Rabu, 21 Januari 2015

Wawancara Majalah Disain Hukum - KHN dengan Prof. Mardjono Reksodiputro




JOKOWI–JK:  “Insyafkan Rakyat  tentang  Indonesia yang Multikultural
 
 

Indonesia baru saja menyelesaikan hajat besar, yaitu Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI Periode 2014-2019.  Hasilnya,   Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla (Jokowi – JK) terpilih sebagai presiden dan wakil presiden RI. Sebagai kepala Negara, Jokowi – JK akan bertugas mengkomandani penegakan hukum di Indonesia.
Sejauh pemantauan majalah Desain Hukum melalui media masa :  sekurangnya ada  tiga isyu mengenai pembangunan hukum yang menjadi prioritas presiden Jokowi; pertama mengenai budaya hukum masyarakat, kedua mengenai penataan sektor pertanahan karena sektor ini dinilai banyak terjadi tumpang tindih peraturan hukum, ketiga mengenai penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia.
Untuk memilah mengenai tiga isyu tersebut, majalah Desain Hukum KHN melakukan wawancara khusus dengan Sekretaris KHN, Prof. Mardjono Reksodiputro SH, MA., guna mendapatkan butir-butir penting yang dapat mendorong terlaksananya pembangunan hukum di Indonesia oleh pemerintahan baru nanti. Berikut hasil wawancara lengkap:

Langkah seperti apa yang mesti dilakukan pemerintahan baru nanti dalam program reformasi hukum?
Pertama, sebelum kita bicara mengenai langkah, kita mesti faham dulu apa batasan pengertian budaya hukum masyarakat. Sering dikemukakan bahwa yang dimaksud budaya hukum masyarakat itu, kalau saya sederhanakan, adalah “pemahaman masyarakat tentang hukum yang berlaku, serta ketaatan masyarakat terhadap hukum tersebut”.
Mari  kita bicara mengenai usaha untuk memajukan budaya hukum di masyarakat. Maka, kita harus sadar bahwa Indonesia itu terdiri dari begitu banyak kebudayaan yang menyangkut juga di dalamnya begitu banyak pemahaman mengenai hukum, katakanlah hukum adat atau hukum lokal.

Agar dapat efektif, apa yang harus dilakukan pemerintah untuk hal ini?
Jadi yang pertama harus dilakukan adalah menginsyafkan seluruh rakyat, termasuk kita semua tentang masyarakat Indonesia yang multikultural dan mempunyai kebudayaan beragam. Mengikuti Parsudi Suparlan, maka saya sependapat bahwa masyarakat Indonesia harus dipandang sebagai masyarakat multicultural, yang harus diperjuangkan berdasarkan paham multikulturalisme. Seperti dikatakan oleh Parsudi Suparlan: “Multikulturalisme adalah suatu ideologi yang mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan … Baik perbedaan individual maupun perbedaan kelompok, dilihat sebagai perbedaan kebudayaan”.
Saya ingin menekankan ini sebagaimana selalu saya bicara dalam perkuliahan untuk membedakan dengan konsep yang lama.Selalu dikatakan, masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural, kemudian ini dikaitkan dengan konsep Bhineka Tunggal Ika. Kalau kita bicara masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural, berarti pluralism budaya, kita memang datang dari berbagai macam suku bangsa, berbagai macam kelompok etnik. Biasanya  kita dapat mengacu ke Amerika Serikat, dimana masyarakatnya dikatakan adalah suatu “melting pot”. Seperti suatu kuali-besar dimana berbagai suku bangsa (Irlandia, Inggris, Scot, Perancis, Jerman, Italia, Belanda dan lain-lainnya) telah menjadi suatu nasion: Amerika.
Mengapa harus mengacu Amerika Serikat?
Amerika Serikat terdiri dari berbagai macam suku kulit putih (berasal dari Eropah), kulit merah (Indian), kulit hitam, kulit kuning dan sebagainya. Mereka memang masyarakat plural, tetapi masyarakat itu sudah mempunyai satu konsep tentang Nation America, sehingga kalau ditanya tidak lagi mengatakan; “saya orang Indian, tetapi I am an Indian atau Black American”.  Karena mereka betul-betul sudah menganggap diri mereka orang Amerika.
Ini berbeda dengan misalnya, kita melihat masyarakat multikultural dengan memakai contoh masyarakat Uni Eropa. Di Uni Eropa, meski mengatakan mereka bersatu, dan sudah ada parlemennya, sudah ada pemerintahan bersama, tetapi mereka tetap memiliki identitas masing-masing, karena tetap menyatakan dirinya orang Inggris, Perancis, Itali, Balanda atau Jerman. Ini contoh saya untuk masyarakat majemuk yang multikultural.

Lantas  apa relevansinya dengan Indonesia?
Karena kebudayaan di Uni Eropah  juga berbeda dan mereka berasal dari suku bangsa yang berbeda pula. Itu adalah contoh seperti Indonesia sekarang, di dalamnya ada banyak penduduk dari daerah berbeda-beda dengan adat atau kebudayaan berbeda pula. Lebih tepatnya,  Indonesia sekarang ini masih lebih cocok seperti Uni Eropa, belum seperti  Amerika (meskipun cita-cita kita adalah NKRI dengan/dalam Nasion Indonesia).
Makanya, kita harus mengakui kalau di Indonesia itu ada berbagai suku bangsa yang masih kuat egonya. Misal, orang Minang, tidak mau disebut orang Jawa, atau orang Tapanuli atau  orang Aceh. Perasaan seperti itu  masih kuat di Indonesia. Jadi kalau mau ini dulu dibereskan,  harus disosialisasikan pemahaman mengenai Nasion Indonesia secara utuh. Harus mulai,dari pengakuan bahwa kita ini masih seperti masyarakat Uni Eorpah, meskipun bercita-cita menjadi seperti masyarakat Amerika Serikat (melting pot).
 
Pemahaman seperti apa yang harus disampaikan kepada masyarakat terkait persoalan itu?
Dalam masyarakat multikultural harus ada kesepakatan bahwa semua kebudayaan itu adalah sama, mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan Tidak  boleh mengatakan bahwa budaya Jawa lebih halus dibanding budaya Minang, misalnya. Harus ada perasaan kesetaraan, dan kita semua harus mau mengakuinya dalam kenyataan (jangan hanya lipservice – dalam pidato politik).

Sarana efektif  bagi pemerintah melakukan sosialisasi ini melalui apa?
Caranya  melalui pendidikan dan ketauladanan para pemimpin. Selama ini kita mengakui pendidikan Pancasila, terus disuruh menghafal, tapi tidak pernah dicontohkan dengan baik, bagaimana kita menghayati Pancasila itu. Jadi, melalui sistem pendidikan di sekolah dan di media massa (cetak dan TV) serta melalui contoh pemimpin-pemimpin politik.
Selain itu, program-programnya harus mengarah untuk mau melakukan pengakuan atas dasar pandangan kesetaraan derajat diantara sukubangsa dan kebudayaan yang berbeda dan menuju pada kesamaan sebagai bangsa (nasion) Indonesia.

Adakah kaitannya budaya hukum dengan masalah korupsi?
Menurut saya tidak ada urusannya budaya hukum masyarakat dengan korupsi. Korupsi urusan lain, menurut saya yang terjadi adalah “kebablasan” pemahaman tentang “kewiraswastaan” dan “kreativitas”. Yang diajarkan adalah kreatif cari uang, tanpa ditanamkan etika berbisnis. Memang ada yang berpendapat kalau ini ada kaitannya dengan korupsi, karena ada istilah  korupsi sudah membudaya. Saya tidak setuju. Bagaimana dapat kita katakan korupsi sudah membudaya? Artinya kebudayaan Indonesia koruptif ? Menghalalkan penyuapan, penipuan, pemalsuan, pencurian uang negara ? Saya masih percaya bahwa kebudayaan koruptif ini (kalau dapat dikatakan demikian) hanya ada pada segelintir kelompok elit di mayarakat Indonesia, dimana “kekuasaan ekonomi” (pengusaha) berkolusi (bersinergi ?) dengan “kekuasaan politik”.

Lalu contoh semacam apa yang harus dijalankan para elit pemegang kekuasaan ekonomi dan politik kepada rakyat?
Misalnya dengan memperkenalkan budaya hukum masyarakat berdasarkan pengertian masyarakat  yang  multikultural (mengakui perbedaan dalam kesederajatan). Karena Jokowi adalah orang Jawa - jangan anggap budaya dirinya lebih tinggi dari orang Papua. Karena Jokowi dan JK adalah orang Islam - bahwa agamanya itu lebih baik dari Katolik, Kristen, Budha, Hindu. Definisi kejahatan juga tidak dapat diseragamkan, perlu ada penafsiran lokal oleh Pengadilan: apakah ini “pembunuhan” atau “penyuapan” atau pelakunya terikat adat setempat ?. Memang hal itu tidak mudah dan mungkin  butuh waktu bertahun-tahun, sehingga kita dapat bersatu dan berpikir mengakui bahwa Indonesia dapat melakukan unifikasi budaya hukum.

Model budaya hukum di negara mana dapat menjadi contoh?
Di Amerika juga kan ada agama, sama dengan di Indonesia.  Dari dulu semua Presiden Amerika beragama Protestan, lalu muncul John F. Kennedy yang beragama Katolik.  Sebelumnya semua Presiden Amerika pasti warga kulit putih, baru sekarang Barrack Obama yang berkulit hitam. Semua itu dilalui dengan memakan waktu proses beratus tahun di dalam masyarakat yang terbuka (demokratik dan modern). Itu untuk Amerika Serikat memang lebih mudah karena sejarah terbentuknya (negara kaum imigran),  perkembangan kekuasaan ekonomi dan posisi politiknya yang  baik (negara adikuasa yang jadi panutan demokrasi), sehingga perkembngan masyarakatnya diuntungkan.

Apa yang membedakannya dengan Indonesia ?
Indonesia kan starting point-nya sudah terlambat. Indonesia juga  ada dalam dunia yang masalahnya lebih kompleks. Bedanya, Amerika starting point- nya lebih dulu, masyarakatnya ada dalam percaturan politik dunia yang relatif lebih jelas. Jadi, kalau ingin maju, ya pemahaman tentang budaya hukum masyarakat Indonesia harus difahami dengan baik. Konsep “rule of law”, “rechtstaat”, “law of the ruler” , “judicial independency”, “check and balances”, misalnya  jangan jadi jargon politik, tetapi harus dibahas secara ilmiah-hukum. Pemahaman kita tentang Pancasila juga harus didasarkan pada kenyataan masyarakat Indonesia yang multikultural, jangan hanya mengacu pada teori-teori dan  bahan pustaka yang dikembangkan pada masyarakat Barat (Eropah dan Amerika Serikat).


Apakah perlu ada figur tertentu untuk menjadi suri tauladan untuk masyarakat?
Tentu tidak ada figur pemimpin yang sempurna, semua harus dinilai dari situasi dan kondisi waktu beliau-beliau itu berkuasa dan jadi panutan. Tetap tentu  perlu! Contoh, Gus Dur kalau dalam wawasan kesetaraan, beliau diagung-agungkan. Atau ekonom Soemitro Djojohadikusumo yang selalu didewa-dewakan kalangan ekonom. Seperti juga generasi berikutnya, Widjojo Nitisastro dan Mubiyarto, yang punya “mashab ekonomi” sediri. Tetapi  bagaimana dengan kedua putranya,  apakah gagasannya akan menjadi panutan dan  memberi contoh seperti bapaknya juga ??? Jadi tidak ada yang perfect. Tapi sebagai pakar ekonomi, Soemitro dijunjung tinggi oleh murid-muridnya  (Widjojo cs).  Menurut saya (tentu ada  yang berbeda pendapat) merekalah yang membawa Indonesia keluar dari keterpurukan ekonomi zaman Orde Lama. Mereka adalah kelompok dengan visi dari Prof. Soemitro yang berbeda dengan visi dari mantan Presiden kelima Prof. B.J. Habibie. Habibie kan ingin melakukan lompatan jauh kedepan. Membuat mobil belum sempurna  - Indonesia sudah mau diajak membuat pesawat terbang. Tapi, itu konsep percepatan pembangunan ekonomi, Habibie beranggapan itu cara terbaik untuk memajukan Indonesia. Kalau Widjoyo, mungkin medahulukan perekonmian rakyat (perikanan,pertanian dan perkebunan),  dulu ekspor kopra, sekarang kelapa sawit, dimulai dari yang kecil-kecil dahulu. Tetapi pemimpin itu harus punya visi jauh ke depan, tetapi juga ikhlas nanti dievaluasi oleh rakyat apa benar pembangunan maju, mandek ataukah malahan mundur.

Karakteristik pemimpin seperti apa yang tepat untuk memajukan Indonesia?
Kita harus punya pemimpin yang bijaksana, kita harus mempunyai tokoh-tokoh agama, tokoh penulis filsafat yang menulis dan mendidik, tapi jangan mau kemajuan yang instant. . Seratus tahun saja kita belum lewat.  Jadi, ya mesti bersabar.  Kalau nanti generasi saat ini, umurnya sudah seperti saya, mudah mudahan toleransi dalam masyarakat Indonesia yang multikultural sudah lebih baik. Jadi ini bagian dari perkembangan.

Kalau untuk memperbaiki sektor agraria, konsepnya seperti apa?
Dulu, saya pernah menulis tentang masyarakat desa. Saya adalah orang yang mengikuti sebagai mahasiswa hukum pembentukan dan penyusunan UU Pokok Agraria. Menurut saya, UU Pokok Agraria itu memang berpihak kepada rakyat. Tetapi karena terlalu memihak ke rakyat, maka UU ini pernah dianggap pro PKI. Maka, banyak orang yang kemudian menganggap UU Pokok Agraria ini merah warnanya dan perlu diganti dengan yang baru. Saya takut kalau diganti, malah yang baru tidak pro-rakyat, “kebabklasan” menjadi pro pengusaha-besar (pertambangan, perkebunan dan kehutanan), meskipun pengusah- nasional (lawan dari pengusaha asing, yang sekarang dicela rakyat).Sewaktu kita memasuki zamannya Pak Harto (Presiden Soeharto, red)masuklah modal asing, dan rupanya kita tidak siap menghadapi orang-orang asing, bukan saja dia bawa modal, dia juga bawa otak tentang hukum. Di sini lawannya orang-orang hukum yang bekerja di pemerintah, mereka kurang mampu atau tidak cukup matang menghadapi lawyer-lawyer  asing yang mewakili modal asing dan di “back up” kontrak-kontrak berbahasa Inggris yang sudah dipersiapkan atau dibahas di negara asal modal asing.    

Apa yang terjadi?
Kontrak-kontrak yang sekarang diributkan terlalu pro-asing, sehingga merugikan negara itu sebenarnya karena memang kesalahan kita dalam membuat kontrak!  Tapi tidak pernah mau diakui dan diusut siapa yang dahulu duduk di meja perundingan :siapa birokrat ekonomon/pemerintah dan siapa ahli hukum yang mewakili pemerintah .  Coba, siapa sih pada waktu itu timnya? Tim ekonomi siapa? Tim hukum siapa? Lalu, selidiki tim ekonoomi dan hukum itu, tambah kaya secara mendadak, apa tidak? Kalau tambah kaya, sebenarnya mereka itu kalah pengetahuan atau serakah? Kalau kurang pengetahuan dan pengalaman, masih bisa kita terima.  Ya, maklumlah yang datang memang lawyer  dan top-manajement perusahaan penanam modal  yang tangguh, yang dihadapi adalah kontrak-kontrak berbahasa Inggris, dengan konsep-konsep hukum, ekonomi, dan teknologi yang telah berkembang di negara barat.

Apakah pernah dipertanyakan soal ini?
Saya pernah berdebat dengan seorang teman Dosen dan ahli ekonomi . Saya katakan, Anda mengirim banyak ekonom-ekonom ke luar negeri  untuk belajar ekonomi dan ilmunya  dibawa ke Indonesia, tetapi kenapa Bappenas tidak mengirim juga banyak orang hukum untuk jadi ahli hukum ekonomi dan hukum kontrak? Ini tidak pernah dijawab. Tetapi menurut saya, salah satu alasan (disamping langkanya dana dan tawaran beasiswa dari sponsor asing) adalah tidak atau kurang disadari bahwa para ekonom (teknokrat) memerlukan ahli-ahli hukum canggih sekaliber Prof Gautama dan Prof Mochtar dalam perundingan dagang dan investasi bisnis dan teknologi.Tidak mungkin dalam perundingan-perundingan itu birokrat/teknokrat ekonomi dapat memahami ”jebakan-jebakan” hukum yang dipasang oleh lawyer-lawyer perusahaan asing multi-nasional yang berpengalaman luas.

Mengapa hanya orang ekonomi yang banyak dikirim belajar ke luar negeri?
Kalau menurut saya, karena mereka menganggap hukum itu bersifat lokal, juga orang ekonomi menganggap orang hukum itu tidak bisa diajak bicara, terlalu normatif. Jadi sudah ditinggalkan saja orang hukum, dan orang  ekonomi jalan terus. Jadi hukum kita memang ditinggal. Orang-orang hukum dalam pemerintahan tidak tambah pintar, hukum tidak banyak berubah,yang bertambah adalah peraturan administratif- karena buat ekonom yang penting kan kita harus membuat infrastruktur peraturan administrasi pemerintahan. Sehingga  harus buat peraturan yang memungkinkan mengambil tanah” untuk pembangunan ekonomi, karena menurut mereka ekonomi harus jalan terus,tidak boleh terhambat oleh hukum yang terlalu statis.  Bahwa itu ada tanah sengketa ya tidak atau kurang  begitu dipedulikan. Menurut ekonom yang penting kan kita punya peraturan, kita punya UU dan itu mengikat seluruh rakyat. Dan rumitnya hampir semua peraturan hukum administratif itu diberi sanksi pidana – jadi setiap kali ada jenis tindak pidana baru. Tentu tidak dapat ditegakkan semuanya, menyebabkan inflasi tindak pidana dan hilangnya kepercayaan kepada hukum (pidana). Semangat banyak perusahaan dagang sekarang : “tidak ada cari untung yang “halal” atau “haram” – yang ada hanyalah yang “susah” (ikut peraturan) atau yang “mudah” (langgar peraturan). Semangat ini juga kita lihat dalam pengguna –jalan (pengendara motor dan mobil).

Berarti Undang-undang menjadi alat pemerintah untuk memuluskan kebijakan semata?
Buat mereka UU itu alat untuk mencapai tujuan ekonomi. Hal itu yang menyebabkan  UU itu tidak jalan. Ambil contoh; UU Minerba terkait pembuatan smelter. Mestinya orang ekonomi dan orang teknik berpikir jauh ke depan, waktu mereka dahulu tandatangan kontrak dengan pengusaha asing. Misalnya, biarlah 5 tahun pertama mereka gali dan langsung ekspor bahan mentahnya,tetapi kemudian 5 tahun ke dua galiannya mesti diolah di sini. Jadi, kalau B.J. Habibie pernah mengkritik sekarang ini jamannya kita jadi kuli seperti pada zaman VOC karena smelter itu kan dikelola di negara asing, di Singapura kita hanya kuli”. Tanya sama Habibie, lha waktu Anda jadi Wakil Presiden, kenapa Anda tidak mengkritik, kan Anda insinyur, jangan tanya sama orang hukum dong. Jangan hanya mengkritik orng lain, seperti pepatah “kuman di seberang lautan tampak, tetapi gajah di pelupuk mata tidak terlihat”.
Yang disalahkan orang hukum. Mana mungkin orang hukum tahu, bahwa perlu  ada smelter agar dikerjakan di Indonesia. Mereka yang insinyur dan ekonom itu kan harusnya tahu.Mereka adalah perancang pembangunan ekonomi melalui REPELITA. Memang konsepnya  untuk bikin smelter harus ada listrik besar. Ya, harus dipikirkan dong. Sekarang mau bikin smelter, tapi Pemerintah maunya di Kalimantan atau NTT atau Papua, listriknya dari mana, akhirnya ribut. Freeport hanya mau bikin smelter di Gresik, ya, masuk akal. Untuk apa Freeport bikin smelter di Papua beserta pembangkit tenaga listriknya, kenapa tidak cari saja di sini, Jawa,yang pasokan listrik PLN cukup. Siapa yang bodoh? Orang Indonesia yang bodoh. Bukan orang asing yang pinter dan licik, bukan! Nah ini mesti kita akui dulu.Maksud saya hanya mau menekankan “jangan selalu menyalahkan orang lain- mawas diri dahulu- karena sering kita orang Indonesia yang kurang pintar”. Selama kita tidak mau mengkui bahwa kesalahan ada di pihak kita, selama itu pula kita tidak dapat memperbaiki diri ! Mudah-mudahan Pemerintahan yang akan datang, lebih mau introspeksi kesalahan bangsa kita sendiri dan tidak selalu mensalahkan asing dan takut pada modal asing. Ini rumah kita, pintar-pintar buat peraturan untuk tamu-tamu asing, kalau tidak ada peraturan jelas (multi-tafsir) jangan salahkan tamu !

Tapi ada anggapan kalau peraturan pelaksana UU Agraria itu saling tumpang tindih, sehingga berpotensi menimbulkan konflik?
Kaitannya soal tumpang tindih, itu disebabkan kita tidak mempunyai kemampuan untuk mengetahui dengan baik peraturan yang ada dalam satu bidang. Pertama dalam satu Kementrian saja ada banyak sekali peraturan diterbitkan.  Jadi kalau ada peraturan tumpang tindih antar Kementerian, itulah kesalahan dari pemerintahan pusat.
Makanya, saya mendirikan Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Tahun 1974.  Kita kumpulkan dan sistematisir semua peraturan dari UU sampai peraturan terendah. Problemnya waktu itu, untuk mendapatkan UU dan PP ke Setneg gampang didapatkan, tapi untuk Peraturan Menteri dan di bawahnya susah carinya. Maka, dibuatlah Pusat Dokumentasi Hukum di UI dan BPHN. Sekarang lebih mudah karena ada situs web, internet dan “hukum online”.

Bagaimana menilai pejabat-pejabat pemerintahan di negeri ini?
Kita harus mengakui rupanya banyak pemimpin kita yang kelihatannya reformis tapi kalau sudah melihat uang, matanya ijo. Kepada siapa kita mau salahkan? Sebenarnya ada yang mesti disalahkan, salahkan kepada politik ekonomi kita yang memberikan kesempatan barang-barang mewah beredar di sini, mobil-mobil mewah. Padahal kan sebenarnya pemerintah mudah saja untuk melarang. Misal, dilarang ada mobil yang lebih dari 2000cc. Iklan untuk barang mewah dikenal sebagai “the hidden persuaders”  dan memang banyak pejabat-pejabat kita yang terjebak “consumerism”.  
Waktu saya pergi ke India, jarang lihat mobil yang mewah. Pemerintahan disana itu naik mobil yang sebesar Morris dan VW. Kalau di sini berseliweran mobil mewah. Pernah saya ditanya seperti ini, “menurut Bapak, kita harus tutup pabrik mobil?” Engga, kita tetap buka, tapi pabrik mobil adalah untuk eksport. Hanya 10% hasil produksi  yang boleh dijual di dalam negeri. “Ah, bapak sih bikin kita nggak bisa punya mobil. Kan istri pengen punya mobil, anak juga, cucu udah agak gede punya mobil juga”.



Kalau menyangkut penanganan kasus-kasus HAM bagaimana?
Pertama kembali lagi pada pemahaman kita mengenai HAM.  Saya pernah bicara dengan mahasiswa Kepolisian. Mereka mengatakan;wah tidah dapat  pak , kalau kami terlalu tegas-keras begitu nanti melanggar HAM?” Apa yang melanggar HAM?  Menurut saya, ada konsep yang keliru tentang HAM. HAM itu dianggap sekedar kesewenangan penguasa terhadap orang lain. Jadi, misalnya polisi menahan orang, apa itu melanggar HAM ?. Menurut saya, yang penting itu perlindungan HAM. Perlindungan HAM adalah perlindungan terhadap kesewenangan negara. Jadi kalau kasus Timor Timur itu boleh dianggap melanggar HAM, kasus Tanjung Priok itu melanggar HAM.  Seperti di Brazil, oposisi banyak yang hilang, nah itu baru pelanggaranHAM. Tapi kalau polisi nempeleng pencuri yang tidak mau mengakui perbuatannya, menurut saya itu bukan pelanggaran HAM. Itu penyiksaan atau penganiyaan. Memang juga tidak boleh.

Bagaimana seharusnya upaya pemerintah menegakkan HAM di Indonesia?
Jadi memang batas dan beda antara HAM dengan tindakan kesewenang-wenangan petugas penegak hukum harus diperjelas, sehingga kalau kita bilang, penyelesaian HAM yang lalu, mesti kita rinci, yang mana, misalnya siapa yang bersalah di Tim Tim. Kita bisa mulai dari mensalahkan  panglima TNI di sana. Nanti panglima itu punya atasan lagi. Kalau mau dikembalikan lagi sampai Jakarta atasannya siapa?

Kalau kasus tewasnya Munir, masuk pelanggaran HAM atau tindakan sewenang-wenang?
Kalau menurut saya, kasus Munir mesti dilihat kenapa dia dibunuh, karena ada orang yang benci atau karena takut dia membongkar rahasia ?. Misalnya saya ini sedang menjabat di UI (Universitas Indonesia), kemudian ada yang benci sama saya karena saya kritik-kritik, singkat cerita saya di racun dan saya mati. Itu kan bukan pelanggaran HAM, itu pembunuhan berencana. Tapi kalau misalnya Munir  memegang rahasia besar yang menyangkut politik negara kita, mungkin tentang kerjasama militer tertentu, misalnya antara Singapura dan Malaysia. Jadi kalau dia dibunuh karena urusan politik, itu pelanggaran HAM.

Bagaimana jika ada kaitanya dengan kemungkinan keterlibatan Badan Intelejen Negara?
Kalau saya baca macam-macam novel dan berbagai laporan media cetak dari negara asing, memang BIN di mana-mana, kerjaannya begitu, kecuali nguping-nguping (penyadapan)- dia diam-diam juga dapat cari pembunuh. Itu budaya-intelejen”.  Konsepnya adalah harus selalu pro-aktif  untuk menyelamatkan negara dari ancaman bahaya.
Jadi dibunuhnya pemimpin Al-Qaeda karena alasan itu. Sekarang  tokoh ISIS juga diburu Amerika. Karena konsep mereka, tokoh atau pemimpin ini membahayakan negara mereka. Cara pikirnya: “Saya intelijen harus menjaga negara saya – kalau perlu ya dibunuh !”. Sama seperti kasus di Singapura, ada 2 orang asing masuk melakukan pengeboman, dia membahayakan masyarakat, tentu mesti dihukum mati.

Pemahaman mengenai HAM itu seperti apa?
Saya dari dulu mengatakan, tidak betul bahwa  HAM itu hak dan kewajiban manusia. Jadi, pernah zaman Orde Baru dibikin konsep P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). HAM itu selalu didefinisikan sebagai  Hak dan Kewajiban. Alasannya,  kalau ada hak pasti ada kewajiban. Saya tidak setuju dan melihatnya lain, adalah hak dari pada rakyat untuk misalnya memprotes dan memberikan penilaian terhadap kinerja pemerintah,  adalah kewajiban  negara melindungi rakyat yang menjalankan haknya melakukan protes kepada negara. Itulah  konsep hak dan kewajiban dalam HAM. Adalah hak rakyat untuk melakukan protes damai, adalah kewajiban negara untuk melindungi rakyat  dalam protes damai, jangan dibunuh oleh orang yang tidak suka protes itu. Itu hak dan kewajiban. Jadi hak dan kewajiban itu bukan seperti “kiri-kanan”- simetris. Tapi seperti “kiri dan atas, - asimetris -  dalam konsep HAM, menurut saya, Hak dan Kewajiban itu, keduanya tidak bisa dipasangkan.

1 komentar: