(Suatu Ajakan untuk Era Revolusi Industri 4.0)
Pengantar
Saya diminta untuk menyumbang suatu karangan untuk
buku yang akan terbit sehubungan dengan 70 tahun Prof. Dr Maria Farida Indrati
Soeprapto, SH.MH. Bidang ilmu yang beliau tekuni adalah Hukum Konstitusi,
dengan pengkhususan pada Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan. Saya mulai kenal
beliau sebagai Asisten Dosen Prof.Prajudi gurubesar Ilmu Administrasi Negara pada
sekitar tahun 1970-an. Pada waktu itu Dekan FHUI adalah Prof.Padmo Wahjono yang
menggantikan Dekan Prof.R. Soekardono. Dan selanjutnya beliau menjadi Asisten
Dosen Dr.A.Hamid S.Attamimi[1]
yang mengajar matakuliah “Ilmu Pengetahuan Per-UU-an” dan mengintrodusir ke
dalam Bahasa Indonesia Hukum, istilah “peraturan perundang-undangan” sebagai
terjemahan Bahasa Belanda hukum “wettelijke
regels” dan “wetelijke regeling”. Karangan ini terinspirasi oleh keadaan
suasana-politik setelah Pemilu kita 17 April 2019.
Manusia Indonesia
Dalam bulan April tahun 1977 (32 tahun yang lalu) dalam
suatu ceramah di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Mochtar Lubis (wartawan senior
dan pejuang HAM) membuat geger masyarakat Indonesia dengan kritik tajamnya
tentang “manusia Indonesia”. Judul asli ceramah ini adalah “Situasi Manusia Indonesia Kini: Dilihat dari Segi Kebudayaan dan Nilai
Manusia”, yang kemudian diterbitkan dibawah judul “Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungan Jawab” (Idayu
Press,Jakarta,1977). Pandangan Mochtar Lubis mendapat banyak kritik dalam
perdebatan antara teman-teman saya di diskusi-diskusi Lembaga Kriminologi UI di
Kampus Salemba. Kebetulan pula pada waktu itu di media cetak banyak diberitakan
tentang “kasus Sawito” seorang guru kebatinan Jawa.
Meskipun saya juga merasa “orang Jawa” (ayah kelahiran
Rembang dan ibu dari Sumedang, tetapi dibesarkan di Betawi-Jakarta), tetapi
saya tidak tersinggung dengan gambaran Mochtar tentang manusia Indonesia dengan
“perilaku Jawa”-nya. Ceramah Mochtar kemudian diterjemahkan dengan judul “The Indonesian Dillemma” (Singapore:
Graham Brash Ltd, 1983). Saya berpendapat setuju bahwa tahun-tahun pada akhir
1970-an dan awal 1980-an memang merupakan masa di mana masyarakat Indonesia
menghadapi “situasi sulit yang mengharuskan orang menentukan pilihan antara dua
kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan – situasi sulit yang membingungkan” –
(inilah arti dilema dari Kamus Besar BI,hlm.329). Dan keadaan kebingungan dalam
dunia politik dan dunia ekonomi ini dihadapi oleh masyarakat Indonesia yang
sedang membangun bangsa dan negaranya.
Saya berpendapat bahwa semacam itulah “dilemma” yang
dihadapi kita sekarang ini, pasca Pemilu 17 April 2019. Dan saya merasa bahwa
pandangan Mochtar Lubis menjadi relevan kembali dengan 6 (enam) sifat-sifat
manusia Indonesia[2]
yang menimbulkan “situasi sulit yang membingungkan” ini. Tetapi tulisan saya di
bawah ini hanya “menyerempet” (bersinggungan dengan lembut) saja ceramah
Mochtar Lubis. Saya ingin bicara tentang pendidikan hukum di Indonesia, atau
lebih fokus lagi bicara tentang “Dilema di Indonesia tentang Pendidikan Hukum”.
Dilema Pendidikan Hukum
di Indonesia
Dalam tahun 2006 (13 tahun yang lalu), saya
menyampaikan penghargaan saya kepada Dekan Padmo Wahjono (1970 -1978), melalui
karangan berjudul “Padmo Wahjono Teman
Sejawat yang Mendukung Inovasi”[3]
.Inovasi yang saya maksudkan dalam karangan tersebut adalah keterbukaan beliau
kepada pemikiran di bidang pranata hukum yang menunjang pendidikan tinggi hukum.
Pada waktu itu disetujui melepaskan Lembaga Kriminologi dari Fakultas Hukum
agar menjadi lembaga multi-disiplin yang independen di bawah Rektor UI di
bidang Ilmu-ilmu Forensik (forensic
sciences) untuk mendukung sistem peradilan pidana, agar menggunakan
ilmu-ilmu forensik dari ahli-ahli independen lembaga tersebut. Beliau juga menyetujui dibentuknya dua
pusat penelitian untuk memajukan ilmu hukum Indonesia, yaitu Pusat Hukum Pidana
dan Pusat Hukum Ekonomi (yang kemudian menjadi cikal-bakal dibentuknya
Kekhususan Hukum Pidana dan Kekhususan Hukum Ekonomi pada Program Pascasarjana
Ilmu Hukum di Universitas Indonesia). Disetujuinya pula serta diberikannya
tempat untuk pendirian Pusat Dokumentasi Hukum yang pendanaannya dibantu oleh
Yayasan Asia (The Asia Foundation).Pusat
ini dimaksudkan untuk membantu “pencari-hukum” menemukan hukum tertulis yang
relevan dengan masalahnya. Gagasan-gagasan di atas dimaksudkan untuk mendorong pendidikan
di Fakultas Hukum menjadi lebih relevan dengan perkembangan dunia. Diprakarsai
pula oleh beliau agar FHUI mempunyai majalah hukum sendiri yang terbit secara
teratur dan memuat tulisan-tulisan para sarjana hukum dari dalam maupun luar
FHUI. Beliau menginginkan agar tulisan di bidang hukum dapat membantu pemahaman
perlunya pembaruan hukum Indonesia kearah yang lebih sesuai dengan masyarakat
Indonesia.Beliau meyakini, bahwa hanya menerjemahkan hukum yang berasal dari
masa Hindia-Belanda ke dalam Bahasa Indonesia tidaklah cukup, apalagi kalau
norma-norma hukum terjemahan tersebut diajarkan tanpa penilaian dalam
pendidikan tinggi hukum kita. FHUI waktu itu mulai merintis kerjasama-erat
dengan Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. Juga dengan para advokat melalui
PERADIN. Dalam bidang ekonomi dirintis kerja sama dengan BKPM (Badan Penanaman
Modal Asing) dan Sekretariat Kabinet. Pada waktu itu pula dadakan kerjasama di
bidang hukum dengan Belanda dan diperoleh kerjasama antar fakultas-fakultas
hukum melalui Konsorsium Ilmu Hukum.
Untuk ukuran jaman sekarang (abad ke-21 – tahun 2019)
gagasan-gagasan tersebut mungkin dapat dianggap “remeh”, tetapi pada tahun
1970-an (hampir 50 tahun yang lalu), model pendidikan tinggi hukum masih
mengacu pada model RH (Rechts Hogeschool).
Pada jaman itu pendidikan hukum mulai merasakan awal masuknya penanaman modal
asing dengan UU Penanaman Modal Asing (PMA) yang pertama, serta mulai tumbuhnya
profesi konsultan hukum yang membantu usaha pemerintah di bidang pembangunan
ekonomi. Untuk waktu itu, maka gagasan-gagasan di atas memang membantu
menghidupkan dunia hukum di Indonesia dan tentunya juga pendidikan tinggi
hukum.
Tetapi apakah pendidikan hukum kita telah terus
berkembang dan menghasilkan pemikiran-pemikiran yang cemerlang untuk membantu
pembentukan dan pelaksanaan hukum yang adil bagi para pihak yang behadapan di
muka pengadilan ? Menurut saya belum, karena sepertinya di dunia hukum
Indonesia, “inovasi-hukum” masih dilihat sebagai mimpi atau angan-angan saja. Dalam
pemikiran saya di bawah ini adalah beberapa saran atau gagasan untuk
melakukan “inovasi-hukum” di Indonesia,
khususnya menghadapi Era Revolusi Industri 4.0 [4]:
1)Perubahan atau
penambahan pada kurikulum fakultas/sekolah tinggi hukum <masalahnya
adalah perlunya meningkatkan mutu SDM
bidang hukum>;
2)Mengajak
sejumlah kantor hukum di Jakarta untuk membuat dan mendanai suatu Yayasan
mandiri (independen) Pro-bono Hukum <masalahnya adalah kesediaan kantor
hukum untuk bekerja sama menyediakan dana
bagi bantuan hukum cuma-cuma> ;
3)Mengajak
sejumlah kantor hukum di Jakarta untuk membuat dan mendanai suatu Yayasan
mandiri (independen) untuk Penelitian Hukum <masalahnya adalah kesediaan
kantor hukum untuk bekerjasama dengan fakultas-fakultas hukum menyediakan dana untuk penelitian hukum yang akan
membuka cakrawala baru di bidang hukum>;
Di bawah ini pemikiran singkat-sementara tentang saran
atau gagasan saya.Untuk mewadahi saran tersebut, saya ingin menempatkannya
dalam sebuah rencana Konsorsium Ilmu Hukum membentuk Laboratorium Hukum di setiap fakultas hukum.
Laboratorium Hukum
Salah satu dari sejumlah kritik yang diajukan kepada
lulusan fakultas hukum (negeri dan swasta) adalah bahwa mereka sering
“kurang-siap bekerja di bidang hukum” (di kantor hukum/law firm, pengadilan dan kejaksaan). Untuk itu mencontoh apa yang
dilakukan di beberapa fakultas ekonomi/bisnis (ilmu non- eksakta) yang
mempunyai laboratorium (seperti:laboratorium statistik, laboratorium
Bursa/Pasar Modal) dan tentunya fakultas bidang ilmu pasti dan ilmu alam (ilmu
eksakta) serta ilmu kesehatan, maka dalam tahun 1994, Konsorsium Ilmu Hukum
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (disingkat KIH), menawarkan adanya
laboratorium hukum (Lab-hukum) .Tentu saja dalam 25 tahun sejak tawaran
tersebut, telah terjadi banyak perubahan yang dibawa oleh perkembangan yang
pesat di bidang teknologi-komunikasi (seperti internet, e-commerce dan sejenisnya).Tetapi tujuannya tetap sama,yaitu
mempersiapkan lulusan melalui pendidikan dengan pendekatan terapan (applied approach), seperti telah
dinyatakan dalam tahun 1993 “perlunya perkuliahan diberikan dengan mencakup
tidak saja teori, tetapi juga mengenalkan mahasiswa pada ketentuan-ketentuan
hukum positif (seperti putusan pengadilan yang memuat pertimbangan hukum hakim
yang memuat perubahan atau penambahan atas penafsiran norma hukum lama) dan
kasus-kasus yang dianggap menimbulkan perdebatan atau kontroversi dalam
masyarakat hukum atau bahan dokumentasi hukum lainnya (seperti misalnya
peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan pusat). Bahan-bahan hukum
ini tidak dapat ditemukan oleh dosen-dosen dengan mudah, tetapi dapat
dipersiapkan oleh staf dosen/asisten dosen yang bekerja di laboratorium hukum.
Dengan kemampuan internet dan komputer pencarian dan persiapan bahan ini
harusnya sekarang menjadi lebih mudah.
Dikatakan dalam tahun 1994 tugas Lab-Hukum adalah:
a)menyelenggarakan pendidikan kemahiran dan b)membina pendidikan hukum dengan
pendekatan terapan. Dalam kerngka pemikiran seperti itu, maka Lab-Hukum akan
mempunyai unit-unit kerja seperti:
(1)Unit latihan kemahiran berlitigasi dengan sub-unit “moot court” ;
(2)Unit latihan kemahiran non-litigasi; dan
(3)Unit latihan memberi bantuan kepada orang tidak
mampu (legal aid).
Disamping ketiga unit-kerja inti ini, diusulkan pula
dua unit- kerja pembantu, yaitu:
4)Unit Penulisan Hukum; dan
5)Unit Pengajaran Bahasa.
[1]
Prof.Dr.Hamid Attamimi, SH, kemudian disamping menjadi dosen juga menjabat
sebagai Wakil Sekretaris Kabinet RI sampai wafatnya. Disertasi beliau berjudul
“Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”
(1990).
[2]
Menurut saya (secara singkat) enam sifat manusia Indonesia yang digambarkan Mochtar Lubis adalah: hipokrit,tidak satu,kata dengan perbuatan –
tidak berani tanggung jawab,selalu salahkan orang lain – masih bersikap
feodal,merasa diri paling benar – sangat percaya pada mistik yang bersifat
tahyul – lebih percaya pada intuisi dari pada fakta – tidak berani membuat
keputusan sendiri, lebih percaya pada bisikan penasihat (dari The Indonesian
Dillema, terjemahan Florence Lamoureux, 1983)
[3]
Diterbitkan dalam buku Ari Wahjudi Hertanto dan Sugito Sujadi (2007), Mengenang Prof.Padmo Wahjono,SH: Ilmu
Negara, Konstitusi dan Keadilan, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, hlm.21 – 41.
[4]Lihat
juga tulisan Prof.Sulistyowati Irianto (Maret 2019), “Tantangan Pendidikan Tinggi Hukum di Era 4.0”, diunduh dari
<https://kelembagaan.ristekdikti.go.id/> dan tulisan Prof.Mayling
Oey-Gardiner (September, 2018), “Tantangan
Pendidikan Tinggi Indonesia di Era Disrupsi dan Globalisasi”, diunduh dari
<https://www.ristekdikti.go.id/menristekditi-persaingan-global-di-era-revolusi-industri-4-0-semakin-ketat/>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar