PENDIDIKAN
HAKIM YANG TERPADU DENGAN SELEKSINYA*
(Suatu Saran Model
Integrasi Pendidikan dan Seleksi Pengangkatan Calon-Hakim
untuk Menghadapi Kritik Tiada-Henti terhadap Hakim
Indonesia)
Pengantar
Terpadu atau terintegrasi berarti ada kesatuan antara sistem seleksi dan
sistem pendidikan/ pelatihan hakim. Apakah hal ini belum terjadi sekarang ?
Menurut saya belum, karena hasil
seleksi belum/tidak menghasilkan “mereka yang terbaik” dari para pelamar. Dan
pendidikan/pelatihan juga tidak mencari “mereka yang terbaik” diantara
para peserta pendidikan dan atau pelatihan.
Persepsi masyarakat adalah bahwa untuk lulus dalam suatu seleksi pegawai
negeri (termasuk untuk jabatan hakim) seorang peminat harus dibantu dengan dana
dan koneksi.Memang seleksi administratif (ijasah; umur; jender.dsbnya) serta
fisik (tinggi-berat badan; kesehatan mata & telinga; ketahanan jasmani,
dsbnya) dapat merupakan seleksi yang cukup obyektif, meskipun unsur subyektif
dan manipulasi – misalnya “titipan”- masih sering dilaporkan. Tetapi kalau sudah memasuki tahap
“tes/ujian” dan wawancara, maka unsur subyektivitas penguji/pewancara sering
dipertanyakan umum.
Mengenai pendidikan/pelatihan pun, persepsi masyarakat adalah “pasti
lulus”, kecuali peserta pendidikan telah melakukan perbuatan melanggar hukum
yang menarik perhatian umum dan/atau melanggar disiplin secara sangat
serius.Hasil ahir kemampuan menerima bahan pendidikan/pelatihan, atau
“kemampuan intelektual” tidak
terlalu dipersoalkan.Semua akan lulus,
meskipun ada yang dengan nilai “sedang” – “cukup” – dan “baik”. Tetapi semua
hampir pasti akan jadi calon-hakim ! Apakah ini buruk ? Di bawah akan
disampaikan pendapat saya.
Menurut
pengamatan saya, adalah kebiasaan di Indonesia
melakukan pendidikan persiapan menduduki suatu pekerjaan (profesi) pemerintahan
tertentu di Indonesia
dengan prosedur dan tahap-tahap sebagai
berikut :
(a) Melakukan seleksi
umum terhadap pengumuman adanya lowongan kerja di bidang Pemerintahan,
berdasarkan pemeriksaan administratif
(misalnya: jender,umur, pendidikan formal, pendidikan khusus, dll) dan fisik (kalau dipersyaratkan,
seperti tinggi badan, mata, dan kesehatan pada umumnya);
(b) Mereka yang terpilih, kemudian melalui suatu pendidikan/latihan sesuai dengan pekerjaan
yang merupakan tujuan seleksi (hakim,jaksa, polisi, militer, dsbnya);dan
(c) Yang terpilih ini langsung “diangkat/ditetapkan”
sebagai calon-pegawai (sipil atau militer)
dan memasuki pendidikan/latihan; dan kecuali mereka sangat “tidak
–berkemampuan” (incompetent) atau
melakukan pelanggaran disiplin berat, mereka akan menduduki jabatan/pekerjaan
untuk apa seleksi dilakukan.
Secara singkat
prosedur ini adalah : seleksi umum administratif dan fisik, pendidikan/ latihan,
dan pengangkatan sebagai calon-pegawai. Isyu yang ingin dibahas :
A) Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat pada hakim-hakim
yang akan datang, adakah prosedur di
atas sudah memadai ?
B) Bagaimana sebaiknya peran Komisi Yudisial yang
turut bertanggung jawab atas peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap profesi hakim ?
Makalah ini
bertujuan untuk mengajak kita mendiskusikan sistem perekrutan, seleksi, pendidikan/latihan
dan penentuan calon-hakim yang sekarang berlaku. Karena saya sudah punya acara Komisi
Hukum Nasional di Jambi pada waktu yang bersamaan dengan pertemuan ini, maka
mohon maaf tidak dapat saya sampaikan secara lisan dan mengikuti diskusi. Mohon makalah ini dapat juga dijadiakan
bahan acuan diskusi dalam pertemuan Komisi Yudisial hari ini.
Apakah prosedur yang berlaku sudah memadai ?
Tidak dapat
disangkal bahwa prosedur ini sudah lama berlaku dan tentu sudah diuji manfaat
dan kepatuhannya pada peraturan yang berlaku. Tetapi dalam masa reformasi ini
justru perlu kita uji kembali apa yang
sudah biasa itu masih benar dalam keadaan sekarang. Beberapa kritik/saran saya
(pernah diajukan dalam suatu pertemuan yang diadakan oleh Mahkamah Agung – pada
masa Ketua MA Prof Bagir Manan) adalah sbb:
(1) Sekarang mereka yang sudah masuk dalam pendidikan/pelatihan sudah 95% pasti akan menjadi hakim (meskipun masih ada predikat calon).Kenapa ?
Karena mereka sudah menjadi “calon-pegawai negeri”. Apalagi bila mereka selesai/tamat pendidikan, tidak
ada (sukar) kemungkinan untuk menolak mereka. ini Apa yang salah dengan hal ini ?
(a) Dalam pendidikan/pelatihan baru akan telihat
jelas kemampuan intelektual mereka yang sangat diperlukan hakim yang baik (di luar negeri “top 10%” dari
suatu kelas pendidikan jadi hakim,
yang lain jadi JPU 25% dan sisanya 65% ke luar jadi advokat,dll).Maka seharusnya di Indonesia ada ujian dan kompetisi, sehingga misalnya hanya maksimal
50% yang lulus pendidikan/pelatihan disalurkan untuk karier sebagai hakim,
sisanya adalah untuk karier panitera
atau staf administrasi pengadilan.
(b) Bukan rahasia lagi bahwa di Indonesia
proses seleksi administratif (dan fisik) dapat direkayasa, termasuk tes
pengetahuan umum tentang hukum, dll. Karena itu tidak ada jaminan kualitas calon yang masuk.Ungkapan “garbage
in, garbage out” perlu diperhatikan di sini.Karena itu sebaiknya penanganan rekrutmen peserta pendidikan/pelatihan
diserahkan kepada suatu Tim atau Lembaga di luar struktur pengadilan.
(c) Dalam
pendidikan/pelatihan yang memakai sitem ujian sebagai seleksi, akan dapat
dipantau siapa benar “punya bakat” untuk menjadi hakim yang pandai secara
intelektual, punya integritas (bercita2 jadi hakim yang bersih), dan punya rasa
keadilan (empati pada keadaan seorang terdakwa atau rasa keadilan dalam
masyarakat),dll. Ujian akhir harus
dilakukan melalui suatu Tim atau Lembaga di luar struktur pengadilan,terutama
di luar badan pendidikan/pelatihan (Diklat MA).
Catatan ;Bila 95%-100% peserta pendidikan/pelatihan
”dijamin”pasti lulus untuk jadi hakim, maka pendidikan/pelatihan ini sekedar kursus
penambah pengetahuan (dan mungkin disiplin), sehingga “jeruk-jeruk yang kurang sehat” juga
akan terbawa dalam sistem karier hakim dan dapat mengkontaminasi mereka “yang
sehat” !
(2) Seleksi peserta
pendidikan/pelatihan hakim harus “transparan” dan “akuntabel” serta diserahkan pada pihak ketiga yang tidak
terafiliasi dengan jajaran pengadilan (universitas dan LSM, misalnya). Peserta
yang terseleksi masuk pendidikan/pelatihan harus berjumlah lebih banyak dari
yang diperlukan untuk waktu bersangkutan.Mengapa
harus begini ?
(a) Undang-undang mensyaratkan
bahwa seleksi harus memenuhi kriterium transparansi.Kalau kita bersedia untuk
“jujur”, maka kita harus mengakui bahwa banyak kendala untuk perilaku seperti
ini, kecuali kita serahkan pada pihak
ke-3 yang dipercaya masyarakat.
(b) Agar hasil pendikan/pelatihan
benar-benar dapat menguji kecerdasan peserta,maka Peserta harus dipacu untuk
“bersaing” mendapatkan ”jatah” kursi calon-hakim yang diperlukan. Harus ada yang tidak-lulus ! Jangan ada
pendapat ”sudah terjamin jadi calon-hakim, angka ”pas-pasan” juga tidak apa-apa
! Bagaimana dengan mereka yang sudah ”terlanjur” jadi calon-pegawai negeri
(sesuai peraturan yang sekarang berlaku) ?
(3) Pemecahan yang masih
dalam kerangka undang-undang,dan tidak ”merugikan”peserta pendidikan/pelatihan
adalah bahwa mereka tetap akan bekerja
di dalam sistem peradilan, namun
bukan sebagai hakim (misalnya meniti karier sebagai panitera dan pada
kesempatan lain mengikuti lagi pendidikan/pelatihan hakim).
Bagaimana sebaiknya peran
Komisi Yudisial R.I ?
Bilamana kita sependapat bahwa ”KY adalah kawan-seperjuangan MA” (mitra-MA)
untuk mengembalikan citra MA sebagai ”pemangku tertinggi hukum dan keadilan
di Indonesia” (pernah dipegang oleh Hooggerechtshof
van Nederlands-Indie !), maka MA
harus mau ”menggandeng” KY, mulai dari
persiapan untuk seleksi peserta sampai dengan pengumuman lulusan
pendidikan/pelatihan menjadi (calon-)hakim. Mengapa KY dan bukan lembaga
lain, seperti universitas atau LSM ? Pendapat saya adalah karena KY diserahi tanggung jawab Konstitusi untuk ”menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim”. Ini bukan sekedar kewenangan,tetapi
juga adalah tanggung-jawab, KY harus
dapat mempertanggungjawabkan bahwa sejak dibentuknya KY, memang calon-hakim
yang masuk jajaran sistem peradilan akan merupakan orang-orang terseleksi jang
selalu akan ”menjaga perilakunya agar: terhormat dan bermartabat luhur”.
(1) Pada tahap persiapan seleksi KY harus
menjaga bahwa kriterium yang ditentukan peraturan (UU dan ketentuan-ketentuan
derivatfnya) memang akan mencerminkan target mencari calon-calon yang mempunyai
hati-nurani mencari keadilan.
(a) Prosedur formal dan obyektif harus dirumuskan
bersama, dengan mewaspadai keadaan lapangan. Tanpa “politik uang-pelicin” pun,
harus diwaspadai keinginan hakim-hakim (senior dan/atau agung) agar kerabatnya
”harus lulus” rintangan pertama (waspadai “nepotisme”);
(b) Sistem seleksi dilakukan “serupa” yang dilakukan dalam
sistem ”penerimaan mahasiswa baru untuk universitas” – komputerisasi dan ada
pengumuman terbuka.
(2) Pada tahap
pendidikan/pelatihan (yang diselenggarakan DikLat MA) KY harus menjaga
bahwa pengajar Diklat bukan ”hakim/mantan-hakim yang reputasinya cacat-berat”
ataupun ”pengajar” (hakim/mantan-hakim dan dosen-advokat) yang mengajar sekedar
untuk “mengisi-waktu” dan/atau untuk “menebar-budi” (sebagai human investment, dikala nanti ada
perkara di pengadilan mantan-muridnya).
(a) Tdak berarti bahwa pimpinan dan anggota staf Diklat
kehilangan kebebasan dalam menjalankan kewenangannya, tetapi setiap pilihan
pengajar harus dapat dipertanggungjawabkan (harus akuntabel), bilamana
dipertanyakan oleh KY.
(b) Tidak berarti pendidikan/pelatihan harus
diserahkan pada pihak ketiga (misalnya, Universitas), tetapi mencari
mitra-kerja sebagai penasihat pendidikan harus dilakukan, karena selama ini
terlihat bahwa pimpinan/anggota staf Diklat tidak meniti karier penuh di bidang
pendidikan (sering dimutasi,sehingga pengalaman mengelola pendidikan/pelatihan
tidak menjadi tujuan karier mereka).
(3) Pada tahap
pelaksanaan pendidikan/pelatihan dan ujian ahir peserta-didik,KY juga harus
turut memantau bahwa para peserta-didik ini memang serius ingin menjadi
”hakim-yang-baik” (bukan sekedar jadi hakim atau pegawai-negeri). Perlu ada ”track record” pendidikan/pelatihan
mereka (terlambat menyerahkan tugas – kecurangan dalam pembuatan makalah
[seperti plagiaat] – nilai akademis
rendah, tidak disiplin,dsbnya).
Kesimpulan
Dari uraian di atas saya ingin menarik kesimpulan :
(1)-MA harus dengan
lapang-dada mau mengkoreksi ketentuan
dan kebiasaan mereka untuk mendidik/melatih hakim-hakim Indonesia, apabila
memang serius ingin memperbaiki kritik terhadap hakim-hakim Indonesia [hakim
Indonesia bukan saja dicurigai tidak jujur, tetapi juga a.l tidak siap dalam
pengetahuan hukumnya (incompetent in legal matters)];
(2)-KY harus bersedia untuk
membantu MA dalam memberi saran-saran sebagai mitra-kerja yang baik, tidak
sekedar memberi kritik dan bertindak sebagai “pengawas”eksternal perilaku hakim
yang menyimpang, tetapi juga memajukan gagasan-gagasan
dalam rangka pembinaan hakim, terutama tentang peningkatan pengetahuan
hukum mereka.
REFERENSI:
1.UU
No.49/2009 (tentang
Peradilan Umum)– Pasal 14 dan 14A
2.UU
No.50/2009 (tentang
Peradilan Agama) – Pasal 13 dan 13A
3.
UU No.51/2009 (tentang Peradilan Tata Usaha Negara)– Pasal 14 dan 14A
*Makalah ini telah disampaikan dalam Seminar di Komisi Yudisial tentang “Pendidikan Hakim dan Seleksi
Pengangkatan Hakim Terpadu” di Jakarta, 15 November 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar