita, maka
perang melawan korupsi dan perdagangan illegal narkoba juga harus serupa (dan
diperoleh dari kajian ilmiah dan hasil penelitian).
Seperti
dicoba disampaikan sebelumnya dalam tulisan ini, pendekatan rasional dengan sistem peradilan pidana
terpadu (terutama antar instansi
penegak hukum) -berdasarkan penelitian
dan pengkajian tentang akar permasalahan berbagai macam kejahatan
di Indonesia- harus diusahakan menjadi strategi
perang melawan kejahatan. Slogan yang dapat ditiru adalah :”Striving
for Prosperity without Crime” – Berusaha-kuat menuju Kemakmuran tanpa
Kejahatan”.[11]
Jakarta 8 Oktober 2014
[1] A.l.kasus KomJen Polri
Susno Duadji (mantan Ka Bareskrim); kasus Bank Century; kasus Bendahara Umum
Partai Demokrat M.Nazaruddin; kasus Ketua Umum PSSI Nurdin Halid; kasus Gayus
Tambunan (Pejabat Dirjen Pajak); kasus Anggota2 DPR; dan terakhir (September
2014) kasus Gubernur Riau, dll.
[2]
Seorang
sarjana Belanda Prof M.P.Vrij dengan teori
“subsosial”-nya mengatakan bahwa suatu tindak pidana/ kejahatan akan
mempunyai empat akibat subsosial: 1)dorongan
mengulangi dari pelaku; 2)rasa tidak
puas korban; 3)keinginan meniru oleh
pihak ketiga; dan 4)rasa kecewa
pihak ke-empat/publik. Akibat sub-sosial ke- tiga dan ke-empat inilah yang mempengaruhi
putusan hakim tentang hukuman.
[3] Lihat Idlir Peci,2006, Sounds of Silence, Disertasi di
Universitas Groningen Belanda – membahas a.l. perbedaan antara criminal law dengan pendekatan autonomous dan heteronymous dengan administrative sanctioning law.,
[4] Legal cynicism :”Laws were
made to be broken” – “To make money, there are no right and wrong ways anymore,
only easy ways and hard ways” – menunjukkan bahwa warga menilai hukum tidak
mengikat.
[6] Menarik adalah pendapat yang pernah dilontarkan tahun 2009 oleh
Budayawan Emha Ainun Najib, dikatakannya: “ Korupsi (adalah) milik kita
semua …(adalah) penyakit sistem
(struktural) – (dan) penyakit
manusia … (serta) penyakit budaya (diunduh
dari
InfoKorupsi – Artikel- Maret 2009).
[7] Lihat misalnya, berita
“Napi Narkoba Rutin Kirim Rp 100 Juta
dari Penjara” (kasus Pony Tjandra dan istrinya Santi), dalam Suara Pembaruan 2
Oktober 2014, hal.A 21
[8] Perlu dikaji pendapat “adanya suatu sistem nilai dalam masyarakat
kita (birokrasi – pengusaha – politisi) yang mentolerir penyimpangan dari
aturan di bidang keuangan dan perdagangan – melihat secara sinis terhadap hukum
dan penegak hukum”.
[9] Lihat pendapat Hendardi
(Setara Institute) tentang “Pencabuatan
Hak Politik Koruptor”, dalam Suara Pembaruan
29 September, hal.A 10
[10]
Yang
terakhir adalah bentrokan antara TNI
dengan Polri di Batam, Kepulauan Riau; sebelumnya ada kasus yang terkenal
dengan nama “Cicak vs Buaya” dan
mungkin ada lagi yang lain.
[11] Slogan Asia Crime Prevention Foundation – yang
berpusat di Jepang – didirikan tahun 1982 untuk membantu UNAFEI – dan tahun 2000 mendapat status “General Consultative Status” dari PBB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar