Kamis, 05 September 2019

Makalah Pengarah Seminar Nasional: Mendorong Pendekatan Keadilan Restoratif Dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia




Pengantar
Keadilan Restoratif (Restorative Justice) bukan hal baru lagi di Indonesia. Berbagai tulisan dan diskusi telah disampaikan mengenai hal ini. Dari TOR yang disampaikan Panitia saya menyimpulkan bahwa  kali ini “keadilan restoratif” (selanjutnya K-R) ingin didekati dengan sudut pandang “korban-kejahatan” (K-K). Dan dalam sesi ke-1,diskusi ingin menggali bagaimana K-R dapat membantu pemberian keadilan kepada K-K. Sedangkan dalam sesi ke-2 diharapkan dapat didiskusikan cara mencegah terjadinya “K-K berulang”.

K-R memang penting dikaitkan dengan K-K, karena memang K-R dikatakan terbentuk antara lain sebagai kritik terhadap Sistem Peradilan Pidana yang cenderung mengabaikan peranan korban. Dan dalam situasi sekarang di mana DPR dengan Pemerintah berada dalam tahap terakhir mendiskusikan suatu Rancangan KUHP Nasional, yang akan merupakan pembaruan Hukum Pidana di Indonesia, maka sudah tepat bahwa gagasan K-R dengan sudut pandang K-K kita diskusikan di seminar ini..

Tentang Korban Kejahatan
Perhatian internasional terhadap K-K dalam Sistem Peradilan Pidana, tercatat sudah ada sejak tahun 1940-an, misalnya oleh ahli kriminologi Hans von Hentig (1949) dan Benjamin Mendelsohn (1956). Dalam periode ini sejumlah tokoh kriminologi internasional sudah meminta perhatian dan memperjuangkan agar korban dberikan pula perlakuan adil dari masyarakat, dibanding perhatian yang sangat besar yang telah diberikan oleh para ahli kriminologi kepada hak-hak tertuduh dan narapidana, sebagai akibat diterimanya pemikiran bahwa tujuan pemidanaan adalah rehabilitasi pelanggar hukum (dan bukan bertujuan pembalasan dendam). Kemudian perhatian dunia ilmu pengetahuan mulai meningkat pula dengan dilangsungkannya Simposium Internasional Pertama tentang Viktimologi (1973) yang diselenggarakan oleh World Society of Victimology. Sejak itu penelitian tentang korban delik mendapat perhatian serius, antara lain tentang: peranan korban dalam terjadinya delik, hubungan antara pelaku dengan korban delik, mengenai mudah “diserangnya” korban, kemungkinan menjadi korban-kembali/terulang, peranan korban dalam proses peradilan pidana, ketakutan korban terhadap terulangnya kejahatan, sikap korban terhadap peraturan hukum pidana dan acara pidana serta proses penegakan hukum pada umumnya.[1]

Dalam kaitan penelitian seperti ini timbullah pemahaman tentang posisi korban dalam suatu peristiwa kejahatan, antara lain adanya “latent victims” (mereka yang lebih cenderung menjadi korban daripada orang lain, seperti: anak-anak dan perempuan) dan “victim-prone occupations” (pekerjaan yang cenderung lebih banyak menimbulkan korban, seperti: supir taxi dan pelacur). Studi-studi seperti ini bertujuan untuk melaksanakan usaha perlindungan dan pencegahan warga masyarakat menjadi  korban. Penelitian juga menunjuk adanya perbedaan dalam derajat kesalahan pada diri korban, seperti: yang sama sekali tidak bersalah – yang menjadi korban karena kelalaiannya – yang sama salahnya dengan pelaku – yang lebih bersalah daripada pelaku – dan di mana korban adalah satu-satunya yang bersalah. Selanjurnya studi-studi dalam bentuk “survai terhadap korban” (victim surveys) juga menjadi penting, karena antara lain dapat mengungkapkan: bagaimana masyarakat yang pernah jadi korban bersikap terhadap masalah kejahatan, misalnya: mengapa mereka tidak melapor – bagaimana risiko seseorang untuk menjadi korban-kejahatan – adakah rasa takut dan tidak aman terhadap kemungkinan terulangnya kejahatan pada mereka (meluasnya “fear of crime’).

Di Indonesia perhatian terhadap korban ini dapat ditelusuri dari perhatian kriminolog Paul Moedikdo dengan Teori Dialog-nya (awal 1960-an), dan kemudian diteruskan oleh kriminolog Arif Gosita dengan makalahnya dalam Seminar Kriminologi Ke-III (Oktober 1976) di Universitas Diponegoro, Semarang. Juga PBB telah memberi perhatiannya kepada masalah korban ini dengan menerbitkan UN Declaration on the Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power (1985). Dan dalam tahun 2002 diselenggarakan suatu Seminar Khusus tentang Victims and Criminal Justice – Asian Perspective, di Keio University di Jepang, di mana diajukan dua makalah dari Indonesia oleh Purnianti “Protection of Female Victim of Violence in Indonesia” , dan oleh Mardjono Reksodiputro dan Mudzakkir “Victimization in Indonesia: An Expensive Lesson”.[2] Dalam tahun 2011 Departemen Kriminologi FISIP-UI menerbitkan buku yang disunting oleh Prof. Adrianus Meliala, yang berisi 12 karangan para Dosen, berjudul Viktimologi – Bunga Rampai Kajian Tentang Korban Kejahatan.[3]

Gambaran singkat dan pasti tidak lengkap di atas, hanya ingin menjelaskan bahwa perhatian ilmu pengetahuan Kriminologi dan Hukum Pidana di Indonesia terhadap masalah korban-kejahatan ini, sudah berjalan lama. Namun, perhatiannya memang masih sekedar dalam memahami peranan, sikap dan perasaan korban saja. Mengenai kaitannya dengan Restorative Justice (K-R) belum terlihat dalam bahan pustaka di atas. Selanjutnya akan dicoba menjelaskan tentang K-R ini.


Tentang Keadilan Restoratif
Pemahaman tentang situasi yang dihadapi korban tersebut di atas, telah menimbulkan keinginan para ahli kriminologi dan hukum pidana, untuk membangun suatu sistem peradilan pidana yang peka tentang masalah korban (a victim sensitive criminal justice system). Mengapa ? Salah satu alasannya adalah bahwa peranan korban-kejahatan untuk turut-serta menentukan bagaimana proses perkaranya itu, telah ter-abaikan dalam sistem yang berlaku.. Dalam sistem ini korban hanyalah sekedar pelapor dan saksi yang diperlukan negara. Proses selanjutnya telah diambil alih oleh negara, dalam hal ini oleh kepolisian dan kejaksaan. Pertanyaan yang timbul adalah: mengapa korban tidak dapat ikut menentukan jalannya proses penyelesaian perkaranya ? Pengecualian hanya ada pada delik-aduan, di mana proses baru berjalan dengan pengaduan korban, dan yang masih dapat dicabut oleh korban pada tahap sebelum sidang pengadilan. Jawaban yang umum diberikan adalah: bahwa memberikan wewenang kepada korban turut menentukan proses peradilan pidana, akan membuka kesempatan proses yang lebih bersifat emosional (amarah korban dan publik- hal ini dapat menimbulkan “lynch justice”- “main-hakim- sendiri”) dan menghalangi keinginan kita mempunyai sistem peradilan pidana yang bersifat rasional.   

Dalam kriminologi saya ingin merujuk kepada mashab kritikal (critical criminology) di mana terdapat pemikiran tentang “kriminologi konflik”. Menurut mashab kritikal, maka penanggulangan kejahatan (dalam arti luas) seharusnya dapat dilakukan melalui masyarakat yang lebih demokratis (berarti dengan mengurangi proses konflik antara yang “berkuasa” dengan yang “dikuasai”).Dalam mashab kritikal ini terdapat berbagai macam teori kriminologi, yang dapat dinamakan teori-teori konflik-sosial, yang melihat kejahatan itu sebagai fungsi dari konflik-konflik-sosial yang ada dalam masyarakat. Misalnya, dalam tahun 1971, William Chambliss dan Robert Seidman menerbitkan karangan mereka yang terkenal juga di Indonesia: “Law, Order and Power”, yang merupakan referensi pula dari Prof.Satjipto Rahardjo dalam teori hukumnya yang dikenal sebagai :Teori Hukum Progresif. Menurut Chambliss dan Seidman antara lain: “penguasaan atas sistem politik dan ekonomi akan mempengaruhi bagaimana peradilan pidana dilaksanakan, dan definisi tentang kejahatan akan dipengaruhi secara menguntungkan oleh mereka yang menguasai sistem peradilan, oleh karena itu, peranan konflik dalam masyarakat perlu dianalisa oleh ilmu pengetahuan yang netral[4]..

Dengan mendasari pemikiran bahwa konflik-sosial adalah salah satu penyebab kejahatan, maka diajukan pemikiran bahwa dengan meredusir konflik-sosial,kejahatan dapat dikurangi dan salah satu caranya adalah melalui “restorative justice”. Pendekatan K-R ini menekankan pada “non-punitive strategies to prevent and control crime”, dan mengedepankan peranan korban kejahatan dalam mewujudkan strategi ini.[5] Disinilah terdapat hubungan antara Restorative Justice (K-R) dengan Viktimologi (ilmu pengetahuan mengenai korban-kejahatan). 

Eva Achyani Zulfa memandang K-R ini sebagai suatu filosofi pemidanaan.Dan sebagai falsafah ini, K-R dapat diterapkan dengan membingkainya pada berbagai kebijakan, gagasan program dan penanganan perkara pidana. Cara ini diharapkan akan menimbulkan hasil yang menciptkan keadilan bagi pelaku, korban dan masyarakat  dan dengan itu menjawab berbagai masalah yang dihadapi sistem peradilan pidana[6]. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan hukum pidana, maka disinilah harus dilihat hubungan antara Viktimologi, Keadilan Restoratif dan Sistem Peradilan Pidana. Penelitian-penelitian di Indonesia dalam tema ini masih perlu banyak dilakukan.   

Mendorong K-R dalam Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia (Tema seminar ini)
Seperti disampaikan sebelumnya, maka K-R dapat juga didekati dengan pandangan viktimologi, dalam arti bahwa dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP), korban dan orang yang selamat dari suatu kejahatan (survivor) sering kali terlupakan atau terabaikan. Agar SPP memperhatikan pula korban, maka di beberapa negara dalam hukum acara pidananya dinyatakan tentang hak korban untuk mendapat victim impact statement (VIC) dalam sidang peradilannya.Isinya menyatakan kerugian dan penderitaan yang dialami korban akibat kejahatan tersebut. VIC ini harus diperhatikan oleh hakim dalam memberi keputusannya. Dengan memperhatikan VIC, maka hakim dapat memberikan kompensasi (bantuan keuangan dari negara - compensation) dan atau “restitusi” (ganti-rugi dari pelaku - restitution ).Disini, maka K-R digambarkan bertujuan “to restore the health of the community, repair the harm done, meet victim’s needs and require the offender to contribute to those repairs” (mengembalikan kesejahteraan komuniti, memperbaiki kerusakan yang terjadi, dan mewajibkan pelaku untuk turut menyumbang guna perbaikan tersebut). Dasar pemikiran dalam K-R di sini adalah bahwa negara turut bersalah dalam terjadinya kejahatan terhadap seorang warganya.

Pendapat yang lebih keras diajukan oleh John Braithwaite (2003) dalam Principles of Restorative Justice, di mana dikatakannya bahwa dengan Restorative Justice”, perlu diadakan: “a radical redesign of legal institutions, whereby the justice of the people will more meaningfully bubble up into the justice of the law, and the justice of the law will more legimately filter down to place limits on the justice of the people” (diperlukan perombakan radikal dari lembaga-lembaga hukum, agar rasa- keadilan-masyarakat akan meresap ke dalam rasa-keadilan-hukum secara lebih berarti, dan rasa-keadilan-hukum akan lebih secara-sah meresap untuk membatasi rasa-keadilan -masyarakat). Pendekatan Braithwaite di sini lebih cenderung menggunakan teori-teori konflik-sosial yang melihat adanya diskriminasi dalam penegakan hukum terhadap kelompok-kelompok “kelas-bawah” (lower class groups).

Kembali kepada pendapat Zulfa Achyani dalam disertasinya, perlu diperhatikan bahwa kehadiran K-R dalam hukum pidana tidak bermaksud mengabolisi hukum pidana, tetapi justru harus dilihat sebagai mengembalikan fungsi hukum pidana pada jalurnya semula, yaitu pada fungsi  ultimum remedium. 




            Penutup
Tidak ada kesimpulan yang akan ditarik dari uraian saya ini, kecuali mengatakan bahwa masih banyak yang perlu diteliti dan  didiskusikan bilamana kita menginginkan agar Hukum Pidana Indonesia (hukum materiil dan hukum formilnya) lebih memperhatikan korban-kejahatan. Namun demikian akan diajukan juga beberapa saran:

A)Mungkin kita dapat mulai dengan memperluas tujuan SPP kita; dari yang tradisional (dengan pendekatan offender centered) yaitu :

1)Mencegah warga masyarakat menjadi korban-kejahatan;
2)Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan
3)Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi kembali kejahatannya;

dengan menambahnya melalui pendekatan korban (optik-korban), misalnya:

4)Memberikan kepada korban hak menerima kompensasi dan restitusi dan melindunginya dari menjadi korban kembali;

B)Tetapi disamping itu, kita juga dapat menyempurnakan KUHP/WvS kita dalam pasal 82 (transaksi tentang hapusnya kewenangan penuntutan) ke dalam pasal baru dalam R-KUHP Nasional yang masih ada di DPR, dengan pasal yang memungkinkan dilakukannya penyelesaian kasus kejahatan diluar jalur peradilan pidana (seperti dalam lembaga diversi pada UU No.11/2012 tentang Peradilan Anak). Contoh dapat diambil dari pasal 74 KUHP Belanda, yang berbunyi (terjemahan bebas intinya): “…Penuntut Umum berwenang sebelum dimulainya sidang pengadilan mengajukan satu atau lebih syarat untuk mencegah penuntutan suatu tindak pidana. Dengan dipenuhinya syarat (-syarat) tersebut, maka kewenangan menuntut menjadi hapus. Adapun syarat (syarat) yang dapat diajukan adalah: …. (di sini dimasukkan syarat-syrat dilakukannya proses Keadilan Restoratif dengan Korban dan Masyarakat).” Namun, dengan melihat kondisi kepercyaan masyarakat terhadap kepolisian dan kejaksaan sekarang ini, maka  K-R ini sebaiknya juga diawasi oleh hakim.

-Sekian dan terima kasih untuk perhatian yang telah diberikan-.


 Universitas Pancasila, Jakarta 17 Juli 2019
          



[1] Lihat Mardjono Reksodiputro, 2007,Kriminologi dan Sistem Peradilan-Kumpulan Karangan –Buku Kedua, Lembaga Kriminologi UI, hlm.71
[2] Tatsuya Ota (Editor),2003, Victims and Criminal Justice – Asian Perspective, Tokyo:Keio University
[3] Adrianus Meliala (Penyunting),2011, Viktimologi – Bunga Rampai Kajian Tentang Korban Kejahatan, Jakarta: Penerbit FISIP UI Press.
[4] Mardjono Reksodiputro (2010), Pemikiran Kriminologi:Restorative Justice, Makalah tidak diterbitkan, disampaikan di Departemen Kriminologi FISIP-UI.
[5] Ibid
[6] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar