Sabtu, 20 Februari 2016

Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia


( Suatu kegagalan dalam Reformasi Hukum ? Jangan ada Dusta dalam Reformasi SPP Indonesia ! )*



Tentang Sistem Peradilan Pidana (SPP)

Istilah ini diambil dari bahasa Inggris Criminal Justice System. Apa sebenarnya yang dimaksud ? Kalau dilihat kepada unsur-unsurnya yang membuat sistem ini bekerja, maka akan dijelaskan tentang organisasi lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Kepengacaraan atau Advokat, Pengadilan dan Pemasyarakatan Terpidana. Tetapi kalau melihat kepada proses bekerjanya sistem ini, maka perlu juga dijelaskan tentang tahap pra ad-yudikasi dengan kewenangan kepolisian, kewenangan kejaksaan dan kewenangan advokat, tahap ad-yudikasi dengan kewenangan Peradilan yaitu:  kewenangan pemeriksaan dakwaan dan pembelaan  di sidang serta pemberian putusan, dan penentuan sanksi, serta kewenangan banding, kasasi, PK dan grasi, serta selanjutnya tahap purna ad-yudikasi yaitu kewenangan Pemasyarakatan Terpidana.

Secara umum, sistem dengan unsur-unsurnya serta proses bekerjanya di atas, dijelaskan di sebuah fakultas hukum, dalam kelompok mata-ajaran Hukum Acara Pidana di tingkat Strata-1 dan kelompok mata ajaran Sistem Peradilan Pidana di tingkat Strata-2.[1] Hukum acara pidana ini memang dapat di lihat dalam arti luas ataupun dalam arti sempit. Dalam arti luas, maka yang akan dibicarakan adalah tentang organisasi lembaga-lembaga peradilan pidana dan sekaligus tentang proses yang terjadi dalam peradilan pidana itu. Yang terakhir ini pada dasarnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (disingkat KUHAP). Dalam arti sempit, perkuliahan tentang hukum acara pidana ini ditujukan kepada aturan-aturan dalam KUHAP. Sedangkan ketentuan tentang organisasi lembaga-lembaga sistem peradilan pidana tersebar dalam sejumlah undang-undang dan sebagian dari proses peradilan pidana juga berada di luar KUHAP, tersebar dalam beberapa undang-undang lainnya. Diperlukan keahlian untuk dapat mencari jalan melalui “hutan-belantara peraturan” hukum pidana dan hukum acara pidana ini. Menurut saya solusinya adalah dengan kodifikasi

Untuk jaminan penyelenggaraan peradilan pidana yang baik, menurut saya, kita harus menuju kepada kodifikasi, baik mengenai aturan-aturan organisasi peradilan pidana maupun tentang proses menyelenggarakan peradilan pidana. Mengapa ini perlu ? Menurut saya, agar masyarakat awam juga dapat memperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh tentang  kedudukan, keterkaitan dan wewenang lembaga-lembaga yang merupakan organisasi peradilan, sekaligus dapat pula memahami proses yang akan berlangsung, apabila sistem peradilan pidana bekerja.[2] Tujuan kodifikasi[3] suatu bidang hukum (disini adalah hukum pidana materiil dan hukum acara pidana) adalah untuk memudahkan dicarinya norma hukum tertentu (increase accessibility), memudahkan pemahamannya (improve its comprehension), menjadikannya konsisten (improve consistency) dan memberikannya kepastian (certainty). Dipergunakannya sistem kodifikasi dalam suatu bidang hukum tertentu, tidak menutup kemungkinan adanya undang-undang khusus (lex specialis) di luar kitab-kodifikasi. Lex specialis akan dapat  mengatur ketentuan-ketentuan yang lebih terperinci daripada norma-dasar yang diletakkan dalam kitab-kodifikasi.[4]   



Masalah yang kita hadapi sekarang

Debat yang sekarang ini ( dimulai pertengahan tahun 2014) dan meruncing di media massa,  tentang SPP Indonesia, pada dasarnya  berkisar pada: a)penolakan terhadap rancangan KUHP Nasional dan rancangan KUHAP Baru, dan b)penolakan terhadap Revisi UU KPK. Menurut saya ini semua berhubungan dengan pembaharuan sistem peradilan pidana yang telah lama diharapkan oleh masyarakat Indonesia.

Penolakan terhadap rancangan KUHP Nasional (R-KUHP) adalah antara lain, tentang dimasukkannya suatu bab tentang Korupsi di dalamnya. Dikatakan bahwa hal ini akan membuat Korupsi sebagai tindak pidana umum dan menghapus wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menanganinya. Hal lain yang juga dianggap sebagai usaha melawan gerakan anti-korupsi adalah antara lain, dimasukkannya ketentuan tentang perlunya ijin Pengadilan/Hakim untuk melakukan penyadapan-komunikasi didalam Rancangan KUHAP (R-KUHAP). Sekali lagi ini dianggap akan mengganggu wewenang KPK, yang selama ini mendapat wewenang melakukan penyadapan-komunikasi tanpa pembatasan. Penolakan terhadap usaha merevisi UU KPK adalah karena adanya sejumlah pasal yang dianggap akan melemahkan kewenangan KPK memberantas korupsi di Indonesia. Tulisan singkat ini ingin membahas permasalahan di atas. Tujuan tulisan ini bukanlah untuk mengecilkan arti “gawat-korupsi” atau “gawat-kejahatan” di Indonesia, tetapi bermaksud menempatkan permasalahannya dalam konteks pembaruan SPP untuk memajukan dan melindungi HAM.

Sesuai judul makalah ini, maka saya ingin memberi sumbangan pemikiran dalam rangka kita  akan melakukan pembaharuan SPP Indonesia. Usaha yang mencapai puncaknya pada 15 tahun yang lalu dengan dibangkitkannya Era Reformasi, menurut saya sekarang cenderung gagal, karena banyaknya kegiatan reformasi dibarengi dengan dusta dan sebenarnya melibatkan pertarungan kewenangan yang didasarkan kepada ambisi kekuasaan politik.[5]

Sikap represif yang timbul bersamaan dengan penolakan terhadap pembaruan SPP di Indonesia ini, juga meresahkan saya, karena penolakan ini menunjukkan adanya keikhlasan untuk mengorbankan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, khusus tersangka, terdakwa dan terpidana korupsi,maupun tindak pidana lain (narkoba, terorisme, dsb-nya), untuk memperoleh suatu cara yang dianggap efektif dalam memerangi tindak pidana tersebut. Sikap represif dibarengi ambisi kekuasaan ini, menurut saya, telah  melupakan sejarah SPP Indonesia yang pernah didominasi dengan semangat “pemulihan keamanan dan ketertiban” oleh Kopkamtib dalam masa Orde Baru (1967 – 1987),yang dibayangi oleh ketakutan (panik) atas “bahaya komunisme”.[6] Ketakutan akan sulitnya diberantas korupsi dan kebencian kepada koruptor, khususnya yang terdiri dari para pejabat/penyelenggara negara, akan menggagalkan usaha membangun SPP Indonesia ke arah “pelaksanaan peradilan pidana yang patut dan semestinya” (een behoorlijk strafrechtspleging – a decently administration of criminal justice). 

Sejak lama sekali komunitas hukum Indonesia ingin memodernisasi peraturan perundang-undangan yang ada dan merupakan dasar dari SPP Indonesia.[7] Cita-cita ini terkabul dengan penggantian HIR (khususnya aturan tentang hukum acara pidana Hindia Belanda) dengan KUHAP tahun 1981. Dalam tahap berikutnya telah disampaikan kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh suatu konsep rancangan KUHP nasional dalam tahun 1993 (bulan Maret – R-KUHP 1993) yang disusun oleh suatu Tim Kementerian Kehakiman selama 10 tahun (1983 – 1993).[8]Dengan berakhirnya Era Orde Baru dan mulainya Era Reformasi, maka kegiatan di atas dilanjutkan a.l. dengan mengusulkan Revisi atas KUHAP 1981, Revisi atas UU-KPK dan diserahkannya R-KUHP versi 2012 ke DPR. Permasalahan penolakan melalui tulisan di media massa, pernyataan tokoh-tokoh masyarakat dan demonstrasi aktivis LSM, bagi saya, terlihat sebagai suatu “intimidasi-politik” terhadap pembaruan SPP Indonesia yang tidak dibarengi dengan “debat-hukum” yang bermutu ilmiah, tetapi lebih mengarah kepada “debat-persaingan-kekuasaan”. Lebih buruk lagi, menurut saya yang subyektif, debat persaingan kekuasaan ini dibarengi juga dengan pencarian popularitas sebagai “pahlawan anti-korupsi” untuk pencitraan pribadi dan pencitraan politik kelompok. 



Dua Pendekatan tentang SPP[9]

Paling tidak ada dua pendekatan dalam kita memandang cara kerja dari suatu sistem peradilan pidana. Yang pertama adalah mengutamakan kepada efisiensi atau kecepatan (speed) dan kepastian atau ketuntasan (finality). Pendekatan ini percaya kepada kemampuan lembaga-lembaga dalam SPP untuk secara pasti dan jujur memilih dan menentukan mereka yang bersalah (dan membebaskan yang tidak bersalah), untuk dibawa ke pengadilan dan dihukum untuk kesalahannya itu. Diasumsikan SPP ditangani oleh penegak hukum yang profesional, jujur dan netral, sehingga proses SPP dapat disamakan dengan “ban berjalan dalam sebuah pabrik” (assembly line). Advokat sebagai pendamping dalam proses tidak seberapa perlu (tidak punya peranan berarti dalam proses). Berbeda adalah pendekatan kedua, yang mengutamakan pada keperluan tercapainya internalisasi kepercayaan dan ketaatan kepada hukum pada seorang Terpidana. Diharapkan dengan demikian para Terpidana memahami kesalahan mereka, dan tidak akan mengulanginya lagi. Oleh karena itu, pendekatan ini melihat kepada perlunya para Tersangka dan Terdakwa diberikan kesempatan untuk memahami proses yang sedang dijalaninya sebagai proses yang adil, dan untuk itu mereka perlu dibantu oleh seorang ahli hukum (advokat) dalam menjalani proses. Kecuali membantu Terdakwa dalam memahami proses yang sedang dijalaninya, advokat ini juga mengawasi dan membantu penyidik dan penuntut umum untuk menjalani proses sesuai dengan semangat “proses yang adil” (due process). Proses ini dapat dibayangkan sebagai “lari dengan rintangan dalam atletik” (obstacle course). Setiap tahap proses mendapat pemeriksaan dan pendapat dari advokat.

Pada pendekatan “ban-berjalan”, hak-hak Tersangka/Terdakwa tetap diakui dan diberikan sesuai undang-undang. Kepercayaan yang tinggi dari publik adalah kepada sifat profesional penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tugasnya secara cermat, dan  hanya membawa mereka yang benar-benar bersalah ke pengadilan. Menurut pendekatan ini, di pengadilan para Terdakwa harus mendapat kepastian akan  dihukum. Karena itu usaha membebaskan Terdakwa atau meringankan hukumannya akan dianggap sebagai bertentangan dengan perasaan keadilan masyarakat. Keadilan masyarakat menghendaki bahwa apabila ada Tersangka yang menjadi Terdakwa dan dinyatakan bersalah, hakim wajib memberikannya hukuman yang setimpal (sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat). Kepatuhan pada hukum diperoleh dari ketakutan kepada pidana yang berat (the fear of severe punishment ).

Dalam pendekatan “lari-rintangan”, hak-hak Tersangka dan Terdakwa adalah utama, dan wajib diberikan kepadanya pada setiap kemungkinan yang diberikan undang-undang, untuk melawan dakwaan penuntut umum. Penyidik dan penuntut umum meskipun mereka bersifat profesional, selalu akan melihat perbuatan yang didakwakan dari satu sisi saja, karena mereka mewakili kepentingan negara. Kepentingan negara belum tentu sama atau mencerminkan kepentingan masyarakat.[10] Dalam setiap perbuatan akan terdapat dua sisi kepentingan dan pendapat, yaitu sisi pelaku dan sisi korban ataupun mungkin orang ketiga. Peradilan pidana yang adil akan memberi kesempatan kepada Tersangka/Terdakwa untuk memberikan penjelasan dari sisinya.   

Kalau sekarang kita melihat kepada sistem yang berlaku di negara-negara common law dengan negara-negara civil law, maka perbedaannya terletak pada penggunaan sistem akusator dan sistem inkuisitor. Dalam sistem peradilan pidana yang akusator, maka hakim lebih bersifat pasif dan memberikan kesempatan kepada penuntut umum dan Terdakwa untuk memberikan pendapat dan berdebat tentang fakta dan penafsiran hukum dari masing-masing sisinya. Namun dalam sistem inkuisitor, hal ini berbeda, karena hakim akan lebih aktif dalam mencoba memperoleh “kebenaran materiil” dengan menggali dari kedua sisi fakta dan hukum yang dipresentasikan. Tugas hakim adalah memberi pertimbangan[11] dan putusan yang adil tentang kesalahan Terdakwa berdasarkan fakta-fakta yang terbukti dan penafsiran hukum yang berkaitan.  Keadilan masyarakat memang juga mendapat perhatian dalam pendekatan ini, namun dalam mengutamakan ketertiban yang lebih langgeng, maka pendekatan ini lebih mengutamakan akan diperolehnya penghormatan dan kepatuhan kepada hukum (repect for the law)  dari seorang Terdakwa/Terpidana dibanding ketakutan akan pidana yang berat.

Saya harus mengakui, bahwa saya cenderung mendukung pendekatan kedua (“lari-rintangan”), karena pendekatan pertama (“ban-berjalan”) mengandung banyak bahaya dalam politik kriminal yang didukung oleh pemerintahan otoriter (seperti pernah dialami Indonesia). Dalam pendekatan kedua, maka “penjaga gawang” terhadap ketidakadilan berada di tangan profesi advokat. Memang kalau profesi advokat ini sudah tidak juga dapat diharapkan kenetralannya, maka pendekatan kedua juga tidak menjamin tercapainya peradilan yang adil (due process). Persaingan kedua pendekatan ini, menurut saya, sangat terasa dalam debat tajam antara mereka yang mendukung “reformasi” KUHP, KUHAP dan UU KPK dengan mereka yang menafikannya.



Penolakan terhadap R-KUHP Nasional

Seperti telah disampaikan di atas, R-KUHP ini merupakan rancangan terakhir dari pemerintah, yang diserahkan pada akhir tahun 2012 kepada DPR dan mendapat penolakan dengan alasan adanya Bab tentang Korupsi didalamnya.[12] Adapun argumentasi mereka yang menolak adalah masuknya ketentuan tentang korupsi dalam KUHP akan menjadikan korupsi suatu tindak pidana umum. Sebagai tindak pidana umum, maka hilanglah kewenangan KPK untuk menyidik dan menuntut korupsi, dan keadaan ini ditafsirkan sebagai usaha membubarkan lembaga KPK.

Argumentasi yang berlawanan menyatakan bahwa tujuan masuknya Bab tentang Korupsi adalah dalam rangka dipergunakannya sistem “kodifikasi” untuk menyatakan adanya “norma dasar” (basic norm) tentang korupsi dalam hukum pidana Indonesia. Pada dasarnya norma dasar dari korupsi adalah “merusak berfungsinya pemerintahan secara baik” (subvert the efficient functioning of the government), hal ini dilakukan oleh seorang pejabat negara (public official) dengan atau tanpa bekerja sama dengan orang atau korporasi swasta (private individual or corporation). Bentuk umum sebagai norma dasarnya adalah “suap” (bribery) dan “kejahatan jabatan”(ambtmisdrijven – serious offenses involving abuse of office). Menurut saya, adanya norma dasar korupsi di dalam KUHP, tidak akan menghapuskan dibuatnya undang-undang khusus di luar KUHP yang akan lebih merinci perbuatan seperti apa saja yang akan dikategorikan sebagai delik khusus (seperti yang ada sekarang dalam UU Korupsi). Melihat kepada model-model kodifikasi hukum pidana di luar negeri, maka mereka menggolongkannya antara lain sebagai “Crimes against the Governmental Order”; atau “Offenses against Public Administration”; yang dapat dibagi lagi dalam: “Corrupting Public Administration”; “Misleading Public Administration”; dan “Obstructing Public Administration”. Penggolongan lain adalah “Bribery and Corrupt Influence” yang dibagi dalam: “Bribery”; “Giving and receiving unlawful compensation”; “Giving and receiving improper gifts”; dan “Failing to disclose a conflict of interest”. Ini adalah sekedar contoh, tentang harus adanya norma dasar dalam KUHP untuk kemudian dapat diperinci dalam undang-undang yang lebih khusus.[13] Ketentuan yang lebih khusus (di luar KUHP) yang ada sekarang terdiri atas 30 (tigapuluh) bentuk/jenis perbuatan korupsi, yang dapat dibagi lagi dalam 7 (tujuh) kelompok yaitu Korupsi terkait dengan: 1)kerugian keuangan negara; 2)suap-menyuap; 3)penggelapan dalam jabatan; 4)perbuatan pemerasan; 5)perbuatan curang; 6)benturan kepentingan dalam pengadaan; dan 7)yang terkait dengan gratifikasi. Disamping ini masih ada pula 6 (enam) jenis tindak pidana lain yang masih berkaitan dengan delik korupsi (pada dasarnya berintikan merintangi proses penyidikan).[14]

Menurut pendapat saya, sekali lagi, adanya “norma-dasar” tentang pengertian tindak pidana korupsi dalam Bab Khusus R-KUHP, tidaklah menafikan adanya undang-undang khusus “korupsi” di luar KUHP. Yang mengherankan saya adalah bahwa para ahli/sarjana hukum memperdebatkan permasalahan ini menjadi isyu politik (pelemahan kegiatan anti-korupsi) dan tidak menjadikanya isyu hukum tentang pengertian kodifikasi hukum pidana dan perbedaan antara delik umum dengan delik khusus, beserta semua teori tentang menjadikan suatu perbuatan diancam pidana (strafbaarstelling). Sangat kental adalah perlawanan terhadap akan hilangnya “kewenangan-tanpa-batas” dari KPK, argumennya adalah “KPK memerlukan kewenangan yang besar” agar tidak mudah diintervensi dalam menyelidik dan menyidik serta memproses kasus korupsi seorang pejabat tinggi.[15]



Penolakan terhadap R-KUHAP

Sepanjang pengetahuan saya, ada dua materi utama yang diperdebatkan dalam R-KUHAP; pertama adalah tentang “hakim pemeriksa pendahuluan” (disingkat “HPP”, dahulu dinamakan “hakim komisaris” dari istilah Belanda “rechter commissaris”), dan kedua tentang perlunya ijin khusus untuk melakukan “penyadapan”. Tentang HPP, konsep ini dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan dalam proses SPP, yaitu adanya dominasi hakim pengadilan dalam seluruh proses. KUHAP 1981 dan “tradisi SPP Indonesia” membuat organ-organ SPP bekerja dalam posisi sejajar (seperti “gerbong kereta api”). Jalannya proses adalah perkara berpindah dari gerbong yang satu ke yang lainnya, tanpa ada pengawasan yang berarti dari gerbong berikutnya. Menurut pemahaman saya tentang jalannya SPP di negara-negara modern-demokratik, maka seharusnya pekerjaan dalam “ “gerbong-penyidikan” diawasi oleh “gerbong-penuntut umum”, dan kedua gerbong ini dawasi pula oleh “gerbong-hakim pidana”. Pada dasarnya seharusnya pusat atau “sentral” dari SPP berada pada pengadilan, sebagai kekuasaan kehakiman yang mandiri terlepas dari kekuasaan eksekutif (yang diwakili oleh penyidik dan penuntut umum).

Mengenai “penyadapan komunikasi-pribadi”, hal ini adalah pelanggaran terhadap hak asasi seorang warga (serupa dengan “kerahasiaan surat-pribadi”). Oleh karena itu diperlukan ijin dari seorang hakim (sebagai wasit yang independen) untuk menilai apakah “pelanggaran hak-pribadi (privacy)” ini memang diperlukan dalam mengungkap suatu kejahatan. Apakah perlindungan terhadap hak-pribadi boleh diterobos, dengan alasan perlindungan terhadap hak-masyarakat tentang keamanan dan ketertiban. Menurut pendapat saya, apabila Indonesia mau dianggap sebagai negara beradab dan demokratik, maka prosedur ijin hakim ini haruslah dilakukan.

Penolakan terhadap kedua ketentuan ini oleh mereka yang menamakan dirinya “kelompok anti-korupsi”, adalah, bahwa HPP dan ijin untuk penyadapan, hanya  akan menumpulkan “pedang pemberantasan korupsi”. Tentu hal ini mungkin saja terjadi, tetapi hal itu masalah teknis, seperti yang pernah saya sampaikan, bilamana ada ketakutan “bocornya” operasi penyelidikan atau penyidikan korupsi oleh KPK, karena HPP-nya tidak dapat dipercaya, maka KPK selalu dapat meminta kepada Mahkamah Agung seorang  “hakim kepercayaan” mereka yang akan bertugas khusus untuk KPK. Adalah absurd (tidak masuk akal sehat), apabila KPK tidak percaya kepada kejujuran hakim (HPP), namun, meminta agar masyarakat harus percaya bahwa prosedur internal dalam lembaga KPK akan lebih jujur dan lebih bersih. Menurut saya, debat di sini bukanlah debat hukum tentang perlindungan terhadap kemungkinan pelanggaran HAM seorang Tersangka, namun telah menjadi perdebatan tentang hilangnya kewenangan (tanpa batas) yang dipunyai KPK. Debat kewenangan yang dilandasi oleh takutnya hilang kekuasaan.

Pada awal tahun 2015 ini terjadi pula debat keras tentang lembaga “pra-peradilan”. Masalahnya adalah tentang dapatkah seorang yang dinyatakan Tersangka korupsi oleh KPK secara publik (melalui penyataan di muka pers/media massa), namun tidak ditangkap (atau telah dilepaskan) dan tidak ditahan, meminta kepada hakim pra-peradilan untuk menguji cukupkah bukti yang dipunyai KPK untuk menyatakan seseorang itu Tersangka ? Diterima permohonan pra-peradilan oleh hakim Sarpin dianggap oleh sebagian sebagai kebodohan “sang hakim”, tetapi ada pula yang mengganggapnya sebagai “terobosan hukum”. Saya adalah pengikut pendapat kedua. Mengapa ? Karena lembaga pra-peradilan diadakan justru untuk me”wasiti” apakah ada wewenang penyidik dan penuntut umum yang diberikan oleh undang-undang, tetapi telah disalahgunakan (abuse of power). Penafsiran undang-undang oleh hakim agar sesuai dengan rasa keadilan setempat adalah kewajibannya. Adalah menggelikan untuk berpendapat bahwa kewenangan menafsirkan adalah pelanggaran etika hakim.[16]

Menyatakan seseorang sebagai Tersangka, memang termasuk wewenang KPK, namun menyatakan hal tersebut di muka umum untuk menarik perhatian (pencitraan politik), dan kemudian berlarut-larut tidak menyerahkan perkaranya kepada penuntut umum, atau dalam hal KPK tidak menyerahkannya kepada Pengadilan Tipikor, tetapi terus menerus membatasi kebebasan Tersangka (diperiksa berulangkali, dilarang ke luar negeri, digeledah rumah dan kantornya, disita barang-barang tertentu, diblokir rekening banknya,dll), menurut saya, adalah penyalahgunaan terhadap kewenangan yang diberikan undang-undang (misbruik van recht). Seandainya belum ditemukan dua bukti permulaan yang cukup, yang diyakini KPK, maka seharusnya tidak dilakukan pengumuman terbuka sebagai Tersangka (boleh saja dia diberi status Tersangka dikalangan intern KPK). Begitu pula belum boleh dinaikkan status penyelidikannya ke tahap penyidikan. Hal ini patut untuk diuji oleh pengadilan, melalui proses pra-peradilan, di mana KPK seharusnya diwajibkan untuk mendalilkan perbuatan apa yang dipersangkakan dengan bukti permulaan apa. Ini adalah prosedur yang adil (due process) ! Pendapat yang dianut oleh mereka yang mencela tindakan hakim Sarpin, adalah karena KUHAP membatasi pra-peradilan hanya untuk memeriksa abuse of power dalam hal penangkapan dan penahanan, maka ditafsirkanlah bahwa  perbuatan abuse of power yang lain oleh KPK (menyatakan seseorang sebagai Tersangka di muka umum-tanpa bukti yang cukup), tidak boleh dilarang. Pendapat yang absurd (menggelikan) !  



Penolakan terhadap revisi UU KPK

Ada berbagai judul berita dan karangan yang dapat menggambarkan kegelisahan gerakan anti-korupsi dengan diusulkannya revisi UU KPK, misalnya: Save KPK; Lawan Upaya Melemahkan KPK [17]; Batalkan Revisi UU KPK; Revisi UU KPK Kontraproduktif; Revisi KPK: Penguatan vs Pelemahan KPK?[18]; Ketika KPK Berada di Tubir Jurang [19]. Sebaliknya usaha meredakan ketegangan datang dari pemerintah dan DPR, misalnya melalui judul berita: Wapres Desak KPK Patuhi KUHAP; Menteri Yasonna: Tak Ada Niat Pemerintah Lemahkan Komisi Antirasuah; dan DPR Klaim Revisi UU KPK Tak “Menggergaji” Pemberantasan Korupsi. Saya belum sempat membaca naskah rancangan revisi UU KPK, karena itu hanya akan memberi  pendapat tentang usul yang berkaitan dengan catatan saya di atas, sehubungan dengan R-KUHP dan R-KUHAP, berdasarkan pemahaman yang saya peroleh melalui media massa.

Dari bahan bacaan dalam media massa (Februari s/d Oktober 2015), saya mendapat kesan ada sekurang-kurangnya 3 (tiga) pendapat sehubungan dengan revisi UU KPK No.30/2002, yaitu: pertama, yang berpendapat bahwa kewenangan luas yang telah diberikan kepada KPK adalah berlebihan dan adalah tidak adil dibandingkan dengan kewenangan yang dipunyai lembaga kepolisian dan kejaksaan dan karena itu menginginkan agar waktu keberadaan KPK dibatasi saja. KPK dan kehususannya dalam acara pidana (menyimpang dari KUHAP 1981) dan peralatannya yang canggih serta anggarannya yang sangat besar, harus bersifat sementara dan tidak seterusnya berada dalam SPP Indonesia. Tidak berkurangnya korupsi di Indonesia, harus ditafsirkan bahwa politk kriminal pencegahannya tidak berhasil dan karena itu diberi batas waktu.  Kedua, yang berpendapat bahwa dasar pembentukan KPK adalah ketidakpercayaan publik kepada netralitas dan profesionalitas lembaga kepolisian,kejaksaan dan pengadilan untuk memberantas korupsi, pada awal Era Reformasi, lebih dari 15 tahun yang lalu. Keadaan sekarang tentu sudah berubah, reformasi di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan tentu sudah berjalan, meskipun belum sempurna benar. Sebab itu sudah waktunya kewenangan pemberantasan korupsi secara bertahap diserahkan kembali kepada lembaga kepolisian dan kejaksaan atau KPK dgabungkan dalam organisasi Kepolisian dan Kejaksaan yang ada. Kedua lembaga terakhir ini diberikan juga  kewenangan dan anggaran dan peralatan yang serupa dengan KPK. Pendapat ketiga menilai, bahwa sentimen kepercayaan masyarakat kepada lembaga kepolisian dan kejaksaan belum pulih kembali, namun memang kewenangan yang sekarang diperoleh KPK perlu diawasi agar tidak menjadi “tirani” yang tidak terkendali. KPK memang perlu, namun politik kriminal mereka harus berisikan tiga unsur: preventieve, represieve, dan curatieve. Pimpinan KPK harus memahami, bahwa seperti semua kejahatan, tidak mungkin memberantas korupsi hingga habis-tuntas. Yang dituju adalah mengurangi jumlahnya dan berusaha agar para terpidana korupsi tidak mendapat untung dari perbuatannya dan juga tidak akan mengulanginya.  

Pendapat pertama, saya namakan “gerakan-keras”, yang menolak keberadaan KPK. Boleh jadi memang mereka “didukung” oleh para pengusaha dan birokrat Indonesia yang merasa nyaman dengan “ekonomi-rente” yang berlaku di Indonesia. Sistem ekonomi-rente ini adalah salah satu sumber terjadinya korupsi.  Pendapat kedua, kemungkinan didukung oleh “sentimen persaingan” yang sekarang berkembang. Publik  mengelu-elukan KHN sebagai “pahlawan anti-korupsi”, dan pejabat pimpinan KPK (dan eks-pimpinan KPK) mencitrakan KPK sebagai satu-satunya lembaga anti-korupsi yang bersih dan berhasil. Opini dibentuk agar berbagai tudingan kepada pimpinan KPK digambarkan sebagai “fitnah” dan “kriminalisasi”. Ini saya namakan “gerakan-persaingan”. Sedangkan pendapat ketiga adalah  “gerakan lihat-sejarah”, karena tidak melupakan sejarah dimana kekuasaan yang tidak terbatas dan berada langsung di bawah Presiden, pernah di Indonesia disalahgunakan dengan alasan melawan G30S. Pola “memulihkan ketertiban dan keamanan” (restoring order and security) diadakan untuk memanfaatkan kemarahan dan kepanikan rakyat terhadap ancaman komunisme, melalui lembaga Komando Pemulihan Keamanan Ketertiban (Kopkamtib) yang mempunyai kewenangan tidak terbatas menjadikan seseorang yang dicurigai, langsung sebagai Tersangka paham komunisme, sering tanpa perlu meminta bantuan pengadilan untuk memeriksa dan mengadilinya.

Pendapat ketiga ini takut KPK akan berubah menjadi lembaga yang serupa Kopkamtib, yang merasa “penyelidikannya” sudah benar dan tanpa menunggu adanya dua alat bukti yang cukup dan meyakinkan, berani untuk memberi “stempel Tersangka Korupsi” kepada seseorang , melalui media massa. Namun Tersangka ini tidak ditangkap ataupun ditahan, agar tidak mendapat pembatasan KUHAP tentang waktu dan kemungkinan digugat via proses pra-peradilan. Saya adalah pendukung pendapat ketiga, dan berpendapat bagaimanapun baiknya orang-orang pertama yang memimpin KPK, namun tidak ada jaminan pimpinan yang akan datang adalah serupa integritasnya. Karena itu janganlah sekali-kali melupakan sejarah kita ![20]  



Undang-undang adalah selalu kompromi politik

Penolakan suatu Rancangan undang-undang tentu saja boleh, karena itulah proses demokrasi. Di dalam sidang DPR para wakil rakyat akan beradu argumentasi tentang perlu tidaknya suatu ketentuan ataupun sudah atau belum tepatnya suatu perumusan kalimat. Tentu selalu akan ada “kompromi politik”. Namun apa yang terlihat sekarang adalah gerakan-gerakan massa (di dukung media massa tertentu) yang cenderung menguji dan “mengadili” R-KUHP dan R-KUHAP serta Rencana Revisi UU KPK dengan alasan-alasan yang bersifat politis. Dan juga, menurut saya, lebih didasarkan kecenderungan untuk “melanggengkan” kekuasaan tertentu, dengan tidak mengindahkan perjuangan lama sejak 1963, tentang  perlunya perbaikan hukum pidana Indonesia (materiil dan formil) agar menjadi lebih modern dan dalam prosesnya juga mengutamakan HAM bagi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana.

Suatu ungkapan yang harus dicamkan adalah: “bahwa kita dapat berusaha untuk tidak melanggar hukum, namun kita tidak dapat menjamin bahwa kita tidak akan pernah dilibatkan oleh  hukum dan menjadi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana” – “hukum pidana dan hukum acara pidana yang mengagungkan HAM pasti akan menguntungkan kita semua”.

Penolakan tentang ketiga rancangan tersebut di atas seharusnya dibawa dalam forum debat hukum yang lebih ilmiah/akademis, baik di perguruan tunggi, organisasi profesi, maupun DPR, yang antara lain dapat mempertanyakan hal-hal berikut:

1)Apakah Indonesia akan tetap menganut asas kodifikasi dalam sejumlah bidang hukum yang penting, seperti: Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana, Hukum Perdata, Hukum Acara Perdata, Hukum Dagang, Hukum Tatausaha Negara, Hukum Acara Tatausaha Negara ? Dan apakah  kodifikasi akan berarti akan menutup kemungkinan dibuatnya “lex specialis” dalam bidang-bidang hukum yang telah dikodifikasi ?

2)Lembaga KPK yang ada di luar negeri, Hong Kong, Malaysia, Singapura, umumnya tetap bertahan, namun sebagai suatu “lembaga khusus” di bidang penyidikan korupsi dan ditempatkan sebagai bagian dari lembaga kepolisian. Apakah KPK direncanakan akan tetap merupakan lembaga yang terpisah dari kepolisian dan kejaksaan, dengan kewenangan khusus yang menyatukan wewenang penyidikan dan wewenang penuntut umum dalam satu lembaga ? Ataukah akan diteruskan seperti lembaga pemberantasan narkoba di Indonesia (BNN) ?

3)Apabila memang kepercayaan kepada kepolisian (sebagai lembaga penyidik) dan kejaksaan (sebagai lembaga penuntut umum), masih belum pulih kembali (setelah limabelas tahun reformasi), maka apakah dibentuknya  “hakim pemeriksa pendahuluan”  (HPP) dan sidang pra-peradilan yang dapat menerima gugatan Tersangka yang tidak ditangkap dan tidak ditahan, akan dapat mengurangi terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh penyidik dan penuntut umum, yang akan berarti pula mengurangi terjadinya peradilan sesat di kemudian hari ?

4)Kemungkinan penyidik menetapkan seorang sebagai tersangka tanpa mempunyai dua alat bukti yang sah menurut undang-undang, tentu selalu ada. Selama hal tersebut dinyatakan secara “tertutup” (dalam kalangan penyidik sendiri), hal ini masih dapat dianggap wajar sebagai hasil penyelidikan. Namun, apabila persangkaan tersebut dinyatakan secara terbuka dengan mengundang media pers, maka bukankah hal ini harus termasuk dalam perkara yang dapat dibawa ke hakim pra-peradilan, untuk menilai apakah telah terjadi abuse of power ? Terlebih lagi apabila kasus itu berlarut-larut tidak dilimpahkan kepada penuntut umum (sehingga justru disini akan dapat terjadi pemerasan dan penyuapan).

5)Didalam kita mendesain (kembali) SPP Indonesia, apakah kita akan memakai sebagai pedoman-kerja pendekatan “ban-berjalan” ataukah pendekatan “lari-dengan-rintangan” ? Dan meskipun kita akan tetap mempergunakan peran hakim yang bersifat “inkuisitor”, namun apakah tidak sepatutnya hakim memberi kedudukan sederajat antara penuntut umum dengan Terdakwa dan advokatnya (sifat “akusator”) ?.

Mudah-mudahan debat hukum yang terjadi, dilakukan tanpa dusta, dan  akan membantu dalam mencari arah reformasi di bidang sistem peradilan pidana Indonesia. Apa yang terjadi sekarang adalah “kebuntuan pemikiran hukum” dan timbulnya cara berpikir yang lebih  terbawa oleh emosi “panik gawat-korupsi” disertai “pertarungan kekuasaan dan kewenangan”.

-00O00-

Beberapa bahan rujukan yang dapat dipakai untuk melanjutkan pemeriksaan dan penelitian tentang argumentasi perdebatan di atas adalah antara lain:

Aler,G.P.A,1982,De Politiebevoegdheid bij Opsporing en Controle.Zwolle:Tjeenk Willink

Baker, Richard W, M.Hadi Soesastro, J.Kristiadi, Douglas E.Ramage (Editor), 2000, Indonesia The Challenge of Change. Singapore: Institute Of Southeast Asian Studies

Bemmelen,J.M.van,1979,Ons Strafrecht. Het Materiele Strafrecht, Algemene Deel. Alphen aan den Rijn: Tjeenk Willink

-----------------------,1982,Ons Strafrecht.Strafprocessrecht.Alphen aan den Rijn: Tjeenk Willink

Feeley,Malcolm M, 1982, Court Reform on Trial. Why Simple Solutions Fail.New York: Basic Books, Inc.

Goldstein,Abraham S,1981,The Passive Judiciary.Prosecutorial Discretion and the Guilty Plea. London: Lousiana State University Press

Molan,Mike,Duncan Bloy,Denis Lanser,2003,Modern Criminal Law.Fifth Edition. London: Cavendish Publishing

Raz,Joseph, 1970, The Concept of a Legal System. An Introduction to the Theory of Legal System. Oxford: Clarendon Press

The American Law Institute, 1972, A Model Code of Pre-Arraignment Procedure. Official Draft No.1,Philadelphia: The Executive Office The American Law Institute

Tobias, Marc Weber, R.David Petersen, Pre-Trial Criminal Procedure. A Survey of Constitutional Rights, 1972, Springfield, Illinois: Charles C Thomas



Jakarta, Oktober 2015



*Disampaikan sebagai sumbangan makalah dalam Buku Peringatan Enam Dasawarsa Prof. Harkristuti Harkrisnowo, SH.MA.Ph.D



00-MR-00



[1] Ini merupakan pengetahuan saya di Universitas Indonesia, dimana saya mengajar sejak tahun 1961 sampai sekarang dan pernah menjadi Dekan Fakultas Hukum serta Sekretaris Konsorsium Ilmu Hukum Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan R.I.
[2] Ini dapat dipersamakan dengan sistem yang berada dalam sebuah Mobil, “organisasi mobil” terdiri atas “organ”: Mesin – Kemudi – Roda, dll. Prosesnya adalah bagaimana organ-organ tersebut berinteraksi untuk mencapai maksud sistem Mobil ini, yaitu bergerak maju (atau mudur) kearah tujuan tertentu. Diperlukan pemahaman yang benar tentang fungsi “sistem Mobil” ini agar kita dapat memanfaatkannya.  
[3] Kodifikasi disini adalah dalam arti memuat semua norma hukum (atau sekurang-kurangnya norma dasarnya) secara tertulis dan sistematis dalam suatu buku undang-undang (wetboek), seperti telah dilakukan dalam Wetboek van Strafrecht dan Wetboek van Strafvordering Belanda.
[4] Misalnya norma-dasar perbuatan korupsi ditetapkan dalam kodifikasi di KUHP,yang kemudian dirinci melalui undang-undang khusus korupsi; begitu pula norma dasar melakukan penyadapan komunikasi diatur dalam kodifikasi KUHAP, dan selanjutnya prosedur pengcualian atau pengkhususan dapat diatur dalam undang-undang di luar KUHAP.
[5]Lihat Orasi Ilmiah saya: “Reformasi Peradilan Pidana Indonesia. Menghadapi Tantangan Untuk Perubahan” pada Acara Penyambutan Mahasiswa Baru dan Pembukaan Perkuliahan Tahun Akademik 2015/2016, Sekolah Tinggi  Hukum Indonesia JENTERA, Jakarta: 14 September 2015 di http://mardjonoreksodiputro.blogspot.com
[6] KOPKAMTIB atau Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban adalah lembaga yang langsung berada di bawah Presiden Suharto, terdiri dari tenaga-tenaga ABRI (termasuk Kepolisian) dan Kejaksaan yang bertugas dengan wewenang khusus menumpas pendukung Partai Komunis Indonesia, dalam tahun-tahun setelah terjadinya peristiwa yang dikenal dengan nama G30S/PKI.
[7]Cita-cita ini sudah mulai disampaikan untuk KUHP dalam Seminar Hukum Nasional Pertama tahun 1963 di Universitas Indonesia dan kemudian juga untuk KUHAP dalam Seminar HukumNasional Kedua tahun 1968 di Universitas Diponegoro, Semarang.
[8]Tim yang menyusun dan menyerahkan Konsep R-KUHP 1993 ini dipimpin mula-mula oleh Prof.Sudarto (1982-1986), kemudian Prof.Roeslan Saleh (1986-1987;anggota sejak 1982) dan terakhir Prof.Mardjono Reksodiputro (anggota sejak 1982 dan Ketua 1987-1993) dengan Wakil Ketua Budiarti,SH.Dan selama 10 tahun bekerjanya,yang menjadi Sekretaris Tim adalah Yusrida Erwin, SH.
[9] Kedua pendekatan ini mengacu kepada pandangan Herbert Packer, 1964, “Two Models of the Criminal Process”, namun telah ditambah dengan pendapat penulis sendiri berdasarkan pengalamannya.
[10]Kepentingan masyarakat juga sukar untuk ditentukan sumber dan kepentingannya. Sering sekali media massa dan demonstrasi menjadi “wakil” dalam menyuarakan kepentingan masyarakat, tetapi kita tahu juga bahwa sering yang dibawakan adalah kepentingan sekelompok orang yang berani vokal dan atau yang bersedia membiayai demonstrasi itu atau menguasai media massa bersangkutan.
[11] Pertimbangan ini adalah wajib (motiverings verplichting) karena memberikan penjelasan tentang fakta-fakta yang dianggap terbukti dan penafsiran tentang hukum yang diberlakukan atas kasus itu – ini memberikan pemahaman kepada Terpidana tentang kesalahan yang telah dibuatnya – di Indonesia banyak sekali  putusan Hakim yang tidak memberikan pertimbangan ini.
[12]Pada konsep R-KUHP yang diserahkan tahun 1993 (terdiri dari 485 pasal), bab tentang Korupsi ini tidak ada, begitu pula dalam konsep yang diterbitkan semasa Presiden Abdurrahman Wahid tahun 2000 (terdiri dari 646 pasal), bab tentang Korupsi ini timbul semasa Pemerintahan Megawati dan Pemerintahan SBY (diserahkan tahun 2012) dan terdiri dari 764 pasal (Bab tentang Korupsi adalah Pasal 688 – 701).
[13]Lihat misalnya dalam Judicial Council Of Hawaii,Penal Law Revision Project,1970, Hawaii Penal Code (Proposed Draft), hal. 275 – 281. dan Law Reform Commission of Canada,1987, Report Recodifying Criminal Law (Revised and Enlarged Edition), hal.164 – 167.
[14] Memahami Untuk Membasmi. Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi ,2006,Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi,Cetakan Kedua, hal.19 – 21.
[15]Sering dilupakan adalah kepentingan dari warganegara biasa, yang belum pernah melakukan pelanggaran hukum, yang mengharapkan bahwa dia dapat melaksanakan komunikasinya secara bebas, terbuka dan spontan, tanpa harus menimbang-nimbang apakah ucapannya nanti dapat ditafsirkan oleh KPK (yang melakukan penyadapan) sebagai suatu kegiatan korupsi.
[16]Lihat misalnya pendapat Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki dalam ,Forum Keadilan, 16-22 Maret 2015, hal.62
[17] Tjipta Lesmana-Eks Anggota Komisi Konstitusi MPR, dalam Suara Pembaruan,8 Oktober 2015,hal.A11
[18] Indriyanto Seno Adji-Plt Wakil Ketua KPK, Gurubesar Hukum Pidana, dalam Suara Pembaruan, 9 Oktober 2015, hal.A 11
[19] Saldi Isra-Gurubesar Hukum Tata Negara,dalam Media Indonesia, 1 Juni 2015, hal.6
[20] Indonesia pernah punya pemerintahan Orde Lama, yang akhirnya menuntut “Presiden Seumur Hidup” dan kita juga pernah punya pemerintahan Orde Baru, yang memegang kekuasaan selama 30 tahun, semuanya berdasarkan dalih “rakyat yang menuntut” dan kepercayaan palsu, bahwa “absolute power does not corrupt” !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar