JOKOWI–JK:
“Insyafkan
Rakyat tentang Indonesia yang Multikultural”
Indonesia baru saja menyelesaikan hajat besar, yaitu Pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden RI Periode 2014-2019.
Hasilnya, Joko Widodo dan
Muhammad Jusuf Kalla (Jokowi – JK) terpilih sebagai presiden dan wakil presiden
RI. Sebagai kepala Negara, Jokowi – JK akan bertugas mengkomandani penegakan hukum
di Indonesia.
Sejauh pemantauan majalah Desain Hukum melalui media masa : sekurangnya ada tiga isyu mengenai pembangunan hukum yang
menjadi prioritas presiden Jokowi; pertama
mengenai budaya hukum masyarakat, kedua
mengenai penataan sektor pertanahan karena sektor ini dinilai banyak terjadi
tumpang tindih peraturan hukum, ketiga
mengenai penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia.
Untuk memilah mengenai
tiga isyu tersebut, majalah Desain Hukum KHN melakukan wawancara khusus dengan
Sekretaris KHN, Prof. Mardjono Reksodiputro SH, MA., guna mendapatkan butir-butir
penting yang dapat mendorong terlaksananya pembangunan hukum di Indonesia oleh
pemerintahan baru nanti. Berikut hasil wawancara lengkap:
Langkah
seperti apa yang mesti dilakukan pemerintahan baru nanti dalam program
reformasi hukum?
Pertama, sebelum kita bicara mengenai langkah, kita mesti faham dulu apa batasan pengertian
budaya hukum masyarakat. Sering dikemukakan bahwa yang dimaksud budaya hukum
masyarakat itu,
kalau saya
sederhanakan, adalah “pemahaman
masyarakat tentang hukum yang berlaku, serta ketaatan masyarakat terhadap hukum
tersebut”.
Mari kita bicara
mengenai usaha untuk memajukan budaya hukum di masyarakat. Maka, kita harus sadar bahwa
Indonesia itu terdiri dari begitu banyak kebudayaan yang menyangkut juga di
dalamnya
begitu banyak pemahaman
mengenai hukum, katakanlah hukum adat atau hukum lokal.
Agar
dapat efektif, apa yang harus dilakukan pemerintah untuk hal ini?
Jadi yang pertama harus
dilakukan adalah menginsyafkan
seluruh rakyat, termasuk kita semua tentang masyarakat Indonesia
yang multikultural dan mempunyai
kebudayaan beragam. Mengikuti
Parsudi Suparlan, maka saya sependapat bahwa masyarakat Indonesia harus
dipandang sebagai masyarakat multicultural, yang harus diperjuangkan
berdasarkan paham multikulturalisme. Seperti dikatakan oleh Parsudi Suparlan:
“Multikulturalisme adalah suatu ideologi yang mengagungkan perbedaan dalam
kesederajatan … Baik perbedaan individual maupun perbedaan kelompok, dilihat
sebagai perbedaan kebudayaan”.
Saya ingin menekankan ini
sebagaimana selalu
saya bicara dalam perkuliahan untuk membedakan dengan konsep yang lama.Selalu dikatakan, masyarakat Indonesia
adalah masyarakat plural,
kemudian ini dikaitkan
dengan konsep Bhineka
Tunggal
Ika.
Kalau kita bicara masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural, berarti pluralism budaya, kita
memang datang dari berbagai macam suku bangsa, berbagai macam kelompok etnik. Biasanya kita dapat mengacu ke Amerika Serikat, dimana masyarakatnya dikatakan adalah suatu “melting pot”. Seperti suatu kuali-besar
dimana berbagai suku bangsa (Irlandia, Inggris, Scot, Perancis, Jerman, Italia,
Belanda dan lain-lainnya) telah menjadi suatu nasion: Amerika.
Mengapa
harus mengacu Amerika Serikat?
Amerika Serikat terdiri dari berbagai macam suku kulit
putih (berasal dari Eropah),
kulit merah (Indian), kulit hitam,
kulit kuning dan sebagainya. Mereka memang masyarakat plural,
tetapi masyarakat itu sudah mempunyai satu konsep tentang Nation America, sehingga kalau ditanya tidak lagi
mengatakan; “saya orang Indian, tetapi I am an
Indian atau Black American”.
Karena mereka betul-betul sudah menganggap diri
mereka orang Amerika.
Ini berbeda dengan
misalnya,
kita melihat masyarakat multikultural dengan memakai contoh masyarakat Uni Eropa. Di Uni Eropa, meski mengatakan
mereka bersatu,
dan sudah
ada parlemennya, sudah ada pemerintahan bersama, tetapi mereka tetap memiliki identitas masing-masing, karena tetap menyatakan dirinya orang
Inggris, Perancis,
Itali, Balanda atau Jerman.
Ini contoh saya untuk
masyarakat majemuk yang multikultural.
Lantas apa relevansinya dengan Indonesia?
Karena kebudayaan di Uni Eropah
juga berbeda dan mereka berasal dari suku bangsa yang berbeda
pula.
Itu adalah contoh seperti Indonesia sekarang, di dalamnya ada banyak penduduk dari daerah
berbeda-beda dengan adat atau kebudayaan berbeda pula. Lebih tepatnya, Indonesia sekarang ini masih lebih cocok seperti Uni Eropa, belum seperti Amerika (meskipun cita-cita kita adalah NKRI dengan/dalam
Nasion Indonesia).
Makanya, kita harus mengakui kalau di Indonesia
itu ada berbagai suku bangsa yang masih kuat egonya. Misal, orang Minang, tidak mau disebut orang Jawa, atau orang Tapanuli atau orang Aceh. Perasaan seperti itu masih kuat di Indonesia. Jadi kalau mau ini dulu dibereskan, harus disosialisasikan pemahaman mengenai Nasion Indonesia secara utuh. Harus
mulai,dari pengakuan bahwa kita ini masih seperti masyarakat Uni Eorpah,
meskipun bercita-cita menjadi seperti masyarakat Amerika Serikat (melting pot).
Pemahaman
seperti apa yang harus disampaikan kepada masyarakat terkait persoalan itu?
Dalam
masyarakat multikultural harus ada kesepakatan bahwa semua kebudayaan itu adalah sama, mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan
Tidak boleh
mengatakan
bahwa budaya Jawa lebih halus dibanding budaya Minang, misalnya. Harus ada perasaan kesetaraan, dan kita semua harus mau mengakuinya dalam kenyataan (jangan hanya lipservice – dalam pidato politik).
Sarana
efektif bagi pemerintah melakukan
sosialisasi ini melalui apa?
Caranya melalui pendidikan dan ketauladanan para pemimpin. Selama ini kita
mengakui pendidikan Pancasila,
terus
disuruh menghafal, tapi tidak pernah dicontohkan
dengan baik,
bagaimana
kita menghayati Pancasila
itu. Jadi, melalui
sistem pendidikan di
sekolah dan di media massa (cetak dan TV) serta melalui contoh
pemimpin-pemimpin politik.
Selain itu, program-programnya harus mengarah untuk mau
melakukan pengakuan atas dasar pandangan
kesetaraan derajat diantara sukubangsa dan kebudayaan yang berbeda dan menuju
pada kesamaan sebagai bangsa (nasion) Indonesia.
Adakah
kaitannya budaya hukum dengan
masalah korupsi?
Menurut saya tidak ada urusannya budaya hukum masyarakat dengan
korupsi. Korupsi urusan lain,
menurut saya yang terjadi adalah “kebablasan” pemahaman tentang
“kewiraswastaan” dan “kreativitas”. Yang diajarkan adalah kreatif cari uang,
tanpa ditanamkan etika berbisnis. Memang ada yang berpendapat kalau ini ada
kaitannya dengan korupsi, karena ada istilah
korupsi sudah membudaya. Saya tidak setuju. Bagaimana dapat kita katakan korupsi sudah membudaya? Artinya kebudayaan Indonesia koruptif
? Menghalalkan penyuapan, penipuan, pemalsuan, pencurian uang negara ?
Saya masih percaya bahwa
kebudayaan koruptif ini (kalau dapat dikatakan demikian) hanya ada pada
segelintir kelompok elit di mayarakat Indonesia, dimana “kekuasaan ekonomi”
(pengusaha) berkolusi (bersinergi ?) dengan “kekuasaan politik”.
Lalu
contoh semacam apa yang harus dijalankan para elit pemegang kekuasaan ekonomi
dan politik kepada rakyat?
Misalnya dengan memperkenalkan budaya hukum masyarakat berdasarkan
pengertian masyarakat yang multikultural (mengakui perbedaan dalam kesederajatan).
Karena
Jokowi adalah orang
Jawa -
jangan anggap budaya dirinya lebih tinggi dari orang Papua. Karena Jokowi dan
JK adalah orang
Islam - bahwa
agamanya itu lebih baik dari Katolik,
Kristen,
Budha, Hindu. Definisi kejahatan
juga tidak dapat diseragamkan, perlu ada penafsiran lokal oleh Pengadilan:
apakah ini “pembunuhan” atau “penyuapan” atau pelakunya terikat adat setempat ?.
Memang hal itu tidak mudah dan mungkin butuh
waktu bertahun-tahun,
sehingga
kita dapat
bersatu dan berpikir mengakui bahwa
Indonesia dapat melakukan unifikasi budaya hukum.
Model
budaya hukum di negara mana dapat menjadi contoh?
Di
Amerika juga kan ada agama,
sama dengan di Indonesia. Dari
dulu semua Presiden Amerika beragama Protestan, lalu muncul John F. Kennedy
yang beragama Katolik. Sebelumnya semua
Presiden Amerika pasti
warga kulit
putih, baru sekarang Barrack
Obama yang berkulit hitam. Semua itu dilalui dengan memakan
waktu proses beratus tahun di dalam masyarakat yang
terbuka (demokratik dan modern).
Itu untuk Amerika Serikat
memang lebih mudah karena sejarah terbentuknya (negara kaum imigran), perkembangan
kekuasaan ekonomi dan posisi politiknya yang baik (negara adikuasa yang jadi panutan demokrasi), sehingga perkembngan
masyarakatnya diuntungkan.
Apa
yang membedakannya dengan Indonesia ?
Indonesia kan starting point-nya sudah terlambat. Indonesia juga ada dalam dunia yang masalahnya lebih kompleks. Bedanya, Amerika starting point- nya lebih dulu, masyarakatnya ada dalam percaturan politik dunia yang relatif lebih jelas. Jadi, kalau ingin maju, ya pemahaman tentang budaya hukum masyarakat Indonesia harus difahami dengan
baik. Konsep “rule of law”, “rechtstaat”,
“law of the ruler” , “judicial
independency”, “check and balances”, misalnya
jangan jadi jargon politik, tetapi harus dibahas secara
ilmiah-hukum. Pemahaman kita tentang Pancasila juga harus didasarkan pada kenyataan
masyarakat Indonesia yang multikultural, jangan hanya mengacu pada teori-teori
dan bahan pustaka yang dikembangkan pada
masyarakat Barat (Eropah dan Amerika Serikat).
Apakah
perlu ada figur tertentu untuk menjadi suri tauladan untuk masyarakat?
Tentu tidak ada figur pemimpin yang sempurna, semua harus dinilai dari
situasi dan kondisi waktu beliau-beliau itu berkuasa dan jadi panutan. Tetap
tentu perlu! Contoh, Gus Dur kalau
dalam wawasan kesetaraan, beliau diagung-agungkan. Atau ekonom Soemitro Djojohadikusumo yang selalu
didewa-dewakan kalangan
ekonom. Seperti juga generasi berikutnya, Widjojo Nitisastro dan Mubiyarto,
yang punya “mashab ekonomi” sediri. Tetapi bagaimana dengan kedua putranya, apakah
gagasannya akan menjadi panutan dan memberi
contoh
seperti bapaknya
juga ???
Jadi tidak
ada yang perfect. Tapi sebagai pakar
ekonomi, Soemitro
dijunjung tinggi oleh murid-muridnya (Widjojo cs). Menurut
saya (tentu ada yang berbeda pendapat) merekalah yang membawa Indonesia keluar dari
keterpurukan ekonomi zaman
Orde Lama.
Mereka adalah
kelompok dengan visi dari Prof. Soemitro yang berbeda dengan visi dari mantan Presiden kelima Prof. B.J.
Habibie. Habibie kan ingin melakukan lompatan jauh kedepan. Membuat mobil belum sempurna - Indonesia
sudah
mau diajak
membuat
pesawat terbang.
Tapi,
itu konsep percepatan
pembangunan ekonomi, Habibie beranggapan itu cara terbaik untuk memajukan Indonesia.
Kalau Widjoyo, mungkin medahulukan perekonmian
rakyat (perikanan,pertanian dan perkebunan), dulu ekspor kopra, sekarang kelapa sawit, dimulai dari yang kecil-kecil dahulu. Tetapi pemimpin itu harus
punya visi jauh ke depan, tetapi juga ikhlas nanti dievaluasi oleh rakyat apa
benar pembangunan maju, mandek ataukah malahan mundur.
Karakteristik
pemimpin seperti apa yang tepat untuk memajukan Indonesia?
Kita
harus punya pemimpin yang bijaksana, kita
harus mempunyai tokoh-tokoh agama, tokoh penulis filsafat yang menulis dan
mendidik, tapi jangan mau kemajuan
yang instant.
.
Seratus
tahun saja
kita belum
lewat. Jadi,
ya mesti bersabar.
Kalau nanti generasi saat ini, umurnya sudah seperti
saya, mudah mudahan toleransi dalam masyarakat Indonesia yang multikultural
sudah lebih baik. Jadi ini bagian dari perkembangan.
Kalau
untuk memperbaiki sektor agraria, konsepnya seperti apa?
Dulu,
saya pernah menulis tentang masyarakat desa. Saya adalah orang yang mengikuti sebagai mahasiswa hukum
pembentukan dan penyusunan
UU Pokok Agraria. Menurut
saya, UU Pokok Agraria itu memang berpihak kepada rakyat. Tetapi karena terlalu memihak ke rakyat,
maka UU ini
pernah dianggap pro PKI. Maka,
banyak orang yang kemudian menganggap UU Pokok Agraria ini merah warnanya dan perlu diganti dengan yang baru.
Saya takut kalau diganti,
malah yang baru tidak pro-rakyat, “kebabklasan” menjadi pro pengusaha-besar
(pertambangan, perkebunan dan kehutanan), meskipun pengusah- nasional (lawan
dari pengusaha asing, yang sekarang dicela rakyat).Sewaktu kita
memasuki zamannya
Pak Harto (Presiden
Soeharto, red)masuklah modal asing, dan rupanya kita tidak siap
menghadapi orang-orang asing, bukan saja dia bawa modal, dia juga bawa otak
tentang hukum. Di sini lawannya orang-orang hukum yang bekerja di pemerintah, mereka kurang mampu atau
tidak cukup matang menghadapi
lawyer-lawyer asing yang mewakili modal asing dan di “back up” kontrak-kontrak berbahasa
Inggris yang sudah dipersiapkan atau dibahas di negara asal modal asing.
Apa
yang terjadi?
Kontrak-kontrak
yang sekarang diributkan terlalu pro-asing,
sehingga merugikan
negara itu sebenarnya karena
memang kesalahan kita dalam membuat kontrak! Tapi
tidak pernah mau diakui dan diusut siapa yang dahulu duduk di meja perundingan :siapa
birokrat ekonomon/pemerintah dan siapa ahli hukum yang mewakili pemerintah . Coba, siapa sih pada waktu itu timnya? Tim
ekonomi siapa? Tim hukum siapa? Lalu,
selidiki
tim ekonoomi dan hukum itu,
tambah kaya secara mendadak,
apa tidak?
Kalau tambah kaya,
sebenarnya
mereka itu kalah
pengetahuan atau serakah? Kalau kurang pengetahuan dan pengalaman,
masih bisa kita terima.
Ya, maklumlah yang datang memang lawyer dan
top-manajement perusahaan penanam modal yang tangguh, yang dihadapi adalah
kontrak-kontrak berbahasa
Inggris,
dengan konsep-konsep hukum, ekonomi, dan teknologi yang
telah berkembang di negara barat.
Apakah
pernah dipertanyakan soal ini?
Saya pernah berdebat
dengan seorang teman Dosen dan ahli
ekonomi . Saya katakan, Anda mengirim banyak ekonom-ekonom ke luar negeri untuk belajar ekonomi dan ilmunya dibawa
ke Indonesia,
tetapi kenapa Bappenas tidak
mengirim juga banyak orang
hukum untuk jadi ahli hukum ekonomi dan hukum kontrak? Ini tidak pernah dijawab. Tetapi menurut saya, salah
satu alasan (disamping langkanya dana dan tawaran beasiswa dari sponsor asing)
adalah tidak atau kurang disadari bahwa para ekonom (teknokrat) memerlukan
ahli-ahli hukum canggih sekaliber Prof Gautama dan Prof Mochtar dalam
perundingan dagang dan investasi bisnis dan teknologi.Tidak mungkin dalam
perundingan-perundingan itu birokrat/teknokrat ekonomi dapat memahami
”jebakan-jebakan” hukum yang dipasang oleh lawyer-lawyer
perusahaan asing multi-nasional yang berpengalaman luas.
Mengapa
hanya orang ekonomi yang banyak dikirim belajar ke luar negeri?
Kalau menurut saya,
karena mereka menganggap
hukum itu bersifat
lokal, juga orang
ekonomi menganggap orang hukum itu tidak bisa diajak bicara, terlalu normatif. Jadi sudah ditinggalkan saja orang hukum, dan orang ekonomi jalan terus. Jadi hukum kita memang
ditinggal. Orang-orang hukum dalam pemerintahan tidak tambah pintar, hukum tidak banyak berubah,yang bertambah adalah peraturan administratif-
karena buat ekonom yang penting kan kita harus membuat infrastruktur peraturan administrasi pemerintahan.
Sehingga harus buat peraturan yang memungkinkan “mengambil tanah” untuk pembangunan ekonomi,
karena menurut mereka
ekonomi harus jalan terus,tidak
boleh terhambat oleh hukum yang terlalu statis. Bahwa
itu ada tanah sengketa ya tidak
atau kurang begitu
dipedulikan. Menurut ekonom yang
penting kan kita punya peraturan, kita punya UU dan itu mengikat seluruh rakyat. Dan rumitnya hampir
semua peraturan hukum administratif itu diberi sanksi pidana – jadi setiap kali
ada jenis tindak pidana baru. Tentu tidak dapat ditegakkan semuanya,
menyebabkan inflasi tindak pidana dan
hilangnya kepercayaan kepada hukum (pidana). Semangat banyak perusahaan dagang
sekarang : “tidak ada cari untung yang “halal” atau “haram” – yang ada hanyalah
yang “susah” (ikut peraturan) atau
yang “mudah” (langgar peraturan).
Semangat ini juga kita lihat dalam pengguna –jalan (pengendara motor dan
mobil).
Berarti
Undang-undang menjadi alat pemerintah untuk memuluskan kebijakan semata?
Buat mereka UU itu alat untuk mencapai tujuan
ekonomi. Hal
itu yang menyebabkan UU itu tidak jalan.
Ambil contoh;
UU Minerba
terkait
pembuatan smelter. Mestinya
orang ekonomi dan orang teknik berpikir jauh ke depan, waktu mereka dahulu tandatangan kontrak dengan pengusaha
asing. Misalnya, biarlah 5 tahun pertama mereka gali dan langsung ekspor bahan mentahnya,tetapi kemudian 5 tahun ke dua galiannya
mesti diolah di sini. Jadi,
kalau B.J. Habibie pernah mengkritik “sekarang ini jamannya kita jadi kuli
seperti pada zaman VOC karena
smelter itu kan dikelola di negara
asing,
di Singapura kita hanya kuli”.
Tanya
sama Habibie,
lha waktu Anda jadi Wakil Presiden, kenapa Anda tidak mengkritik, kan Anda insinyur,
jangan tanya sama orang hukum dong. Jangan hanya mengkritik orng lain, seperti pepatah “kuman di seberang
lautan tampak, tetapi gajah di pelupuk mata tidak terlihat”.
Yang disalahkan orang hukum. Mana mungkin orang hukum
tahu,
bahwa perlu ada smelter agar dikerjakan di Indonesia. Mereka yang
insinyur dan ekonom itu
kan harusnya tahu.Mereka adalah
perancang pembangunan ekonomi melalui REPELITA. Memang
konsepnya untuk bikin smelter harus ada
listrik besar. Ya, harus dipikirkan
dong. Sekarang mau bikin smelter,
tapi Pemerintah maunya
di Kalimantan atau NTT
atau Papua, listriknya dari mana, akhirnya ribut.
Freeport hanya mau
bikin smelter di Gresik,
ya,
masuk akal. Untuk apa
Freeport bikin smelter di Papua beserta pembangkit tenaga listriknya, kenapa tidak cari saja di sini, Jawa,yang pasokan listrik PLN cukup.
Siapa yang bodoh? Orang Indonesia yang bodoh. Bukan orang asing yang pinter dan
licik, bukan! Nah ini mesti kita akui dulu.Maksud saya hanya mau menekankan “jangan selalu
menyalahkan orang lain- mawas diri dahulu- karena sering kita orang Indonesia
yang kurang pintar”. Selama kita tidak mau mengkui bahwa kesalahan ada di pihak
kita, selama itu pula kita tidak dapat memperbaiki diri ! Mudah-mudahan Pemerintahan
yang akan datang, lebih mau introspeksi kesalahan bangsa kita sendiri dan tidak
selalu mensalahkan asing dan takut pada modal asing. Ini rumah kita,
pintar-pintar buat peraturan untuk tamu-tamu asing, kalau tidak ada peraturan
jelas (multi-tafsir) jangan salahkan tamu !
Tapi ada anggapan kalau peraturan
pelaksana UU
Agraria itu saling tumpang tindih, sehingga berpotensi menimbulkan konflik?
Kaitannya
soal tumpang tindih, itu disebabkan
kita tidak
mempunyai kemampuan untuk mengetahui dengan baik peraturan yang ada dalam satu
bidang. Pertama dalam satu Kementrian
saja ada banyak sekali
peraturan diterbitkan. Jadi kalau ada peraturan tumpang tindih antar Kementerian, itulah kesalahan dari
pemerintahan pusat.
Makanya, saya mendirikan Pusat Dokumentasi dan Informasi
Hukum
Tahun
1974. Kita kumpulkan dan sistematisir semua peraturan dari UU sampai peraturan terendah. Problemnya waktu
itu, untuk mendapatkan UU dan PP ke Setneg gampang didapatkan, tapi untuk Peraturan Menteri dan di bawahnya susah carinya. Maka, dibuatlah Pusat Dokumentasi Hukum di UI dan BPHN. Sekarang lebih mudah karena ada
situs web, internet dan “hukum online”.
Bagaimana
menilai pejabat-pejabat pemerintahan di negeri ini?
Kita harus mengakui
rupanya banyak pemimpin kita yang kelihatannya reformis tapi kalau sudah melihat uang, matanya “ijo”. Kepada siapa kita mau salahkan?
Sebenarnya ada yang mesti disalahkan, salahkan kepada politik ekonomi kita yang
memberikan kesempatan barang-barang mewah beredar di sini, mobil-mobil mewah.
Padahal kan sebenarnya pemerintah mudah saja untuk melarang. Misal, dilarang ada mobil yang
lebih dari 2000cc. Iklan untuk
barang mewah dikenal sebagai “the hidden
persuaders” dan memang banyak pejabat-pejabat
kita yang terjebak “consumerism”.
Waktu saya pergi ke India, jarang lihat mobil yang mewah.
Pemerintahan disana
itu naik mobil yang sebesar Morris
dan VW.
Kalau di sini berseliweran mobil mewah. Pernah saya ditanya seperti ini, “menurut Bapak, kita harus tutup pabrik
mobil?” Engga, kita tetap buka, tapi pabrik mobil adalah untuk eksport. Hanya
10% hasil produksi yang boleh dijual di dalam negeri. “Ah, bapak sih bikin
kita nggak bisa punya mobil.
Kan istri pengen punya mobil, anak juga, cucu udah agak gede punya mobil juga”.
Kalau
menyangkut penanganan kasus-kasus HAM bagaimana?
Pertama kembali lagi pada pemahaman kita mengenai HAM. Saya pernah bicara dengan mahasiswa Kepolisian. Mereka mengatakan; “wah tidah dapat pak , kalau kami terlalu tegas-keras begitu nanti melanggar
HAM?” Apa yang melanggar HAM? Menurut saya, ada konsep yang keliru tentang
HAM. HAM itu dianggap sekedar kesewenangan penguasa terhadap orang lain. Jadi, misalnya polisi menahan orang, apa itu melanggar HAM ?.
Menurut
saya, yang penting itu
perlindungan HAM. Perlindungan HAM adalah perlindungan terhadap kesewenangan
negara. Jadi kalau
kasus Timor Timur itu boleh dianggap melanggar HAM, kasus Tanjung Priok itu melanggar HAM. Seperti
di Brazil, oposisi banyak yang hilang, nah itu baru pelanggaranHAM. Tapi kalau polisi “nempeleng” pencuri yang tidak mau mengakui perbuatannya, menurut saya itu bukan
pelanggaran HAM. Itu penyiksaan atau penganiyaan. Memang juga tidak boleh.
Bagaimana
seharusnya upaya pemerintah menegakkan HAM di Indonesia?
Jadi memang batas dan beda
antara HAM dengan tindakan kesewenang-wenangan petugas penegak hukum harus diperjelas,
sehingga kalau kita bilang, penyelesaian HAM yang lalu, mesti kita rinci, yang
mana, misalnya siapa
yang bersalah di Tim Tim.
Kita bisa mulai dari mensalahkan panglima TNI di sana. Nanti panglima itu punya
atasan lagi. Kalau mau dikembalikan lagi sampai Jakarta atasannya siapa?
Kalau kasus tewasnya Munir, masuk pelanggaran HAM atau tindakan sewenang-wenang?
Kalau menurut saya, kasus Munir mesti dilihat
kenapa dia
dibunuh,
karena ada orang yang benci atau karena takut dia membongkar rahasia ?.
Misalnya saya ini sedang menjabat di UI (Universitas Indonesia), kemudian ada
yang benci sama saya karena saya kritik-kritik, singkat cerita saya di racun dan saya mati. Itu kan bukan pelanggaran HAM, itu pembunuhan berencana.
Tapi kalau misalnya Munir memegang rahasia besar yang menyangkut
politik negara kita, mungkin tentang
kerjasama militer tertentu, misalnya antara Singapura dan Malaysia. Jadi kalau dia dibunuh karena urusan
politik,
itu pelanggaran HAM.
Bagaimana
jika ada kaitanya dengan kemungkinan keterlibatan Badan Intelejen Negara?
Kalau saya baca macam-macam novel dan berbagai laporan media cetak dari negara asing,
memang BIN di mana-mana, kerjaannya begitu, kecuali nguping-nguping (penyadapan)- dia
diam-diam juga dapat cari
pembunuh. Itu “budaya-intelejen”. Konsepnya
adalah harus selalu pro-aktif untuk menyelamatkan negara dari ancaman bahaya.
Jadi dibunuhnya pemimpin Al-Qaeda karena alasan itu. Sekarang tokoh ISIS juga diburu Amerika. Karena konsep
mereka,
tokoh atau pemimpin ini membahayakan negara mereka. Cara pikirnya: “Saya intelijen harus
menjaga negara saya –
kalau perlu ya dibunuh !”. Sama seperti kasus di Singapura, ada 2 orang asing masuk melakukan pengeboman, dia
membahayakan masyarakat, tentu
mesti
dihukum mati.
Pemahaman
mengenai HAM itu seperti apa?
Saya
dari dulu mengatakan,
tidak
betul bahwa HAM itu hak dan kewajiban
manusia. Jadi,
pernah zaman
Orde
Baru
dibikin konsep P4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). HAM itu selalu didefinisikan sebagai Hak dan Kewajiban. Alasannya, kalau ada hak pasti ada kewajiban. Saya tidak setuju dan melihatnya
lain, adalah hak dari pada rakyat
untuk misalnya memprotes
dan memberikan penilaian
terhadap kinerja pemerintah, adalah
kewajiban negara melindungi rakyat yang menjalankan haknya melakukan protes kepada
negara.
Itulah konsep hak
dan kewajiban dalam HAM. Adalah
hak rakyat untuk
melakukan protes damai, adalah kewajiban negara untuk melindungi rakyat dalam protes damai, jangan dibunuh oleh orang yang tidak suka protes itu. Itu hak dan kewajiban. Jadi hak dan kewajiban itu bukan seperti “kiri-kanan”- simetris. Tapi seperti “kiri dan atas”, - asimetris - dalam
konsep HAM, menurut saya, Hak dan Kewajiban itu, keduanya tidak bisa
dipasangkan.
tulisannya sangat bermanfaat sekali pak
BalasHapus