Rabu, 21 Januari 2015

Pendidikan Hakim Yang Terpadu Dengan Seleksinya



PENDIDIKAN HAKIM YANG TERPADU DENGAN SELEKSINYA*
(Suatu Saran Model Integrasi Pendidikan dan Seleksi Pengangkatan Calon-Hakim
untuk Menghadapi Kritik Tiada-Henti terhadap Hakim Indonesia)


Pengantar

Terpadu atau terintegrasi berarti ada kesatuan antara sistem seleksi dan sistem pendidikan/ pelatihan hakim. Apakah hal ini belum terjadi sekarang ? Menurut saya belum, karena hasil seleksi belum/tidak menghasilkan “mereka yang terbaik” dari para pelamar. Dan pendidikan/pelatihan juga tidak mencari “mereka yang terbaik” diantara
para peserta pendidikan dan atau pelatihan.

Persepsi masyarakat adalah bahwa untuk lulus dalam suatu seleksi pegawai negeri (termasuk untuk jabatan hakim) seorang peminat harus dibantu dengan dana dan koneksi.Memang seleksi administratif (ijasah; umur; jender.dsbnya) serta fisik (tinggi-berat badan; kesehatan mata & telinga; ketahanan jasmani, dsbnya) dapat merupakan seleksi yang cukup obyektif, meskipun unsur subyektif dan manipulasi – misalnya “titipan”- masih sering  dilaporkan. Tetapi kalau sudah memasuki tahap “tes/ujian” dan wawancara, maka unsur subyektivitas penguji/pewancara sering dipertanyakan umum.

Mengenai pendidikan/pelatihan pun, persepsi masyarakat adalah “pasti lulus”, kecuali peserta pendidikan telah melakukan perbuatan melanggar hukum yang menarik perhatian umum dan/atau melanggar disiplin secara sangat serius.Hasil ahir kemampuan menerima bahan pendidikan/pelatihan, atau “kemampuan intelektual” tidak terlalu dipersoalkan.Semua akan lulus, meskipun ada yang dengan nilai “sedang” – “cukup” – dan “baik”. Tetapi semua hampir pasti akan  jadi calon-hakim ! Apakah ini buruk ? Di bawah akan disampaikan pendapat saya. 

Menurut pengamatan saya, adalah kebiasaan di Indonesia melakukan pendidikan persiapan menduduki suatu pekerjaan (profesi) pemerintahan tertentu di Indonesia dengan prosedur dan tahap-tahap sebagai berikut :

(a) Melakukan seleksi umum terhadap pengumuman adanya lowongan kerja di bidang Pemerintahan, berdasarkan pemeriksaan administratif (misalnya: jender,umur, pendidikan formal, pendidikan khusus, dll) dan fisik (kalau dipersyaratkan, seperti tinggi badan, mata, dan kesehatan pada umumnya);

(b) Mereka yang terpilih, kemudian melalui suatu pendidikan/latihan sesuai dengan pekerjaan yang merupakan tujuan seleksi (hakim,jaksa, polisi, militer, dsbnya);dan

(c) Yang terpilih ini langsung “diangkat/ditetapkan” sebagai calon-pegawai (sipil atau militer) dan memasuki pendidikan/latihan; dan kecuali mereka sangat “tidak –berkemampuan” (incompetent) atau melakukan pelanggaran disiplin berat, mereka akan menduduki jabatan/pekerjaan untuk apa seleksi dilakukan.

Secara singkat prosedur ini adalah : seleksi umum administratif dan fisik, pendidikan/ latihan, dan  pengangkatan sebagai calon-pegawai.  Isyu yang ingin dibahas :

A) Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat pada hakim-hakim yang akan datang, adakah  prosedur di atas sudah memadai ?

B) Bagaimana sebaiknya peran Komisi Yudisial yang turut bertanggung jawab atas peningkatan kepercayaan  masyarakat terhadap profesi hakim ?


Makalah ini bertujuan untuk mengajak kita mendiskusikan sistem perekrutan, seleksi, pendidikan/latihan dan penentuan calon-hakim yang sekarang berlaku. Karena saya sudah punya acara Komisi Hukum Nasional di Jambi pada waktu yang bersamaan dengan pertemuan ini, maka mohon maaf tidak dapat saya sampaikan secara lisan dan mengikuti diskusi. Mohon makalah ini dapat juga dijadiakan bahan acuan diskusi dalam pertemuan Komisi Yudisial hari ini.

Apakah prosedur yang berlaku sudah memadai ?

Tidak dapat disangkal bahwa prosedur ini sudah lama berlaku dan tentu sudah diuji manfaat dan kepatuhannya pada peraturan yang berlaku. Tetapi dalam masa reformasi ini justru perlu kita uji kembali apa yang sudah biasa itu masih benar dalam keadaan sekarang. Beberapa kritik/saran saya (pernah diajukan dalam suatu pertemuan yang diadakan oleh Mahkamah Agung – pada masa Ketua MA Prof Bagir Manan) adalah sbb:

(1) Sekarang mereka yang sudah masuk dalam pendidikan/pelatihan sudah 95% pasti akan menjadi hakim (meskipun masih ada predikat calon).Kenapa ? Karena mereka sudah menjadi “calon-pegawai negeri”. Apalagi bila mereka selesai/tamat pendidikan, tidak ada (sukar) kemungkinan untuk menolak mereka. ini Apa yang salah dengan hal ini ?

(a) Dalam pendidikan/pelatihan baru akan telihat jelas kemampuan intelektual mereka yang sangat diperlukan hakim yang baik (di luar negeritop 10%”  dari suatu kelas pendidikan jadi hakim, yang lain jadi JPU 25% dan sisanya 65% ke luar jadi advokat,dll).Maka seharusnya di Indonesia ada ujian dan kompetisi, sehingga misalnya hanya maksimal 50% yang lulus pendidikan/pelatihan disalurkan untuk karier sebagai hakim, sisanya adalah  untuk karier panitera atau staf administrasi pengadilan.

(b) Bukan rahasia lagi bahwa di Indonesia proses seleksi administratif (dan fisik) dapat direkayasa, termasuk tes pengetahuan umum tentang hukum, dll. Karena itu tidak ada jaminan kualitas calon yang masuk.Ungkapan “garbage in, garbage out” perlu diperhatikan di sini.Karena itu sebaiknya penanganan rekrutmen peserta pendidikan/pelatihan diserahkan kepada suatu Tim atau Lembaga di luar struktur pengadilan.

(c) Dalam pendidikan/pelatihan yang memakai sitem ujian sebagai seleksi, akan dapat dipantau siapa benar “punya bakat” untuk menjadi hakim yang pandai secara intelektual, punya integritas (bercita2 jadi hakim yang bersih), dan punya rasa keadilan (empati pada keadaan seorang terdakwa atau rasa keadilan dalam masyarakat),dll. Ujian akhir harus dilakukan melalui suatu Tim atau Lembaga di luar struktur pengadilan,terutama di luar badan pendidikan/pelatihan (Diklat MA).

Catatan ;Bila 95%-100% peserta pendidikan/pelatihan ”dijamin”pasti lulus untuk jadi hakim, maka pendidikan/pelatihan ini sekedar kursus penambah pengetahuan (dan mungkin disiplin), sehingga “jeruk-jeruk yang kurang sehat” juga akan terbawa dalam sistem karier hakim dan dapat mengkontaminasi mereka “yang sehat” !

(2) Seleksi peserta pendidikan/pelatihan hakim harus “transparan” dan “akuntabel” serta diserahkan pada pihak ketiga yang tidak terafiliasi dengan jajaran pengadilan (universitas dan LSM, misalnya). Peserta yang terseleksi masuk pendidikan/pelatihan harus berjumlah lebih banyak dari yang diperlukan untuk waktu bersangkutan.Mengapa harus begini ?

(a) Undang-undang mensyaratkan bahwa seleksi harus memenuhi kriterium transparansi.Kalau kita bersedia untuk “jujur”, maka kita harus mengakui bahwa banyak kendala untuk perilaku seperti ini, kecuali kita serahkan pada pihak ke-3 yang dipercaya masyarakat.

(b) Agar hasil pendikan/pelatihan benar-benar dapat menguji kecerdasan peserta,maka Peserta harus dipacu untuk “bersaing” mendapatkan ”jatah” kursi calon-hakim yang diperlukan. Harus ada yang tidak-lulus ! Jangan ada pendapat ”sudah terjamin jadi calon-hakim, angka ”pas-pasan” juga tidak apa-apa ! Bagaimana dengan mereka yang sudah ”terlanjur” jadi calon-pegawai negeri (sesuai peraturan yang sekarang berlaku) ?

(3) Pemecahan yang masih dalam kerangka undang-undang,dan tidak ”merugikan”peserta pendidikan/pelatihan adalah bahwa mereka tetap akan bekerja di dalam sistem peradilan, namun bukan sebagai hakim (misalnya meniti karier sebagai panitera dan pada kesempatan lain mengikuti lagi pendidikan/pelatihan hakim).

Bagaimana sebaiknya peran Komisi Yudisial R.I ?

Bilamana kita sependapat bahwa ”KY adalah kawan-seperjuangan MA” (mitra-MA)
untuk mengembalikan citra MA sebagai ”pemangku tertinggi hukum dan keadilan di Indonesia” (pernah dipegang oleh Hooggerechtshof van Nederlands-Indie !), maka MA harus mau ”menggandeng” KY, mulai dari persiapan untuk seleksi peserta sampai dengan pengumuman lulusan pendidikan/pelatihan menjadi (calon-)hakim. Mengapa KY dan bukan lembaga lain, seperti universitas atau LSM ? Pendapat saya  adalah karena KY diserahi tanggung jawab Konstitusi untuk ”menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim”. Ini bukan sekedar kewenangan,tetapi juga adalah tanggung-jawab, KY harus dapat mempertanggungjawabkan bahwa sejak dibentuknya KY, memang calon-hakim yang masuk jajaran sistem peradilan akan merupakan orang-orang terseleksi jang selalu akan ”menjaga perilakunya agar: terhormat dan bermartabat luhur”.

(1) Pada tahap persiapan seleksi KY harus menjaga bahwa kriterium yang ditentukan peraturan (UU dan ketentuan-ketentuan derivatfnya) memang akan mencerminkan target mencari calon-calon yang mempunyai hati-nurani mencari keadilan.

(a) Prosedur formal dan obyektif harus dirumuskan bersama, dengan mewaspadai keadaan lapangan. Tanpa “politik uang-pelicin” pun, harus diwaspadai keinginan hakim-hakim (senior dan/atau agung) agar kerabatnya ”harus lulus” rintangan pertama (waspadai “nepotisme”);

(b) Sistem seleksi dilakukan “serupa” yang dilakukan dalam sistem ”penerimaan mahasiswa baru untuk universitas” – komputerisasi dan ada pengumuman terbuka.

(2) Pada tahap pendidikan/pelatihan (yang diselenggarakan DikLat MA) KY harus menjaga bahwa pengajar Diklat bukan ”hakim/mantan-hakim yang reputasinya cacat-berat” ataupun ”pengajar” (hakim/mantan-hakim dan dosen-advokat) yang mengajar sekedar untuk “mengisi-waktu” dan/atau untuk “menebar-budi” (sebagai human investment, dikala nanti ada perkara di pengadilan mantan-muridnya).

(a) Tdak berarti bahwa pimpinan dan anggota staf Diklat kehilangan kebebasan dalam menjalankan kewenangannya, tetapi setiap pilihan pengajar harus dapat dipertanggungjawabkan (harus akuntabel), bilamana dipertanyakan oleh KY.

(b) Tidak berarti pendidikan/pelatihan harus diserahkan pada pihak ketiga (misalnya, Universitas), tetapi mencari mitra-kerja sebagai penasihat pendidikan harus dilakukan, karena selama ini terlihat bahwa pimpinan/anggota staf Diklat tidak meniti karier penuh di bidang pendidikan (sering dimutasi,sehingga pengalaman mengelola pendidikan/pelatihan tidak menjadi tujuan karier mereka).

(3) Pada tahap pelaksanaan pendidikan/pelatihan dan ujian ahir peserta-didik,KY juga harus turut memantau bahwa para peserta-didik ini memang serius ingin menjadi ”hakim-yang-baik” (bukan sekedar jadi hakim atau pegawai-negeri). Perlu ada ”track record” pendidikan/pelatihan mereka (terlambat menyerahkan tugas – kecurangan dalam pembuatan makalah [seperti plagiaat] – nilai akademis rendah, tidak disiplin,dsbnya).

Kesimpulan

Dari uraian di atas saya ingin menarik kesimpulan :

(1)-MA harus dengan lapang-dada mau mengkoreksi ketentuan dan kebiasaan mereka untuk mendidik/melatih hakim-hakim Indonesia, apabila memang serius ingin memperbaiki kritik terhadap hakim-hakim Indonesia [hakim Indonesia bukan saja dicurigai tidak jujur, tetapi juga a.l tidak siap dalam pengetahuan hukumnya  (incompetent in legal matters)];

(2)-KY harus bersedia untuk membantu MA dalam memberi saran-saran sebagai mitra-kerja yang baik, tidak sekedar memberi kritik dan bertindak sebagai “pengawas”eksternal perilaku hakim yang menyimpang, tetapi juga memajukan gagasan-gagasan dalam rangka pembinaan hakim, terutama tentang peningkatan pengetahuan hukum mereka.

(3)-Ketentuan-ketentuan yang ada dalam berbagai Undang-undang,maupun peraturan derivatifnya, harus ditafsirkan bersama oleh MA dan KY dalam rangka mempersiapkan kader-kader Hakim Tinggi dan Hakim Agung karier yang dapat memperbaiki citra sistem peradilan di Indonesia.



REFERENSI:
1.UU No.49/2009 (tentang Peradilan Umum)– Pasal 14 dan 14A
2.UU No.50/2009 (tentang Peradilan Agama) – Pasal 13 dan 13A
3. UU No.51/2009 (tentang Peradilan Tata Usaha Negara)– Pasal 14 dan 14A



*Makalah ini telah disampaikan dalam Seminar di Komisi Yudisial tentang Pendidikan Hakim dan Seleksi Pengangkatan Hakim Terpadu” di Jakarta, 15 November 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar