Sabtu, 20 Februari 2016

SPP Terpadu - Keterkaitan antara Penyidik – Penuntut Umum – dan Pengadilan


Pendahuluan

Penentuan bahwa seseorang adalah Tersangka  kejahatan (the charging decision) adalah suatu keputusan yang teramat penting. Akibat yang dialami oleh seseorang Tersangka ini sangat serius. Pertama, hal ini akan sangat membatasi kebebasannya, kedua, ini akan berakibat pada biaya ekonomi, seperti kehilangan penghasilan dan biaya yang diperlukan untuk pembelaannya. Ketiga, dari segi sosial ini juga akan merugikan Tersangka, sementara dia akan kehilangan harga diri dan posisinya dalam masyarakat, tetapi adalah pasti (mungkin untuk selamanya) dia akan kehilangan reputasinya.

Paling tidak perlu ada tiga faktor untuk menentukan bahwa seseorang  dapat dijadikan Tersangka. Pertama, adanya peristiwa yang diyakini merupakan kejahatan. Kedua, ada kemungkinan yang cukup besar  bahwa yang bersangkutan bersalah (probability of guilt – probable cause) dan ketiga, kejahatan (pasal UU atau ketentuan hukum pidana) yang akan dituduhkan kepada Tersangka sudah jelas unsur-unsur yang perlu dibuktikannya.

Faktor pertama mula-mula ditentukan oleh Penyidik melalui bukti fisik ataupun saksi (misalnya adanya seseorang yang mati, ada luka peluru dan saksi melihat orang di tempat kejadian yang dapat dituduh sebagai pembunuh). Tetapi apakah ini  pembunuhan berencana, atau pembunuhan biasa atau karena kesalahan menyebabkan matinya seseorang atau akibat pembelaan diri, masih harus dikumpulkan fakta-faktanya dan dirangkai oleh Penyidik. Faktor kedua, probability of guilt  dan probable cause ditentukan oleh keyakinan JPU apakah dia  berpendapat bahwa perkara itu sudah cukup bukti untuk dibawa ke Pengadilan. Seorang JPU yang profesional akan selalu waspada dan mempertimbangkan kemungkinan Terdakwanya diputuskan Pengadilan tidak terbukti dan bebas, karena kurang bukti (dapat juga berarti seorang yang tidak bersalah dibawa ke pengadilan pidana). Faktor ketiga, berkaitan erat dengan bukti-bukti yang perlu diajukan di Pengadilan dan berkaitan dengan unsur-unsur  perbuatan yang didakwakan. Bukti-bukti ini diperoleh dari Penyidik dan karena itu perlu kerjasama yang erat (a close and professional relationship) antara Penyidik dan JPU untuk menentukan apakah perkara itu sudah siap diajukan ke Pengadilan, dengan harapan kemungkinan besar mendapatkan persetujuan Pengadilan terhadap kesalahan Terdakwa berdasarkan pasal yang didakwakan dan bukti-bukti yang diajukan.

Pengadilan mempunyai fungsi menguji bukti-bukti kesalahan Terdakwa dengan mempertimbangkan pendapat, pembelaan dan bantahan Terdakwa/Advokatnya. Sering dikatakan bahwa setiap kasus yang diajukan di Pengadilan akan mempunyai dua sisi (seperti sebuah mata-uang) dan yang dihadapi oleh Pengadilan adalah suatu “re-konstruksi” dari suatu peristiwa yang telah terjadi pada suatu waktu yang sudah lama berlalu (terjadi beberapa bulan atau beberapa tahun yang lalu). JPU dengan bukti-buktinya mencoba merekonstruksikan satu sisi dari peristiwa yang lalu itu, sedangkan Terdakwa mencoba merekonstruksikan peristiwa itu dari sisi yang lain. Saya mencoba menggambarkan keadaan itu (dengan metafora) seperti penilaian terhadap sebuah “tangan” seorang  wanita. Yang melihat punggung-tangan menyatakannya sebagai kasar, sedangkan yang melihat telapak-tangan menyatakannya halus. Hakim harus memutuskan bagaimana tangan ini secara keseluruhan akan dinilai. Sering sekali usaha memutuskan ini tidaklah mudah, dan dalam hal peristiwa pidana putusan akan berakibat sangat besar , bagi bagi Terdakwa maupun bagi Korban.

Dalam proses peradilan pidana yang tergambar di atas ini timbul istilah “sistem peradilan pidana terpadu” (integrated criminal justice system). Sebenarnya suatu istilah yang “berlebihan” (superfluous), karena suatu sistem harus sudah terintegrasi/terpadu unsur-unsurnya. Suatu gambaran tentang “keterpaduan” ini dapat dimisalkan (dengan metafora) pada suatu arloji/jam, dimana masing-masing roda-roda kecil didalamnya, saling bekerja sama dengan fungsi masing-masing yang berbeda, tetapi untuk tujuan yang sama, yaitu “arloji yang menunjukkan waktu yang tepat”. Demikian juga pada SPP Terpadu, masing-masing unsur Kepolisian/Penyidik – unsur Kejaksaan/JPU – unsur Terdakwa/Advokat – dan unsur Pengadilan, yang masing-masing punya fungsi berbeda dalam SPP, wajib bekerja sama mencapai tujuan bersama SPP, yaitu “Keadilan bagi Terdakwa dan Korban”. Masing-masing unsur tersebut (sebagai organisasi/lembaga dengan fungsi masing-masing) mempunyai tujuan sendiri-sendiri (dapat dimisalkan dengan t-1; t-2; t-3; dan t-4). Keterpaduan berarti bahwa kerjasama mencapai tujuan SPP (dimisalkan T), harus berupa sinergi atau digambarkan: T > (lebih besar) dari penjumlahan { t-1 + t-2 + t-3 + t-4 }. Pesan inlah yang ingin disampaikan dengan istilah yang berlebihan “Sistem Peradilan Pidana yang Terpadu”.



Bagaimana KUHAP kita ?

Bagaimana pengaturan SPP Terpadu ini di KUHAP ? Kalau dilihat pada pasal-pasal 14 huruf b, 109 ayat (1), 138 ayat (1),dan (2),139, dan juga kemudian 14 huruf I UU No.8/1981 (tentang Hk Acara Pidana), maka akan diperoleh gambar sementara sebagai berikut:

1)Setelah Penyidik selesai memberkas hasil penyidikannya ke dalam suatu berkas perkara (Pasal 8), maka dokumen ini diserahkan kepada JPU. Menurut Pasal 14 huruf b, maka apabila JPU berpendapat masih ada kekurangan dalam dokumen tersebut, maka dia dapat memberikan petunjuk kepada Penyidik untuk menyempurnakan dokumen tersebut. Proses in dinamakan tahap “prapenuntutan” dan urutan langkah-langkahnya dapat dilihat di Pasal-pasal 110, 138 dan 139.

2)Dari butir 1) di atas akan terlihat bahwa JPU bersikap pasif, selama berkas perkara belum diserahkan kepadanya. Hal ini lebih jelas terlihat pada Pasal 109, di mana dinyatakan bahwa kewajiban Penyidik adalah (hanya) melaporkan apa yang terjadi, yaitu akan dimulainya penyidikan dan apabila terjadi penghentian penyidikan. Selama penyidikan berlangsung, maka tidak dianggap perlu ada komunikasi antara Penyidik dan JPU. Aktivitas JPU baru dimulai setelah dia menerima berkas perkara dan dia menilai dokumen tersebut. Apabila dia mengembalikan dokumen, maka terjadilah proses “prapenututan”.



Proses yang digambarkan dalam butir-butir 1) dan 2) di atas, tidak mencerminkan SPP Terpadu. Seperti digambarkan dalam Pendahuluan di atas, metafora sistem arloji/jam mengharuskan bahwa “roda-roda kecil arloji” itu saling terkait dan bergerak secara bersama dan sinkron. KUHAP kita menggambarkan suatu sistem yang terkotak-kotak, di mana Penyidik dan JPU digambarkan mempunyai fungsi yang berbeda dan dimonopoli oleh masing-masing lembaga (ini menurut saya adalah penafsiran yang keliru dari konsep “differential functions”).

Menurut saya terdapat kekeliruan dalam menafsirkan “fungsi-diferensial/berbeda” ini, dan terlihat dengan adanya Pasal 110 dan Pasal 138, karena sebenarnya norma yang ingin diaturnya sama, namun dipisahkan karena dianggap ada perbedaan yang besar dan tajam antara penyidikan (pasal 110) dan penuntutan (pasal 138). Seharusnya dianut penafsiran bahwa perbedaan penyidikan dan penuntutan tidak besar dan tajam, karena mereka adalah satu kesatuan dalam sistem (a close and professional relationship).



Bagaimana KUHAP Belanda ?

Adanya kesatuan antara penyidikan (opsporing) dengan penuntutan (vervolging) dapat dilihat dalam KUHAP Belanda (Wetboek van Strafvordering), yang dalam Pasal 141 menyatakan bahwa tugas penyidikan dibebankan kepada: a)para jaksa (officieren van justitie – selanjutnya dalam makalah ini akan dipakai istilah JPU), dan b) anggota kepolisian (ambtenaren van politie), serta c)para anggota tertentu dari marechaussee (polisi-khusus bercorak militer)  untuk kasus-kasus tertentu (ditentukan bersama oleh Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan).Dikatakan bahwa pimpinan dalam penyidikan ini berada pada lembaga kejaksaan dan hal ini ditafsirkan dari penempatan para jaksa (officieren van justitie/OvJ) sebagai yang pertama disebut dalam pasal 141 tersebut (Cleiren et.al.,2005,hal. 507 dan 601). Kewenangan JPU memimpin penyidikan ini dipertegas dalam Pasal 148 (2).

Meskipun tidak dijelaskan dalam undang-undangnya, namun Penyidik-Polisi Belanda tetap mempunyai juga wewenang untuk menghentikan penyidikan (Politiesepot – di Indonesia dikenal sebagai diskresi Polisi). Kewenangan ini dapat dilaksanakan secara mandiri oleh Penyidik-Polisi, namun umumnya dia akan mengikuti pedoman yang diberikan oleh JPU. Adalah wewenang JPU untuk memutuskan apakah berdasarkan hasil penyidikan, akan dilakukan penuntutan. Dia dapat memutuskan untuk tidak melakukan penuntutan, atas dasar kepentingan umum (op gronden aan het algemeene belang ontleend – Pasal 167).

Ketentuan Pasal 167(2) dikenal dalam bidang penuntutan sebagai asas oportunitas yang berlawanan dengan asas legalitas. Pada asas legalitas ada kewajiban untuk selalu menuntut apabila ada cukup bukti (verplichte vervolging in bewijsbare zaken), sedangkan dalam asas oportunitas JPU dapat meniadakan penuntutan, meskipun ada cukup bukti (dat onder omstandigheden bij een vastgesteld bewijsbaar strafbare feit van vervolging mocht worden afgezien). Asas oportunitas ini mengenal dua macam pendekatan/ajaran: 1)secara negatif, artinya penuntutan kalau ada cukup bukti adalah kewajiban umumnya, tetapi pengecualian dimungkinkan apabila ada dasar kepentingan umum; dan 2)secara positif, artinya penuntutan hanya dilakukan, apabila berdasarkan kepentingan umum hal ini memang diperlukan. Dalam praktek di Belanda, maka ajaran asas oportunitas yang positif yang dijalankan. Dengan cara ini maka reaksi hukum pidana memang dijalankan sebagai ultimum remedium (Cleiren et.al.,2005, hal.670-671).

Dalam hal asas oportunitas ini dipergunakan oleh JPU (istilahnya di Belanda adalah “seponeren” - di Indonesia menjadi “dideponir”), maka hal ini harus dilaporkan secara tertulis dengan disertai alasannya kepada pihak korban. Adalah kewajiban lembaga kejaksaan (openbare ministerie-OM) untuk menentukan suatu kebijakan hukum pidana (strafrechterlijk beleid – criminal policy) yang dapat memberikan pedoman dalam hal penyidikan dan penuntutan tindak pidana. Pedoman ini disertai dengan asas-asas proses yang baik (goede procesorde) dipergunakan oleh Pengadilan untuk mengawasi kewenangan penututan ini (monopoli kewenangan penuntutan ini dikenal sebagai dominus litis ).



Diskusi

Memperbandingkan KUHAP Indonesia dengan KUHAP Belanda dilakukan karena keduanya berasal dari rumpun yang sama, yaitu Code Penal Perancis. Dari uraian di atas terlihat bahwa SPP Belanda lebih “terpadu” dibanding dengan SPP Indonesia. Memang  penegakkan hukum yang efektif mengharuskan adanya hubungan antara Penyidik-Polisi dengan JPU yang erat, professional dan kokoh. Model KUHAP Belanda mencerminkan hal itu dengan menegaskan bahwa penyidikan dipimpin oleh JPU, tanpa mengurangi kewenangan Penyidik-Polisi untuk menutup perkara yang dianggapnya tidak perlu diteruskan ke penuntutan (dikenal sebagai politiesepot).

Pimpinan dan pengawasan JPU dimaksudkan untuk mengurangi kemungkinan Penyidik-Polisi terlalu fokus pada keinginan menghukum seorang yang diduga melakukan tindak pidana (Terduga dalam Penyelidikan), sehingga menutup diri pada fakta-fakta yang meringankan atau meniadakan kesalahan Terduga. Maksud lembaga pra-penututan dalam KUHAP kita, adalah memang mencegah hal semacam ini, namun akibat “birokrasi” dan “gengsi”,prosedur ini dapat menimbulkan “bulak-balik”-nya berkas perkara, dengan kemungkinan “hilang-tak-tentu-rimbanya” !

Oleh karena itu ada dua pendapat yang mencari solusi. Yang pertama adalah “model kotak-pos” yang terjadi sekarang (Penyidik-Polisi menyiapkan berkas perkara sendiri dan mengirimkannya ke JPU dengan harapan diterima sebagai telah sempurna – JPU dapat menolak dan mengirimkannya kembali dengan petunjuk perbaikan, dstnya), diubah menjadi “model ruang-komunikasi” (segera setelah Penyidik-Polisi melaporkan ke JPU akan memulai melakukan penyidikan, maka JPU sudah aktif membantu dengan petunjuk-petunjuk untuk membuat berita acara/berkas perkara yang sempurna). Solusi kedua adalah dengan “model menyatukan” lembaga penyidikan-polisi” dengan “lembaga penuntutan-jaksa” dalam “satu-atap” (ini yang dilakukan di Indonesia oleh lembaga KPK, Penyidik dan JPU bekerja-sama dalam satu lembaga).



Kesimpulan

Saya memilih “model ruang komunikasi” untuk KUHAP Indonesia. Hal ini diperoleh dengan memberi ketegasan bahwa pimpinan dalam penyidikan adalah pada JPU, karena sekarang JPU berfungsi hanya sekedar “kurir” pembawa berkas perkara Penyidik ke Pengadilan, dengan tugas tambahan mempertahankannya. Kewenangan JPU “mendeponir” perkara (misalnya Nenek Minah pencuri 2 buah Kakao) tidak diberikan lagi. Bagaimana dengan “model menyatukan” seperti di KPK ? Juga di sini kewenangan JPU-KPK untuk menilai berkas perkara Penyidik-KPK, tidak diberikan.

Kewenangan JPU untuk menolak perkara yang menurutnya tidak pantas untuk dibawa ke Pengadilan adalah bagian yang penting dalam suatu sistem peradilan pidana terpadu. Fungsi Penyidik-Polisi adalah mengumpulkan fakta-fakta, sebagai bukti adanya tindak pidana dan adanya kesalahan pada Tersangka. Fungsi dari JPU adalah menilai kecukupan pembuktian fakta dan memutuskan apakah akan mendakwakan Tersangka (the decision to charge). Kecuali untuk kejahatan yang sangat serius (korupsi, narkoba,pembunuhan,perkosaan,perampokan bersenjata dan penganiayaan berat), maka sebaiknya dianut ajaran oportunitas yang positif (hanya bila diperlukan demi kepentingan umum, dilakukan penututan). Ini akan mengurangi penghuni Lembaga Pemasyarakatan yang sekarang sudah penuh-sesak !(mr- Februari 2016)



 Daftar bahan pustaka terpilih:



1.Cleiren,C.P.M.,J.F.Nijboer,2005,Strafvordering,Tekst & Commentaar, Zesde druk, Kluwer,  Deventer.

2.Leonard,V.A.,1975,The Police,the Judiciary and the Criminal, Second Edition, Charles C.Thomas Publisher.

3.Miller,Frank W.,1969, Prosecution, The Decision to Charge a Suspect with a Crime, Little,Brown and Company, Boston.

4.Nusantara, Abdul Hakim G, dkk,1986,KUHAP, Penerbit Djambatan.

5.a.Reksodiputro,Mardjono,1999, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan, Buku Ketiga, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia.

   b.-----------------------------------,2007, Pembaruan Hukum Pidana, Kumpulan Karangan, Buku Keempat, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia.

6.Rosengart,Oliver, 1974, The Rights of Suspects, The American Civil Liberties Union,Inc.,Published by Avon,New York.   




--00O00--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar