KEDAULATAN
LAUT INDONESIA
(Perlukah
Coast Guard Untuk Mengawal Poros
Maritim Dunia ?)
Pengantar
Cukup
menarik perhatian kita adalah disahkannya UU Kelautan oleh DPR pada akhir masa
kerjanya dalam bulan September 2014, yang dapat menjadi pendukung bagi program
Presiden baru kita Jokowi, yang juga menjanjikan dalam kampanyenya: “memperkuat sektor maritim sebagai bagian dari
strategi ketahanan nasional”[1].Tentu
kita semua sadar bahwa ini bukan sesuatu yang baru dalam sejarah Indonesia,tetapi
sebagai kelanjutan dari “Deklarasi Djuanda” 1957 yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah
termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia serta
merupakan kesatuan wilayah NKRI. Delarasi ini juga menyatakan bahwa Indonesia
menganut prinsip Negara Kepulauan dan dalam tahun 1982 hal ini diterima dunia melalui UNCLOS (United Nations Convention On The Law Of The Sea).
Kita
juga sudah punya cukup banyak peraturan tentang “Perairan Indonesia”, “Zona
Eksklusif Indonesia”,“Pelayaran” dan “Perikanan”, yang mencoba mengatur luas
wilayah kelautan Indonesia yang mencapai duapertiga luas seluruh wilayah NKRI.
Pernah juga pada sekitar tahun 2002 The
Habibie Centre,menyusun suatu RUU
Maritim yang merupakan kelanjutan dari program lama Pemerintah Indonesia bekerja
sama dengan Universitas Indonesia tahun 1983 (dikenal sebagai Maritime Legislation Project dengan
biaya Bank Dunia).Tujuan program legislasi 1983 ini adalah membuat suatu Peraturan
Perundang-undangan yang komprensif yang terdiri dari kumpulan konsep RUU dan
KepPres di bidang maritim (Pengaturan Ekonomi – Pengawakan dan Keselamatan – Navigasi dan Polusi – dan Hukum Perdata
dibidang Maritim).Tidak jelas apa yang kemudian terjadi dengan hasil program
itu, yang melibatkan sejumlah tenaga dari Fakultas Hukum UI dan tenaga ahli
dari Belanda serta sejumlah tenaga dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut
(dibawah Dirjen Fannie Habibie).Uraian di atas hanya ingin menegaskan bahwa
sebenarnya “usaha mengamankan laut
Indonesia” sudah dicanangkan oleh sejumlah Presiden yang lalu, tetapi mengapa
sekarang perlu disoroti lagi sebagai sebuah program “klasik” yang tidak
rampung-rampung juga,dalam 3 dekade (30 tahun)yang lalu ? Apakah yang
“mungkin” merupakan masalahnya ?
Apakah hal-hal di bawah ini
mungkin masalahnya? Dengan berlakunya UU
No.22/1999 tentang Otonomi Daerah, maka sebagian daerah berpendapat bahwa
wilayah laut di daerah mereka adalah juga daerah kewenangan mereka. Hal
tersebut dapat menimbulkan keadaan di mana laut di Indonesia terpecah-pecah
menjadi wilayah terpisah. Hal ini adalah kekeliruan dalam penafsiran tentang
otonomi daerah, dan perlu diperbaiki.Hal lain lagi,yang juga merupakan masalah
adalah, pernah dalam tahun 2010 Indonesia berkonflik dengan Malaysia tentang
perbatasan laut, yang menyangkut kedaulatan atas wilayah laut di perairan
Bintan, di mana tiga orang polisi kita ditangkap di tengah laut oleh polisi/tentara
Malaysia atas alasan melanggar batas wilayah Malaysia. Seperti permasalahan
pertama ini adalah tentang batas laut, tetapi kali ini dengan negara tetangga !
Yang ketiga, adalah banyaknya berita tentang pencurian ikan oleh kapal-kapal
milik perusahaan asing, yang merugikan Indonesia trilyunan rupiah per tahun dan
juga terjadinya pencemaran laut kita[2].
Mengembalikan Kedaulatan
Negara
Apa
yang terjadi di laut Indonesia dengan pencurian ikan dan insiden dengan polisi
Malaysia adalah suatu pelanggaran terhadap kedaulatan Indonesia atas laut
teritorialnya. Apakah kebijakan dengan pembentukan Peraturan Per-undang2-an Maritim
(Maritime Legislation) dapat diharapkan
menghilangkan atau sekurang-kurangnya mengurangi hal tersebut ? Pertama-tama
harus dikaji, mengapa selama ini kita
tidak atau kurang sekali berhasil menjaga perairan laut Indonesia ? Dan
kedua perlu juga dikaji bagaimana menyelesaikan masalah “pengkotakan” laut
sebagai akibat UU Otonomi Daerah ?! Ini adalah dua masalah yang perlu segera
dibenahi. Namun dalam makalah ini hanya masalah pertama yang akan dibahas. Perlu dipahami dahulu, bahwa negara maritim
Indonesia ini memiliki wilayah laut yang paling tidak mempunyai 3(tiga) jenis
kelautan:
(1) Perairan Kepulauan
atau Regime Archipelagic State, adalah
lautan yang terdapat di antara pulau-pulau (seperti Laut Jawa, Laut Arafuru,
dsb);
(2) Perairan Teritorial,
yaitu laut selebar maksimum 12 mil ke arah laut lepas, diukur dari garis pantai
pulau-pulau terluar; dan
(3) Perairan Zona Ekonomi
Eksklusif, adalah wilayah laut di mana Negara
Kepulauan dapat melakukan eksplorasi dan eksplotasi kekayaan laut, sebatas
maksimum 200 mil dari batas terluar Perairan Teritorialnya ke arah laut lepas.
Ketiga
jenis kelautan ini mempunyai perbedaan
permasalahan: Perairan Kepulauan (PK) dan Perairan Zona Eksklusif (PZE)
permasalahannya banyak terkait dengan kapal-kapal asing dan negara asing yang
tidak mengakui atau menghormati hak yurisdiksi hukum Indonesia atas jenis
kelautan ini. Sedangkan Perairan Teritorial (PT) mempunyai masalah dengan
yurisdiksi masing-masing daerah berdasarkan UU Otonomi Daerah. Jadi sebaiknya perbedaan
permasalahan ini juga diperhatikan dengan seksama, agar penyelesaian hukumnya (dimana
perlu) dapat perhatian utama kita.
Penegakan Hukum terhadap Illegal Fishing
Yang
diartikan secara harafiah dengan illegal
fishing adalah “pencurian ikan”, yaitu kapal-kapal penangkap ikan yang
beroperasi di Perairan Kepulauan (PK)
dan Perairan Zona Eksklusif (PZE)
tanpa mendapat ijin dari Pemerintah RI. Namun, dapat termasuk juga dalam
pengertian ini adalah (seharusnya) cara penangkapan ikan (meskipun dengan ijin
atau berhak menurut hukum untuk nelayan lokal Indonesia), yang dilakukan dengan
melanggar aturan seperti dengan “pukat harimau” atau dengan “dinamit”.
Penggunaan dinamit untuk mendapat ikan, banyak juga dilakukan oleh nelayan
tradisional kita. Cara ini akan merusak trumbu-karang dan akhirnya mengurangi
tempat ikan berkembang-biak. Pencurian ikan oleh kapal-kapal besar banyak dilakukan
oleh kapal berbendera dan dimiliki oleh perusahaan asing. Tetapi (menurut surat
kabar) banyak juga dilakukan oleh kapal berbendera Indonesia dan dimiliki oleh
perusahaan berbentuk badan hukum Indonesia (Perseroan Terbatas), namun sebenarnya
adalah milik pengusaha asing (ada usaha menutupi pemilik kapal dengan memakai sistem
“Ali-Baba” atau “Ali-Johnson”) . Pelanggaran hukum di kasus terakhir ini adalah
mereka menangkap ikan secara berlebihan (satu kapal besar sebagai penampung,
dengan sejumlah kapal kecil yang menyebar menangkap ikan). Akibatnya adalah
terjadi “over fishing” dan
berkurangnya ikan untuk para nelayan tradisional yang menangkap ikan di Perairan Teritorial (PT).
Di
daerah laut yang demikian luas, maka cara
penegakan hukum terhadap pelaku yang melanggar tidaklah mudah. Menurut
saya, pertama harus ada pengawasan
terhadap para pejabat pemerintah yang berwenang memberi ijin-ijin tentang penangkapan
ikan. Kedua, harus ada pengawasan
terhadap para penegak hukum yang mempunyai kewenangan menangkap, membawa kapal
ke pelabuhan, memproses pelanggaran di muka pengadilan, dan para hakim yang
akan mengadili pelaku-pelaku tersebut. Dan ketiga,
harus ada peninjauan kembali tentang berbagai peraturan yang menyangkut masalah
“pencurian ikan”, pencemaran laut dan hak melintas di Alur Laut Kepulauan
Indonesia (ALKI)[3],
jangan ada tumpang-tindih peraturan yang menyebabkan normanya tidak jelas dan
timbulnya “benturan” antar instansi yang merasa dirinya “lebih berwenang”
(egoisme sektoral). Ketidak-harmonisan antar instansi ini yang sering
dimanfaatkan oleh “pengusaha-curang” (lokal dan asing), tetapi kita tidak mau
(tidak berani ?) mengakuinya, dengan mencari kesalahan pada “orang-lain”
(pengusaha asing/lokal yang memanfaatkan kelemahan birokrasi Indonesia).
Hal
pertama di atas, menurut saya,
merupakan sumber utama terjadinya kemungkinan penyalahgunaan wewenang, yang
bukan mustahil dapat merupakan pula tindak pidana korupsi. Kalau peraturan kita
telah baik, dan mengantisipasi semua kemungkinan dalam hal akan terjadinya “pencurian
ikan” ,“over fishing”, dan
“pencemaran laut”, maka harus dicegah (dengan segala daya-upaya) agar
aturan-aturan (norma-norma) tentang penangkapan ikan di wilayah PK, PZE dan PT tidak dimanupulasi oleh pejabat-pejabat
kita. Pada saat ini yang selalu menjadi sorotan adalah meng”kambing
hitam”kan para nelayan/kapal asing[4].
Kalau melihat pada “iklim-korupsi” yang terbongkar melalui berbagai kasus
penyidikan KPK dan Kepolisian/Kejaksaan, maka bukan mustahil bahwa sumber “kemudahan” pelanggaran UU Perikanan
adalah pada pemberian ijin yang “semi-legal”(KKN?). Jadi perlu segera dimulai
adanya “gerakan mengawasi pemberi-ijin perikanan”.Dan tentu juga harus dipantau
hakim dan penuntut umum di Pengadilan Perikanan (mengapa sedikit sekali kasus
yang diperiksa dan mengapa hukumannya sering ringan?) !
Hal
kedua, juga terkait hal pertama,
tetapi di sini masalahnya adalah pada “mafia
peradilan perikanan”. Ada keluhan bahwa para pelaku yang dibawa ke
pengadilan mendapat hukuman ringan, tidak sebanding dengan keuntungan yang
diperoleh dari “pencurian ikan” ini. Permasalahan ini juga kita dapati pada
kasus-kasus korupsi, sering dikatakan hukuman penjaranya terlalu ringan. Namun,
menurut saya, jarang dipermasalahkan
tidak-adanya usaha “pemiskinan koruptor” dengan merampas hartanya (juga
yang disembunyikan di pihak ke-3). Padahal ini sebenarnya “kuncinya”, koruptor
menjadi lebih miskin dari sebelum korupsi; hukuman
penjara di LP tidak menakutkan, selama masih ada uang/harta korupsi yang
berlimpah (termasuk pada keluarganya), maka selalu ada cara mendapat berbagai “fasilitas” meringankan hukuman dari
petugas-petugas LP (yang pada umumnya memang memerlukan tambahan diatas
gaji resminya !). Di sini kedaan
ketiadaan pemiskinan-perusahaan pelaku “illegal
fishing”,juga terjadi. Yang dihukum adalah “nakoda dan anak buah kapal”.
Sama seperti pada “manipulasi pajak”, yang dihukum adalah pelaku yang
“kasat-mata” (kepala bagian keuangan perusahaan dan petugas pajak), tetapi perusahaan yang menikmati manipulasi
pajak (atau dalam hal ini keuntungan “illegal
fishing”)seperti “kebal hukum” (mungkin karena para Pemegang Saham dan
Pengurusnya, mempunyai “political power”
?).
Saran
saya yang ketiga ini, dasarnya
adalah terkait “rahasia-umum”. Masalah “keangkuhan sektoral” adalah
permasalahan lama dan klasik dalam birokrasi penegakan hukum di Indonesia. Persaingan dan benturan antara instansi
Kepolisian, TNI-AL dan Bea-Cukai dalam masalah kewenangan penegakan hukum di
lautan Indonesia, menurut saya, adalah penyebab
utama ketidakmampuan Indonesia menegaskan dan membuktikan kepada dunia,
bahwa PK,PT dan PZE ini adalah yurisdiksi Indonesia dan pelanggarannya akan
diberi hukuman yang berat (memiskinkan perusahaan pelanggar!). Kalau saya tidak
salah, benturan berikutnya adalah juga dengan
Kementerian Perhubungan (Ditjen Perhubungan Laut) yang “menguasai”
pelabuhan dan tempat-tempat/desa-desa nelayan tradisional dalam perairan 12 mil
kearah laut lepas. Apakah untuk soal-soal itulah rupanya a.l. diundangkan UU
Kelautan 25/2014 pada akhir masa DPR bulan September 2014 yang lalu? Antara
lain dengan pembentukan Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang menggantikan Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla)[5]!?
Begitu juga tentu diperlukan alat-alat canggih untuk mendeteksi adanya
kapal-kapal yang sedang berlayar di lautan yurisdiksi hukum Indonesia, terutama
tentu kapal-kapal patroli yang diperlengkapi dengan radar dan alat-alat canggih
lainnya[6].Apakah ini semua akan menjadi
proyek-proyek baru yang dapat menghasilkan dana bagi para pejabat yang terlibat
dalam pembelian kapal dan peralatannya ?
Bakamla serupa Coast Guard Amerika Serikat ?
Kementerian
Perhubungan sudah cukup lama (6 tahun
!) mempersiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Penjagaan Laut dan Pantai
(Sea and Coast Guard) berdasarkan UU
Pelayaran 17/2008. Entah mengapa
begitu lama, mungkin karena masalah egoism sektoral - penyakit lama di
Indonesia. Menurut berita dalam media cetak[7], fungsi organisasi baru dalam RPP ini
juga adalah penegakan hukum dan penegakan keselamatan pelayaran. Fungsi itu
terbagi atas fungsi komando dari petugas
Penjaga Laut dan Pantai (PLP – di bawah Kementerian Perhubungan) dan fungsi
koordinasi yan berada di Bakorkamla/Bakamla
(berada di bawah Kementerian Koordinator Politik,Hukum dan Keamanan).
Menurut berita itu pula, pada saat ini ada
12 instansi yang ada aturannya tentang pelabuhan, namun hanya petugas PLP yang
secara sah dapat memberhentikan dan memeriksa kapal niaga nasional dalam urusan
pelayaran. Dari uraian di atas ini, maka kesan pertama saya, bahwa UU
Kelautan yang baru yang mengubah BakorKamla,
menjadi Bakamla, sekarang akan membentuk “Coast
Guard Indonesia” ternyata keliru.
Berita yang dikutip dia atas jelas menginginkan adanya “Coast Guard Indonesia”
dibawah Kementerian Perhubungan ! Ini tentu dapat menjadi permasalahan kewenangan
kembali ! Mari kita tengok sekilas tentang “United
States Coast Guard”.
Adapun
US Coast Guard (selanjutnya CG
Amerika Serikat) telah terbentuk lebih dari 100 tahun yang lalu (tahun 1790
oleh Menteri Keuangan Alexander Hamilton) dengan tujuan utama: memungut pajak
dari penyelundupan, menangkap bajak laut, dan membantu/menyelamatkan orang yang
mengalami kesulitan di laut perairan Amerika Serikat. Dari bahan pustaka dan
media film, kita dapat melihat ketangguhan CG ini dalam mengamankan perairan
Amerika Serkat. CG ini memang pernah berada di bawah Kementerian Transportasi
(1967), tetapi sejak tahun 2002 berada di bawah Kementerian Keamanan Dalam
Negeri (Homeland Security) dan dalam
keadaan perang dapat dialihkan ke Angkatan Laut (Navy) Amerika Serikat. Adapun fungsi CG adalah sebagai berikut[8]
:
1) Maritime
law enforcement (penegakan hukum maritim/kelautan);
2) Search
and Rescue (SAR);
4) Maintenance
of River, Intracoastal and Offshore Aids to Navigation (merawat
bekerjanya alat bantu navigasi di sungai, perairan antar pantai dan perairan
dekat pantai).
Dari
contoh di atas terlihat bahwa tugas CG Amerika Serikat sangat luas dan berada
di bawah satu komando. Alangkah baiknya
apabila Indonesia meniru “model CG Amerika Serikat” ini : hanya ada satu
komando dan mempunyai tugas yang sangat luas dalam mengamankan laut Indonesia. Dan
janganlah ada persaingan dan perebutan kewenangan tentang penegakan hukum antara
: Kepolisian – Angkatan Laut – Bea Cukai – dan Kementerian Perhubungan! Dengan
adanya program ambisius[10]
pemerintah untuk membangun perairan kelautan Indonesia menjadi “poros maritim dunia”, maka sudahlah
pada waktunya kita menghentikan persaingan antar instansi yang dilandasi oleh
“ego sektoral”. Dan jangan lupa, bahwa masalah
yang kita hadapi bukan saja tentang “pencurian ikan dan kerugian triliunan yang
timbul dari hal itu”, tetapi juga “rusaknya lingkungan-hidup laut Indonesia
oleh perusakan dan pencemaran bidang pertambangan”[11]
[1] Diperkenalkan juga
konsep Indonesia harus menjadi “Poros
Maritim Dunia” , yang memerlukan kemampuan manajerial dan koordinasi antar
instansi yang baik agar Indonesia dipercaya dapat mengembangkan poros-maritim secara
internasional–Lihat Suara Pembaruan 5 Agst 2014-hal.A-19
[2] Tuduhan utama juga
ditujukan ke Malaysia,Thailand,Vietnam dan Filipina, sehingga ada seruan untuk memboikot
negara-negara yang melakukan IUU Fishing
(illegal, unreported and unregulated fishing).
[3] Indonesia telah
menetapkan 3 ALKI, yang juga mewajibkan kepada kita untuk menjaga keamanan
kapal-kapal yang melintas secara terus-menerus, langsung dan secepat mungkin
(UNCLOS 1982).
[4] Lihat juga berita di Suara
Pembaruan 8-9November, hal.B-1– Tentang moratorium kapal ikan besar di atas 30
GT yang jumlahnya 1.200 unit dan diduga banyak milik asing.
[5] Badan yang baru ini
telah berubah menjadi badan dengan otoritas mandiri dan bertugas penegakan
hukum di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi laut Indonesia, melalui patroli keamanan dan
keselamatan,sedangkan badan yang lama terdiri atas 7 Menteri, Jaksa Agung, Kapolri
dan Petinggi-petinggi TNI-AL (news.bisnis.com/read – diunduh 23 Okt 2014).
[6] Lihat juga berita di Suara Pembaruan op.cit hal.A-6- Tentang Alutsista (alat utama sistem senjata) Laut,
untuk pengamanan kedaulatan wilayah laut.
[7] Lihat berita di Suara
Pembaruan 23 Oktober, hal.B-3, tentang RPP Penjaga Laut dan Pantai, Hanya Atur
Sistem Pelayaran.
[8] Lihat tulisan (tidak
diterbitkan) Prof.Dr.Edo Quioko (gurubesar Emiritus Arkansas University), 2010,
“Pentingnya Coast Guard di Indonesia”.
[9] Pencemaran Laut Timor
oleh meledaknya kilang minyak Montara 21 Agustus 2009, seharusnya juga
ditangani oleh CG Australia dan PLP Indonesia; namun hingga kini masalah ini
belum selesai.
[10] Program ambisius yang
lain adalah pembangunan bendungan laut raksasa sepanjang 33 kilometer, yang
akan dibangun untuk menolak banjir yang sering melanda DKI Jakarta. PLP atau “Coast Guard Indonesia” tentu perlu
dilibatkan pula di sini.
[11] Dalam Kabinet Jokowi
terdapat Menko Bidang Kemaritiman, yang mengkoordinasi tugas a.l.Pariwisata,
ESDM, Perhubungan serta Kelautan dan Perikanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar