Rabu, 21 Januari 2015

Kedaulatan Laut Indonesia



KEDAULATAN LAUT INDONESIA
(Perlukah Coast Guard Untuk Mengawal Poros Maritim Dunia ?)


Pengantar
Cukup menarik perhatian kita adalah disahkannya UU Kelautan oleh DPR pada akhir masa kerjanya dalam bulan September 2014, yang dapat menjadi pendukung bagi program Presiden baru kita Jokowi, yang juga menjanjikan dalam kampanyenya: “memperkuat sektor maritim sebagai bagian dari strategi ketahanan nasional”[1].Tentu kita semua sadar bahwa ini bukan sesuatu yang baru dalam sejarah Indonesia,tetapi sebagai kelanjutan dari “Deklarasi Djuanda” 1957 yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia serta merupakan kesatuan wilayah NKRI. Delarasi ini juga menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip Negara Kepulauan dan dalam tahun 1982 hal ini diterima dunia melalui UNCLOS (United Nations Convention On The Law Of The Sea).

Kita juga sudah punya cukup banyak peraturan tentang “Perairan Indonesia”, “Zona Eksklusif Indonesia”,“Pelayaran” dan “Perikanan”, yang mencoba mengatur luas wilayah kelautan Indonesia yang mencapai duapertiga luas seluruh wilayah NKRI. Pernah juga pada sekitar tahun 2002 The Habibie Centre,menyusun suatu RUU Maritim yang merupakan kelanjutan dari program lama Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan Universitas Indonesia tahun 1983 (dikenal sebagai Maritime Legislation Project dengan biaya Bank Dunia).Tujuan program legislasi 1983 ini adalah membuat suatu Peraturan Perundang-undangan yang komprensif yang terdiri dari kumpulan konsep RUU dan KepPres di bidang maritim (Pengaturan Ekonomi – Pengawakan dan Keselamatan –  Navigasi dan Polusi – dan Hukum Perdata dibidang Maritim).Tidak jelas apa yang kemudian terjadi dengan hasil program itu, yang melibatkan sejumlah tenaga dari Fakultas Hukum UI dan tenaga ahli dari Belanda serta sejumlah tenaga dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (dibawah Dirjen Fannie Habibie).Uraian di atas hanya ingin menegaskan bahwa sebenarnya “usaha mengamankan laut Indonesia” sudah dicanangkan oleh sejumlah Presiden yang lalu, tetapi mengapa sekarang perlu disoroti lagi sebagai sebuah program “klasik” yang tidak rampung-rampung juga,dalam 3 dekade (30 tahun)yang lalu ? Apakah yang “mungkin” merupakan masalahnya ?

Apakah hal-hal di bawah ini mungkin masalahnya? Dengan berlakunya UU No.22/1999 tentang Otonomi Daerah, maka sebagian daerah berpendapat bahwa wilayah laut di daerah mereka adalah juga daerah kewenangan mereka. Hal tersebut dapat menimbulkan keadaan di mana laut di Indonesia terpecah-pecah menjadi wilayah terpisah. Hal ini adalah kekeliruan dalam penafsiran tentang otonomi daerah, dan perlu diperbaiki.Hal lain lagi,yang juga merupakan masalah adalah, pernah dalam tahun 2010 Indonesia berkonflik dengan Malaysia tentang perbatasan laut, yang menyangkut kedaulatan atas wilayah laut di perairan Bintan, di mana tiga orang polisi kita ditangkap di tengah laut oleh polisi/tentara Malaysia atas alasan melanggar batas wilayah Malaysia. Seperti permasalahan pertama ini adalah tentang batas laut, tetapi kali ini dengan negara tetangga ! Yang ketiga, adalah banyaknya berita tentang pencurian ikan oleh kapal-kapal milik perusahaan asing, yang merugikan Indonesia trilyunan rupiah per tahun dan juga terjadinya pencemaran laut kita[2].


Mengembalikan Kedaulatan Negara
Apa yang terjadi di laut Indonesia dengan pencurian ikan dan insiden dengan polisi Malaysia adalah suatu pelanggaran terhadap kedaulatan Indonesia atas laut teritorialnya. Apakah kebijakan dengan pembentukan Peraturan Per-undang2-an Maritim (Maritime Legislation) dapat diharapkan menghilangkan atau sekurang-kurangnya mengurangi hal tersebut ? Pertama-tama harus dikaji, mengapa selama ini kita tidak atau kurang sekali berhasil menjaga perairan laut Indonesia ? Dan kedua perlu juga dikaji bagaimana menyelesaikan masalah “pengkotakan” laut sebagai akibat UU Otonomi Daerah ?! Ini adalah dua masalah yang perlu segera dibenahi. Namun dalam makalah ini hanya masalah pertama yang akan dibahas. Perlu dipahami dahulu, bahwa negara maritim Indonesia ini memiliki wilayah laut yang paling tidak mempunyai 3(tiga) jenis kelautan:

(1) Perairan Kepulauan atau Regime Archipelagic State, adalah lautan yang terdapat di antara pulau-pulau (seperti Laut Jawa, Laut Arafuru, dsb);

(2) Perairan Teritorial, yaitu laut selebar maksimum 12 mil ke arah laut lepas, diukur dari garis pantai pulau-pulau terluar;  dan

(3) Perairan Zona Ekonomi Eksklusif, adalah wilayah laut di mana Negara Kepulauan dapat melakukan eksplorasi dan eksplotasi kekayaan laut, sebatas maksimum 200 mil dari batas terluar Perairan Teritorialnya ke arah laut  lepas.

Ketiga jenis kelautan ini mempunyai perbedaan permasalahan: Perairan Kepulauan (PK) dan Perairan Zona Eksklusif (PZE) permasalahannya banyak terkait dengan kapal-kapal asing dan negara asing yang tidak mengakui atau menghormati hak yurisdiksi hukum Indonesia atas jenis kelautan ini. Sedangkan Perairan Teritorial (PT) mempunyai masalah dengan yurisdiksi masing-masing daerah berdasarkan UU Otonomi Daerah. Jadi sebaiknya perbedaan permasalahan ini juga diperhatikan dengan seksama, agar penyelesaian hukumnya (dimana perlu) dapat perhatian utama kita.


Penegakan Hukum terhadap Illegal Fishing
Yang diartikan secara harafiah dengan illegal fishing adalah “pencurian ikan”, yaitu kapal-kapal penangkap ikan yang beroperasi di Perairan Kepulauan (PK) dan Perairan Zona Eksklusif (PZE) tanpa mendapat ijin dari Pemerintah RI. Namun, dapat termasuk juga dalam pengertian ini adalah (seharusnya) cara penangkapan ikan (meskipun dengan ijin atau berhak menurut hukum untuk nelayan lokal Indonesia), yang dilakukan dengan melanggar aturan seperti dengan “pukat harimau” atau dengan “dinamit”. Penggunaan dinamit untuk mendapat ikan, banyak juga dilakukan oleh nelayan tradisional kita. Cara ini akan merusak trumbu-karang dan akhirnya mengurangi tempat ikan berkembang-biak. Pencurian ikan oleh kapal-kapal besar banyak dilakukan oleh kapal berbendera dan dimiliki oleh perusahaan asing. Tetapi (menurut surat kabar) banyak juga dilakukan oleh kapal berbendera Indonesia dan dimiliki oleh perusahaan berbentuk badan hukum Indonesia (Perseroan Terbatas), namun sebenarnya adalah milik pengusaha asing (ada usaha menutupi pemilik kapal dengan memakai sistem “Ali-Baba” atau “Ali-Johnson”) . Pelanggaran hukum di kasus terakhir ini adalah mereka menangkap ikan secara berlebihan (satu kapal besar sebagai penampung, dengan sejumlah kapal kecil yang menyebar menangkap ikan). Akibatnya adalah terjadi “over fishing” dan berkurangnya ikan untuk para nelayan tradisional yang menangkap ikan di Perairan Teritorial (PT).

Di daerah laut yang demikian luas, maka cara penegakan hukum terhadap pelaku yang melanggar tidaklah mudah. Menurut saya, pertama harus ada pengawasan terhadap para pejabat pemerintah yang berwenang memberi ijin-ijin tentang penangkapan ikan. Kedua, harus ada pengawasan terhadap para penegak hukum yang mempunyai kewenangan menangkap, membawa kapal ke pelabuhan, memproses pelanggaran di muka pengadilan, dan para hakim yang akan mengadili pelaku-pelaku tersebut. Dan ketiga, harus ada peninjauan kembali tentang berbagai peraturan yang menyangkut masalah “pencurian ikan”, pencemaran laut dan hak melintas di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)[3], jangan ada tumpang-tindih peraturan yang menyebabkan normanya tidak jelas dan timbulnya “benturan” antar instansi yang merasa dirinya “lebih berwenang” (egoisme sektoral). Ketidak-harmonisan antar instansi ini yang sering dimanfaatkan oleh “pengusaha-curang” (lokal dan asing), tetapi kita tidak mau (tidak berani ?) mengakuinya, dengan mencari kesalahan pada “orang-lain” (pengusaha asing/lokal yang memanfaatkan kelemahan birokrasi Indonesia).

Hal pertama di atas, menurut saya, merupakan sumber utama terjadinya kemungkinan penyalahgunaan wewenang, yang bukan mustahil dapat merupakan pula tindak pidana korupsi. Kalau peraturan kita telah baik, dan mengantisipasi semua kemungkinan dalam hal akan terjadinya “pencurian ikan” ,“over fishing”, dan “pencemaran laut”, maka harus dicegah (dengan segala daya-upaya) agar aturan-aturan (norma-norma) tentang penangkapan ikan di wilayah PK, PZE dan PT tidak dimanupulasi oleh pejabat-pejabat kita. Pada saat ini yang selalu menjadi sorotan adalah meng”kambing hitam”kan para nelayan/kapal asing[4]. Kalau melihat pada “iklim-korupsi” yang terbongkar melalui berbagai kasus penyidikan KPK dan Kepolisian/Kejaksaan, maka bukan mustahil bahwa sumber “kemudahan” pelanggaran UU Perikanan adalah pada pemberian ijin yang “semi-legal”(KKN?). Jadi perlu segera dimulai adanya “gerakan mengawasi pemberi-ijin perikanan”.Dan tentu juga harus dipantau hakim dan penuntut umum di Pengadilan Perikanan (mengapa sedikit sekali kasus yang diperiksa dan mengapa hukumannya sering ringan?) !

Hal kedua, juga terkait hal pertama, tetapi di sini masalahnya adalah pada “mafia peradilan perikanan”. Ada keluhan bahwa para pelaku yang dibawa ke pengadilan mendapat hukuman ringan, tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh dari “pencurian ikan” ini. Permasalahan ini juga kita dapati pada kasus-kasus korupsi, sering dikatakan hukuman penjaranya terlalu ringan. Namun, menurut saya, jarang dipermasalahkan tidak-adanya usaha “pemiskinan koruptor” dengan merampas hartanya (juga yang disembunyikan di pihak ke-3). Padahal ini sebenarnya “kuncinya”, koruptor menjadi lebih miskin dari sebelum korupsi; hukuman penjara di LP tidak menakutkan, selama masih ada uang/harta korupsi yang berlimpah (termasuk pada keluarganya), maka selalu ada cara mendapat berbagai “fasilitas” meringankan hukuman dari petugas-petugas LP (yang pada umumnya memang memerlukan tambahan diatas gaji resminya !). Di sini kedaan ketiadaan pemiskinan-perusahaan pelaku “illegal fishing”,juga terjadi. Yang dihukum adalah “nakoda dan anak buah kapal”. Sama seperti pada “manipulasi pajak”, yang dihukum adalah pelaku yang “kasat-mata” (kepala bagian keuangan perusahaan dan petugas pajak), tetapi perusahaan yang menikmati manipulasi pajak (atau dalam hal ini keuntungan “illegal fishing”)seperti “kebal hukum” (mungkin karena para Pemegang Saham dan Pengurusnya, mempunyai “political power” ?).

Saran saya yang ketiga ini, dasarnya adalah terkait “rahasia-umum”. Masalah “keangkuhan sektoral” adalah permasalahan lama dan klasik dalam birokrasi penegakan hukum di Indonesia. Persaingan dan benturan antara instansi Kepolisian, TNI-AL dan Bea-Cukai dalam masalah kewenangan penegakan hukum di lautan Indonesia, menurut saya, adalah penyebab utama ketidakmampuan Indonesia menegaskan dan membuktikan kepada dunia, bahwa PK,PT dan PZE ini adalah yurisdiksi Indonesia dan pelanggarannya akan diberi hukuman yang berat (memiskinkan perusahaan pelanggar!). Kalau saya tidak salah, benturan berikutnya adalah juga dengan Kementerian Perhubungan (Ditjen Perhubungan Laut) yang “menguasai” pelabuhan dan tempat-tempat/desa-desa nelayan tradisional dalam perairan 12 mil kearah laut lepas. Apakah untuk soal-soal itulah rupanya a.l. diundangkan UU Kelautan 25/2014 pada akhir masa DPR bulan September 2014 yang lalu? Antara lain dengan pembentukan Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang menggantikan Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla)[5]!? Begitu juga tentu diperlukan alat-alat canggih untuk mendeteksi adanya kapal-kapal yang sedang berlayar di lautan yurisdiksi hukum Indonesia, terutama tentu kapal-kapal patroli yang diperlengkapi dengan radar dan alat-alat canggih lainnya[6].Apakah ini semua akan menjadi proyek-proyek baru yang dapat menghasilkan dana bagi para pejabat yang terlibat dalam pembelian kapal dan peralatannya ?


Bakamla serupa Coast Guard Amerika Serikat ?
Kementerian Perhubungan sudah cukup lama (6 tahun !) mempersiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) berdasarkan UU Pelayaran 17/2008. Entah mengapa begitu lama, mungkin karena masalah egoism sektoral - penyakit lama di Indonesia. Menurut berita dalam media cetak[7], fungsi organisasi baru dalam RPP ini juga adalah penegakan hukum dan penegakan keselamatan pelayaran. Fungsi itu terbagi atas fungsi komando dari petugas Penjaga Laut dan Pantai (PLP – di bawah Kementerian Perhubungan) dan fungsi koordinasi yan berada di Bakorkamla/Bakamla (berada di bawah Kementerian Koordinator Politik,Hukum dan Keamanan). Menurut berita itu pula, pada saat ini ada 12 instansi yang ada aturannya tentang pelabuhan, namun hanya petugas PLP yang secara sah dapat memberhentikan dan memeriksa kapal niaga nasional dalam urusan pelayaran. Dari uraian di atas ini, maka kesan pertama saya, bahwa UU Kelautan yang baru yang mengubah BakorKamla, menjadi Bakamla, sekarang akan membentuk “Coast Guard Indonesia”  ternyata keliru. Berita yang dikutip dia atas jelas menginginkan adanya “Coast Guard Indonesia” dibawah Kementerian Perhubungan ! Ini tentu dapat menjadi permasalahan kewenangan kembali ! Mari kita tengok sekilas tentang “United States Coast Guard”.

Adapun US Coast Guard (selanjutnya CG Amerika Serikat) telah terbentuk lebih dari 100 tahun yang lalu (tahun 1790 oleh Menteri Keuangan Alexander Hamilton) dengan tujuan utama: memungut pajak dari penyelundupan, menangkap bajak laut, dan membantu/menyelamatkan orang yang mengalami kesulitan di laut perairan Amerika Serikat. Dari bahan pustaka dan media film, kita dapat melihat ketangguhan CG ini dalam mengamankan perairan Amerika Serkat. CG ini memang pernah berada di bawah Kementerian Transportasi (1967), tetapi sejak tahun 2002 berada di bawah Kementerian Keamanan Dalam Negeri (Homeland Security) dan dalam keadaan perang dapat dialihkan ke Angkatan Laut (Navy) Amerika Serikat. Adapun fungsi CG adalah sebagai berikut[8] :
1) Maritime law enforcement (penegakan hukum maritim/kelautan);   
2) Search and Rescue (SAR);
3) Marine Environmental Protection (menjaga lingkungan hidup kelautan);[9]
4) Maintenance of River, Intracoastal and Offshore Aids to Navigation (merawat bekerjanya alat bantu navigasi di sungai, perairan antar pantai dan perairan dekat pantai).

Dari contoh di atas terlihat bahwa tugas CG Amerika Serikat sangat luas dan berada di bawah satu komando. Alangkah baiknya apabila Indonesia meniru “model CG Amerika Serikat” ini : hanya ada satu komando dan mempunyai tugas yang sangat luas dalam mengamankan laut Indonesia. Dan janganlah ada persaingan dan perebutan kewenangan tentang penegakan hukum antara : Kepolisian – Angkatan Laut – Bea Cukai – dan Kementerian Perhubungan! Dengan adanya program ambisius[10] pemerintah untuk membangun perairan kelautan Indonesia menjadi “poros maritim dunia”, maka sudahlah pada waktunya kita menghentikan persaingan antar instansi yang dilandasi oleh “ego sektoral”. Dan jangan lupa, bahwa masalah yang kita hadapi bukan saja tentang “pencurian ikan dan kerugian triliunan yang timbul dari hal itu”, tetapi juga “rusaknya lingkungan-hidup laut Indonesia oleh perusakan dan pencemaran bidang pertambangan”[11]


[1] Diperkenalkan juga konsep Indonesia harus menjadi “Poros Maritim Dunia” , yang memerlukan kemampuan manajerial dan koordinasi antar instansi yang baik agar Indonesia dipercaya dapat mengembangkan poros-maritim secara internasional–Lihat Suara Pembaruan 5 Agst 2014-hal.A-19
[2] Tuduhan utama juga ditujukan ke Malaysia,Thailand,Vietnam dan Filipina, sehingga ada seruan untuk memboikot negara-negara yang melakukan IUU Fishing (illegal, unreported and unregulated fishing).
[3] Indonesia telah menetapkan 3 ALKI, yang juga mewajibkan kepada kita untuk menjaga keamanan kapal-kapal yang melintas secara terus-menerus, langsung dan secepat mungkin (UNCLOS 1982).
[4] Lihat juga berita di Suara Pembaruan 8-9November, hal.B-1– Tentang moratorium kapal ikan besar di atas 30 GT yang jumlahnya 1.200 unit dan diduga banyak milik asing.
[5] Badan yang baru ini telah berubah menjadi badan dengan otoritas mandiri dan bertugas penegakan hukum di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi  laut Indonesia, melalui patroli keamanan dan keselamatan,sedangkan badan yang lama terdiri atas 7 Menteri, Jaksa Agung, Kapolri dan Petinggi-petinggi TNI-AL (news.bisnis.com/read – diunduh 23 Okt 2014).
[6] Lihat juga berita di Suara Pembaruan op.cit hal.A-6- Tentang Alutsista (alat utama sistem senjata) Laut, untuk pengamanan kedaulatan wilayah laut.  
[7] Lihat berita di Suara Pembaruan 23 Oktober, hal.B-3, tentang RPP Penjaga Laut dan Pantai, Hanya Atur Sistem Pelayaran.
[8] Lihat tulisan (tidak diterbitkan) Prof.Dr.Edo Quioko (gurubesar Emiritus Arkansas University), 2010, “Pentingnya Coast Guard di Indonesia”.
[9] Pencemaran Laut Timor oleh meledaknya kilang minyak Montara 21 Agustus 2009, seharusnya juga ditangani oleh CG Australia dan PLP Indonesia; namun hingga kini masalah ini belum selesai.
[10] Program ambisius yang lain adalah pembangunan bendungan laut raksasa sepanjang 33 kilometer, yang akan dibangun untuk menolak banjir yang sering melanda DKI Jakarta. PLP atau “Coast Guard Indonesia” tentu perlu dilibatkan pula di sini.
[11] Dalam Kabinet Jokowi terdapat Menko Bidang Kemaritiman, yang mengkoordinasi tugas a.l.Pariwisata, ESDM, Perhubungan serta Kelautan dan Perikanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar