Jumat, 08 Maret 2019

Reformasi Lembaga Pemasyarakatan*


Implikasi Partisipasi Swasta
oleh:Prof.Mardjono Reksodiputro
dan Dr.Surastini Fitriasih[1]

Pengantar
Lembaga Pemasyarakatan (selanjutnya Lapas) mendapat falsafah baru tentang fungsi penjara di Indonesia, melalui pidato penerimaan gelar Doktor Honoris Causa Menteri Kehakiman Sahardjo,SH di Istana Negara pada tahun 1963. Setelah melalui sejumlah tahap pengembangan a.l. melalui tulisan Koesnoen, SH, Bahrudin Suryobroto dan Waliman,SH dan sejumlah lokakarya yang diselenggarakan bersama kalangan akademisi dan praktisi,maka terakhir kita punya UU 1995 No.12 tentang Pemasyarakatan Terpidana untuk menggantikan peraturan Hindia Belanda (Gestichten  Reglement, Staatsblad No. 708 tahun 1917) tentang kepenjaraan[2].Istilah “pemasyarakatan” ini, menurut saya, dipilih oleh Dr.Sahardjo sebagai terjemahan dari istilah dan konsep yang dikenal dalam bahan pustaka kriminologi dengan kata “resocialization”.

Dalam sejarah “kepenjaraan” jaman Hindia Belanda, maka penjara-penjara di Indonesia mempunyai “tempat-kerja” atau “bengkel-kerja” bagi para narapidana (selanjutnya “napi”). Pada waktu itu bengkel-kerja ini dipergunakan sebagai a)penghasil produk yang akan dipergunakan oleh kantor-kantor “gubernemen” atau diambil sebagai hasil pertanian/perkebunan dan pertambangan untuk diekspor, dan b)sekaligus sebagai tempat latihan-kerja napi untuk mencari penghasilan setelah selesai pidananya.[3]

Semasa konsep pemasyarakatan napi sedang mulai dikembangkan oleh Kementerian Kehakiman pada waktu itu, maka perlu dicatat adanya dua proyek untuk sosialisasi konsep baru ini di Indonesia. Pertama, dibukanya “lapas terbuka di Kalimantan Barat” dan Kedua, adanya pembuatan film dengan judul “Dari Sangkar ke Sanggar”.[4] Uraian singkat di atas ini dimaksudkan untuk menguraikan bahwa keinginan membuat “pidana penjara” lebih manusiawi dan bersifat mendidik sudah berjalan lama di Indonesia. Tujuan untuk membuka pendidikan khusus petugas pemasyarakatan melalui Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP – didirikan tahun 1963/1964 ) juga adalah dalam rangka politik kriminal ini. Hal ini juga tentunya tidak lepas dari perkembangan dunia, a.l. PBB yang mensponsori dikeluarkannya ketentuan tentang “pemberlakuan terhadap napi di lapas”.[5]

Permasalahan dan Pertanyaan Penelitian
Keadaan Lapas di Indonesia saat ini mengkhawatirkan. Permasalahannya (statement of the problem) secara singkat adalah sbb: Pertama, pertambahan penghuni Lapas, terutama di daerah urban/perkotaan, menyebabkan banyak Lapas di daerah perkotaan yang “penuh-sesak” (overcrowded) dihuni napi, sehingga konsep Pemasyarakatan Napi tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Kedua, pembangunan Lapas baru atau pun renovasi Lapas lama membutuhkan biaya anggaran yang belum mendapat prioritas dalam pembangunan ekonomi Indonesia, dan ketiga konsep kemitraan antara Pemerintah dan Swasta diharapkan dapat berjalan juga untuk mengatasi kedua masalah di atas.Yang terakhir ini dikenal sebagai “swastanisasi Lapas” dan untuk penelitian sementara ini dapat difokuskan kepada 3 (tiga) pertanyaan penelitian (research questions):
1)Apakah yang dimaksud dengan “swastanisasi Lapas” dan bagaimana kaitannya dengan konsep menghukum pelaku kejahatan dengan “pidana hilang kebebasan” ?;
2)Mengapa terjadi kelebihan penghuni dan mungkinkah diambil kebijakan menghindari hal ini atau sekurang-kurangnya meringankan penderitaan napi dalam Lapas ?;
3)Apakah “swastanisasi Lapas” merupakan solusi terbaik dan apa persyaratannya ?  

Selayang Pandang tentang Prison Privatization
Swastanisasi Lapas bukanlah konsep baru dalam penology (ilmu pengetahuan tentang pemidanaan). Buku-buku kriminologi sudah membahasnya terutama untuk pelaksanaannya di Amerika Serikat dan Inggris, dengan berbagai permasalahannya.  Pembahasan tentang kerjasama dalam pemidanaan antara pemerintah/penegak hukum dengan swasta di Inggris dapat dibaca dalam bahan pustaka dengan tekanan pada kritik terhadap pelaksanaannya. Pertama, adanya kemungkinan penyalahgunaan oleh pihak swasta (exploitation and mistreatment), kedua tidak efektifnya pengawasan (oversight) pemerintah terhadap pihak swasta, dan ketiga, kemungkinan terjadinya korupsi (penyalahgunaan kekuasaan) antara pejabat pemerintah, petugas pengawasan, petugas Lapas dan pihak swasta. [6]

Pada awal 1970-an politik kriminal untuk melakukan “swastanisasi” Lapas dilakukan di Inggris pada rumah-tahanan untuk “suspected illegal immigrants” tetapi kemudian juga dilanjutkan pada tempat tahanan untuk “remand prisoners” (tahanan pengadilan). Namun, sampai tahun 1987 masih ada perbedaan pendapat antara Pemerintah yang tidak menyetujui “privatizing the prisons or handing over the business of keeping prisoners safe to anyone other than government servants” dengan DPR Inggris (House of Commons) yang menyetujui “for private firms to be allowed to tender for the construction and management of custodial institutions” (Cavadino, 2003: 230). Tetapi kemudian dalam “the Criminal Justice Bill 1991”, pasal 84 memperluas kewenangan Pemerintah untuk melibatkan swasta dalam rumah tahanan (remand centers) dan lapas (prisons), yang menghasilkan lapas-lapas “DCMF” (designed – constructed – managed – financed by the private sector). Model ini yang kemudian dipergunakan dalam mendirikan lapas-lapas baru dengan melakukan kerjasama melalui kontrak. Menurut Cavadino dalam kontrak-kontrak ini “the private contractors arrange finance to meet the capital cost and only start to receive payments when the first places become available. Thereafter, the Prison Service pays a set fee for each available place over a 25-year period” (Cavadino & Dignan, 2003: 232).

Di Indonesia, kemungkinan partisipasi publik dalam bidang pemasyarakatan narapidana sebagai suatu kebijakan resmi pemerintah dapat dilihat dalam kebijakan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata dalam peraturan No. M.HH-OT.02.02 Tahun 2009, tentang Cetak Biru Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan dengan Lampiran sepanjang 183 halaman, yang terbagi atas 10 Bab. Dalam Bab IX tentang Manajemen Perubahan Sistem Pemasyarakatan terdapat sub-bab no.7 tentang Kemitraan. Perlunya kemitraan dilihat sebagai sarana menunjang perubahan yang dituju dalam peraturan tersebut. Dikatakan :”Selain membantu dari aspek pembiayaan, kemitraan juga menunjang perumusan strategi yang lebih efektif” (Per.Men.02.02/2009: 174). Meskipun kebijakan ini sudah berumur 10 tahun, namun, partisipasi publik seperti digambarkan di atas di Inggris, dengan kerjasama melalui kontrak,  belum terlihat dilakukan di Indonesia (observasi tahun 2019).

Sedikit tentang Pidana Kehilangan Kebebasan
Bila melihat kepada media massa, maka sikap masyarakat Indonesia dewasa ini dengan dukungan kebijakan kriminal pemerintah adalah “highly punitive” dengan dasar “law and order ideology”. Strategi menghadapi kejahatan ini terutama ditujukan kepada tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika dan tindak pidana terorisme. Namun, strategi dengan “general deterrence” sebagai pembenaran pemidanaan ini dalam prakteknya juga ditujukan kepada kejahatan dan pelanggaran hukum lainnya. Rancangan KUHP Nasional telah mencoba untuk mengurangi pidana kehilangan kemerdekaan (pidana penjara) dengan menekankan pada pidana alternatif, antara lain pidana denda. Namun, dengan lambatnya pembicaraan tentang RKUHP ini di DPR, maka pidana penjara masih merupakan pidana–utama yang dijatuhkan oleh pengadilan-pengadilan di Indonesia. Kalau mau dikaji secara jujur, maka praktek pelaksanaan pidana penjara dewasa ini belumlah sejalan dengan konsep “Pemasyarakatan Narapidana Sahardjo”. Dengan menjalankan konsep Sahardjo yang tidak menghendaki Lapas menjadi “sekolah tinggi kejahatan” dan berpegang pada prinsip “negara tidak berhak membuat narapidana menjadi lebih buruk sifatnya, dibanding sebelum dijatuhi pidana penjara”, maka kebijakan kriminal yang dianut haruslah to protect and uphold the human rights of offenders, victims and potential victims of crime” (Cavadino & Dignan 2003: 5-6). Dengan memperhatikan tujuan pidana penjara yaitu mengembalikan narapidana ke dalam masyarakat sebagai “law-abiding citizens”, maka program latihan kerja dalam Lapas dan Community Based Corrections haruslah utama.[7]  

Overcrowded (Kelebihan Penghuni)  dalam Lapas di Indonesia
Dari laporan-laporan di media massa diketahui bahwa banyak lapas-lapas di kota-kota besar telah mengalami kelebihan penghuni narapidana.[8] Jumlah seluruh penghuni di Lapas-lapas di Indonesia per September 2014 adalah 159.704 orang (narapidana: 110.035 dan tahanan: 49.669), yang terbagi lagi atas Dewasa Pria: 147.031, Dewasa Wanita: 8.226, Anak Pria: 4.369 dan Anak Wanita: 78.[9] Kelebihan penghuni ini disebabkan tingginya jumlah populasi Lapas, karena “kiriman” dari Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan, sedangkan fasilitas yang tersedia tidak cukup untuk menampung jumlah tersebut.

Lapas-lapas di Indonesia sebagian besar adalah warisan jaman Hindia Belanda dan karena itu fasilitasnya juga sudah tidak memadai lagi, apalagi kalau terjadi “overcrowding”. Dengan kelebihan penghuni ini, ditambah dengan fasilitas yang tidak memadai lagi, ada kemungkinan pula terdapat penambahan beban-kerja karena kekurangan petugas pemasyarakatan (understaffing) dan hal ini dapat menimbulkan pula “keresahan” pada petugas. Dengan kondisi seperti ini maka kemungkinan terjadi pelangaran disiplin ataupun pelanggaran hukum menjadi lebih besar. Pelanggaran seperti pemilikan dan penggunaan HP, Narkoba, dan barang-barang terlarang lainnya lebih mudah terjadi. Juga kemungkinan perkelahian dan kerusuhan antar narapidana menjadi lebih besar pula. Dan tentunya kemungkinan larinya narapidana dari Lapas.  



Penjara Terbuka untuk Napi dengan “Keamanan Minimum”
Dengan mengutamakan “to protect and uphold the human rights of offenders” dalam politik atau kebijakan kriminal negara, maka Pemerintah seharusnya dapat mulai melaksanakan “penjara terbuka" (open prisons). Pembangunan Lapas-lapas terbuka akan lebih murah dan dapat dipergunakan untuk menampung “kelebihan penghuni” dari lapas-lapas disekitarnya. Tentunya penghuni lapas-lapas terbuka ini adalah para narapidana yang termasuk “berisiko-kecil akan melarikan diri” dari lapas atau napi yang perlu pengawasan keamanan minimum (minimum security prisoners). Apabila lapas menyediakan program pendidikan dan program latihan kerja yang baik dan bermanfaat bagi napi, maka dapatlah diharapkan akan adanya insentif bagi napi untuk menyelesaikan “tanggungjawab pidananya” dan tidak melarikan diri.

Lapas-terbuka juga adalah lebih manusiawi dan memberikan kepada napi juga rasa harga-diri kembali. Kenyon J.Scudder yang memimpin sebuah Lapas terbuka di Amerika Serikat, mengatakan bahwa falsafah yang harus dianut oleh para petugas dari Lapas-terbuka ini adalah “prisoners are people and that they must be returned to society wirh a better attitude than when they entered prison, that they must be taught the dignity of honest work, given the opportunity to acquire new skills by which they may make an honest living and stay out of trouble”[10].Dikatakannya pula, adalah keliru pendapat bahwa dengan menghukum seseorang dalam penjara dengan tembok-tembok tinggi, maka dia akan pasti bertaubat. Ada kemungkinan  dia akan keluar dari lapas dengan rasa marah dan benci terhadap masyarakat yang telah “mengurung”nya tanpa memberi dia kesempatan untuk memperbaiki nasibnya. Sikapnya kemudian terhadap masyarakat di mana dia harus kembali, akan banyak tergantung pada bagaimana dia merasa diperlakukan di dalam lapas.   

Swastanisasi Lapas (Penjara) Terbuka
Dengan minimnya anggaran yang mungkin akan diperoleh dari Pemerintah untuk membangun lapas-lapas baru dengan model bangunan dengan tembok tinggi dan pengamanan yang ketat untuk menghindari pelarian napi, maka adalah suatu kesempatan untuk mengajak swasta berpartisipasi dalam bidang pemasyarakatan narapidana. Swasta yang merupakan perusahaan komersial tentunya mengharapkan adanya keuntungan dari partisipasi ini.Sebagai percobaan dalam pembangunan dan pengelolaan Lapas, maka disarankan untuk memulai kerjasama dengan perusahaan swasta atau BUMD di bidang pertanian dan perkebunan.

Kerjasama ini dilakukan dengan kontrak (mungkin dengan model “build-operate-transfer” - BOT), yang secara rinci menguraikan hak dan kewajiban masing-masing pihak (Kementerian Hukum dan HAM  serta  Perusahaan Swasta). Secara garis besar Perjanjian (Kontrak) kerjasama ini memuat (A) tentang Bangunan Lapas dan fasilitas bekerja untuk napi, (B) tentang Narapidana dalam Lapas, (C) tentang Pengelolaan (management) Lapas, (D) tentang Petugas Pemasyarakatan dan Staf Perusahaan, dan (E) tentang Keuangan.

Bangunan Lapas (A) dapat merupakan bangunan lama yang direnovasi menjadi Lapas-Terbuka atau dapat merupakan lapas baru yang dibangun serupa dengan “asrama TNI”.Fasilitas kerja dapat berupa bengkel-kerja di dalam atau di luar lapas atau merupakan lahan pertanian atau perkebunan milik perusahaan swasta.  Narapidana dalam Lapas (B) akan mengikuti peraturan disiplin yang sekarang berlaku di lapas (atau bagian dari lapas) dengan “minimum security”, dan mereka tetap memperoleh hak dan kewajiban sesuai peraturan yang ada.Kewajiban mereka adalah bekerja di fasilitas yang disediakan perusahaan swasta dan untuk itu mereka mendapat “upah” yang memenuhi ketentuan dari Kementerian Tenaga Kerja-uang tersebut dimasukkan dalam tabungan yang dikelola bank pemerintah. Pengelolaan lapas terbuka (C) tetap berada ditangan Ditjen Pemasyarakatan dengan Kepala lapas yang diangkat oleh MenKumHam dan merupakan Aparat Sipil Negara. Bengkel-kerja dan Pertanian serta Perkebunan yang merupakan milik perusahaan swasta tetap dikelola secara mandiri dengan para napi bekerja di bawah pengawasan bersama Petugas Pemasyarakatan dan Staf Perusahaan. Petugas Pemasyarakatan yang dipilih bekerja di Lapas-terbuka (D) harus melalui seleksi dan pelatihan khusus, begitu pula anggota Staf Perusahaan harus diseleksi dan dilatih khusus dalam membimbing dan mengawasi narapidana yang bekerja di bagiannya.Tentang keuangan (E) diperlukan peraturan khusus bilamana terjadi kontrak dengan model BOT, penambahan gaji Petugas Pemasyarakatan dan pengaturan gaji narapidana yang bekerja pada Perusahaan dilakukan dengan pengawasan Kementerian Keuangan.


Swastanisasi Lapas Solusi atau “Kotak Pandora” ?
Cavadino dan Dignan mengingatkan adanya tiga kemungkinan utama yang dapat menggagalkan kerjasama Lapas dengan perusahaan swasta. Pertama adalah “penyalahgunaan kekuasaan”, kedua adalah “tidak efektifnya pengawasan” dan ketiga adalah “korupsi”. Terlalu luas untuk menguraikan ketiga hal ini, cukup dengan mengatakan bahwa ketiga hal ini memang dapat menjadi “batu sandung” di bidang “management”, bagi kerjasama dalam suatu “joint venture” yang diharapkan menguntungkan kedua belah pihak (mitra kerjasama). Yang berbeda dengan kerjasama dalam usaha bisnis umum adalah di sini “tenaga kerja”  tidak bebas dan lingkungan di mana kerjasama ini berlangsung belum tentu “mendukung”. Kemungkinan ada napi yang melarikan diri dari lapas-terbuka memang harus diantisipasi, namun hal itu jangan sampai menggangu falsafah lapas-terbuka yang didasarkan atas rasa penghormatan pada individu dan saling mempercayai. Begitu juga rasa cemas lingkungan terhadap kemungkinan seorang napi melarikan diri dan “mengulang kejahatannya” di lingkungan tersebut, tentu harus pula diperhatikan. Karena itu, sering pula dikatakan, bahwa menyelenggarakan lapas- terbuka ditengah masyarakat akan serupa dengan membuka suatu “kotak Pandora”. Artinya, akan timbul berbagai masalah yang tidak mudah diselesaikan, apalagi sekarang dengan adanya mitra-kerja berupa perusahaan swasta akan timbul pula benturan kepentingan dengan tenaga kerja penduduk di sekitar lapas-terbuka tersebut.     
                                                          
Penutup: Kesimpulan dan Saran
Dengan memperhatikan permasalahan dan pertanyaan penelitian pada awal makalah ini, akan diambil kesimpulan sebagai berikut:
1)Swastanisasi lapas adalah suatu “joint venture” (selanjutnya “J-V” )antara Kementerian Hukum dan HAM dengan pihak swasta, khususnya perusahaan swasta, untuk mengelola bersama suatu lapas-terbuka. Mengapa lapas-terbuka ? Karena kerjasama dalam bentuk “J-V” ini membutuhkan bantuan dana dari pihak swasta untuk “merenovasi” bangunan lapas lama atau membangun lapas-lapas baru, untuk menambah daya-tampung lapas untuk napi yang mendapat “pidana hilang kebebasan”. Sebagai lapas-terbuka diharapkan biaya renovasi atau pembangunan baru akan lebih murah, sehingga perusahaan swasta yang harus investasi lebih tertarik.   

2)Kelebihan penghuni yang terjadi sekarang adalah karena lapas-lapas yang ada sebagian besar adalah lapas lama yang dibangun berdasarkan falsafah Reglemen Kepenjaraan 1917 Hindia Belanda (lebih dari 100 tahun yang lalu). Kalau kita konsekuen menerapkan Konsep Pemasyarakatan Narapidana dari Sahardjo 1963 (46 tahun yang lalu) melalui UU 12/1995 (24 tahun yang lalu), maka lapas-lapas tersebut sudah tidak layak untuk program-program pembinaan napi untuk memungkinkan mereka berintegrasi kembali ke dalam masyarakat. Kelebihan penghuni ini juga disebabkan kebijakan kriminal yang dipakai di Indonesia adalah “highly punitive approach” yang menggantungkan diri pada “pidana hilang kebebasan”.  

3)Untuk kondisi Indonesia masa kini, dengan minimnya anggaran yang dapat disediakan untuk pembangunan lapas-lapas baru dan tidak mudahnya mengubah kebijakan kriminal yang dianut negara dan masyarakat umum (general public), maka “swastanisasi lapas-terbuka” memang masih akan
 merupakan solusi terbaik. Memang untuk memulai “pembaruan/reformasi” di bidang pemasyarakatan narapidana di Indonesia tidak mudah. Diperlukan “kemauan politik” yang kuat (seperti untuk pemberantasan korupsi) dan adanya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang tangguh dan didukung oleh organisasi masyarakat (seperti dukungan terhadap KPK). Buku “Refleksi 50 Tahun Sistem Pemasyarakatan (Narapidana) – Anatomi Permasalahan dan Upaya Mengatasinya” yang disusun tahun 2015, seharusnya menjadi awal dari suatu perjuangan reformasi ! SARAN-nya: Mulailah dengan hati-hati, tetapi dengan tekad yang kuat bahwa swastanisasi lapas-terbuka di Indonesia bertujuan :”to protect and uphold the human rights of offenders, victims and potential victims of crime”.



*Makalah ini disampaikan dalam “Seminar Reformasi Fungsi Lembaga Pemasyarakatan Sebagai Institusi Pembinaan Terpidana”

Pusat Kajian Lembaga Pemasyarakatan – Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia
Jakarta, 6 Maret 2019 




Daftar Pustaka:

Aranoval, M.Ali,  Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Pemasyarakatan” dalam Hasanudin Massaile dkk,(2015) Refleksi 50 Tahun Sistem Pemasyarakatan – Anatomi Permasalahan dan Upaya Mengatasinya, Jakarta: Center for Detention Studies.

Cavadino, Michael &James Dignan (2003), The Penal System – An Introduction (A Brief History of Prison Privatization).Third Edition, SAGE Publications.

Kenyon J.Scudder (1952), Prisoners Are People, Garden City N.Y.: Doubleday & Company

Mardjaman dkk,  “Perlindungan dan Penghormatan Hak Pelanggar Hukum” dalam Hasanudin Massaile dkk (2015),  Refleksi 50 Tahun Sistem Pemasyarakatan – Anatomi Permasalahan dan Upaya Mengatasinya, Jakarta: Center for Detention Studies.

Sudirman, Dindin Sudirman “Permasalahan Yang Dihadapi Pemasyarakatan” dalam Hasanudin Massaile dkk (2015), Refleksi 50 Tahun Sistem Pemasyarakatan – Anatomi Permasalahan dan Upaya Mengatasinya, Jakarta: Center for Detention Studies.





[1]Garis-besar Makalah dibuat oleh Prof.Mardjono Reksodiputro dan dikembangkan oleh Dr.Surastini Fitriasih, yang juga melakukan penelitian bahan pustaka dan diskusi.
[2] Ada pendapat bahwa asal kata “penjara” adalah dari kata “jera” (lihat Kamus Besar Bah.Ind);
[3] Kata “gubernemen” dipakai untuk pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia. Menurut informasi lisan dari Bpk Koesnoen,Bahrudin Suryobroto dan Waliman kepada MR (pada sekitar tahun 1962), maka Lapas Cipinang (Jakarta) dan Lapas Kalisosok (Surabaya) menghasilkan “perabot kayu untuk kantor”, Lapas Sukamiskin dan Lapas Tangerang menghasilkan produk pertanian, serta Lapas Sawahlunto (Sumatera Barat) menghasilkan batu-bara.
[4] Lapas Terbuka di Air Itam Kalbar dibuka oleh Direktur Jendral Pemasyarakatan Bahrudin Suryobroto dan film sosialisasi dibuat semasa DirJen Ibnu Susanto – sedangkan Direktur Waliman adalah “sponsor” pemasyarakatan napi pemuda di Tangerang dengan konsep lahan pertanian.
[5]Kongres PBB di Jenewa, yang menghasilkan keputusan Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners dalam UN Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders ke-1 tahun 1955 – sering disingkat SMR .
[6] Michael Cavadino & James Dignan (2003),The Penal System – An Introduction.Third Edition, hlm.229 - 234 (A Brief History of Prison Privatization), SAGE Publications
[7] Lihat juga M.Ali Aranoval “Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Pemasyarakatan” dalam Hasanudin Massaile dkk,(2015) Refleksi 50 Tahun Sistem Pemasyarakatan – Anatomi Permasalahan dan Upaya Mengatasinya, Jakarta: Center for Detention Studies, hlm.187 -193
[8] Mardjaman dkk “Perlindungan dan Penghormatan Hak Pelanggar Hukum” dalam Hasanudin Massaile dkk (2015) op.cit. hlm 240
[9] Dindin Sudirman “Permasalahan Yang Dihadapi Pemasyarakatan” dalam Hasanudin Massaile dkk (2015),0p.cit. hlm.163
[10] Kenyon J.Scudder (1952), Prisoners Are People, Garden City N.Y.: Doubleday & Company, hlm.5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar