(Korupsi Politik Dapatkah
Diberantas Habis ? –
Suatu Pemikiran Awal untuk Diskusi)
Pengantar
Permintaan
kepada saya adalah makalah dengan judul “Kejahatan
Politik, Money Politik dan Parpol sebagai Entitas Politik dalam Perspektif
Kriminologi”.Terus terang saya bingung dengan judul ini (mohon maaf kepada Panitia !), karena itu
saya mengunakan saja sebagai judul tema Pelatihan/FGD ini dengan tambahan
sub-judul tersebut di atas.
Terminologi dan Tipologi
Saya
ingin menjelaskan dahulu pengertian saya dalam makalah ini. Ada perbedaan dan
persamaan antara “korupsi politik” (political
corruption) dengan “korupsi (dalam) birokrasi” (bureaucratic corruption). Persamaan
kedua-duanya merupakan perbuatan di mana salah satu pihak mempunyai “kekuasaan”
(political power) yang menentukan. Perbedaannya adalah dalam korupsi-politik, maka transaksi illegal
yang terjadi menyangkut kehendak memperluas atau mempertahankan “kekuasaan
politik” salah satu pihak[1].
Sedangkan dalam korupsi birokrasi transaksi
illegal tersebut lebih merupakan usaha salah satu pihak untuk “membayar” kepada
pihak “birokrasi” untuk lepas dari kesulitan (misalnya dalam perkara di
pengadilan) atau sebagai tanda terima kasih atas jasa yang diberikan pejabat
birokrasi (misalnya dalam mengurangi pajak yang seharusnya dibayar).
Korupsi birokrasi adalah sederhana dalam transaksinya, umumnya berupa suap (bribery), penggelapan (embezzlement), manipulasi tender (bidrigging), manipulasi harga (price fixing) dan kegiatan lain yang
serupa. Tujuannya adalah salah satu pihak (pengusaha swasta) mendapat keuntungan bisnis atau terhindar dari kesulitan, dengan
membayar kepada pihak birokrasi agar melanggar sumpah jabatannya atau etika
profesinya (misalnya dalam pemberian ijin bisnis atau menutup mata atas
pelanggaran). Termasuk dalam kategori ini juga adalah pemberian suap kepada aparat
penegak hukum (polisi – jaksa – dan hakim) yang dapat dilakukan juga oleh atau
melalui kantor advokat atau kantor notaris..
Korupsi politik lebih rumit dan umumnya memang berkaitan dengan kekuasaan yang
akan diperoleh di dunia politik, baik untuk mempertahankan kekuasaan politik yang telah diperolehnya atau untuk
memperluasnya. Dalam negara modern dan berpemerintahan demokratik, maka
transaksi disini akan melibatkan juga
partai politik. Bentuknya adalah berupa “membeli suara dalam pemlihan umum”
(vote buying). Transaksi di sini akan
berupa yang sederhana, dengan “menyebarkan dana” kepada para calon
pemilih/pemilik suara. Tetapi dapat juga dengan cara yang lebih rumit, berupa mencari sumbangan “dana-besar” (political contribution) dari
perusahaan-perusahaan dengan janji akan dibalas/dibayar dikemudian hari melalui
pemberian ijin melaksanakan proyek-proyek yang didanai oleh anggaran pemerintah.
Contoh yang baru terjadi tahun ini adalah yang dikenal sebagai “Ibiza Scandal”
di Austria.[2]
Kombinasi
antara kedua macam korupsi ini adalah bilamana korupsi birokrasi dilakukan
untuk menghasilkan keuntungan dana
(besar) yang akan dipakai dalam kegiatan partai politik, terutama dalam
memperoleh lebih banyak suara dalam pemilihan umum. Tujuan melanggengkan
kekuasaan atau memperluas kekuasaan politik ini menjadikannya (juga) korupsi
politik.
Apakah korupsi politik adalah kejahatan
politik ?
Jawabannya
Ya dan Tidak ! Dijawab Ya, kalau
kita menafsirkan “kejahatan politik”
dalam arti luas. Disini semua kejahatan yang melibatkan langsung atau
tidak langsung unsur politik, seperti “membeli suara”, atau “mengintimidasi
calon pemilih/pemberi suara” atau “menyebarkan berita-bohong/palsu tentang
lawan politik” atau kegiatan lain yang serupa dengan ini, dinamakan kejahatan
politik. Tetapi dijawab Tidak, kalau
kita menafsirkan “kejahatan politik”
secara sempit. Disini pelaku akan “menyerang” nilai-nilai yang diangapnya tidak sesuai dan ingin diubahnya.
Bentuk umumnya adalah kejahatan yang menyangkut keamanan negara atau kepala
negara atau tamu negara/kepala negara asing dimaksudkan sebagai kejahatan
politik (intinya adalah perebutan
kuasa-politik). Saya menafsirkan dalam arti
sempit, karena itu saya berpendapat “korupsi-politik”
bukan “kejahatan politik”, tetapi
dapat dimasukkan dalam “kejahatan
ekonomi” (economic crimes) atau
kejahatan yang menyangkut harta-benda (property crimes). Kenapa ? Karena inti
dari kejahatan ini adalah sifatnya untuk memperoleh kekuasaan yang membawa keuntungan kekayaan/harta benda (jadi
bersifat ekonomi).[3]
Dapatkah korupsi politik diberantas habis (eradicated) ?
Disinilah
letak “tantangannya”, “dilemanya”,
dan “harapannya”. Karena fokus
makalah adalah pada “korupsi politik”, maka kita harus menempatkan diri kita
pada suatu masyarakat demokratik yang mempunyai lebih dari satu partai politik.
Partai politik perlu, karena merupakan organisasi yang (masing–masing)
diharapkan memperjuangkan pemikiran/aspirasi
dalam masyarakat tentang bentuk dan cara “mensejahterakan rakyat” (bagi saya
inilah dasar dari “ideologi-partai”). Memang seharusnya partai (-partai) politik
membutuhkan “kekuasaan-politik” untuk dapat merealisasikan ideologi-partainya. Kekuasaan-politik
ini diperoleh melalui pemilihan umum (pemilu) untuk menempatkan wakilnya di
lembaga legislatif pusat (DPR dan DPD) dan daerah (DPRD) atau dalam jabatan
tertentu (Presiden, Gubernur dan Walikota serta Bupati). Untuk itu
masing-masing partai politik memerlukan “dana untuk kampanye” (menyebarkan
program kerja dan mengumpulkan pendukung). Disinilah sumber terjadinya
“transaksi” keuangan dengan kekuasaan (money
politics) yang kita sebut juga “korupsi-politik”.. Makin banyak partai,
maka makin “keras” persaingan antar calon partai dan kemungkinan “transaksi”
dengan modus “korupsi-politik “ juga akan makin besar jumlahnya. Bagi saya, tantangannya adalah pada tahap pertama: “menyederhanakan partai politik” dalam arti mengurangi jumlahnya.[4]
Tahap berikutnya (kedua) adalah memutus
“mata rantai korupsi politik” dengan
membiayai (seluruh atau sebagian) “dana kampanye” calon-calon partai dari
anggaran pemerintah (APBD)[5].
Tetapi saya perkirakan dilemanya (dalam
arti: suatu keadaan sulit dan membingungkan) adalah pada kemauan partai-partai politik untuk
menyederhanakan sistem politik kita, karena akan dianggap sebagai mengurangi
kebebasan berekspresi dan turut serta dalam mengatur negara melalui partai
politik. Seandainya tantangan dan dilema diatas dapat diatasi (ingat dalam
rejim Orde Baru kita hanya punya tiga partai politik: Golkar – PPP –dan PDIP),
maka apakah dapat diharapkan korupsi
politik terberantas habis ? (harapan kita
!!!).
Sampai
di sini saya hanya memakai nalar dalam pemikiran saya, mempergunakan pandangan
bahwa inti perbuatan korupsi adalah di mana para pejabat publik memanfaatkan
kedudukan privilese mereka untuk memperoleh keuntungan ekonomi (economic gain). Dibawah ini saya akan
coba membahas pertanyaan dan harapan tersebut
dalam persepektif kriminologi (seperti diminta oleh panitia FGD).
Memberantas kejahatan atau memberantas
perilaku melanggar norma
Bila
melihat melalui pendekatan kriminologi, maka semua perilaku yang kita namakan “kejahatan”
(crime) adalah pada dasarnya perilaku
“penyimpangan norma-sosial” (social deviant
behavior). Dan norma-sosial itu itu tentu dapat berbeda dalam berbagai
kelompok masyarakat. Demikian juga apa yang dilarang disuatu negara, mungkin
dibenarkan dalam negara lain (misalnya penggunaan narkotika). Meskipun terdapat
banyak perilaku yang secara universal diterima sebagai kejahatan/perilaku
melanggar norma-sosial (misalya: penganiayaan, perkosaan, pembunuhan, pencurian
dsb-nya), tetapi sering perilaku ini berbeda unsur-unsurnya untuk dapat
dipidana. Relatifitas dari pelanggaran norma-sosial[6]
ini dikatakan dapat disebabkan antara lain oleh: 1)terdapat norma-sosial yang berbeda (mungkin pula bertentangan)
yang mengatur hubungan antar manusia dalam berbagai kelompok masyarakat (contoh
untuk ini adalah memberi fee kepada broker Bursa Efek adalah normal, tetapi
“fee” kepada ASN adalah korupsi (facilitatingpayment); dan 2)hubungan antara “penilai” dan
“pelanggar” menentukan pula apakah perilaku tersebut dipandang sebagai
penyimpangan dan tentang derajat keseriusannya (contoh untuk ini adalah berbeda
persepsi tentang demonstrasi pelajar dan mahasiswa di Jakarta September 2019
yang lalu)[7].
Untuk
korupsi-politik masalah relatifitas ini memang tidak terlalu “menggangu”
persepsi masyarakat, karena masyarakat dapat menghayati efek negatifnya untuk
pengembangan demokrasi dan pembangunan ekonomi, tetapi tetap kenisbian ini
dapat dipergunakan oleh pelaku untuk “menghindari” rasa-salah. Dalam
teori kriminologi dari mashab kritikal, dikenal pendekatan “interaksionis” yang bertujuan memahami arti perbuatan melanggar
norma itu bagi pelakunya sendiri.
Disini pelaku akan mencoba melindungi dirinya dengan “citra diri sebagai bukan
penjahat” (non-criminal self-image – pelaku
korupsi masih dapat tersenyum di muka sorotan televisi). Juga ada teori tentang
“techniques of neutralization” (David
Matza, 1957) yang serupa, (mungkin) dengan dalil bahwa perbuatannya adalah bermanfaat
untuk kepentingan partai politiknya. Kalau mengikuti teori anomie (Durkheim,1952)[8]
dan teori subculture (Robert Merton,1957)[9],
mungkin dapat diterangkan mengapa “budaya
korupsi-politik” ini sukar dihilangkan dari kehidupan politik (karena perbuatan ini dianggap suatu “kebiasaan”
dalam sistem dimana terdapat anomie – bila Anda ingin “sesuatu” Anda harus
bayar, bila tidak-mau bayar maka Anda tidak akan dapat apa-apa).
Pendapat yang
berkembang dalam bidang kriminologi adalah bahwa “kejahatan (baca: pelanggaran
norma-sosial) adalah normal dalam
suatu masyarakat” dan karena itu tidak
mungkin “diberantas habis” . Namun, mengurangi
kejahatan itu mungkin, dan salah satu cara untuk mengurangi korupsi-politik
adalah dengan memberikan hukuman kepada pelakunya. Namun, patut diingat bahwa hukuman
yang berat tidak terbukti akan mengurangi kejahatan. Hukuman yang berat dan
tidak proporsional dengan seriusnya kejahatan, hanya akan menimbulkan reaksi
timbulnya masyarakat yang punitive (suka
menghukum) dan kemudian akan timbul pula peraturan pidana yang tidak manusiawi
(draconian laws).
Memiskinkan koruptor
Apakah
ini berlaku juga dalam pembicaraan tentang korupsi-politik ? Seperti diuraikan
pada awal makalah korupsi-politik dimaksudkan untuk “mempertahankan” atau
“memperluas” kekuasaan politik. Korupsi-politik
dilakukan pada waktu atau sebelum dan sesudah pemilu. Pada waktu
atau sebelum pemilu dengan “menebar uang atau janji” untuk membeli suara
dan setelah pemilu dengan “memenuhi
janji” dengan memberikan proyek-proyek pemerintah. Dalam hal pelaku korupsi-politik
(pejabat yang terpilih) melakukan transaksi yang mengakibatkan terjadinya bureaucratic corruption, maka hal ini
akan “menambah harta kekayaannya”. Inilah yang perlu ditelusuri dan dirampas (memiskinkannya) dengan tujuan agar asas
yang sering dikemukakan “crime doesnot
pay” akan menjadi kenyataan. Namun, dilema yang perlu diatasi adalah
bagaimana “mencari dan merampas” aset bersangkutan. Terbukanya sejumlah “shell companies” melalui kasus “Panama Papers”,[10]dengan
pemiliknya sejumlah pejabat tinggi[11],membuktikan
bahwa penyimpanan dana dalam offshore
companies sebagai salah satu cara money
laundering sangat ter-organisasi. Keadaan ini menyebabkan bahwa tidak akan
mudah untuk “memiskinkan koruptor” dalam konteks di atas[12]. Para
pemilik-asli dana ini (beneficial owners)
bersembunyi dibalik para “wakil” atau “kuasa” mereka (nominees), yang sering adalah kantor-kantor para profesional hukum,
kenotariatan dan akuntansi.
Penutup
Saya
tidak dapat membuat kesimpulan-tuntas
atas pertanyaan “ adakah harapan
untuk memberantas habis korupsi
politik (ataupun korupsi pada umumnya) di Indonesia?” Dalam bahan pustaka yang
saya baca sering disebut tentang keberhasilan Lee Kuan Yew membersihkan
Singapura dari korupsi (pada tahun 1950-an Singapura masih penuh dengan kelompok-kelompok
kriminal yang melakukan pemerasan dan korupsi). Menurut Transparency International (TI), maka Singapura dengan nilai 7, “lebih-tidak-korup”
dibanding dengan Amerika Serikat dan Australia. Juga dalam berbagai makalah di Indonesia
sering dikemukakan bahwa “bersih”nya Singapura dari korupsi terlihat dari
laporan dalam Corruption Perception Index
(CPI) yang diterbitkan oleh TI. Dan sebagai
perbandingan (dan kritik) tentang “sistemiknya korupsi” di Indonesia, juga
dapat dibaca dalam laporan TI. Tetapi dapatkah kita mempercayai CPI ?
Karena dalam tulisan di The Global
Anticorruption Blog (GAB) dapat pula dibaca bahwa CPI itu “is not a valid, reliable measure of the
level of corruption because it is flawed methodologically”[13].
Rujukan
di atas hanya dimaksudkan untuk berhati-hati menilai korupsi di Indonesia
melalui CPI yang diterbitkan oleh TI. Disamping itu saya tidak yakin kita dapat
“memberantas-habis” (eradicate, eliminate)
korupsi pada umumnya dan korupsi- politik khususnya di Indonesia. Namun saya
percaya, bahwa melalui sistem yang telah dan masih kita bangun untuk
menanggulangi segala bentuk korupsi di Indonesia, perilaku ini dapat kita
kurangi (can be reduced and controlled but not eliminated). Sekian dan Terima Kasih.-
*Makalah ini telah disampaikan pada 23 Oktober 2019 dalam FGD di
Anti-Corruption Learning Center (ACLC) Komisi Pemberantasan Korupsi RI.
[1] Artidjo Alkostar dalam
disertasinya di UNDIP (2007). Lihat juga “Korupsi Dalam Sistem Hukum Indonesia”
dalam Mardjono Reksodiputro (2009) Menyelaraskan
Pembaruan Hukum, Jakarta: KHN-RI, hlm. 147-165.
[2] Heinz-Christian
Strache, Deputy Chancellor Austria dan pemimpin partai politik Freedom Party (FPO), tersadap
pembicaraannya (sting operation)
dengan seorang perempuan Rusia (kerabat seorang Konglomerat Rusia) untuk
menguasai sebuah Tabloid Austria “Kronen Zeitung”- Tabloid akan berkampanye
mendukung pemilu FPO dan Strache
berjanji akan menyalurkan sejumlah proyek pemerintah Austria kepada konglomerat Rusia tersebut.
[3] Pendapat ini adalah sesuai
dengan pendekata Bank Dunia yang berpendapat bahwa “corruption is predominantly an economic issue”, karena efeknya
kepada “economic growth” and “development” – Lihat juga Peter Gabosky “The prevention and control of economic
crime” dalam Peter Lamour & Nick Wolanin (Editors) (2001) Corruption
and Anti-Corruption, Asia Pacific Press, hlm. 146 -158.
[4] Lihat “Indonesia Butuh
Penyederhanaan Kepartaian” dalam Suara
Pembaruan,14 Oktober 2019, hlm.6 – Suatu ulasan tentang pendapat Prof.Dr.Valina
Singka Subekti , gurubesar ilmu politik UI.
[5] Lihat “Biaya Politik Mahal
Suburkan Korupsi” dalam Suara Pembaruan,
10 Oktober 2019, hlm.3 – Suatu ulasan tentang Kepala Daerah Terlibat
Korupsi 2004 – 2019, sejumlah 119
pejabat (103 Bupati/Walikota – 16 Gubernur).
[6] Lihat Mardjono
Reksodiputro (2007) Kriminologi dan
Sistem Peradilan Pidana, Jakarta:Lembaga Kriminologi UI, hlm. 39 - 45
[7] Masalah relatifitas ini
sering juga dimunculkan dengan ungkapan “one
person’s Bribe is another person’s Gift” dan dapat ditemui terutama dalam “petty corruption” – di Indonesia dengan istilah “uang rokok”.
[8] Ketiadaan norma yang jelas
tentang “etika berpolitik” dalam memenangkan persaingan politik.
[9] Sub-budaya yang
membenarkan perbuatan “korupsi politik” sebagai cara (means) mencapai tujuan (goal.)
[10] Terlibat di kasus ini
sebuah kantor hukum Monssach Fonseca di Panama. Kantor hukum ini telah membantu
perilaku Money Laundering dan Tax
Evasion, terungkap dari lebih dari 11 juta berkas yang dapat “dicuri”.
[11] Terdapat 12 pemimpin nasional ( a.l. Vladimir Putin, Nawaz
Sharif, Ayad Alawi (Iraq), Mubarak (Mesir) dan 143 pelaku/pejabat politik (politician).
[12] Lihat juga karangan saya
“Memiskinkan Koruptor Caranya ?”
dan “Apakah Kita Serius
Memiskinkan Koruptor?”, dalam Mardjono Resodiputro (2013) Perenungan Perjalanan Reformasi Hukum, Jakarta: KHN-RI, hlm.
327-338.
[13] Lihat tulisan prof.
Matthew Stephenson (Professor of Law,Harvard Law School) dalam GAB January
29,2019 “A
Reminder: Year-to-Year CPI Comparisons for Individual Countries are
Meaningless, Misleading and Should Be Avoided” dan dalam GAB February 7, 2019 “Some
Good News and Bad News About Transparecy International’s Interpretation of its
Latest Corruption Perception Index”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar