Pendahuluan
Penentuan
bahwa seseorang adalah Tersangka kejahatan (the
charging decision) adalah suatu keputusan yang teramat penting. Akibat yang
dialami oleh seseorang Tersangka ini sangat serius. Pertama, hal ini akan sangat membatasi kebebasannya, kedua, ini akan berakibat pada biaya
ekonomi, seperti kehilangan penghasilan dan biaya yang diperlukan untuk
pembelaannya. Ketiga, dari segi
sosial ini juga akan merugikan Tersangka, sementara dia akan kehilangan harga
diri dan posisinya dalam masyarakat, tetapi adalah pasti (mungkin untuk
selamanya) dia akan kehilangan reputasinya.
Paling
tidak perlu ada tiga faktor untuk
menentukan bahwa seseorang dapat dijadikan
Tersangka. Pertama, adanya peristiwa
yang diyakini merupakan kejahatan. Kedua,
ada kemungkinan yang cukup besar bahwa
yang bersangkutan bersalah (probability
of guilt – probable cause) dan ketiga,
kejahatan (pasal UU atau ketentuan hukum pidana) yang akan dituduhkan kepada
Tersangka sudah jelas unsur-unsur yang perlu dibuktikannya.
Faktor
pertama mula-mula ditentukan oleh
Penyidik melalui bukti fisik ataupun saksi (misalnya adanya seseorang yang
mati, ada luka peluru dan saksi melihat orang di tempat kejadian yang dapat
dituduh sebagai pembunuh). Tetapi apakah ini pembunuhan berencana, atau pembunuhan biasa
atau karena kesalahan menyebabkan matinya seseorang atau akibat pembelaan diri,
masih harus dikumpulkan fakta-faktanya dan dirangkai oleh Penyidik. Faktor kedua, probability of guilt dan probable cause ditentukan oleh keyakinan
JPU apakah dia berpendapat bahwa perkara
itu sudah cukup bukti untuk dibawa ke Pengadilan. Seorang JPU yang profesional
akan selalu waspada dan mempertimbangkan kemungkinan Terdakwanya diputuskan
Pengadilan tidak terbukti dan bebas, karena kurang bukti (dapat juga berarti
seorang yang tidak bersalah dibawa ke pengadilan pidana). Faktor ketiga, berkaitan erat dengan
bukti-bukti yang perlu diajukan di Pengadilan dan berkaitan dengan
unsur-unsur perbuatan yang didakwakan.
Bukti-bukti ini diperoleh dari Penyidik dan karena itu perlu kerjasama yang
erat (a close and professional
relationship) antara Penyidik dan JPU untuk menentukan apakah perkara itu
sudah siap diajukan ke Pengadilan, dengan harapan kemungkinan besar mendapatkan
persetujuan Pengadilan terhadap kesalahan Terdakwa berdasarkan pasal yang
didakwakan dan bukti-bukti yang diajukan.
Pengadilan
mempunyai fungsi menguji bukti-bukti
kesalahan Terdakwa dengan mempertimbangkan pendapat, pembelaan dan bantahan
Terdakwa/Advokatnya. Sering dikatakan bahwa setiap kasus yang diajukan di
Pengadilan akan mempunyai dua sisi
(seperti sebuah mata-uang) dan yang dihadapi oleh Pengadilan adalah suatu “re-konstruksi” dari suatu peristiwa yang telah terjadi pada suatu waktu yang sudah lama
berlalu (terjadi beberapa bulan atau beberapa tahun yang lalu). JPU dengan
bukti-buktinya mencoba merekonstruksikan satu sisi dari peristiwa yang lalu itu,
sedangkan Terdakwa mencoba merekonstruksikan peristiwa itu dari sisi yang lain.
Saya mencoba menggambarkan keadaan itu (dengan metafora) seperti penilaian
terhadap sebuah “tangan” seorang wanita.
Yang melihat punggung-tangan menyatakannya sebagai kasar, sedangkan yang
melihat telapak-tangan menyatakannya halus. Hakim harus memutuskan bagaimana tangan
ini secara keseluruhan akan dinilai. Sering sekali usaha memutuskan ini
tidaklah mudah, dan dalam hal peristiwa pidana putusan akan berakibat sangat
besar , bagi bagi Terdakwa maupun bagi Korban.
Dalam proses
peradilan pidana yang tergambar di atas ini timbul istilah “sistem peradilan pidana terpadu” (integrated criminal justice system). Sebenarnya suatu istilah yang
“berlebihan” (superfluous), karena
suatu sistem harus sudah terintegrasi/terpadu unsur-unsurnya. Suatu gambaran
tentang “keterpaduan” ini dapat dimisalkan (dengan metafora) pada suatu
arloji/jam, dimana masing-masing roda-roda kecil didalamnya, saling bekerja
sama dengan fungsi masing-masing yang berbeda, tetapi untuk tujuan yang sama,
yaitu “arloji yang menunjukkan waktu yang tepat”. Demikian juga pada SPP
Terpadu, masing-masing unsur Kepolisian/Penyidik – unsur Kejaksaan/JPU – unsur
Terdakwa/Advokat – dan unsur Pengadilan, yang masing-masing punya fungsi
berbeda dalam SPP, wajib bekerja sama mencapai tujuan bersama SPP, yaitu “Keadilan bagi Terdakwa dan Korban”.
Masing-masing unsur tersebut (sebagai organisasi/lembaga dengan fungsi
masing-masing) mempunyai tujuan sendiri-sendiri (dapat dimisalkan dengan t-1;
t-2; t-3; dan t-4). Keterpaduan berarti bahwa kerjasama mencapai tujuan SPP
(dimisalkan T), harus berupa sinergi atau digambarkan: T > (lebih besar)
dari penjumlahan { t-1 + t-2 + t-3 + t-4 }. Pesan inlah yang ingin disampaikan
dengan istilah yang berlebihan “Sistem
Peradilan Pidana yang Terpadu”.
Bagaimana KUHAP kita ?
Bagaimana
pengaturan SPP Terpadu ini di KUHAP ? Kalau dilihat pada pasal-pasal 14 huruf
b, 109 ayat (1), 138 ayat (1),dan (2),139, dan juga kemudian 14 huruf I UU
No.8/1981 (tentang Hk Acara Pidana), maka akan diperoleh gambar sementara
sebagai berikut:
1)Setelah
Penyidik selesai memberkas hasil penyidikannya ke dalam suatu berkas perkara
(Pasal 8), maka dokumen ini diserahkan kepada JPU. Menurut Pasal 14 huruf b,
maka apabila JPU berpendapat masih ada kekurangan dalam dokumen tersebut, maka
dia dapat memberikan petunjuk kepada Penyidik untuk menyempurnakan dokumen
tersebut. Proses in dinamakan tahap “prapenuntutan”
dan urutan langkah-langkahnya dapat dilihat di Pasal-pasal 110, 138 dan 139.
2)Dari butir
1) di atas akan terlihat bahwa JPU bersikap pasif, selama berkas perkara belum
diserahkan kepadanya. Hal ini lebih jelas terlihat pada Pasal 109, di mana dinyatakan
bahwa kewajiban Penyidik adalah (hanya) melaporkan apa yang terjadi, yaitu akan
dimulainya penyidikan dan apabila terjadi penghentian penyidikan. Selama penyidikan berlangsung, maka tidak
dianggap perlu ada komunikasi antara Penyidik dan JPU. Aktivitas JPU baru dimulai
setelah dia menerima berkas perkara dan dia menilai dokumen tersebut. Apabila dia mengembalikan dokumen, maka
terjadilah proses “prapenututan”.
Proses
yang digambarkan dalam butir-butir 1) dan 2) di atas, tidak mencerminkan SPP Terpadu. Seperti digambarkan dalam
Pendahuluan di atas, metafora sistem arloji/jam mengharuskan bahwa “roda-roda
kecil arloji” itu saling terkait dan bergerak secara bersama dan sinkron. KUHAP
kita menggambarkan suatu sistem yang
terkotak-kotak, di mana Penyidik dan JPU digambarkan mempunyai fungsi yang
berbeda dan dimonopoli oleh masing-masing lembaga (ini menurut saya adalah penafsiran
yang keliru dari konsep “differential
functions”).
Menurut
saya terdapat kekeliruan dalam menafsirkan “fungsi-diferensial/berbeda” ini,
dan terlihat dengan adanya Pasal 110 dan Pasal 138, karena sebenarnya norma
yang ingin diaturnya sama, namun dipisahkan karena dianggap ada perbedaan yang
besar dan tajam antara penyidikan (pasal
110) dan penuntutan (pasal 138).
Seharusnya dianut penafsiran bahwa perbedaan penyidikan dan penuntutan tidak besar dan tajam, karena mereka adalah
satu kesatuan dalam sistem (a close and professional relationship).
Bagaimana KUHAP Belanda
?
Adanya
kesatuan antara penyidikan (opsporing)
dengan penuntutan (vervolging) dapat
dilihat dalam KUHAP Belanda (Wetboek van
Strafvordering), yang dalam Pasal 141 menyatakan bahwa tugas penyidikan
dibebankan kepada: a)para jaksa (officieren
van justitie – selanjutnya dalam makalah ini akan dipakai istilah JPU), dan
b) anggota kepolisian (ambtenaren van
politie), serta c)para anggota tertentu dari marechaussee (polisi-khusus bercorak militer) untuk kasus-kasus tertentu (ditentukan bersama
oleh Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan).Dikatakan bahwa pimpinan dalam
penyidikan ini berada pada lembaga kejaksaan dan hal ini ditafsirkan dari
penempatan para jaksa (officieren van
justitie/OvJ) sebagai yang pertama disebut dalam pasal 141 tersebut
(Cleiren et.al.,2005,hal. 507 dan 601). Kewenangan JPU memimpin penyidikan ini
dipertegas dalam Pasal 148 (2).
Meskipun
tidak dijelaskan dalam undang-undangnya, namun Penyidik-Polisi Belanda tetap mempunyai
juga wewenang untuk menghentikan penyidikan (Politiesepot – di Indonesia dikenal sebagai diskresi Polisi). Kewenangan
ini dapat dilaksanakan secara mandiri oleh Penyidik-Polisi, namun umumnya dia
akan mengikuti pedoman yang diberikan oleh JPU. Adalah wewenang JPU untuk
memutuskan apakah berdasarkan hasil penyidikan, akan dilakukan penuntutan. Dia
dapat memutuskan untuk tidak melakukan penuntutan, atas dasar kepentingan umum
(op gronden aan het algemeene belang
ontleend – Pasal 167).
Ketentuan
Pasal 167(2) dikenal dalam bidang penuntutan sebagai asas oportunitas yang berlawanan dengan asas legalitas. Pada asas legalitas ada kewajiban untuk selalu
menuntut apabila ada cukup bukti (verplichte
vervolging in bewijsbare zaken), sedangkan dalam asas oportunitas JPU dapat
meniadakan penuntutan, meskipun ada cukup bukti (dat onder omstandigheden bij een vastgesteld bewijsbaar strafbare feit
van vervolging mocht worden afgezien). Asas oportunitas ini mengenal dua
macam pendekatan/ajaran: 1)secara negatif,
artinya penuntutan kalau ada cukup bukti adalah kewajiban umumnya, tetapi pengecualian dimungkinkan apabila ada
dasar kepentingan umum; dan 2)secara positif,
artinya penuntutan hanya dilakukan,
apabila berdasarkan kepentingan umum hal ini memang diperlukan. Dalam
praktek di Belanda, maka ajaran asas oportunitas
yang positif yang dijalankan. Dengan cara ini maka reaksi hukum pidana
memang dijalankan sebagai ultimum
remedium (Cleiren et.al.,2005, hal.670-671).
Dalam
hal asas oportunitas ini dipergunakan oleh JPU (istilahnya di Belanda adalah “seponeren” - di Indonesia menjadi “dideponir”),
maka hal ini harus dilaporkan secara tertulis dengan disertai alasannya kepada
pihak korban. Adalah kewajiban lembaga kejaksaan (openbare ministerie-OM) untuk menentukan suatu kebijakan hukum
pidana (strafrechterlijk beleid –
criminal policy) yang dapat memberikan pedoman dalam hal penyidikan dan
penuntutan tindak pidana. Pedoman ini disertai dengan asas-asas proses yang
baik (goede procesorde) dipergunakan
oleh Pengadilan untuk mengawasi kewenangan penututan ini (monopoli kewenangan penuntutan
ini dikenal sebagai dominus litis ).
Diskusi
Memperbandingkan
KUHAP Indonesia dengan KUHAP Belanda dilakukan karena keduanya berasal dari
rumpun yang sama, yaitu Code Penal Perancis.
Dari uraian di atas terlihat bahwa SPP Belanda lebih “terpadu” dibanding dengan
SPP Indonesia. Memang penegakkan hukum
yang efektif mengharuskan adanya hubungan antara Penyidik-Polisi dengan JPU
yang erat, professional dan kokoh. Model KUHAP Belanda mencerminkan hal itu
dengan menegaskan bahwa penyidikan dipimpin oleh JPU, tanpa mengurangi
kewenangan Penyidik-Polisi untuk menutup perkara yang dianggapnya tidak perlu
diteruskan ke penuntutan (dikenal sebagai politiesepot).
Pimpinan
dan pengawasan JPU dimaksudkan untuk mengurangi kemungkinan Penyidik-Polisi
terlalu fokus pada keinginan menghukum seorang yang diduga melakukan tindak
pidana (Terduga dalam Penyelidikan), sehingga menutup diri pada fakta-fakta
yang meringankan atau meniadakan kesalahan Terduga. Maksud lembaga pra-penututan dalam KUHAP kita, adalah memang mencegah hal
semacam ini, namun akibat “birokrasi” dan “gengsi”,prosedur ini dapat
menimbulkan “bulak-balik”-nya berkas perkara, dengan kemungkinan
“hilang-tak-tentu-rimbanya” !
Oleh
karena itu ada dua pendapat yang
mencari solusi. Yang pertama adalah “model kotak-pos” yang terjadi sekarang
(Penyidik-Polisi menyiapkan berkas perkara sendiri dan mengirimkannya ke JPU
dengan harapan diterima sebagai telah sempurna – JPU dapat menolak dan mengirimkannya kembali dengan petunjuk perbaikan,
dstnya), diubah menjadi “model ruang-komunikasi”
(segera setelah Penyidik-Polisi melaporkan ke JPU akan memulai melakukan
penyidikan, maka JPU sudah aktif membantu
dengan petunjuk-petunjuk untuk membuat berita acara/berkas perkara yang
sempurna). Solusi kedua adalah dengan
“model menyatukan” lembaga
penyidikan-polisi” dengan “lembaga penuntutan-jaksa” dalam “satu-atap” (ini
yang dilakukan di Indonesia oleh lembaga
KPK, Penyidik dan JPU bekerja-sama dalam satu lembaga).
Kesimpulan
Saya
memilih “model ruang komunikasi”
untuk KUHAP Indonesia. Hal ini diperoleh dengan memberi ketegasan bahwa
pimpinan dalam penyidikan adalah pada JPU, karena sekarang JPU berfungsi hanya
sekedar “kurir” pembawa berkas perkara Penyidik ke Pengadilan, dengan tugas
tambahan mempertahankannya. Kewenangan JPU “mendeponir” perkara (misalnya Nenek
Minah pencuri 2 buah Kakao) tidak diberikan lagi. Bagaimana dengan “model
menyatukan” seperti di KPK ? Juga di sini kewenangan JPU-KPK untuk menilai berkas
perkara Penyidik-KPK, tidak diberikan.
Kewenangan
JPU untuk menolak perkara yang menurutnya tidak pantas untuk dibawa ke
Pengadilan adalah bagian yang penting dalam suatu sistem peradilan pidana
terpadu. Fungsi Penyidik-Polisi adalah mengumpulkan fakta-fakta, sebagai bukti
adanya tindak pidana dan adanya kesalahan pada Tersangka. Fungsi dari JPU
adalah menilai kecukupan pembuktian fakta dan memutuskan apakah akan
mendakwakan Tersangka (the decision to
charge). Kecuali untuk kejahatan yang sangat serius (korupsi,
narkoba,pembunuhan,perkosaan,perampokan bersenjata dan penganiayaan berat),
maka sebaiknya dianut ajaran oportunitas
yang positif (hanya bila diperlukan demi kepentingan umum, dilakukan
penututan). Ini akan mengurangi penghuni Lembaga Pemasyarakatan yang sekarang
sudah penuh-sesak !(mr- Februari 2016)
Daftar bahan pustaka terpilih:
1.Cleiren,C.P.M.,J.F.Nijboer,2005,Strafvordering,Tekst & Commentaar, Zesde
druk, Kluwer, Deventer.
2.Leonard,V.A.,1975,The Police,the Judiciary and the Criminal, Second
Edition, Charles C.Thomas Publisher.
3.Miller,Frank
W.,1969, Prosecution, The Decision to
Charge a Suspect with a Crime, Little,Brown and Company, Boston.
4.Nusantara,
Abdul Hakim G, dkk,1986,KUHAP, Penerbit
Djambatan.
5.a.Reksodiputro,Mardjono,1999,
Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan
Pidana, Kumpulan Karangan, Buku Ketiga, Lembaga Kriminologi Universitas
Indonesia.
b.-----------------------------------,2007, Pembaruan Hukum Pidana, Kumpulan Karangan, Buku
Keempat, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia.
6.Rosengart,Oliver,
1974, The Rights of Suspects, The
American Civil Liberties Union,Inc.,Published by Avon,New York.
--00O00--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar