(Beberapa Catatan Kecil dan Saran)
oleh: Mardjono Reksodiputro
dan Surastini Fitriasih[1]
Pengantar
Sesuai dengan Tema Seminar Nasional ini “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pemberantasan
Tipikor di Indonesia”, dan tugas yang diberikan Panitia untuk mengulas
beberapa hal tentang “Terobosan Dalam
Penanganannya”, maka permasalahan hukum yang akan diajukan dalam makalah
ini adalah tentang Penanganan Tipikor oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) (yang dapat kami baca di media massa) dengan memfokuskan pada tiga
pertanyaan pembahasan:
1)Sejauh mana KPK telah menangani Political Corruption ?
2)Mengapa publik masih kecewa dengan hasil penanganan
KPK ?
3)Adakah saran “terobosan” yang dapat diajukan ?
Karena terbatasnya waktu, maka sebagian data yang
dapat diajukan adalah terbatas pada apa yang dapat diperolah melalui surat
kabar ataupun majalah mingguan. Dengan rendah hati kami menyampaikan makalah
ini, hanya sebagai suatu makalah penjajakan yang mungkin dapat dikembangkan
melalui penelitian yang lebih dalam dan lebih luas.
Sejauh mana penanganan
Tipikor oleh KPK ?
Mengikuti pendapat Robert Harris[2] Political
Corruption (selanjutnya PC) dirumuskan sebagai “penggunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi atau kelompok dan subversi
proses politik untuk keuntungan pribadi”. Dengan melihat hasil penangkapan
oleh KPK dalam sejumlah kasus yang melibatkan pejabat publik maupun pengusaha
swasta, maka kita dapat memuji KPK dengan hasilnya membawa ke Pengadilan
sejumlan kasus Grand Corruption (selanjutnya GC
– yang melibatkan jumlah uang yang besar, adapun lawannya adalah Petty
Corruption – dapat disingkat pC ).
Penanganan PC menurut Jon S T Quah[3] dapat dibagi dalam tiga pola sesuai dengan upaya
anti-korupsi yang diselenggarakan di negara yang bersangkutan. Pertama, “di mana diadakan sejumlah peraturan yang bersifat anti-korupsi, tetapi
tidak ada suatu lembaga pemerintah khusus untuk menegakkan peraturan-peraturan
tersebut”. Berarti pemberantasan dan penanganan kasus korupsi dilakukan
oleh lembaga konvensional, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. Pola Kedua, adalah “ di mana pemberantasan korupsi ditangani melalui sejumlah peraturan
anti-korupsi dan oleh sejumlah lembaga pemerintah”. Dalam pola ini, maka
disamping Kepolisian dan Kejaksaan terdapat sejumlah lembaga pemerintah yang
mempunyai kewenangan menangani kasus korupsi. Dicontohkan oleh Quah, adalah di
India, Filipina dan Cina. Sedangkan pola Ketiga,
adalah “di mana terdapat sejumlah
peraturan yang bersifat menanggulangi korupsi, dan penegakan hukumnya
diserahkan kepada suatu lembaga pemerintah khusus”. Contohnya di Singapura,
Hong Kong, Malaysia, Thailand dan Korea Selatan.
Indonesia dengan KPK-nya termasuk dalam pola Ketiga,
khusus untuk GC (Grand Corruption) dan PC (Political Corruption). Dengan
catatan, masih ada kewenangan Kepolisian dan Kejaksaan menangani GC, PC dan pC
(Petit Corruption). Namun demikian,
disamping kesuksesan KPK menangani korupsi di Indonesia dengan upaya represif
(menyidik dan mendakwa/menuntut), akan
tetapi masih terdapat sejumlah kririk yang harus mau diterimanya, antara lain
adalah:
1)Tidak jelasnya strategi KPK dalam memrakarsai upaya pencegahan korupsi di dalam birokrasi
pemerintah (pusat dan daerah) dan dunia swasta-komersial;
2)Penayangan oknum koruptor di TV menunjukkan bahwa
masih banyak pelaku korupsi ini tidak
tampak malu atau takut dalam menghadapi pemeriksaan dan putusan pengadilan;
3)Tidak jelas strategi KPK menjadikan korupsi di
Indonesia - bagi pelakunya - kegiatan
yang “high-risk but low-reward” (suatu
spekulasi yang berisiko besar tetapi
dengan harapan keuntungan yang kecil).
Mengapa Publik masih
kecewa ?
Dengan memakai ketiga kritik di atas, akan disampaikan
kesimpulan kami :
1)Strategi KPK terutama ditujukan kepada “pencegahan
melalui pemidanaan”, berarti diharapkan bahwa melalui pemidanaan yang “berat”
(pidana penjara yang lama), maka calon-pelaku (pelaku-potensial) akan “takut”
melakukan korupsi. Strategi ini antara lain
kurang memperhitungkan: a)kesempatan yang ditawarkan dan b)keuntungan
yang akan diperoleh. Kesempatan ini
biasanya ditawarkan (atau dibayangkan) oleh pihak Swasta-komersial, sedangkan
pihak swasta ini jarang dapat diajukan ke pengadilan (umumnya hanya “oknum” dan
bukan “korporasi”-nya). Sehingga bagi swasta-komersial berlaku asas “low-risk but high-reward”. Keuntungan seorang pelaku korupsi, sering
masih “tersisa”, meskipun sudah dikurangi oleh biaya pembelaan oleh
advokat-canggih-mahal dan pidana denda disertai pengembalian kerugian negara.
Dengan harta “sisa” ini, Terpidana korupsi sering masih dapat menikmati
“penghukuman yang ringan” (baik selama proses peradilan, maupun di dalam
Lapas).
2)Media-massa khususnya televisi, mempergunakan berita
dengan gambar atau foto Pelaku/Tersangka/Terdakwa sebagai “promosi” media
TV-nya, sehingga terdapat kesan bahwa Pelaku adalah seorang “selebriti”, dan
ini tercermin pula pada Pelaku yang mencoba untuk meniadakan “rasa salah”-nya
dengan tersenyum dan melambaikan tangan kepada para wartawan. Seharusnya media
massa harus dapat membantu membentuk opini publik yang “mengharamkan” perbuatan
Pelaku dan menciptakan stigma perilaku korupsi yang tidak akan dapat hilang
meskipun telah menjalani pidana. Rencana memperingati publik dalam Pemilu
dengan memberi tanda pada nama ex-Pelaku merupakan cara baik untuk mendidik
masyarakat memilih wakilnya dengan hati-hati.
Namun rencana (?) “memborgol” Pelaku di pemeriksaan di Gedung KPK dan
Gedung Pengadilan dirasakan terlalu berlebihan membuat malu seorang
Tersangka/Terdakwa dan melanggar asas praduga tidak bersalah (Pelaku korupsi
tidak mungkin melawan dengan kekerasan atau melarikan diri – beda dengan
penjahat dengan kekerasan).
3)Kemampuan Penyidik dan JPU dalam kasus Tipikor
menemukan dan mensita secara hukum kekayaan Tersangka Korupsi terlihat masih
lemah. Apalagi kalau Terpidana (ataupun Terdakwa) dapat menyembunyikan
(sebagian) harta yang diperoleh dari (keuntungan) korupsi di luar negeri (a.l.
di negara dengan sistem keuangan/perbankan yang memudahkan menyembunyikan identitas
pemilik harta). Karena itu, maka untuk sebagian calon-Pelaku Tipikor, masih
terbayang kemungkinan spekulasi berlakunya bagi dirinya asas “low-risk but high-reward”. Usaha KPK
untuk memungkinkan “pemiskinan” koruptor terlihatnya belum optimal. Di bawah
akan disarankan upaya memaksimalkan asas “high
risk and low reward”.
Strategi Terobosan
Untuk “Memiskinkan Koruptor”
Saran yang akan diajukan di sini sebagai “terobosan”
mungkin tidak orisinil (sekurang-kurangnya dalam tahun 2012 dan 2013 sudah
pernah diajukan dalam Seminar untuk Kejaksaan Agung RI (18 Desember 2018) dan
untuk Diskusi Publik KHN-RI (26 Juni 2013)[4] .
Intinya adalah bahwa bertentangan dengan ungkapan para penegak hukum bahwa “Crime does not pay” (kejahatan tidak
akan pernah menguntungkan), maka rupanya di Indonesia (masih) berlaku “ Financial crime does pay” (kejahatan
di bidang finansial/keuangan (dapat) menguntungkan. Bukti untuk Indonesia
(dengan melihat berita media massa) adalah sejumlah kasus penipuan investasi
keuangan dan tentunya masih banyaknya kasus korupsi yang dibawa ke Pengadilan
(a.l. oleh KPK untuk PC dan GC).
Meskipun sudah pernah diajukan 6-7 tahun yang lalu
(sekarang tahun 2019), tetapi tidak terdengar atau terbaca gaung kritik yang
keras dari Publik atau LSM Anti-Korupsi “mengapa para koruptor (dan keluarga
serta kawan-kawannya” masih saja berlimpah kekayaannya (tidak terdengar atau
terbaca bahwa seorang koruptor jatuh miskin atau perusahaan yang terlibat
bangkrut atau pailit ! – malah rupanya mereka dapat memanfaatkan hartanya untuk
mendapat perlakuan istimewa di Lapas !). Karena itu ada dugaan bahwa korupsi di
Indonesia itu “sistemik” dan (mungkin) terkait organized crime.
Masalah utama dalam “memiskinkan koruptor” (baik
individu atau korporasi) adalah tentang pemahaman kita tentang “pembalikan beban pembuktian” (“omkering van de bewijslast – reversal of
the burden of proof”). Perlu
dipahami dan diyakini bahwa konsep ini tidak ada kaitannya dengan asas “siapa yang menuduh/mendakwa dialah yang
harus membuktikan tuduhan/dakwaannya”, maupun dengan asas pelengkapnya “pra-duga tidak bersalah bagi
tersangka/terdakwa”. Saran untuk memiskinkan koruptor dengan mensita dan
kemudian merampas hartanya adalah lebih
luas dari apa yang sekarang ada di dalam pasal-pasal 10 sub-b, dan 39 – 42
KUHP serta pasal 194 KUHAP kita.
Saran di sini adalah memperkenalkan dalam hukum
Indonesia, Non-Conviction Based Asset
Forfeiture (perampasan aset pelaku
kejahatan, tanpa melalui prosedur hukum pidana). Konsep dasar perampasan
aset ini adalah bahwa harus dimungkinkan untuk merampas harta-kekayaan koruptor
meskipun para koruptor ini:
a)dinyatakan bebas oleh pengadilan karena kurang atau
tidak terbukti;
b)wafat selama sidang dan proses hukumnya belum
selesai (sebelum putusan pengadilan berkekuatan pasti);
c)terdakwa melarikan diri ke luar negeri sebelum
sidang selesai (termasuk juga dalam hal dilakukan peradilan in absentia).
Dalam konsep ini, maka karena terdakwa tidak dapat
dijadikan pihak dalam perkara pidana tersebut, maka sebagai penggantinya
harta-kekayaannya yang menjadi sasaran perampasan melalui putusan pengadilan
perdata. Di sini yang perlu dipergunakan adalah “gugatan terhadap benda” (in rem action) sebagai lawan dari yang
berlaku dalam hukum perdata kita, yaitu “gugatan terhadap person/manusia” (action in personam).
Adapun alasan perampasan harta koruptor dengan konsep
“Non-Conviction Based Asset Forfeiture”,
adalah karena dalam sidang pengadilan
tipikor terdakwa tidak dapat membuktikan
(pembalikan beban pembuktian)
bahwa dia telah memiliki harta tersebut secara sah menurut hukum – karena itu
kuat dugaan bahwa harta tersebut adalah hasil kejahatan korupsi. Hal ini dilakukan berdasarkan
permintaan JPU dalam sidang pengadilan Tipikor, agar Terdakwa korupsi
membuktikan sahnya prosedur hukum dia memiliki harta kekayaan tersebut. Jadi “pembalikan pembuktian” tidak ditujukan
kepada salahnya Terdakwa korupsi, tetapi kepada harta yang telah disita dan
merupakan miliknya.[5]
Untuk dapat memperoleh pengembalian untuk kerugian
yang diderita oleh negara, maka saran yang juga diajukan adalah memaksimalkan
dana atau harta yang diperoleh dari Pelaku tipikor yang merupakan korporasi.Dalam
hal dilakukan “pemiskinan koruptor berbentuk korporasi”, maka perlu diingat
bahwa kemungkinan pailitnya/bangkrutnya korporasi sebagai perusahaan, dapat
berakibat pada pegawai perusahaan yang sebenarnya tidak bersalah. Oleh karena
itu disarankan dalam hal tersangka adalah sebuah korporasi, ditempuh model DPA
(Deferred Prosecution Agreement – Penangguhan
Pendakwaan Bersyarat).
Model ini adalah suatu variasi dari bentuk umum “Setlement Out of Court” atau
“Afdoening Buiten
Proces” yang saya terjemahkan “Penyelesaian-tuntas di luar proses
Pengadilan” dan “Plea Bargaining”
(PB) atau “Penyelesaian-tuntas melalui Penawaran”. DPA
dan PB sebaiknya memang dipergunakan (setelah disahkan dan diatur melalui
undang-undang) untuk kasus-kasus tipikor dengan Tersangka korporasi dan yang
pembuktian kesalahannya akan memerlukan waktu lama. Sehingga dapat lebih cepat
dilakukan negosiasi untuk mendapat dana/aset pengganti kerugian negara (yang
dapat cukup besar) dengan imbalan sejumlah syarat yang harus dipenuhi
korporasi. Syarat utama yang harus dipenuhi korporasi adalah: 1)Mengakui
kesalahan oknum pelaku- pejabat korporasi melakukan tipikor, dan akan
memberikan hukuman kepadanya sebagai contoh bagi pejabat korporasi yang lain;
2)Membangun sistem didalam korporasi mencegah hal serupa terjadi lagi dan
membangun budaya korporasi yang anti-korupsi; dan 3)memberikan laporan berkala
kepada pejabat pemerintah penegak hukum (JPU/KPK) dan bersedia untuk diawasi
dan dimonitor kegiatannya membangun “budaya-organisasi yang anti-korupsi”.
*Makalah ini telah ditampilkan pada acara "Seminar Nasional Masyarakat Hukum Pidana dan
Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas
Indonesia", pada tanggal 18 Februari 2019 di Kampus FH UI Depok.
[1]Tulisan
ini desain awal disusun oleh Prof.Mardjono Reksodiputro,SH.MA dan di edit dan
disempurnakan oleh Dr.Surastini Fitriasih,SH.MH
[2]
Harris, Robert (2003) Political
Corruption – In and Beyond the Nation State,London:Routledge, hlm.9
[3]
Quah, Jon S T (2003) Curbing Corruption
in Asia – A Comparative Study of Six Countries, Singapore: Eastern
University Press, hlm.16
[4]
Lihat Mardjono Reksodiputro (2013) Perenungan
Perjalanan Reformasi Hukum, Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI, hlm.327-338
[5]Konsep
hukum tentang kewajiban Terdakwa membuktikan sahnya harta yang disita, dan
bukan kewajiban JPU (inilah “pembalikan pembuktian”) sudah ada dalam UU Tipikor
dan UU Pencucian Uang – untuk penjelasan selanjutnya lihat Mardjono
Reksodiputro (2013),Perenungan Perjalanan
Reformasi Hukum, hlm.327 – 346.
[6]
Lihat juga Mardjono Reksodiputro (2013), Op.cit.
hlm.319 -323
Tidak ada komentar:
Posting Komentar