(
Suatu kegagalan dalam Reformasi Hukum ? Jangan ada Dusta dalam
Reformasi SPP Indonesia ! )*
Tentang Sistem Peradilan
Pidana (SPP)
Istilah
ini diambil dari bahasa Inggris Criminal
Justice System. Apa sebenarnya yang dimaksud ? Kalau dilihat kepada unsur-unsurnya
yang membuat sistem ini bekerja, maka
akan dijelaskan tentang organisasi lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Kepengacaraan
atau Advokat, Pengadilan dan Pemasyarakatan Terpidana. Tetapi kalau melihat
kepada proses bekerjanya sistem ini,
maka perlu juga dijelaskan tentang tahap pra
ad-yudikasi dengan kewenangan kepolisian, kewenangan kejaksaan dan
kewenangan advokat, tahap ad-yudikasi
dengan kewenangan Peradilan yaitu: kewenangan pemeriksaan dakwaan dan pembelaan di sidang serta pemberian putusan, dan
penentuan sanksi, serta kewenangan banding, kasasi, PK dan grasi, serta
selanjutnya tahap purna ad-yudikasi yaitu kewenangan
Pemasyarakatan Terpidana.
Secara
umum, sistem dengan unsur-unsurnya serta proses bekerjanya di atas, dijelaskan
di sebuah fakultas hukum, dalam kelompok mata-ajaran Hukum Acara Pidana di
tingkat Strata-1 dan kelompok mata ajaran Sistem Peradilan Pidana di tingkat
Strata-2.[1]
Hukum acara pidana ini memang dapat di lihat dalam arti luas ataupun dalam arti
sempit. Dalam arti luas, maka yang akan dibicarakan adalah tentang organisasi
lembaga-lembaga peradilan pidana dan sekaligus tentang proses yang terjadi
dalam peradilan pidana itu. Yang terakhir ini pada dasarnya diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (disingkat KUHAP). Dalam arti sempit,
perkuliahan tentang hukum acara pidana ini ditujukan kepada aturan-aturan dalam
KUHAP. Sedangkan ketentuan tentang organisasi lembaga-lembaga sistem peradilan pidana
tersebar dalam sejumlah undang-undang dan sebagian dari proses peradilan pidana
juga berada di luar KUHAP, tersebar dalam beberapa undang-undang lainnya.
Diperlukan keahlian untuk dapat mencari jalan melalui “hutan-belantara
peraturan” hukum pidana dan hukum acara pidana ini. Menurut saya solusinya
adalah dengan kodifikasi
Untuk
jaminan penyelenggaraan peradilan pidana yang baik, menurut saya, kita harus menuju
kepada kodifikasi, baik mengenai
aturan-aturan organisasi peradilan pidana maupun tentang proses menyelenggarakan
peradilan pidana. Mengapa ini perlu ?
Menurut saya, agar masyarakat awam juga dapat memperoleh gambaran yang jelas
dan menyeluruh tentang kedudukan,
keterkaitan dan wewenang lembaga-lembaga yang merupakan organisasi peradilan,
sekaligus dapat pula memahami proses
yang akan berlangsung, apabila sistem
peradilan pidana bekerja.[2]
Tujuan kodifikasi[3]
suatu bidang hukum (disini adalah hukum pidana materiil dan hukum acara pidana)
adalah untuk memudahkan dicarinya norma hukum tertentu (increase accessibility), memudahkan pemahamannya (improve its comprehension), menjadikannya
konsisten (improve consistency) dan
memberikannya kepastian (certainty).
Dipergunakannya sistem kodifikasi dalam suatu bidang hukum tertentu, tidak
menutup kemungkinan adanya undang-undang khusus (lex specialis) di luar kitab-kodifikasi. Lex specialis akan dapat mengatur ketentuan-ketentuan yang lebih
terperinci daripada norma-dasar yang diletakkan dalam kitab-kodifikasi.[4]
Masalah yang kita hadapi
sekarang
Debat
yang sekarang ini ( dimulai pertengahan tahun 2014) dan meruncing di media
massa, tentang SPP Indonesia, pada
dasarnya berkisar pada: a)penolakan terhadap rancangan KUHP
Nasional dan rancangan KUHAP Baru, dan b)penolakan
terhadap Revisi UU KPK. Menurut saya ini semua berhubungan dengan pembaharuan sistem
peradilan pidana yang telah lama diharapkan oleh masyarakat Indonesia.
Penolakan
terhadap rancangan KUHP Nasional (R-KUHP) adalah antara lain, tentang dimasukkannya
suatu bab tentang Korupsi di dalamnya. Dikatakan bahwa hal ini akan membuat
Korupsi sebagai tindak pidana umum dan menghapus wewenang Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) untuk menanganinya. Hal lain yang juga dianggap sebagai usaha
melawan gerakan anti-korupsi adalah antara lain, dimasukkannya ketentuan tentang
perlunya ijin Pengadilan/Hakim untuk melakukan penyadapan-komunikasi didalam Rancangan
KUHAP (R-KUHAP). Sekali lagi ini dianggap akan mengganggu wewenang KPK, yang
selama ini mendapat wewenang melakukan penyadapan-komunikasi tanpa pembatasan.
Penolakan terhadap usaha merevisi UU KPK adalah karena adanya sejumlah pasal
yang dianggap akan melemahkan kewenangan KPK memberantas korupsi di Indonesia. Tulisan singkat ini ingin membahas
permasalahan di atas. Tujuan tulisan ini bukanlah untuk mengecilkan arti “gawat-korupsi”
atau “gawat-kejahatan” di Indonesia, tetapi bermaksud menempatkan
permasalahannya dalam konteks pembaruan SPP untuk memajukan dan melindungi HAM.
Sesuai
judul makalah ini, maka saya ingin memberi sumbangan pemikiran dalam rangka
kita akan melakukan pembaharuan SPP
Indonesia. Usaha yang mencapai puncaknya pada 15 tahun yang lalu dengan
dibangkitkannya Era Reformasi, menurut saya sekarang cenderung gagal, karena
banyaknya kegiatan reformasi dibarengi dengan dusta dan sebenarnya melibatkan pertarungan
kewenangan yang didasarkan kepada ambisi kekuasaan politik.[5]
Sikap
represif yang timbul bersamaan dengan penolakan terhadap pembaruan SPP di
Indonesia ini, juga meresahkan saya, karena penolakan ini menunjukkan adanya keikhlasan
untuk mengorbankan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, khusus
tersangka, terdakwa dan terpidana korupsi,maupun tindak pidana lain (narkoba,
terorisme, dsb-nya), untuk memperoleh suatu cara yang dianggap efektif dalam
memerangi tindak pidana tersebut. Sikap represif dibarengi ambisi kekuasaan ini,
menurut saya, telah melupakan sejarah
SPP Indonesia yang pernah didominasi dengan semangat “pemulihan keamanan dan
ketertiban” oleh Kopkamtib dalam masa Orde Baru (1967 – 1987),yang dibayangi
oleh ketakutan (panik) atas “bahaya komunisme”.[6]
Ketakutan akan sulitnya diberantas korupsi dan kebencian kepada koruptor,
khususnya yang terdiri dari para pejabat/penyelenggara negara, akan
menggagalkan usaha membangun SPP Indonesia ke arah “pelaksanaan peradilan
pidana yang patut dan semestinya” (een
behoorlijk strafrechtspleging – a decently administration of criminal justice).
Sejak
lama sekali komunitas hukum Indonesia ingin memodernisasi peraturan
perundang-undangan yang ada dan merupakan dasar dari SPP Indonesia.[7]
Cita-cita ini terkabul dengan penggantian HIR (khususnya aturan tentang hukum
acara pidana Hindia Belanda) dengan KUHAP tahun 1981. Dalam tahap berikutnya
telah disampaikan kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh suatu konsep rancangan
KUHP nasional dalam tahun 1993 (bulan Maret – R-KUHP 1993) yang disusun oleh
suatu Tim Kementerian Kehakiman selama 10 tahun (1983 – 1993).[8]Dengan
berakhirnya Era Orde Baru dan mulainya Era Reformasi, maka kegiatan di atas
dilanjutkan a.l. dengan mengusulkan Revisi atas KUHAP 1981, Revisi atas UU-KPK dan
diserahkannya R-KUHP versi 2012 ke DPR. Permasalahan penolakan melalui tulisan
di media massa, pernyataan tokoh-tokoh masyarakat dan demonstrasi aktivis LSM,
bagi saya, terlihat sebagai suatu “intimidasi-politik” terhadap pembaruan SPP
Indonesia yang tidak dibarengi dengan “debat-hukum” yang bermutu ilmiah, tetapi
lebih mengarah kepada “debat-persaingan-kekuasaan”. Lebih buruk lagi, menurut
saya yang subyektif, debat persaingan kekuasaan ini dibarengi juga dengan
pencarian popularitas sebagai “pahlawan anti-korupsi” untuk pencitraan pribadi
dan pencitraan politik kelompok.
Dua Pendekatan tentang
SPP[9]
Paling
tidak ada dua pendekatan dalam kita memandang cara kerja dari suatu sistem
peradilan pidana. Yang pertama
adalah mengutamakan kepada efisiensi atau kecepatan (speed) dan kepastian atau ketuntasan (finality). Pendekatan ini percaya kepada kemampuan lembaga-lembaga
dalam SPP untuk secara pasti dan jujur memilih dan menentukan mereka yang
bersalah (dan membebaskan yang tidak bersalah), untuk dibawa ke pengadilan dan
dihukum untuk kesalahannya itu. Diasumsikan SPP ditangani oleh penegak hukum
yang profesional, jujur dan netral, sehingga proses SPP dapat disamakan dengan
“ban berjalan dalam sebuah pabrik” (assembly line). Advokat sebagai pendamping
dalam proses tidak seberapa perlu (tidak punya peranan berarti dalam proses). Berbeda
adalah pendekatan kedua, yang mengutamakan
pada keperluan tercapainya internalisasi kepercayaan dan ketaatan kepada hukum
pada seorang Terpidana. Diharapkan dengan demikian para Terpidana memahami
kesalahan mereka, dan tidak akan mengulanginya lagi. Oleh karena itu, pendekatan
ini melihat kepada perlunya para Tersangka dan Terdakwa diberikan kesempatan untuk
memahami proses yang sedang dijalaninya sebagai proses yang adil, dan untuk itu
mereka perlu dibantu oleh seorang ahli hukum (advokat) dalam menjalani proses. Kecuali
membantu Terdakwa dalam memahami proses yang sedang dijalaninya, advokat ini
juga mengawasi dan membantu penyidik dan penuntut umum untuk menjalani proses
sesuai dengan semangat “proses yang adil” (due
process). Proses ini dapat dibayangkan sebagai “lari dengan rintangan dalam atletik” (obstacle course). Setiap tahap proses mendapat pemeriksaan dan
pendapat dari advokat.
Pada
pendekatan “ban-berjalan”, hak-hak Tersangka/Terdakwa
tetap diakui dan diberikan sesuai undang-undang. Kepercayaan yang tinggi dari publik
adalah kepada sifat profesional penyidik dan penuntut umum untuk melakukan
tugasnya secara cermat, dan hanya membawa
mereka yang benar-benar bersalah ke pengadilan. Menurut pendekatan ini, di pengadilan
para Terdakwa harus mendapat kepastian akan dihukum. Karena itu usaha membebaskan Terdakwa
atau meringankan hukumannya akan dianggap sebagai bertentangan dengan perasaan
keadilan masyarakat. Keadilan masyarakat menghendaki bahwa apabila ada
Tersangka yang menjadi Terdakwa dan dinyatakan bersalah, hakim wajib memberikannya
hukuman yang setimpal (sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat). Kepatuhan
pada hukum diperoleh dari ketakutan kepada pidana yang berat (the fear of severe punishment ).
Dalam
pendekatan “lari-rintangan”, hak-hak
Tersangka dan Terdakwa adalah utama, dan wajib diberikan kepadanya pada setiap
kemungkinan yang diberikan undang-undang, untuk melawan dakwaan penuntut umum.
Penyidik dan penuntut umum meskipun mereka bersifat profesional, selalu akan
melihat perbuatan yang didakwakan dari satu sisi saja, karena mereka mewakili
kepentingan negara. Kepentingan negara belum tentu sama atau mencerminkan
kepentingan masyarakat.[10]
Dalam setiap perbuatan akan terdapat dua sisi kepentingan dan pendapat, yaitu sisi
pelaku dan sisi korban ataupun mungkin orang ketiga. Peradilan pidana yang adil
akan memberi kesempatan kepada Tersangka/Terdakwa untuk memberikan penjelasan
dari sisinya.
Kalau
sekarang kita melihat kepada sistem yang berlaku di negara-negara common law dengan negara-negara civil law, maka perbedaannya terletak
pada penggunaan sistem akusator dan sistem
inkuisitor. Dalam sistem peradilan
pidana yang akusator, maka hakim
lebih bersifat pasif dan memberikan kesempatan kepada penuntut umum dan Terdakwa
untuk memberikan pendapat dan berdebat tentang fakta dan penafsiran hukum dari masing-masing
sisinya. Namun dalam sistem inkuisitor,
hal ini berbeda, karena hakim akan lebih aktif dalam mencoba memperoleh
“kebenaran materiil” dengan menggali dari kedua sisi fakta dan hukum yang dipresentasikan.
Tugas hakim adalah memberi pertimbangan[11]
dan putusan yang adil tentang kesalahan Terdakwa berdasarkan fakta-fakta yang
terbukti dan penafsiran hukum yang berkaitan. Keadilan masyarakat memang juga mendapat
perhatian dalam pendekatan ini, namun dalam mengutamakan ketertiban yang lebih langgeng,
maka pendekatan ini lebih mengutamakan akan diperolehnya penghormatan dan
kepatuhan kepada hukum (repect for the
law) dari seorang Terdakwa/Terpidana
dibanding ketakutan akan pidana yang berat.
Saya harus mengakui,
bahwa saya cenderung mendukung pendekatan kedua (“lari-rintangan”), karena
pendekatan pertama (“ban-berjalan”) mengandung banyak bahaya dalam politik kriminal
yang didukung oleh pemerintahan otoriter (seperti pernah dialami Indonesia).
Dalam pendekatan kedua, maka “penjaga gawang” terhadap ketidakadilan berada di
tangan profesi advokat. Memang kalau profesi advokat ini sudah tidak juga dapat
diharapkan kenetralannya, maka pendekatan kedua juga tidak menjamin tercapainya
peradilan yang adil (due process). Persaingan kedua pendekatan ini, menurut
saya, sangat terasa dalam debat tajam antara mereka yang mendukung “reformasi” KUHP,
KUHAP dan UU KPK dengan mereka yang menafikannya.
Penolakan terhadap R-KUHP
Nasional
Seperti
telah disampaikan di atas, R-KUHP ini merupakan rancangan terakhir dari
pemerintah, yang diserahkan pada akhir tahun 2012 kepada DPR dan mendapat
penolakan dengan alasan adanya Bab tentang Korupsi didalamnya.[12]
Adapun argumentasi mereka yang menolak adalah masuknya ketentuan tentang
korupsi dalam KUHP akan menjadikan korupsi suatu tindak pidana umum. Sebagai
tindak pidana umum, maka hilanglah kewenangan KPK untuk menyidik dan menuntut
korupsi, dan keadaan ini ditafsirkan sebagai usaha membubarkan lembaga KPK.
Argumentasi
yang berlawanan menyatakan bahwa tujuan masuknya Bab tentang Korupsi adalah
dalam rangka dipergunakannya sistem “kodifikasi” untuk menyatakan adanya “norma
dasar” (basic norm) tentang korupsi
dalam hukum pidana Indonesia. Pada dasarnya norma dasar dari korupsi adalah “merusak
berfungsinya pemerintahan secara baik” (subvert
the efficient functioning of the government), hal ini dilakukan oleh
seorang pejabat negara (public official)
dengan atau tanpa bekerja sama dengan orang atau korporasi swasta (private individual or corporation). Bentuk
umum sebagai norma dasarnya adalah “suap”
(bribery) dan “kejahatan jabatan”(ambtmisdrijven – serious offenses involving
abuse of office). Menurut saya, adanya norma dasar korupsi di dalam KUHP, tidak akan menghapuskan
dibuatnya undang-undang khusus di luar
KUHP yang akan lebih merinci perbuatan seperti apa saja yang akan dikategorikan
sebagai delik khusus (seperti yang ada sekarang dalam UU Korupsi). Melihat
kepada model-model kodifikasi hukum pidana di
luar negeri, maka mereka menggolongkannya antara lain sebagai “Crimes against the Governmental Order”; atau
“Offenses against Public Administration”;
yang dapat dibagi lagi dalam: “Corrupting
Public Administration”; “Misleading Public Administration”; dan “Obstructing Public Administration”. Penggolongan
lain adalah “Bribery and Corrupt
Influence” yang dibagi dalam: “Bribery”;
“Giving and receiving unlawful compensation”; “Giving and receiving improper
gifts”; dan “Failing to disclose a
conflict of interest”. Ini adalah sekedar contoh, tentang harus adanya norma dasar dalam KUHP untuk kemudian
dapat diperinci dalam undang-undang yang lebih khusus.[13]
Ketentuan yang lebih khusus (di luar KUHP) yang ada sekarang terdiri atas 30
(tigapuluh) bentuk/jenis perbuatan korupsi, yang dapat dibagi lagi dalam 7
(tujuh) kelompok yaitu Korupsi terkait dengan: 1)kerugian keuangan negara; 2)suap-menyuap;
3)penggelapan dalam jabatan; 4)perbuatan pemerasan; 5)perbuatan curang; 6)benturan kepentingan dalam pengadaan; dan 7)yang terkait dengan gratifikasi. Disamping ini masih ada pula 6
(enam) jenis tindak pidana lain yang masih berkaitan dengan delik korupsi (pada
dasarnya berintikan merintangi proses
penyidikan).[14]
Menurut
pendapat saya, sekali lagi, adanya “norma-dasar” tentang pengertian tindak
pidana korupsi dalam Bab Khusus R-KUHP, tidaklah menafikan adanya undang-undang
khusus “korupsi” di luar KUHP. Yang mengherankan saya adalah bahwa para
ahli/sarjana hukum memperdebatkan permasalahan ini menjadi isyu politik
(pelemahan kegiatan anti-korupsi) dan tidak menjadikanya isyu hukum tentang
pengertian kodifikasi hukum pidana dan perbedaan antara delik umum dengan delik
khusus, beserta semua teori tentang menjadikan suatu perbuatan diancam pidana (strafbaarstelling). Sangat kental adalah
perlawanan terhadap akan hilangnya “kewenangan-tanpa-batas” dari KPK,
argumennya adalah “KPK memerlukan kewenangan yang besar” agar tidak mudah
diintervensi dalam menyelidik dan menyidik serta memproses kasus korupsi
seorang pejabat tinggi.[15]
Penolakan terhadap
R-KUHAP
Sepanjang
pengetahuan saya, ada dua materi utama yang diperdebatkan dalam R-KUHAP;
pertama adalah tentang “hakim pemeriksa pendahuluan” (disingkat “HPP”, dahulu
dinamakan “hakim komisaris” dari istilah Belanda “rechter commissaris”), dan kedua tentang perlunya ijin khusus untuk
melakukan “penyadapan”. Tentang HPP, konsep ini dimaksudkan untuk mengembalikan
keseimbangan dalam proses SPP, yaitu adanya dominasi hakim pengadilan dalam
seluruh proses. KUHAP 1981 dan “tradisi SPP Indonesia” membuat organ-organ SPP bekerja
dalam posisi sejajar (seperti “gerbong kereta api”). Jalannya proses adalah
perkara berpindah dari gerbong yang satu ke yang lainnya, tanpa ada pengawasan
yang berarti dari gerbong berikutnya. Menurut pemahaman saya tentang jalannya
SPP di negara-negara modern-demokratik, maka seharusnya pekerjaan dalam “
“gerbong-penyidikan” diawasi oleh “gerbong-penuntut umum”, dan kedua gerbong
ini dawasi pula oleh “gerbong-hakim pidana”. Pada dasarnya seharusnya pusat
atau “sentral” dari SPP berada pada pengadilan, sebagai kekuasaan kehakiman
yang mandiri terlepas dari kekuasaan eksekutif (yang diwakili oleh penyidik dan
penuntut umum).
Mengenai
“penyadapan komunikasi-pribadi”, hal ini adalah pelanggaran terhadap hak asasi
seorang warga (serupa dengan “kerahasiaan surat-pribadi”). Oleh karena itu
diperlukan ijin dari seorang hakim (sebagai wasit yang independen) untuk
menilai apakah “pelanggaran hak-pribadi (privacy)”
ini memang diperlukan dalam mengungkap suatu kejahatan. Apakah perlindungan
terhadap hak-pribadi boleh diterobos, dengan alasan perlindungan terhadap hak-masyarakat
tentang keamanan dan ketertiban. Menurut pendapat saya, apabila Indonesia mau
dianggap sebagai negara beradab dan demokratik, maka prosedur ijin hakim ini
haruslah dilakukan.
Penolakan
terhadap kedua ketentuan ini oleh mereka yang menamakan dirinya “kelompok
anti-korupsi”, adalah, bahwa HPP dan ijin untuk penyadapan, hanya akan menumpulkan “pedang pemberantasan
korupsi”. Tentu hal ini mungkin saja terjadi, tetapi hal itu masalah teknis,
seperti yang pernah saya sampaikan, bilamana ada ketakutan “bocornya” operasi
penyelidikan atau penyidikan korupsi oleh KPK, karena HPP-nya tidak dapat
dipercaya, maka KPK selalu dapat meminta kepada Mahkamah Agung seorang “hakim kepercayaan” mereka yang akan bertugas
khusus untuk KPK. Adalah absurd (tidak
masuk akal sehat), apabila KPK tidak percaya
kepada kejujuran hakim (HPP), namun, meminta agar masyarakat harus percaya
bahwa prosedur internal dalam lembaga KPK akan lebih jujur dan lebih bersih.
Menurut saya, debat di sini bukanlah debat hukum tentang perlindungan terhadap kemungkinan
pelanggaran HAM seorang Tersangka, namun telah menjadi perdebatan tentang
hilangnya kewenangan (tanpa batas) yang dipunyai KPK. Debat kewenangan yang
dilandasi oleh takutnya hilang kekuasaan.
Pada
awal tahun 2015 ini terjadi pula debat keras tentang lembaga “pra-peradilan”.
Masalahnya adalah tentang dapatkah seorang yang dinyatakan Tersangka korupsi
oleh KPK secara publik (melalui penyataan di muka pers/media massa), namun
tidak ditangkap (atau telah dilepaskan) dan tidak ditahan, meminta kepada hakim
pra-peradilan untuk menguji cukupkah bukti yang dipunyai KPK untuk menyatakan
seseorang itu Tersangka ? Diterima permohonan pra-peradilan oleh hakim Sarpin
dianggap oleh sebagian sebagai kebodohan “sang hakim”, tetapi ada pula yang
mengganggapnya sebagai “terobosan hukum”.
Saya adalah pengikut pendapat kedua. Mengapa ? Karena lembaga pra-peradilan
diadakan justru untuk me”wasiti” apakah ada wewenang penyidik dan penuntut umum
yang diberikan oleh undang-undang, tetapi telah disalahgunakan (abuse of power). Penafsiran
undang-undang oleh hakim agar sesuai dengan rasa keadilan setempat adalah kewajibannya.
Adalah menggelikan untuk berpendapat bahwa kewenangan menafsirkan adalah pelanggaran
etika hakim.[16]
Menyatakan
seseorang sebagai Tersangka, memang termasuk wewenang KPK, namun menyatakan hal
tersebut di muka umum untuk menarik perhatian (pencitraan politik), dan
kemudian berlarut-larut tidak menyerahkan perkaranya kepada penuntut umum, atau
dalam hal KPK tidak menyerahkannya kepada Pengadilan Tipikor, tetapi terus
menerus membatasi kebebasan Tersangka (diperiksa berulangkali, dilarang ke luar
negeri, digeledah rumah dan kantornya, disita barang-barang tertentu, diblokir
rekening banknya,dll), menurut saya, adalah penyalahgunaan terhadap kewenangan
yang diberikan undang-undang (misbruik
van recht). Seandainya belum ditemukan dua bukti permulaan yang cukup, yang
diyakini KPK, maka seharusnya tidak dilakukan pengumuman terbuka sebagai
Tersangka (boleh saja dia diberi status Tersangka dikalangan intern KPK).
Begitu pula belum boleh dinaikkan status penyelidikannya ke tahap penyidikan. Hal ini patut untuk diuji oleh pengadilan, melalui
proses pra-peradilan, di mana KPK seharusnya diwajibkan untuk mendalilkan
perbuatan apa yang dipersangkakan dengan bukti permulaan apa. Ini adalah
prosedur yang adil (due process) !
Pendapat yang dianut oleh mereka yang mencela tindakan hakim Sarpin, adalah
karena KUHAP membatasi pra-peradilan hanya untuk memeriksa abuse of power dalam hal penangkapan dan penahanan, maka ditafsirkanlah bahwa perbuatan abuse
of power yang lain oleh KPK (menyatakan seseorang sebagai Tersangka di muka
umum-tanpa bukti yang cukup), tidak boleh dilarang. Pendapat yang absurd (menggelikan) !
Penolakan terhadap revisi
UU KPK
Ada
berbagai judul berita dan karangan yang dapat menggambarkan kegelisahan gerakan
anti-korupsi dengan diusulkannya revisi UU KPK, misalnya: Save KPK; Lawan Upaya Melemahkan KPK [17];
Batalkan Revisi UU KPK; Revisi UU KPK Kontraproduktif; Revisi KPK: Penguatan vs
Pelemahan KPK?[18]; Ketika KPK Berada di Tubir Jurang
[19]. Sebaliknya usaha meredakan ketegangan
datang dari pemerintah dan DPR, misalnya melalui judul berita: Wapres Desak KPK Patuhi KUHAP; Menteri
Yasonna: Tak Ada Niat Pemerintah Lemahkan Komisi Antirasuah; dan DPR Klaim
Revisi UU KPK Tak “Menggergaji” Pemberantasan Korupsi. Saya belum sempat
membaca naskah rancangan revisi UU KPK, karena itu hanya akan memberi pendapat tentang usul yang berkaitan dengan
catatan saya di atas, sehubungan dengan R-KUHP dan R-KUHAP, berdasarkan
pemahaman yang saya peroleh melalui media massa.
Dari
bahan bacaan dalam media massa (Februari s/d Oktober 2015), saya mendapat kesan
ada sekurang-kurangnya 3 (tiga) pendapat sehubungan dengan revisi UU KPK No.30/2002,
yaitu: pertama, yang berpendapat
bahwa kewenangan luas yang telah diberikan kepada KPK adalah berlebihan dan
adalah tidak adil dibandingkan dengan kewenangan yang dipunyai lembaga kepolisian
dan kejaksaan dan karena itu menginginkan agar waktu keberadaan KPK dibatasi
saja. KPK dan kehususannya dalam acara pidana (menyimpang dari KUHAP 1981) dan
peralatannya yang canggih serta anggarannya yang sangat besar, harus bersifat
sementara dan tidak seterusnya berada dalam SPP Indonesia. Tidak berkurangnya
korupsi di Indonesia, harus ditafsirkan bahwa politk kriminal pencegahannya
tidak berhasil dan karena itu diberi batas waktu. Kedua,
yang berpendapat bahwa dasar pembentukan KPK adalah ketidakpercayaan publik
kepada netralitas dan profesionalitas lembaga kepolisian,kejaksaan dan
pengadilan untuk memberantas korupsi, pada awal Era Reformasi, lebih dari 15
tahun yang lalu. Keadaan sekarang tentu sudah berubah, reformasi di kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan tentu sudah berjalan, meskipun belum sempurna benar.
Sebab itu sudah waktunya kewenangan pemberantasan korupsi secara bertahap diserahkan
kembali kepada lembaga kepolisian dan kejaksaan atau KPK dgabungkan dalam
organisasi Kepolisian dan Kejaksaan yang ada. Kedua lembaga terakhir ini diberikan
juga kewenangan dan anggaran dan
peralatan yang serupa dengan KPK. Pendapat ketiga
menilai, bahwa sentimen kepercayaan masyarakat kepada lembaga kepolisian dan
kejaksaan belum pulih kembali, namun memang kewenangan yang sekarang diperoleh
KPK perlu diawasi agar tidak menjadi “tirani” yang tidak terkendali. KPK memang
perlu, namun politik kriminal mereka harus berisikan tiga unsur: preventieve, represieve, dan curatieve. Pimpinan KPK harus memahami,
bahwa seperti semua kejahatan, tidak mungkin memberantas korupsi hingga
habis-tuntas. Yang dituju adalah mengurangi jumlahnya dan berusaha agar para
terpidana korupsi tidak mendapat untung dari perbuatannya dan juga tidak akan
mengulanginya.
Pendapat
pertama, saya namakan “gerakan-keras”, yang menolak keberadaan
KPK. Boleh jadi memang mereka “didukung” oleh para pengusaha dan birokrat
Indonesia yang merasa nyaman dengan “ekonomi-rente” yang berlaku di Indonesia. Sistem
ekonomi-rente ini adalah salah satu sumber terjadinya korupsi. Pendapat kedua,
kemungkinan didukung oleh “sentimen persaingan” yang sekarang berkembang. Publik
mengelu-elukan KHN sebagai “pahlawan
anti-korupsi”, dan pejabat pimpinan KPK (dan eks-pimpinan KPK) mencitrakan KPK
sebagai satu-satunya lembaga anti-korupsi yang bersih dan berhasil. Opini
dibentuk agar berbagai tudingan kepada pimpinan KPK digambarkan sebagai
“fitnah” dan “kriminalisasi”. Ini saya namakan “gerakan-persaingan”. Sedangkan pendapat ketiga adalah “gerakan lihat-sejarah”, karena tidak
melupakan sejarah dimana kekuasaan yang tidak terbatas dan berada langsung di
bawah Presiden, pernah di Indonesia disalahgunakan dengan alasan melawan G30S. Pola
“memulihkan ketertiban dan keamanan” (restoring
order and security) diadakan untuk memanfaatkan kemarahan dan kepanikan
rakyat terhadap ancaman komunisme, melalui lembaga Komando Pemulihan Keamanan
Ketertiban (Kopkamtib) yang mempunyai kewenangan tidak terbatas menjadikan
seseorang yang dicurigai, langsung sebagai Tersangka paham komunisme, sering tanpa
perlu meminta bantuan pengadilan untuk memeriksa dan mengadilinya.
Pendapat
ketiga ini takut KPK akan berubah menjadi lembaga yang serupa Kopkamtib, yang merasa
“penyelidikannya” sudah benar dan tanpa menunggu adanya dua alat bukti yang
cukup dan meyakinkan, berani untuk memberi “stempel Tersangka Korupsi” kepada
seseorang , melalui media massa. Namun Tersangka ini tidak ditangkap ataupun
ditahan, agar tidak mendapat pembatasan KUHAP tentang waktu dan kemungkinan
digugat via proses pra-peradilan. Saya
adalah pendukung pendapat ketiga, dan berpendapat bagaimanapun baiknya
orang-orang pertama yang memimpin KPK, namun tidak ada jaminan pimpinan yang
akan datang adalah serupa integritasnya. Karena itu janganlah sekali-kali melupakan sejarah kita ![20]
Undang-undang adalah
selalu kompromi politik
Penolakan
suatu Rancangan undang-undang tentu saja boleh, karena itulah proses demokrasi.
Di dalam sidang DPR para wakil rakyat akan beradu argumentasi tentang perlu
tidaknya suatu ketentuan ataupun sudah atau belum tepatnya suatu perumusan
kalimat. Tentu selalu akan ada “kompromi politik”. Namun apa yang terlihat
sekarang adalah gerakan-gerakan massa (di dukung media massa tertentu) yang
cenderung menguji dan “mengadili” R-KUHP dan R-KUHAP serta Rencana Revisi UU
KPK dengan alasan-alasan yang bersifat politis. Dan juga, menurut saya, lebih
didasarkan kecenderungan untuk “melanggengkan” kekuasaan tertentu, dengan tidak mengindahkan perjuangan lama sejak 1963,
tentang perlunya perbaikan hukum pidana
Indonesia (materiil dan formil) agar menjadi lebih modern dan dalam prosesnya juga
mengutamakan HAM bagi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana.
Suatu
ungkapan yang harus dicamkan adalah: “bahwa
kita dapat berusaha untuk tidak melanggar hukum, namun kita tidak dapat
menjamin bahwa kita tidak akan pernah dilibatkan oleh hukum dan menjadi Tersangka, Terdakwa dan
Terpidana” – “hukum pidana dan hukum acara pidana yang mengagungkan HAM pasti akan
menguntungkan kita semua”.
Penolakan tentang ketiga
rancangan tersebut di atas seharusnya dibawa dalam forum debat hukum yang lebih
ilmiah/akademis, baik di perguruan tunggi, organisasi profesi, maupun DPR, yang
antara lain dapat mempertanyakan hal-hal berikut:
1)Apakah
Indonesia akan tetap menganut asas
kodifikasi dalam sejumlah bidang hukum yang penting, seperti: Hukum Pidana,
Hukum Acara Pidana, Hukum Perdata, Hukum Acara Perdata, Hukum Dagang, Hukum
Tatausaha Negara, Hukum Acara Tatausaha Negara ? Dan apakah kodifikasi akan berarti akan menutup
kemungkinan dibuatnya “lex specialis”
dalam bidang-bidang hukum yang telah dikodifikasi ?
2)Lembaga
KPK yang ada di luar negeri, Hong Kong, Malaysia, Singapura, umumnya tetap
bertahan, namun sebagai suatu “lembaga khusus” di bidang penyidikan korupsi dan
ditempatkan sebagai bagian dari lembaga kepolisian. Apakah KPK direncanakan
akan tetap merupakan lembaga yang
terpisah dari kepolisian dan kejaksaan, dengan kewenangan khusus yang
menyatukan wewenang penyidikan dan wewenang penuntut umum dalam satu lembaga ?
Ataukah akan diteruskan seperti lembaga pemberantasan narkoba di Indonesia
(BNN) ?
3)Apabila
memang kepercayaan kepada kepolisian (sebagai lembaga penyidik) dan kejaksaan
(sebagai lembaga penuntut umum), masih belum pulih kembali (setelah limabelas
tahun reformasi), maka apakah dibentuknya
“hakim pemeriksa pendahuluan” (HPP) dan sidang pra-peradilan yang dapat
menerima gugatan Tersangka yang tidak ditangkap dan tidak ditahan, akan dapat
mengurangi terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh penyidik dan penuntut umum,
yang akan berarti pula mengurangi terjadinya peradilan sesat di kemudian hari ?
4)Kemungkinan
penyidik menetapkan seorang sebagai tersangka tanpa mempunyai dua alat bukti
yang sah menurut undang-undang, tentu selalu ada. Selama hal tersebut
dinyatakan secara “tertutup” (dalam kalangan penyidik sendiri), hal ini masih
dapat dianggap wajar sebagai hasil penyelidikan. Namun, apabila persangkaan
tersebut dinyatakan secara terbuka dengan mengundang media pers, maka bukankah
hal ini harus termasuk dalam perkara yang dapat dibawa ke hakim pra-peradilan,
untuk menilai apakah telah terjadi abuse of power ? Terlebih lagi apabila kasus itu berlarut-larut tidak dilimpahkan
kepada penuntut umum (sehingga justru disini akan dapat terjadi pemerasan dan
penyuapan).
5)Didalam
kita mendesain (kembali) SPP Indonesia, apakah kita akan memakai sebagai
pedoman-kerja pendekatan “ban-berjalan”
ataukah pendekatan “lari-dengan-rintangan” ? Dan meskipun kita akan tetap
mempergunakan peran hakim yang bersifat “inkuisitor”,
namun apakah tidak sepatutnya hakim memberi kedudukan sederajat antara penuntut
umum dengan Terdakwa dan advokatnya (sifat “akusator”)
?.
Mudah-mudahan debat hukum
yang terjadi, dilakukan tanpa dusta, dan akan membantu dalam mencari arah reformasi di
bidang sistem peradilan pidana Indonesia. Apa yang terjadi sekarang adalah
“kebuntuan pemikiran hukum” dan timbulnya cara berpikir yang lebih terbawa oleh emosi “panik gawat-korupsi”
disertai “pertarungan kekuasaan dan kewenangan”.
-00O00-
Beberapa bahan rujukan
yang dapat dipakai untuk melanjutkan pemeriksaan dan penelitian tentang argumentasi
perdebatan di atas adalah antara lain:
Aler,G.P.A,1982,De Politiebevoegdheid bij Opsporing en
Controle.Zwolle:Tjeenk Willink
Baker,
Richard W, M.Hadi Soesastro, J.Kristiadi, Douglas E.Ramage (Editor), 2000, Indonesia The Challenge of Change. Singapore:
Institute Of Southeast Asian Studies
Bemmelen,J.M.van,1979,Ons Strafrecht. Het Materiele Strafrecht,
Algemene Deel. Alphen aan den Rijn: Tjeenk Willink
-----------------------,1982,Ons Strafrecht.Strafprocessrecht.Alphen
aan den Rijn: Tjeenk Willink
Feeley,Malcolm
M, 1982, Court Reform on Trial. Why
Simple Solutions Fail.New York: Basic Books, Inc.
Goldstein,Abraham
S,1981,The Passive Judiciary.Prosecutorial
Discretion and the Guilty Plea. London: Lousiana State University Press
Molan,Mike,Duncan
Bloy,Denis Lanser,2003,Modern Criminal
Law.Fifth Edition. London: Cavendish Publishing
Raz,Joseph,
1970, The Concept of a Legal System. An
Introduction to the Theory of Legal System. Oxford: Clarendon Press
The
American Law Institute, 1972, A Model
Code of Pre-Arraignment Procedure. Official Draft No.1,Philadelphia: The
Executive Office The American Law Institute
Tobias,
Marc Weber, R.David Petersen, Pre-Trial
Criminal Procedure. A Survey of Constitutional Rights, 1972, Springfield,
Illinois: Charles C Thomas
Jakarta,
Oktober 2015
*Disampaikan sebagai sumbangan
makalah dalam Buku Peringatan Enam Dasawarsa Prof. Harkristuti Harkrisnowo, SH.MA.Ph.D
00-MR-00
[1]
Ini merupakan pengetahuan saya di Universitas Indonesia, dimana saya mengajar
sejak tahun 1961 sampai sekarang dan pernah menjadi Dekan Fakultas Hukum serta
Sekretaris Konsorsium Ilmu Hukum Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan R.I.
[2]
Ini dapat dipersamakan dengan sistem yang berada dalam sebuah Mobil,
“organisasi mobil” terdiri atas “organ”: Mesin – Kemudi – Roda, dll. Prosesnya
adalah bagaimana organ-organ tersebut berinteraksi untuk mencapai maksud sistem
Mobil ini, yaitu bergerak maju (atau mudur) kearah tujuan tertentu. Diperlukan
pemahaman yang benar tentang fungsi “sistem Mobil” ini agar kita dapat
memanfaatkannya.
[3] Kodifikasi
disini adalah dalam arti memuat semua norma hukum (atau sekurang-kurangnya
norma dasarnya) secara tertulis dan sistematis dalam suatu buku undang-undang (wetboek), seperti telah dilakukan dalam Wetboek van Strafrecht dan Wetboek van Strafvordering Belanda.
[4]
Misalnya norma-dasar perbuatan korupsi ditetapkan dalam kodifikasi di KUHP,yang
kemudian dirinci melalui undang-undang khusus korupsi; begitu pula norma dasar melakukan
penyadapan komunikasi diatur dalam kodifikasi
KUHAP, dan selanjutnya prosedur pengcualian atau pengkhususan dapat diatur
dalam undang-undang di luar KUHAP.
[5]Lihat
Orasi Ilmiah saya: “Reformasi Peradilan Pidana Indonesia. Menghadapi Tantangan Untuk
Perubahan” pada Acara Penyambutan Mahasiswa Baru dan Pembukaan Perkuliahan
Tahun Akademik 2015/2016, Sekolah Tinggi Hukum Indonesia JENTERA, Jakarta: 14 September
2015 di http://mardjonoreksodiputro.blogspot.com
[6]
KOPKAMTIB atau Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban adalah lembaga yang
langsung berada di bawah Presiden Suharto, terdiri dari tenaga-tenaga ABRI
(termasuk Kepolisian) dan Kejaksaan yang bertugas dengan wewenang khusus
menumpas pendukung Partai Komunis Indonesia, dalam tahun-tahun setelah
terjadinya peristiwa yang dikenal dengan nama G30S/PKI.
[7]Cita-cita
ini sudah mulai disampaikan untuk KUHP dalam Seminar Hukum Nasional Pertama
tahun 1963 di Universitas Indonesia dan kemudian juga untuk KUHAP dalam Seminar
HukumNasional Kedua tahun 1968 di Universitas Diponegoro, Semarang.
[8]Tim
yang menyusun dan menyerahkan Konsep R-KUHP 1993 ini dipimpin mula-mula oleh
Prof.Sudarto (1982-1986), kemudian Prof.Roeslan Saleh (1986-1987;anggota sejak
1982) dan terakhir Prof.Mardjono Reksodiputro (anggota sejak 1982 dan Ketua
1987-1993) dengan Wakil Ketua Budiarti,SH.Dan selama 10 tahun bekerjanya,yang menjadi
Sekretaris Tim adalah Yusrida Erwin, SH.
[9]
Kedua pendekatan ini mengacu kepada pandangan Herbert Packer, 1964, “Two Models of the Criminal Process”,
namun telah ditambah dengan pendapat penulis sendiri berdasarkan pengalamannya.
[10]Kepentingan
masyarakat juga sukar untuk ditentukan sumber dan kepentingannya. Sering sekali
media massa dan demonstrasi menjadi “wakil” dalam menyuarakan kepentingan
masyarakat, tetapi kita tahu juga bahwa sering yang dibawakan adalah
kepentingan sekelompok orang yang berani vokal dan atau yang bersedia membiayai
demonstrasi itu atau menguasai media massa bersangkutan.
[11] Pertimbangan
ini adalah wajib (motiverings
verplichting) karena memberikan penjelasan tentang fakta-fakta yang dianggap
terbukti dan penafsiran tentang hukum yang diberlakukan atas kasus itu – ini
memberikan pemahaman kepada Terpidana tentang kesalahan yang telah dibuatnya –
di Indonesia banyak sekali putusan Hakim
yang tidak memberikan pertimbangan ini.
[12]Pada
konsep R-KUHP yang diserahkan tahun 1993 (terdiri dari 485 pasal), bab tentang
Korupsi ini tidak ada, begitu pula
dalam konsep yang diterbitkan semasa Presiden Abdurrahman Wahid tahun 2000
(terdiri dari 646 pasal), bab tentang Korupsi ini timbul semasa Pemerintahan
Megawati dan Pemerintahan SBY (diserahkan tahun 2012) dan terdiri dari 764
pasal (Bab tentang Korupsi adalah Pasal 688
– 701).
[13]Lihat
misalnya dalam Judicial Council Of Hawaii,Penal Law Revision Project,1970, Hawaii Penal Code (Proposed Draft), hal.
275 – 281. dan Law Reform Commission of Canada,1987, Report Recodifying Criminal Law (Revised and Enlarged Edition),
hal.164 – 167.
[14] Memahami Untuk Membasmi.
Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi ,2006,Jakarta:
Komisi Pemberantasan Korupsi,Cetakan Kedua, hal.19 – 21.
[15]Sering
dilupakan adalah kepentingan dari warganegara biasa, yang belum pernah
melakukan pelanggaran hukum, yang mengharapkan bahwa dia dapat melaksanakan
komunikasinya secara bebas, terbuka dan spontan, tanpa harus menimbang-nimbang
apakah ucapannya nanti dapat ditafsirkan oleh KPK (yang melakukan penyadapan)
sebagai suatu kegiatan korupsi.
[16]Lihat
misalnya pendapat Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki dalam ,Forum Keadilan,
16-22 Maret 2015, hal.62
[17] Tjipta
Lesmana-Eks Anggota Komisi Konstitusi MPR, dalam Suara Pembaruan,8 Oktober
2015,hal.A11
[18] Indriyanto
Seno Adji-Plt Wakil Ketua KPK, Gurubesar Hukum Pidana, dalam Suara Pembaruan, 9
Oktober 2015, hal.A 11
[19]
Saldi Isra-Gurubesar Hukum Tata Negara,dalam Media Indonesia, 1 Juni 2015,
hal.6
[20]
Indonesia pernah punya pemerintahan Orde Lama, yang akhirnya menuntut “Presiden
Seumur Hidup” dan kita juga pernah punya pemerintahan Orde Baru, yang memegang
kekuasaan selama 30 tahun, semuanya berdasarkan dalih “rakyat yang menuntut”
dan kepercayaan palsu, bahwa “absolute power does not corrupt” !