Pengantar
Keadilan Restoratif (Restorative
Justice) bukan hal baru lagi di Indonesia. Berbagai tulisan dan diskusi
telah disampaikan mengenai hal ini. Dari TOR yang disampaikan Panitia saya
menyimpulkan bahwa kali ini “keadilan
restoratif” (selanjutnya K-R) ingin
didekati dengan sudut pandang “korban-kejahatan” (K-K). Dan dalam sesi ke-1,diskusi
ingin menggali bagaimana K-R dapat membantu
pemberian keadilan kepada K-K. Sedangkan dalam sesi ke-2 diharapkan dapat didiskusikan cara mencegah terjadinya “K-K berulang”.
K-R memang penting dikaitkan dengan K-K, karena memang K-R
dikatakan terbentuk antara lain sebagai kritik terhadap Sistem Peradilan Pidana
yang cenderung mengabaikan peranan korban. Dan dalam situasi sekarang di mana
DPR dengan Pemerintah berada dalam tahap terakhir mendiskusikan suatu Rancangan
KUHP Nasional, yang akan merupakan pembaruan Hukum Pidana di Indonesia, maka
sudah tepat bahwa gagasan K-R dengan sudut pandang K-K kita diskusikan di
seminar ini..
Tentang Korban
Kejahatan
Perhatian internasional
terhadap K-K dalam Sistem Peradilan Pidana, tercatat sudah ada sejak tahun
1940-an, misalnya oleh ahli kriminologi Hans von Hentig (1949) dan Benjamin
Mendelsohn (1956). Dalam periode ini sejumlah tokoh kriminologi internasional
sudah meminta perhatian dan memperjuangkan agar korban dberikan pula perlakuan
adil dari masyarakat, dibanding perhatian yang sangat besar yang telah
diberikan oleh para ahli kriminologi kepada hak-hak tertuduh dan narapidana, sebagai
akibat diterimanya pemikiran bahwa tujuan pemidanaan adalah rehabilitasi
pelanggar hukum (dan bukan bertujuan pembalasan dendam). Kemudian perhatian
dunia ilmu pengetahuan mulai meningkat pula dengan dilangsungkannya Simposium
Internasional Pertama tentang Viktimologi (1973) yang diselenggarakan oleh World Society of Victimology. Sejak itu
penelitian tentang korban delik mendapat perhatian serius, antara lain tentang:
peranan korban dalam terjadinya delik,
hubungan antara pelaku dengan korban delik, mengenai mudah “diserangnya”
korban, kemungkinan menjadi korban-kembali/terulang, peranan korban dalam
proses peradilan pidana, ketakutan korban terhadap terulangnya kejahatan, sikap
korban terhadap peraturan hukum pidana dan acara pidana serta proses penegakan
hukum pada umumnya.[1]
Dalam kaitan penelitian seperti ini timbullah pemahaman
tentang posisi korban dalam suatu peristiwa kejahatan, antara lain adanya “latent victims” (mereka yang lebih
cenderung menjadi korban daripada orang lain, seperti: anak-anak dan perempuan)
dan “victim-prone occupations”
(pekerjaan yang cenderung lebih banyak menimbulkan korban, seperti: supir taxi
dan pelacur). Studi-studi seperti ini bertujuan untuk melaksanakan usaha
perlindungan dan pencegahan warga masyarakat menjadi korban. Penelitian juga menunjuk adanya
perbedaan dalam derajat kesalahan pada diri korban, seperti: yang sama sekali tidak bersalah – yang
menjadi korban karena kelalaiannya – yang sama salahnya dengan pelaku – yang
lebih bersalah daripada pelaku – dan di mana korban adalah satu-satunya yang
bersalah. Selanjurnya studi-studi dalam bentuk “survai terhadap korban” (victim surveys) juga menjadi penting, karena
antara lain dapat mengungkapkan: bagaimana
masyarakat yang pernah jadi korban bersikap terhadap masalah kejahatan, misalnya:
mengapa mereka tidak melapor – bagaimana risiko seseorang untuk menjadi
korban-kejahatan – adakah rasa takut dan tidak aman terhadap kemungkinan
terulangnya kejahatan pada mereka (meluasnya “fear of crime’).
Di Indonesia
perhatian terhadap korban ini dapat ditelusuri dari perhatian kriminolog Paul
Moedikdo dengan Teori Dialog-nya (awal 1960-an), dan kemudian diteruskan oleh
kriminolog Arif Gosita dengan makalahnya dalam Seminar Kriminologi Ke-III
(Oktober 1976) di Universitas Diponegoro, Semarang. Juga PBB telah memberi
perhatiannya kepada masalah korban ini dengan menerbitkan UN Declaration on the Basic Principles of Justice for Victims of Crime
and Abuse of Power (1985). Dan dalam tahun 2002 diselenggarakan suatu
Seminar Khusus tentang Victims and
Criminal Justice – Asian Perspective, di Keio University di Jepang, di mana diajukan dua makalah dari
Indonesia oleh Purnianti “Protection of
Female Victim of Violence in Indonesia” , dan oleh Mardjono Reksodiputro
dan Mudzakkir “Victimization in
Indonesia: An Expensive Lesson”.[2]
Dalam tahun 2011 Departemen Kriminologi FISIP-UI menerbitkan buku yang
disunting oleh Prof. Adrianus Meliala, yang berisi 12 karangan para Dosen,
berjudul Viktimologi – Bunga Rampai
Kajian Tentang Korban Kejahatan.[3]
Gambaran singkat dan pasti tidak lengkap di atas, hanya
ingin menjelaskan bahwa perhatian ilmu pengetahuan Kriminologi dan Hukum Pidana
di Indonesia terhadap masalah korban-kejahatan ini, sudah berjalan lama. Namun,
perhatiannya memang masih sekedar dalam memahami
peranan, sikap dan perasaan korban saja. Mengenai kaitannya dengan Restorative
Justice (K-R) belum terlihat
dalam bahan pustaka di atas. Selanjutnya akan dicoba menjelaskan tentang
K-R ini.
Tentang Keadilan
Restoratif
Pemahaman tentang situasi yang dihadapi korban tersebut di
atas, telah menimbulkan keinginan para ahli kriminologi dan hukum pidana, untuk
membangun suatu sistem peradilan pidana yang peka tentang masalah korban (a victim sensitive criminal justice system).
Mengapa ? Salah satu alasannya
adalah bahwa peranan korban-kejahatan untuk turut-serta menentukan bagaimana
proses perkaranya itu, telah ter-abaikan dalam sistem yang berlaku.. Dalam
sistem ini korban hanyalah sekedar pelapor dan saksi yang diperlukan negara.
Proses selanjutnya telah diambil alih oleh negara, dalam hal ini oleh
kepolisian dan kejaksaan. Pertanyaan yang timbul adalah: mengapa korban tidak
dapat ikut menentukan jalannya
proses penyelesaian perkaranya ? Pengecualian hanya ada pada delik-aduan, di
mana proses baru berjalan dengan pengaduan korban, dan yang masih dapat dicabut
oleh korban pada tahap sebelum sidang pengadilan. Jawaban yang umum diberikan
adalah: bahwa memberikan wewenang kepada korban turut menentukan proses
peradilan pidana, akan membuka kesempatan
proses yang lebih bersifat emosional
(amarah korban dan publik- hal ini dapat menimbulkan “lynch justice”- “main-hakim-
sendiri”) dan menghalangi keinginan kita mempunyai sistem peradilan pidana yang bersifat rasional.
Dalam kriminologi
saya ingin merujuk kepada mashab kritikal (critical
criminology) di mana terdapat pemikiran tentang “kriminologi konflik”. Menurut
mashab kritikal, maka penanggulangan kejahatan (dalam arti luas) seharusnya
dapat dilakukan melalui masyarakat yang lebih demokratis (berarti dengan
mengurangi proses konflik antara yang “berkuasa” dengan yang “dikuasai”).Dalam
mashab kritikal ini terdapat berbagai macam teori kriminologi, yang dapat
dinamakan teori-teori konflik-sosial,
yang melihat kejahatan itu sebagai fungsi dari konflik-konflik-sosial yang ada
dalam masyarakat. Misalnya, dalam tahun 1971, William Chambliss dan Robert
Seidman menerbitkan karangan mereka yang terkenal juga di Indonesia: “Law, Order and Power”, yang merupakan
referensi pula dari Prof.Satjipto Rahardjo dalam teori hukumnya yang dikenal
sebagai :Teori Hukum Progresif. Menurut Chambliss dan Seidman antara lain: “penguasaan atas sistem politik dan ekonomi akan
mempengaruhi bagaimana peradilan pidana dilaksanakan, dan definisi tentang
kejahatan akan dipengaruhi secara menguntungkan oleh mereka yang menguasai
sistem peradilan, oleh karena itu, peranan konflik dalam masyarakat perlu
dianalisa oleh ilmu pengetahuan yang netral”[4]..
Dengan mendasari pemikiran bahwa konflik-sosial adalah
salah satu penyebab kejahatan, maka diajukan pemikiran bahwa dengan meredusir
konflik-sosial,kejahatan dapat dikurangi dan salah satu caranya adalah melalui “restorative
justice”. Pendekatan K-R ini
menekankan pada “non-punitive strategies
to prevent and control crime”, dan mengedepankan peranan korban kejahatan
dalam mewujudkan strategi ini.[5]
Disinilah terdapat hubungan antara Restorative Justice (K-R) dengan Viktimologi (ilmu pengetahuan
mengenai korban-kejahatan).
Eva Achyani Zulfa memandang K-R ini sebagai suatu filosofi
pemidanaan.Dan sebagai falsafah ini, K-R dapat diterapkan dengan membingkainya
pada berbagai kebijakan, gagasan program dan penanganan perkara pidana. Cara
ini diharapkan akan menimbulkan hasil yang menciptkan
keadilan bagi pelaku, korban dan masyarakat
dan dengan itu menjawab berbagai masalah yang dihadapi sistem peradilan
pidana[6].
Untuk pengembangan ilmu pengetahuan hukum pidana, maka disinilah harus dilihat hubungan antara Viktimologi, Keadilan Restoratif
dan Sistem Peradilan Pidana. Penelitian-penelitian di Indonesia dalam tema
ini masih perlu banyak dilakukan.
Mendorong K-R dalam
Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia (Tema
seminar ini)
Seperti disampaikan sebelumnya, maka K-R dapat juga didekati
dengan pandangan viktimologi, dalam arti bahwa dalam Sistem Peradilan Pidana
(SPP), korban dan orang yang selamat dari suatu kejahatan (survivor) sering kali terlupakan atau terabaikan. Agar SPP
memperhatikan pula korban, maka di beberapa negara dalam hukum acara pidananya
dinyatakan tentang hak korban untuk mendapat victim impact statement (VIC) dalam sidang peradilannya.Isinya
menyatakan kerugian dan penderitaan yang dialami korban akibat kejahatan
tersebut. VIC ini harus diperhatikan oleh hakim dalam memberi keputusannya.
Dengan memperhatikan VIC, maka hakim dapat memberikan kompensasi (bantuan
keuangan dari negara - compensation)
dan atau “restitusi” (ganti-rugi dari pelaku - restitution ).Disini, maka K-R digambarkan bertujuan “to restore the health of the community,
repair the harm done, meet victim’s needs and require the offender to
contribute to those repairs” (mengembalikan kesejahteraan komuniti,
memperbaiki kerusakan yang terjadi, dan mewajibkan pelaku untuk turut menyumbang
guna perbaikan tersebut). Dasar pemikiran dalam K-R di sini adalah bahwa negara turut bersalah dalam terjadinya
kejahatan terhadap seorang warganya.
Pendapat yang lebih keras diajukan oleh John Braithwaite
(2003) dalam Principles of Restorative
Justice, di mana dikatakannya bahwa dengan Restorative Justice”, perlu diadakan: “a radical redesign of legal institutions, whereby the justice of the
people will more meaningfully bubble up into the justice of the law, and the
justice of the law will more legimately filter down to place limits on the
justice of the people” (diperlukan perombakan radikal dari lembaga-lembaga
hukum, agar rasa- keadilan-masyarakat akan meresap ke dalam rasa-keadilan-hukum
secara lebih berarti, dan rasa-keadilan-hukum akan lebih secara-sah meresap
untuk membatasi rasa-keadilan -masyarakat). Pendekatan Braithwaite di sini
lebih cenderung menggunakan teori-teori konflik-sosial yang melihat adanya
diskriminasi dalam penegakan hukum terhadap kelompok-kelompok “kelas-bawah” (lower class groups).
Kembali kepada pendapat Zulfa Achyani dalam disertasinya,
perlu diperhatikan bahwa kehadiran K-R dalam hukum pidana tidak bermaksud
mengabolisi hukum pidana, tetapi justru harus dilihat sebagai mengembalikan
fungsi hukum pidana pada jalurnya semula, yaitu pada fungsi ultimum remedium.
Penutup
Tidak ada kesimpulan yang akan ditarik dari uraian saya
ini, kecuali mengatakan bahwa masih banyak yang perlu diteliti dan didiskusikan bilamana kita menginginkan agar
Hukum Pidana Indonesia (hukum materiil dan hukum formilnya) lebih memperhatikan
korban-kejahatan. Namun demikian akan diajukan juga beberapa saran:
A)Mungkin kita
dapat mulai dengan memperluas tujuan SPP
kita; dari yang tradisional (dengan pendekatan offender centered) yaitu :
1)Mencegah warga masyarakat menjadi korban-kejahatan;
2)Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi, sehingga
masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan
3)Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan
tidak mengulangi kembali kejahatannya;
dengan menambahnya melalui
pendekatan korban (optik-korban), misalnya:
4)Memberikan kepada korban hak menerima
kompensasi dan restitusi dan melindunginya dari menjadi korban kembali;
B)Tetapi
disamping itu, kita juga dapat menyempurnakan KUHP/WvS kita dalam pasal 82
(transaksi tentang hapusnya kewenangan penuntutan) ke dalam pasal baru dalam R-KUHP Nasional yang
masih ada di DPR, dengan pasal yang memungkinkan dilakukannya penyelesaian kasus kejahatan diluar jalur peradilan pidana
(seperti dalam lembaga diversi pada UU No.11/2012 tentang Peradilan Anak).
Contoh dapat diambil dari pasal 74 KUHP Belanda, yang berbunyi (terjemahan
bebas intinya): “…Penuntut Umum berwenang sebelum dimulainya sidang pengadilan
mengajukan satu atau lebih syarat untuk mencegah penuntutan suatu tindak
pidana. Dengan dipenuhinya syarat (-syarat) tersebut, maka kewenangan menuntut
menjadi hapus. Adapun syarat (syarat) yang dapat diajukan adalah: …. (di sini dimasukkan syarat-syrat
dilakukannya proses Keadilan Restoratif dengan Korban dan Masyarakat).” Namun,
dengan melihat kondisi kepercyaan masyarakat terhadap kepolisian dan kejaksaan
sekarang ini, maka K-R ini sebaiknya
juga diawasi oleh hakim.
-Sekian dan terima kasih untuk perhatian yang telah
diberikan-.
[1]
Lihat Mardjono Reksodiputro, 2007,Kriminologi
dan Sistem Peradilan-Kumpulan Karangan –Buku Kedua, Lembaga Kriminologi UI,
hlm.71
[2]
Tatsuya Ota (Editor),2003, Victims and
Criminal Justice – Asian Perspective, Tokyo:Keio University
[3]
Adrianus Meliala (Penyunting),2011, Viktimologi
– Bunga Rampai Kajian Tentang Korban Kejahatan, Jakarta: Penerbit FISIP UI
Press.
[4]
Mardjono Reksodiputro (2010), Pemikiran
Kriminologi:Restorative Justice, Makalah tidak diterbitkan, disampaikan di
Departemen Kriminologi FISIP-UI.
[5]
Ibid
[6]
Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar