Hak Imunitas dan Asas
Persamaan Kedudukan
Di Hadapan Hukum
(Suatu
Catatan Sementara Terhadap UU MD3)*
(1)Asas persamaan di hadapan hukum (Equality before the law principle)
merupakan salah satu asas yang utama dalam Deklarasi Universal HAM dan dianut
pula dalam UUD 1945 kita. Bagi saya asas ini mengandung arti bahwa “semua warga harus mendapat perlindungan
yang sama dalam hukum – tidak boleh ada diskriminasi dalam perlindungan hukum
ini”. Bagi saya kata-kuncinya adalah
“perlindungan”. Pendapat yang berbeda adalah yang menafsirkan bahwa
persamaan yang dimaksud adalah untuk “perlakuan”.
Perbedaan kata-kunci ini dapat membawa kepada penafsiran yang berbeda dari makna asas ini bagi HAM.
(2)Dengan
kata-kunci “perlindungan”, maka yang
dituju adalah perintah kepada Negara/Pemerintah untuk memberi perlindungan
hukum yang sama adilnya (fairness) kepada
warganya. Dan dalam sebuah Negara dengan masyarakat majemuk atau bersifat
multi-kultural seperti Indonesia, ini mengandung makna perlindungan terhadap kelompok minoritas (terhadap kemungkinan
ketidakadilan dari kelompok mayoritas).Mencegah adanya diskriminasi dalam
perlindungan dan rasa aman kelompok
minoritas. Diskriminasi yang dilarang adalah yang merugikan kelompok tertentu.
(3)Namun,
kalau dipergunakan kata-kunci “perlakuan”,
maka penafsiran yang berkembang dalam masyarakat Indonesia adalah perintah
kepada Negara/Pemerintah untuk tidak membedakan dalam perlakuan hukum antara
warganya. Dan dalam masyarakat yang terstruktur dalam “kelas”, maka ini
mengandung makna jangan memberi
perlakuan istimewa kepada anggota kelas tertentu.Khususnya dalam beberapa
kasus (yang saya baca dari media massa), protes ditujukan terhadap persangkaan
bahwa “kelas pejabat Negara” dan/atau
“kelas orang kaya” mendapat perlakuan khusus/istimewa dalam proses
peradilan pidana.Diskriminasi yang dilarang disini adalah menguntungkan kelas tertentu.
(4)Mengakui
adanya perbedaan dalam kedua
kata-kunci itu, menurut saya penting dilakukan, agar dalam diskusi kita dapat melihat
akibatnya dan mencari kesimpulan. Bagi saya kedua kata-kunci itu dapat
dipergunakan dan dibenarkan, dengan dimisalkan sebagai dua sisi dari satu mata-uang yang berupa asas “persamaan di hadapan
hukum” (legal equality –LE)..
(5)Bagaimana
sekarang dengan UU MD3 ? Yang
dipersoalkan adalah Pasal 245 yang
dalam ayat (1) mengecualikan Anggota DPR
dari prosedur KUHAP dalam proses penyidikan, karena Penyidik memerlukan ijin terlebih dahulu dari Mahkamah
Kehormatan Dewan (MKD).Ayat-ayat berikutnya merupakan “tata-cara”
melaksanakan “hak-istimewa” anggota
DPR itu. Apakah ini bertentangan dengan
asas LE ? Dijawab “Ya”, kalau LE ditafsirkan sebagai “perlakuan”, dan pasal ini ditafsirkan
sebagai diskriminasi yang “menguntungkan”
anggota DPR. Tetapi dapat juga dijawab “Tidak”,
kalau LE ditafsirkan “perlindungan”,
karena tidak ada diskriminasi yang “merugikan”
kelompok non-anggota DPR.
(6)Suara
“protes” mengkaitkan ini juga dengan kemungkinan tersangka “menghilangkan barang-bukti”, menghalangi penyidikan, tetapi
menurut saya ini terlalu dicari-cari
sebagai alasan. Pendapat yang mengatakan ini bertentangan dengan asas peradilan “cepat-sederhana-biaya ringan”
juga, menurut saya, tidak tepat.
Karena asas terakhir ini ditujukan untuk
menguntungkan/melindungi seorang Tersangka, agar Penyidik jangan “mengulur-waktu”
perkara. Dengan Pasal 245, memang
Tersangka /anggota DPR lebih beruntung, karena kasusnya akan dinilai dahulu
oleh MKD (apakah cukup ditangani secara
internal, melalui Kode Etik, ataukah memang beralasan ditangani oleh Penyidik).Pada
dasarnya setiap Organisasi Profesi
(Dokter, Advokat, Akuntan,Psikolog, dlsb-nya) mengatur demikian untuk anggota
profesi-nya. Mengapa kita harus curiga
untuk Anggota DPR ?
(7)Pertanyaan
sekarang adalah apakah “hak istimewa” (prerogative right) ini perlu atau pantas diberikan kepada anggota DPR. Menurut saya,kalau
kita mengakui bahwa anggota DPR adalah wakil-wakil rakyat yang “mempersonifikasikan”
kedaulatan rakyat, maka “perlakuan istimewa” ini, adalah sudah sepantasnya kita berikan. Kita menghormati lembaga DPR dan
menurut saya kita juga tidak ingin anggota-anggotanya dapat begitu saja
dipangil oleh Penyidik untuk pelangaran hukum yang tidak-serius. Dan bukankah
ayat (3) sudah menyempitkan/membatasi
hak istimewa ini, denga 3 perkecualian atas hak-istimewa dalam ayat (1) ?
(8)Bagaimana sekarang kaitannya dengan “hak
imunitas” (immunity right) atau hak kekebalan yang diterima oleh anggota
DPR melalui Pasal 224 (1) dan (2) ?
Menurut saya seharusnya kita sepakat bahwa hak
imunitas untuk pendapat, pernyataan,
tindakan dan kegiatan anggota DPR di dalam dan di luar rapat DPR, selama
masih dalam lingkup fungsi, hak dan kewenangannya,pantas diberikan. Hak imunitas ini juga dibatasi oleh ayat 4 dan 5
pasal ini. Dan ini menurut saya juga benar, karena kita tidak menghendaki bahwa
untuk anggota DPR akan berlaku asas “Anggota DPR could do no wrong” -
tidak dapat berbuat salah ! Kalau pun ingin memakai asas ini, maka harus
ditafsirkan/diganti menjadi “must do no wrong” – tidak boleh berbuat salah. Berarti
bahwa kita mengharapkan (mewajibkan ?) anggota
DPR kita itu mempunyai “moralitas-tinggi” (menjunjung tinggi nilai-nilai dasar
yang diyakini masyarakat Indonesia dalam hidup bernegara dan berbangsa).
*Tulisan ini telah disampaikan pada acara “Dialog Hukum kerjasama
Komisi Hukum Nasional dengan Kantor Berita Radio (KBR) 68 H”, Rabu, 3 September
2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar