Kamis, 27 Februari 2020

Etika Dan Tanggungjawab Profesi Hukum*


Pendahuluan
Karena waktunya sempit untuk menulis karangan baru dan saya bukan ahli dalam masalah Etika Profesi Hukum, maka saya memakai karangan-lama saya yang pernah saya sampaikan dalam suatu Kuliah Umum untuk S2-Hukum Universitas Gajah Mada di Yogya[1]. Karangan-lama ini memang saya pilih karena mengkaitkan etika dengan nilai anti-korupsi. Menurut saya “etika profesi hukum” juga dapat  menjadi dasar untuk suatu “budaya hukum dengan nilai anti-korupsi” dalam profesi hukum.

Bagaimana kaitannya ?
Karangan-lama saya dimaksudkan untuk mendiskusikan bagaimana universitas dapat  “membangun budaya hukum yang menghargai “integritas”, yang intinya adalah pada: “kejujuran”, “keterbukaan”, dan “kesediaan bertanggung-jawab”  (honesty -  transparency – accountability ).

Menurut saya seorang yang bekerja dalam salah satu profesi hukum (advokat, jaksa dan hakim serta notaris) harus mempunyai penghargaan (memberinya nilai tinggi) atas ketiga sifat-moral atau karakter-moral di atas. Atas dasar ketiga sifat/karakter di atas dibangunlah “etika profesi”. Menurut saya,  etika–profesi ini adalah bagian dari ilmu tentang ahlak/moral (moral science),  yang akan menjadi dasar pemilihan  sikap kita yang anti-korupsi ataupun pilihan kita tentang apa yang baik dan apa yang buruk (merugikan orang lain), dalam kita menjalankan profesi hukum kita.

Harapan saya adalah bahwa setelah kuliah yang nanti akan Anda ikuti, Anda dapat menghargai (dapat memberi nilai tinggi) kepada “etika dan tanggungjawab profesi hukum”. Jadi janganlah Anda sekedar menghafal pasal-pasal Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI 2002). Ketentuan-dalam suatu Kode Etik akan selalu dirumuskan secara umum, apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan seorang Advokat sering terlalu umum dirumuskan, sehingga sering sukar dilaksanakan dalam praktek, kecuali bila kita memahaminya sebagai “kewajiban moral” untuk mengabdi kepada pelayanan-publik ( a moral duty of public service ).-

Apa yang (menurut saya) penting dari karangan-lama saya ini ?
Suatu peristiwa menarik (tahun 2014) terjadi di sebuah kota di Polandia, bernama POZNAN. Di sana sejumlah universitas menyerukan suatu pernyataan yang kemudian dikenal sebagai Poznan Declaration. Inti-sari deklarasi ini adalah agar di perguruan tinggi para mahasiswa dibekali pendidikan yang membantu mereka menghargai etika dan dengan itu bersikap anti-korupsi.

Pemikiran dibelakang deklarasi Poznan ini adalah bahwa “kemungkinan besar disfungsi yang terjadi di pemerintahan serta iklim perilaku anti-sosial yang terjadi dalam masyarakat, akarnya berasal pada para penentu kebijakan (decision makers ) yang kebanyakan mendapat pendidikan tinggi di universitas. Karena itu, cara utama membangun sikap anti-korupsi adalah dengan meneliti untuk menemukan dan menganalisa budaya, sikap dan perilaku “beracun” (toxic ) ini” (terjemahan bebas – hlm.3 karangan saya ). Yang dimaksud dengan “disfungsi di pemerintahan”  dan  “perilaku anti-sosial” adalah  sikap dan perilaku “pejabat pemerintah” yang melanggar etika dan sikapnya yang tidak mau bertanggungjawab.

Yang menarik bagi saya, adalah bahwa “dakwaan” ini tidak terdengar dibantah oleh perguruan tinggi, malah dikatakan “merupakan langkah pertama untuk perguruan tinggi bekerjasama dengan pemerintah, bisnis dan masyarakat-madani (civil society) dalam ikut berperang secara global melawan korupsi” (terjemahan bebas – hlm.3 karangan saya ).

Keadaan di atas mendapat reaksi dari dua orang gurubesar, yang pertama Marcus Tanneberg dari Universitas Gothenburg (yang juga salah seorang perumus Deklarasi Poznan), yang mengatakan bahwa dalam pelaksanaannya “jangan diharapkan akan ada “rumusan yang siap-pakai”, tetapi yang diharapkan adalah menginspirasi para pendidik agar mereka dapat sendiri mengintegrasikan nilai-nilai etika dan anti-korupsi dalam perkuliahan mereka” (terjemahan bebas – hlm.4 karangan saya ). Gurubesar yang kedua adalah Matthew Stephenson  dari Havard Law School (yang juga Editor Kepala dari Blog Anti-Korupsi), yang menulis karangan Can Universities Teach People Not to Be Corrupt ? Reflections on the Ponzan Declaration”. Beliau menekankan bahwa yang utama adalah untuk “menghilangkan korupsi dalam universitas”, karena mahasiswa itu kritis dan mustahil kita mengajarkan mereka anti-korupsi dalam suasana administrasi universitas yang korup. Yang dimaksud oleh beliau sebagai korupsi di universitas adalah: "pay bribes for grades admission, where cheating and plagiarism are rampant, and where other forms of corruption and dishonesty  are widespread” (hlm 4-5 karangan saya). Saya mendukung kedua pendapat ini, untuk membangun suatu komunitas di bidang profesi hukum yang menghargai dan menjalankan etika-profesi, maka para pendidik/pelatih profesi hukum haruslah memberi contoh melalui perilaku dirinya, dan tempat pendidikan/pelatihan itu juga haruslah menjadi contoh bagaimana menghargai dan melaksanakan etika profesi.

Empat tanggung jawab dan kewajiban seorang anggota profesi-hukum
Dalam suatu ceramah 15 tahun yang lalu (pada acara peringatan ulang tahun AAI ke-15 – 28 Juli 2005), saya menyampaikan tentang keempat kewajiban Advokat ini, yaitu kewajiban kepada : Masyarakat – Pengadilan – Sejawat Profesi – dan Klien. Silakan Anda membacanya dari buku saya Menyelaraskan Pembaruan Hukum, hlm.247 – 255, dalam karangan berjudul “Etika Profesi Menjunjung Kehormatan Advokat”.

Tetapi ada satu kewajiban yang ingin saya ulas sedikit, yaitu tentang kewajiban Advokat kepada Klien. Dalam Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) dikatakan bahwa Advokat adalah profesi hukum yang terhormat dan diberi istilah “Officium Mobile”.
Karena itu Advokat diberi kepercayaan penuh oleh Kliennya, dan hal ini diungkapkan dalam kalimat “the Lawyer as fiduciary” dan “the duty of fidelity”. Secara singkat uraian saya tentang “kewajiban Advokat kepada Klien”,  isinya adalah sebagai berikut:

a)Seorang Advokat wajib berusaha mendapat pengetahuan yang sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya tentang kasus kliennya. Dia wajib memberikan pendapatnya secara terus terang tentang perkaranya dan kemungkinan hasilnya
( hal ini berarti bahwa Advokat tidak boleh memberikan keterangan yang menyesatkan dan tidak boleh menjamin bahwa perkara yang ditanganinya akan menang );

b)Seorang Advokat harus menjaga agar dirinya tidak menerima kasus dari klien yang dapat menimbulkan “konflik kepentingan”( hal ini terutama harus dijaga dalam kantor hukum yang mempekerjakan sejumlah besar Advokat – dan juga dalam hal dua atau lebih Klien lama mempunyai kepentingan dalam perkara yang sama dan kepentingan ini saling bertentangan );

c)Seorang Advokat wajib menjaga rahasia jabatan (yaitu informasi konfidensial yang diberikan oleh Klien kepada advokatnya ) ( pertanyaan yang dapat timbul adalah apakah hal ini tetap berlaku setelah Klien wafat ? Dan bagaimana dengan informasi konfidensial bahwa Klien telah atau akan melakukan kejahatan? Dan bagaimana kalau informasi ini mempunyai implikasi tehadap keamanan publik atau keamanan negara ? );

d)Seorang Advokat berhak menolak menerima perkara seorang Klien, kecuali atas dasar agama, politik, atau status sosial. ( Akan tetapi seorang Advokat tidak dibenarkan melepaskan tugas yang diberikan oleh Kliennya pada saat tidak menguntungkan posisi Kliennya );

f)Seorang Advokat harus memperjuangkan dengan segala daya upaya kepentingan Kliennya ( tetapi hal ini tidak berarti bahwa kepercayaan yang diberikan oleh Klien dapat dilakukan dengan melanggar hukum – dalam hal ada kemungkinan keraguan, maka dia harus mengikuti hati-nuraninya dan bukan pendapat atau hati-nurani Kliennya ).-

Catatan : Meskipun yang saya sampaikan di atas ini adalah banyak tentang etika-profesi yang perlu diperhatikan seorang Advokat, namun kiranya moral yang terkandung didalamnya, dalam kenyataannya (ipso facto), dapat pula berlaku untuk profesi lainnya, seperti Hakim, Penuntut Umum dan Notaris.-

*Disampaikan pada 21 Februari 2020 sebagai Kuliah Pembuka/Pengantar tentang
Etika dan Profesi Hukum di STH Indonesia Jentera - Jakarta.



[1] Mardjono Reksoduputro ,2016,”Penguatan Integritas Mahasiswa Pascasarjana Dalam Membangun Budaya
   Hukum – Dapatkah Universitas Mengajar Lulusannya Untuk Tidak Melakukan Perilaku Koruptif ? – Catatan untuk
   Diskusi “, makalah disampaikan sebagai pemicu diskusi pada Kuliah Umum Program Pascasarjana Fakultas
   Hukum Universitas Gajah Mada, 30 Juli 2016.-   
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar