Kamis, 05 September 2019

Pendidikan Hukum di Indonesia dalam Dilema



(Suatu Ajakan untuk Era Revolusi Industri 4.0)

Pengantar
Saya diminta untuk menyumbang suatu karangan untuk buku yang akan terbit sehubungan dengan 70 tahun Prof. Dr Maria Farida Indrati Soeprapto, SH.MH. Bidang ilmu yang beliau tekuni adalah Hukum Konstitusi, dengan pengkhususan pada Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan. Saya mulai kenal beliau sebagai Asisten Dosen Prof.Prajudi gurubesar Ilmu Administrasi Negara pada sekitar tahun 1970-an. Pada waktu itu Dekan FHUI adalah Prof.Padmo Wahjono yang menggantikan Dekan Prof.R. Soekardono. Dan selanjutnya beliau menjadi Asisten Dosen Dr.A.Hamid S.Attamimi[1] yang mengajar matakuliah “Ilmu Pengetahuan Per-UU-an” dan mengintrodusir ke dalam Bahasa Indonesia Hukum, istilah “peraturan perundang-undangan” sebagai terjemahan Bahasa Belanda hukum “wettelijke regels”  dan “wetelijke regeling”. Karangan ini terinspirasi oleh keadaan suasana-politik setelah Pemilu kita 17 April 2019.

Manusia Indonesia
Dalam bulan April tahun 1977 (32 tahun yang lalu) dalam suatu ceramah di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Mochtar Lubis (wartawan senior dan pejuang HAM) membuat geger masyarakat Indonesia dengan kritik tajamnya tentang “manusia Indonesia”. Judul asli ceramah ini adalah “Situasi Manusia Indonesia Kini: Dilihat dari Segi Kebudayaan dan Nilai Manusia”, yang kemudian diterbitkan dibawah judul “Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungan Jawab” (Idayu Press,Jakarta,1977). Pandangan Mochtar Lubis mendapat banyak kritik dalam perdebatan antara teman-teman saya di diskusi-diskusi Lembaga Kriminologi UI di Kampus Salemba. Kebetulan pula pada waktu itu di media cetak banyak diberitakan tentang “kasus Sawito” seorang guru kebatinan Jawa.

Meskipun saya juga merasa “orang Jawa” (ayah kelahiran Rembang dan ibu dari Sumedang, tetapi dibesarkan di Betawi-Jakarta), tetapi saya tidak tersinggung dengan gambaran Mochtar tentang manusia Indonesia dengan “perilaku Jawa”-nya. Ceramah Mochtar kemudian diterjemahkan dengan judul “The Indonesian Dillemma” (Singapore: Graham Brash Ltd, 1983). Saya berpendapat setuju bahwa tahun-tahun pada akhir 1970-an dan awal 1980-an memang merupakan masa di mana masyarakat Indonesia menghadapi “situasi sulit yang mengharuskan orang menentukan pilihan antara dua kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan – situasi sulit yang membingungkan” – (inilah arti dilema dari Kamus Besar BI,hlm.329). Dan keadaan kebingungan dalam dunia politik dan dunia ekonomi ini dihadapi oleh masyarakat Indonesia yang sedang membangun bangsa dan negaranya.

Saya berpendapat bahwa semacam itulah “dilemma” yang dihadapi kita sekarang ini, pasca Pemilu 17 April 2019. Dan saya merasa bahwa pandangan Mochtar Lubis menjadi relevan kembali dengan 6 (enam) sifat-sifat manusia Indonesia[2] yang menimbulkan “situasi sulit yang membingungkan” ini. Tetapi tulisan saya di bawah ini hanya “menyerempet” (bersinggungan dengan lembut) saja ceramah Mochtar Lubis. Saya ingin bicara tentang pendidikan hukum di Indonesia, atau lebih fokus lagi bicara tentang “Dilema di Indonesia tentang Pendidikan Hukum”.

Dilema Pendidikan Hukum di Indonesia
Dalam tahun 2006 (13 tahun yang lalu), saya menyampaikan penghargaan saya kepada Dekan Padmo Wahjono (1970 -1978), melalui karangan berjudul “Padmo Wahjono Teman Sejawat yang Mendukung Inovasi”[3] .Inovasi yang saya maksudkan dalam karangan tersebut adalah keterbukaan beliau kepada pemikiran di bidang pranata hukum yang menunjang pendidikan tinggi hukum. Pada waktu itu disetujui melepaskan Lembaga Kriminologi dari Fakultas Hukum agar menjadi lembaga multi-disiplin yang independen di bawah Rektor UI di bidang Ilmu-ilmu Forensik (forensic sciences) untuk mendukung sistem peradilan pidana, agar menggunakan ilmu-ilmu forensik dari ahli-ahli independen lembaga  tersebut. Beliau juga menyetujui dibentuknya dua pusat penelitian untuk memajukan ilmu hukum Indonesia, yaitu Pusat Hukum Pidana dan Pusat Hukum Ekonomi (yang kemudian menjadi cikal-bakal dibentuknya Kekhususan Hukum Pidana dan Kekhususan Hukum Ekonomi pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum di Universitas Indonesia). Disetujuinya pula serta diberikannya tempat untuk pendirian Pusat Dokumentasi Hukum yang pendanaannya dibantu oleh Yayasan Asia (The Asia Foundation).Pusat ini dimaksudkan untuk membantu “pencari-hukum” menemukan hukum tertulis yang relevan dengan masalahnya. Gagasan-gagasan di atas dimaksudkan untuk mendorong pendidikan di Fakultas Hukum menjadi lebih relevan dengan perkembangan dunia. Diprakarsai pula oleh beliau agar FHUI mempunyai majalah hukum sendiri yang terbit secara teratur dan memuat tulisan-tulisan para sarjana hukum dari dalam maupun luar FHUI. Beliau menginginkan agar tulisan di bidang hukum dapat membantu pemahaman perlunya pembaruan hukum Indonesia kearah yang lebih sesuai dengan masyarakat Indonesia.Beliau meyakini, bahwa hanya menerjemahkan hukum yang berasal dari masa Hindia-Belanda ke dalam Bahasa Indonesia tidaklah cukup, apalagi kalau norma-norma hukum terjemahan tersebut diajarkan tanpa penilaian dalam pendidikan tinggi hukum kita. FHUI waktu itu mulai merintis kerjasama-erat dengan Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. Juga dengan para advokat melalui PERADIN. Dalam bidang ekonomi dirintis kerja sama dengan BKPM (Badan Penanaman Modal Asing) dan Sekretariat Kabinet. Pada waktu itu pula dadakan kerjasama di bidang hukum dengan Belanda dan diperoleh kerjasama antar fakultas-fakultas hukum melalui Konsorsium Ilmu Hukum.

Untuk ukuran jaman sekarang (abad ke-21 – tahun 2019) gagasan-gagasan tersebut mungkin dapat dianggap “remeh”, tetapi pada tahun 1970-an (hampir 50 tahun yang lalu), model pendidikan tinggi hukum masih mengacu pada model RH (Rechts Hogeschool). Pada jaman itu pendidikan hukum mulai merasakan awal masuknya penanaman modal asing dengan UU Penanaman Modal Asing (PMA) yang pertama, serta mulai tumbuhnya profesi konsultan hukum yang membantu usaha pemerintah di bidang pembangunan ekonomi. Untuk waktu itu, maka gagasan-gagasan di atas memang membantu menghidupkan dunia hukum di Indonesia dan tentunya juga pendidikan tinggi hukum.

Tetapi apakah pendidikan hukum kita telah terus berkembang dan menghasilkan pemikiran-pemikiran yang cemerlang untuk membantu pembentukan dan pelaksanaan hukum yang adil bagi para pihak yang behadapan di muka pengadilan ? Menurut saya belum, karena sepertinya di dunia hukum Indonesia, “inovasi-hukum” masih dilihat sebagai mimpi atau angan-angan saja. Dalam pemikiran saya di bawah ini adalah beberapa saran atau gagasan untuk melakukan  “inovasi-hukum” di Indonesia, khususnya menghadapi Era Revolusi Industri 4.0 [4]:

1)Perubahan atau penambahan pada kurikulum fakultas/sekolah tinggi hukum <masalahnya adalah perlunya meningkatkan mutu SDM bidang hukum>;

2)Mengajak sejumlah kantor hukum di Jakarta untuk membuat dan mendanai suatu Yayasan mandiri (independen) Pro-bono Hukum <masalahnya adalah kesediaan kantor hukum untuk bekerja sama menyediakan dana bagi bantuan hukum cuma-cuma> ;

3)Mengajak sejumlah kantor hukum di Jakarta untuk membuat dan mendanai suatu Yayasan mandiri (independen) untuk Penelitian Hukum <masalahnya adalah kesediaan kantor hukum untuk bekerjasama dengan fakultas-fakultas hukum menyediakan dana untuk penelitian hukum yang akan membuka cakrawala baru di bidang hukum>;

Di bawah ini pemikiran singkat-sementara tentang saran atau gagasan saya.Untuk mewadahi saran tersebut, saya ingin menempatkannya dalam sebuah rencana Konsorsium Ilmu Hukum membentuk Laboratorium Hukum di setiap fakultas hukum.

Laboratorium Hukum
Salah satu dari sejumlah kritik yang diajukan kepada lulusan fakultas hukum (negeri dan swasta) adalah bahwa mereka sering “kurang-siap bekerja di bidang hukum” (di kantor hukum/law firm, pengadilan dan kejaksaan). Untuk itu mencontoh apa yang dilakukan di beberapa fakultas ekonomi/bisnis (ilmu non- eksakta) yang mempunyai laboratorium (seperti:laboratorium statistik, laboratorium Bursa/Pasar Modal) dan tentunya fakultas bidang ilmu pasti dan ilmu alam (ilmu eksakta) serta ilmu kesehatan, maka dalam tahun 1994, Konsorsium Ilmu Hukum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (disingkat KIH), menawarkan adanya laboratorium hukum (Lab-hukum) .Tentu saja dalam 25 tahun sejak tawaran tersebut, telah terjadi banyak perubahan yang dibawa oleh perkembangan yang pesat di bidang teknologi-komunikasi (seperti internet, e-commerce dan sejenisnya).Tetapi tujuannya tetap sama,yaitu mempersiapkan lulusan melalui pendidikan dengan pendekatan terapan (applied approach), seperti telah dinyatakan dalam tahun 1993 “perlunya perkuliahan diberikan dengan mencakup tidak saja teori, tetapi juga mengenalkan mahasiswa pada ketentuan-ketentuan hukum positif (seperti putusan pengadilan yang memuat pertimbangan hukum hakim yang memuat perubahan atau penambahan atas penafsiran norma hukum lama) dan kasus-kasus yang dianggap menimbulkan perdebatan atau kontroversi dalam masyarakat hukum atau bahan dokumentasi hukum lainnya (seperti misalnya peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan pusat). Bahan-bahan hukum ini tidak dapat ditemukan oleh dosen-dosen dengan mudah, tetapi dapat dipersiapkan oleh staf dosen/asisten dosen yang bekerja di laboratorium hukum. Dengan kemampuan internet dan komputer pencarian dan persiapan bahan ini harusnya sekarang menjadi lebih mudah.

Dikatakan dalam tahun 1994 tugas Lab-Hukum adalah: a)menyelenggarakan pendidikan kemahiran dan b)membina pendidikan hukum dengan pendekatan terapan. Dalam kerngka pemikiran seperti itu, maka Lab-Hukum akan mempunyai unit-unit kerja seperti:
(1)Unit latihan kemahiran berlitigasi  dengan sub-unit “moot court” ;
(2)Unit latihan kemahiran non-litigasi; dan
(3)Unit latihan memberi bantuan kepada orang tidak mampu (legal aid).
Disamping ketiga unit-kerja inti ini, diusulkan pula dua unit- kerja pembantu, yaitu:
4)Unit Penulisan Hukum; dan
5)Unit Pengajaran Bahasa.

   



[1] Prof.Dr.Hamid Attamimi, SH, kemudian disamping menjadi dosen juga menjabat sebagai Wakil Sekretaris Kabinet RI sampai wafatnya. Disertasi beliau berjudul “Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara” (1990).
[2] Menurut saya (secara singkat) enam sifat manusia Indonesia yang digambarkan Mochtar Lubis adalah: hipokrit,tidak satu,kata dengan perbuatan – tidak berani tanggung jawab,selalu salahkan orang lain – masih bersikap feodal,merasa diri paling benar – sangat percaya pada mistik yang bersifat tahyul – lebih percaya pada intuisi dari pada fakta – tidak berani membuat keputusan sendiri, lebih percaya pada bisikan penasihat (dari The Indonesian Dillema, terjemahan Florence Lamoureux, 1983)
[3] Diterbitkan dalam buku Ari Wahjudi Hertanto dan Sugito Sujadi (2007), Mengenang Prof.Padmo Wahjono,SH: Ilmu Negara, Konstitusi dan Keadilan, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm.21 – 41.
[4]Lihat juga tulisan Prof.Sulistyowati Irianto (Maret 2019), “Tantangan Pendidikan Tinggi Hukum di Era 4.0”, diunduh dari <https://kelembagaan.ristekdikti.go.id/> dan tulisan Prof.Mayling Oey-Gardiner (September, 2018), “Tantangan Pendidikan Tinggi Indonesia di Era Disrupsi dan Globalisasi”, diunduh dari <https://www.ristekdikti.go.id/menristekditi-persaingan-global-di-era-revolusi-industri-4-0-semakin-ketat/>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar