Rabu, 21 Januari 2015

Menimbang Pilkada Langsung : Untung - Ruginya ?



MENIMBANG PILKADA LANGSUNG
UNTUNG RUGI PILKADA LANGSUNG DAN TIDAK-LANGSUNG ?*
(Suatu Pemikiran Awal Untuk Diskusi)

Pengantar

Polemik Pilkada Langsung terjadi di bawah dua isyu utama. Yang mendukung menyatakan bahwa ini adalah salah satu dasar perubahan yang diinginkan masyarakat pada awal Era Reformasi. Rakyat menginginkan ditegaskannya hak mereka untuk secara langsung turut memilih pimpinan di bidang eksekutif mereka (yang menjalankan roda pemerintahan: Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota). Yang menolak merujuk kepada Sila ke-4 Pancasila yang mengandung paham  “Demokrasi Pancasila” yang berintikan “demokrasi melalui perwakilan” (democracy by representation). Sila ke-4 ini menyatakan :”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan” – suatu cara demokrasi melalui musywarah oleh wakil-wakil rakyat yang terpilih[1]. Apa untung-rugi kedua cara ini ? Yang pertama,yang langsung, dimana setiap warga yang berhak memilih menentukan pilihannya, siapa akan jadi gubernur dan bupati. Ataukah yang kedua, yang tidak-langsung, di mana para warga menyerahkan pilihannya kepada wakil-wakil mereka di Dewan Perwakilan Daerah (DPRD).

Isyu Korupsi

Di belakang debat: poses “hak-langsung” dan proses “hak-diwakili” sebagai isyu “Demokrasi-Liberal” vs “Demokrasi-Pancasila”, sebenarnya  ada isyu yang lebih besar, yaitu tentang “money politics” (demokrasi-politik-uang atau DPU).Terbongkarnya “luka-lama” pelaksanaan demokrasi di Indonesia, yaitu bahwa kekuasaan politik dapat menghasilkan kekayaan berlimpah bagi perseorangan, dengan kasus-kasus korupsi, menurut saya, adalah isyu utama dalam debat ini. Yang menentang proses “hak-langsung” berdalih bahwa pengalaman selama Era Reformasi ini, dan terutama pada pemerintahan 5 tahun terakhir, membuktikan bahwa Pilkada-langsung membutuhkan banyak dana (untuk kampanye dan “membeli-suara”), yang kemudian “harus dibayar-kembali” oleh eksekutif-terpilih (gubernur, bupati, walikota) melalui “pilihan/dukungan-proyek” dan “penentuan-anggaran”. Sebaliknya yang menentang proses“hak-diwakili”  menyatakan masalah penyalahgunaan - kekuasaan dan tanda-terima-kasih oleh eksekutif terpilih, tidak akan hilang dengan menyerahkan kewenangan memilih kepada wakil-rakyat di DPRD, mungkin malah bertambah, karena sekarang Partai Politik melalui fraksi-fraksinya dapat “lebih-kuat” menutut dan mendesak “balas-jasa” (dengan kemungkinan pula di “desak” oleh pusat kekuasaan Partai Politik).

Pilkada Langsung Mendidik Rakyat ?

Suatu argumen yang mendukung Pilkada-langsung adalah perlunya kita mendidik rakyat tentang hak mereka untuk melalukan pilihan dan tentunya mengawasi pula pilihannya itu. Tanggung-jawab melalukan pilihan yang tepat tanpa “terpaksa” oleh tekanan orang lain, adalah yang yang akan menjadikan proses ini positif bagi pengembangan demokrasi di Indonesia. Namun, proses pembelajaran ini harus berlanjut pula pada para eksekutif terpilih, bahwa mereka harus taat pada janji mereka selama kampanye dengan sanksi tidak akan terpilih kembali dalam Pilkada berikut, bila ingkar-janji. Rakyatpun harus diberi pendidikan untuk mengawasi dan menuntut janji-janji kampanye. Kegagalan pejabat-terpilih untuk melaksanakan janjinya (berdusta), ataupun  kemudian gagal (tidak mampu/berhasil), harus pula dipertanggunjawabkannya. Pendeknya ada proses pembelajaran, baik bagi pemilih maupun terpilih. Suatu proses yang positif untuk mengubah masyarakat Indonesia, ke arah menjadi suatu masyarakat modern yang demokratik.

Pilkada Langsung Dasar Asas Desentralisasi ?

Pilkada langsung sering dikatakan adalah hasil pemikiran untuk memberi otonomi yang luas kepada pemerintahan daerah (UU No.32/2004). Seperti pernah dikemukakan dalam sebuah  karangan sebelumnya, maka diperlukan kemampuan manajerial pada Pemda bila kita ingin bahwa desentralisasi ini membawa kemajuan pembangunan di daerah bersangkutan. Kemampuan manajerial yang baik dapat mulai dididik melalui kesadaran warga bahwa mereka mempunyai hak-kontrol langsung atas pejabat-pejabat Pemda dan sebaliknya para pejabat juga punya kesadaran adanya kewajiban akuntabilitas kepada publik. Pembangunan akan melibatkan dana – dana yang besar yang merupakan “milik publik” (public funds), yang harus dipertanggungkan penggunaannya kepada masyarakat. Isyu “money politics” atau “demokrasi politik-uang” berhubungan erat dengan dana-dana pembangunan ini.


Pilkada Langsung Membawa “money politics” ?
Untuk masyarakat yang masih sederhana dalam berpolitik, maka Pilkada langsung memang dapat menjerumuskan mereka dalam “demokrasi-politik-uang”. Sepuluh tahun terakhir (2004 – 2014) memang membawa kekecewaan – ternyata banyak sekali pimpinan Pemda yang tersangkut peristiwa korupsi, ada gubernur, bupati, walikota dan jajaran bawahan mereka. Juga terdapat anggota DPRD serta jajaran bawahan mereka. Semua dapat ditafsirkan sebagai kegagalan Pilkada langsung. Tetapi benarkah penafsiran ini dan apakah ini memang akibat dari Pilkada langsung ?


Untung-Rugi Cara Langsung atau  Melalui DPRD ?
Kalau ditinjau dengan kaca-mata KPK, menurut saya, tidak akan ada bedanya kesempatan korupsi (money politics) pada Pilkada yang langsung oleh rakyat dan yang melalui wakil rakyat di DPRD. Kesempatan korupsi sama saja, pada yang pertama pengumpulan dana kampanye juga harus dibantu oleh Partai Politik disamping adanya “donor” individual ataupun korporasi. Pada yang kedua, memang Partai Politik merupakan sponsor utama, tetapi mereka juga akan mencari bantuan dana dari “donor” hartawan ataupun korporasi. Semua pada waktunya akan meminta agar “budi” mereka mendapat balasan (umumnya melalui bantuan pemenangan tender proyek). Kecuali kemungkinan akan terjadi “pilih-kasih” dalam  pemenangan tender proyek, kemungkinan lain adalah penggelembungan harga proyek (mark up).      

Jadi kedua alternatif tersebut punya kerugian yang sama, yang bukan datang dari perbedaan proses, tetapi dari sifat demokrasi ini sendiri : diperlukan dana untuk meyakinkan (kampanye) konstituen atau partai pendukung.Perubahan hanya mungkin terjadi bilamana ada “moral-baru” tumbuh dan berkembang pada masyarakat, yaitu: a)mengharap balas-budi dianggap “melanggar adat dan etika” Pemilu, dan b)sistem “ekonomi-rente” (ekonomi dengan jasa calo) diminimalisir dalam perekonomian Indonesia. Dapatkah ini terjadi ? Pada masyarakat kita di daerah pedesaan yang masih membanggakan sifat “gotong-royong” hal ini mungkin saja dapat terjadi, tetapi di daerah perkotaan atau masyarakat yang hidup dari perdagangan (segala sesuatu ditimbang dari aspek ekonomi),menurut saya, hal ini mustahil dilakukan. Jadi dalam kedua macam proses itu, kita harus tunduk pada kenyataan : penyumbang-dana akan meminta “balas-budi” pada waktunya dan/atau calon-terpilih akan memperhitungkan /mencari kembali biaya yang telah dikeluarkannya. Selama kedua cara ini tidak melanggar hukum, maka sebenarnya sifat ini adalah “manusiawi”.Jadi solusinya: buatlah aturan/hukum melalui Undang-undang atau putusan MK atau MA, cara mana yang boleh dan mana yang dilarang! Kemudian terapkan secara konsekuen, yang harus dimulai dengan pengawasan yang ketat dan pendididkan/sosialisasi kepada masyarakat.

Sebagai catatan terakhir, mungkin baik menyimak pendapat di bawah ini:

Although representative government seems to us intimately connected with democracy, it need not be so, since the constituency that elects can be very restricted. … Representative government brings with it certain new dangers to democracy, different from those which tyranny brought in ancient times. It possible for a representative assembly to treat itself as absolute and to forget that it owes its position to popular election…. When the power is delegated to elected representatives, Rousseau calls the system ‘Elective Aristocracy’.”[2] [Terjemahan bebas: Meskipun pemerintahan melalui perwakilan terlihat bagi kita terkait erat dengan demokrasi, hal itu tidaklah perlu begitu, karena konstituen yang memilihnya dapat sangat dibatasi. … Pemerintahan melalui perwakilan membawakan bahaya-bahaya baru untuk demokrasi, berbeda dengan yang dibawa oleh tirani pada jaman kuno. Adalah suatu kemungkinan bagi suatu dewan perwakilan untuk menganggap dirinya (punya kekuasaan) absolut/mutlak dan melupakan bahwa mereka (sebenarnya) berkuasa berdasarkan pemilihan umum/publik. … Dalam hal kekuasaan diwakilkan kepada wakil-wakil yang dipilih, Rousseau menamakan sistem itu: “Ningrat/Aristokrasi Terpilih/Pilihan”].

*Tulisan ini telah disampaikan pada acara Dialog Hukum kerjasama Komisi Hukum Nasional dengan Kantor Berita Radio (KBR) 68 H”,  Rabu, 24 September 2014.


[1] Untuk diskusi yang lebih rinci lihat:a)Tjipta Lesmana,2014,”Pancasila dan Pilkada Langsung”,Suara Pembaruan 9 September; b)Jerry Sambuaga,2014,”Polemik RUU Pilkada”,Suara Pembaruan 10 September; dan c)Jakob Tobing,2014,:”Pilkada Langsung Tak Bertentangan dengan UUD 1945”, Suara Pembaruan 19 September.
[2] Bertrand Russel,1953,What is Democracy ?,London:Batchworth Press Ltd. Hal 10-11.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar