MENIMBANG
PILKADA LANGSUNG
UNTUNG RUGI PILKADA LANGSUNG
DAN TIDAK-LANGSUNG ?*
(Suatu Pemikiran Awal
Untuk Diskusi)
Pengantar
Polemik
Pilkada Langsung terjadi di bawah dua isyu utama. Yang mendukung menyatakan bahwa ini adalah salah satu dasar perubahan yang
diinginkan masyarakat pada awal Era Reformasi. Rakyat menginginkan
ditegaskannya hak mereka untuk secara langsung turut memilih pimpinan di bidang
eksekutif mereka (yang menjalankan roda pemerintahan: Presiden, Gubernur, Bupati
dan Walikota). Yang menolak merujuk
kepada Sila ke-4 Pancasila yang mengandung paham “Demokrasi Pancasila” yang berintikan
“demokrasi melalui perwakilan” (democracy
by representation). Sila ke-4 ini menyatakan :”Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmah kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan” – suatu cara
demokrasi melalui musywarah oleh wakil-wakil rakyat yang terpilih[1].
Apa untung-rugi kedua cara ini ?
Yang pertama,yang langsung, dimana setiap warga yang berhak memilih menentukan
pilihannya, siapa akan jadi gubernur dan bupati. Ataukah yang kedua, yang tidak-langsung, di mana para warga
menyerahkan pilihannya kepada wakil-wakil mereka di Dewan Perwakilan Daerah
(DPRD).
Isyu Korupsi
Di
belakang debat: poses “hak-langsung” dan proses “hak-diwakili” sebagai isyu “Demokrasi-Liberal”
vs “Demokrasi-Pancasila”, sebenarnya ada
isyu yang lebih besar, yaitu tentang “money
politics” (demokrasi-politik-uang atau DPU).Terbongkarnya “luka-lama”
pelaksanaan demokrasi di Indonesia, yaitu bahwa kekuasaan politik dapat menghasilkan kekayaan berlimpah bagi
perseorangan, dengan kasus-kasus korupsi, menurut saya, adalah isyu utama
dalam debat ini. Yang menentang proses
“hak-langsung” berdalih bahwa pengalaman selama Era Reformasi ini, dan
terutama pada pemerintahan 5 tahun terakhir, membuktikan bahwa Pilkada-langsung
membutuhkan banyak dana (untuk kampanye dan “membeli-suara”), yang kemudian
“harus dibayar-kembali” oleh eksekutif-terpilih (gubernur, bupati, walikota)
melalui “pilihan/dukungan-proyek” dan “penentuan-anggaran”. Sebaliknya yang menentang proses“hak-diwakili” menyatakan masalah penyalahgunaan - kekuasaan
dan tanda-terima-kasih oleh eksekutif terpilih, tidak akan hilang dengan
menyerahkan kewenangan memilih kepada wakil-rakyat di DPRD, mungkin malah
bertambah, karena sekarang Partai Politik melalui fraksi-fraksinya dapat
“lebih-kuat” menutut dan mendesak “balas-jasa” (dengan kemungkinan pula di
“desak” oleh pusat kekuasaan Partai Politik).
Pilkada Langsung Mendidik
Rakyat ?
Suatu
argumen yang mendukung Pilkada-langsung adalah perlunya kita mendidik rakyat
tentang hak mereka untuk melalukan pilihan dan tentunya mengawasi pula
pilihannya itu. Tanggung-jawab melalukan pilihan yang tepat tanpa “terpaksa”
oleh tekanan orang lain, adalah yang yang akan menjadikan proses ini positif
bagi pengembangan demokrasi di Indonesia. Namun, proses pembelajaran ini harus
berlanjut pula pada para eksekutif terpilih, bahwa mereka harus taat pada janji
mereka selama kampanye dengan sanksi tidak akan terpilih kembali dalam Pilkada
berikut, bila ingkar-janji. Rakyatpun harus diberi pendidikan untuk mengawasi
dan menuntut janji-janji kampanye. Kegagalan pejabat-terpilih untuk
melaksanakan janjinya (berdusta), ataupun kemudian gagal (tidak mampu/berhasil), harus
pula dipertanggunjawabkannya. Pendeknya
ada proses pembelajaran, baik bagi pemilih maupun terpilih. Suatu proses yang positif untuk mengubah masyarakat
Indonesia, ke arah menjadi suatu masyarakat modern yang demokratik.
Pilkada Langsung Dasar
Asas Desentralisasi ?
Pilkada
langsung sering dikatakan adalah hasil pemikiran untuk memberi otonomi yang
luas kepada pemerintahan daerah (UU No.32/2004). Seperti pernah dikemukakan
dalam sebuah karangan sebelumnya, maka
diperlukan kemampuan manajerial pada Pemda bila kita ingin bahwa desentralisasi
ini membawa kemajuan pembangunan di daerah bersangkutan. Kemampuan manajerial
yang baik dapat mulai dididik melalui kesadaran warga bahwa mereka mempunyai
hak-kontrol langsung atas pejabat-pejabat Pemda dan sebaliknya para pejabat
juga punya kesadaran adanya kewajiban akuntabilitas kepada publik. Pembangunan akan melibatkan dana – dana
yang besar yang merupakan “milik publik” (public
funds), yang harus dipertanggungkan penggunaannya kepada masyarakat. Isyu “money politics” atau “demokrasi politik-uang”
berhubungan erat dengan dana-dana pembangunan ini.
Pilkada Langsung Membawa
“money politics” ?
Untuk
masyarakat yang masih sederhana dalam berpolitik, maka Pilkada langsung memang
dapat menjerumuskan mereka dalam “demokrasi-politik-uang”. Sepuluh tahun
terakhir (2004 – 2014) memang membawa kekecewaan – ternyata banyak sekali
pimpinan Pemda yang tersangkut peristiwa korupsi, ada gubernur, bupati,
walikota dan jajaran bawahan mereka. Juga terdapat anggota DPRD serta jajaran
bawahan mereka. Semua dapat ditafsirkan sebagai kegagalan Pilkada langsung. Tetapi benarkah penafsiran ini dan apakah ini
memang akibat dari Pilkada langsung ?
Untung-Rugi Cara Langsung
atau Melalui DPRD ?
Kalau
ditinjau dengan kaca-mata KPK, menurut saya, tidak akan ada bedanya kesempatan korupsi (money politics) pada Pilkada yang langsung oleh rakyat dan yang
melalui wakil rakyat di DPRD. Kesempatan korupsi sama saja, pada yang pertama pengumpulan dana kampanye juga
harus dibantu oleh Partai Politik disamping adanya “donor” individual ataupun korporasi. Pada yang kedua, memang Partai Politik merupakan sponsor utama, tetapi mereka
juga akan mencari bantuan dana dari “donor”
hartawan ataupun korporasi. Semua pada waktunya akan meminta agar “budi” mereka
mendapat balasan (umumnya melalui bantuan pemenangan tender proyek). Kecuali kemungkinan
akan terjadi “pilih-kasih” dalam pemenangan
tender proyek, kemungkinan lain adalah penggelembungan harga proyek (mark up).
Jadi
kedua alternatif tersebut punya kerugian
yang sama, yang bukan datang dari perbedaan proses, tetapi dari sifat demokrasi ini sendiri :
diperlukan dana untuk meyakinkan (kampanye) konstituen atau partai pendukung.Perubahan hanya mungkin terjadi
bilamana ada “moral-baru” tumbuh dan berkembang pada masyarakat, yaitu: a)mengharap balas-budi dianggap
“melanggar adat dan etika” Pemilu, dan b)sistem
“ekonomi-rente” (ekonomi dengan jasa calo) diminimalisir dalam perekonomian
Indonesia. Dapatkah ini terjadi ?
Pada masyarakat kita di daerah pedesaan yang masih membanggakan sifat
“gotong-royong” hal ini mungkin saja dapat terjadi, tetapi di daerah perkotaan
atau masyarakat yang hidup dari perdagangan (segala sesuatu ditimbang dari
aspek ekonomi),menurut saya, hal ini mustahil dilakukan. Jadi dalam kedua macam
proses itu, kita harus tunduk pada kenyataan : penyumbang-dana akan meminta “balas-budi” pada waktunya dan/atau
calon-terpilih akan memperhitungkan /mencari kembali biaya yang telah
dikeluarkannya. Selama kedua cara
ini tidak melanggar hukum, maka sebenarnya sifat ini adalah “manusiawi”.Jadi solusinya: buatlah aturan/hukum melalui
Undang-undang atau putusan MK atau MA, cara mana yang boleh dan mana yang
dilarang! Kemudian terapkan secara konsekuen, yang harus dimulai dengan
pengawasan yang ketat dan pendididkan/sosialisasi kepada masyarakat.
Sebagai
catatan terakhir, mungkin baik
menyimak pendapat di bawah ini:
“Although representative government seems to
us intimately connected with democracy, it need not be so, since the
constituency that elects can be very restricted. … Representative government
brings with it certain new dangers to democracy, different from those which
tyranny brought in ancient times. It possible for a representative assembly to
treat itself as absolute and to forget that it owes its position to popular
election…. When the power is delegated to elected representatives, Rousseau
calls the system ‘Elective Aristocracy’.”[2]
[Terjemahan bebas: Meskipun
pemerintahan melalui perwakilan terlihat bagi kita terkait erat dengan
demokrasi, hal itu tidaklah perlu begitu, karena konstituen yang memilihnya
dapat sangat dibatasi. … Pemerintahan melalui perwakilan membawakan
bahaya-bahaya baru untuk demokrasi, berbeda dengan yang dibawa oleh tirani pada
jaman kuno. Adalah suatu kemungkinan bagi suatu dewan perwakilan untuk
menganggap dirinya (punya kekuasaan) absolut/mutlak dan melupakan bahwa mereka
(sebenarnya) berkuasa berdasarkan pemilihan umum/publik. … Dalam hal kekuasaan
diwakilkan kepada wakil-wakil yang dipilih, Rousseau menamakan sistem itu:
“Ningrat/Aristokrasi Terpilih/Pilihan”].
[1] Untuk diskusi yang lebih rinci lihat:a)Tjipta Lesmana,2014,”Pancasila dan Pilkada Langsung”,Suara
Pembaruan 9 September; b)Jerry Sambuaga,2014,”Polemik RUU Pilkada”,Suara Pembaruan 10 September; dan c)Jakob
Tobing,2014,:”Pilkada Langsung Tak
Bertentangan dengan UUD 1945”, Suara Pembaruan 19 September.
[2] Bertrand Russel,1953,What is Democracy ?,London:Batchworth
Press Ltd. Hal 10-11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar