Jumat, 08 Maret 2019

Terobosan Dalam Penanganan Tipikor di Indonesia*


(Beberapa Catatan Kecil dan Saran)
oleh: Mardjono Reksodiputro
dan Surastini Fitriasih[1]

Pengantar
Sesuai dengan Tema Seminar Nasional ini “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pemberantasan Tipikor di Indonesia”, dan tugas yang diberikan Panitia untuk mengulas beberapa hal tentang “Terobosan Dalam Penanganannya”, maka permasalahan hukum yang akan diajukan dalam makalah ini adalah tentang Penanganan Tipikor oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (yang dapat kami baca di media massa) dengan memfokuskan pada tiga pertanyaan pembahasan:
1)Sejauh mana KPK telah menangani Political Corruption ?
2)Mengapa publik masih kecewa dengan hasil penanganan KPK ?
3)Adakah saran “terobosan” yang dapat diajukan ?

Karena terbatasnya waktu, maka sebagian data yang dapat diajukan adalah terbatas pada apa yang dapat diperolah melalui surat kabar ataupun majalah mingguan. Dengan rendah hati kami menyampaikan makalah ini, hanya sebagai suatu makalah penjajakan yang mungkin dapat dikembangkan melalui penelitian yang lebih dalam dan lebih luas.

Sejauh mana penanganan Tipikor oleh KPK ?
Mengikuti pendapat Robert Harris[2] Political Corruption (selanjutnya PC) dirumuskan sebagai “penggunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi atau kelompok dan subversi proses politik untuk keuntungan pribadi”. Dengan melihat hasil penangkapan oleh KPK dalam sejumlah kasus yang melibatkan pejabat publik maupun pengusaha swasta, maka kita dapat memuji KPK dengan hasilnya membawa ke Pengadilan sejumlan kasus  Grand Corruption (selanjutnya GC – yang melibatkan jumlah uang yang besar, adapun lawannya adalah  Petty Corruption – dapat disingkat pC ).

Penanganan PC menurut Jon S T Quah[3] dapat dibagi dalam tiga pola sesuai dengan upaya anti-korupsi yang diselenggarakan di negara yang bersangkutan. Pertama, “di mana diadakan sejumlah peraturan yang bersifat anti-korupsi, tetapi tidak ada suatu lembaga pemerintah khusus untuk menegakkan peraturan-peraturan tersebut”. Berarti pemberantasan dan penanganan kasus korupsi dilakukan oleh lembaga konvensional, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. Pola Kedua, adalah “ di mana pemberantasan korupsi ditangani melalui sejumlah peraturan anti-korupsi dan oleh sejumlah lembaga pemerintah”. Dalam pola ini, maka disamping Kepolisian dan Kejaksaan terdapat sejumlah lembaga pemerintah yang mempunyai kewenangan menangani kasus korupsi. Dicontohkan oleh Quah, adalah di India, Filipina dan Cina. Sedangkan pola Ketiga, adalah “di mana terdapat sejumlah peraturan yang bersifat menanggulangi korupsi, dan penegakan hukumnya diserahkan kepada suatu lembaga pemerintah khusus”. Contohnya di Singapura, Hong Kong, Malaysia, Thailand dan Korea Selatan.

Indonesia dengan KPK-nya termasuk dalam pola Ketiga, khusus untuk GC (Grand Corruption) dan PC (Political Corruption). Dengan catatan, masih ada kewenangan Kepolisian dan Kejaksaan menangani GC, PC dan pC (Petit Corruption). Namun demikian, disamping kesuksesan KPK menangani korupsi di Indonesia dengan upaya represif (menyidik dan mendakwa/menuntut),  akan tetapi masih terdapat sejumlah kririk yang harus mau diterimanya, antara lain adalah:
1)Tidak jelasnya strategi KPK dalam memrakarsai upaya pencegahan korupsi di dalam birokrasi pemerintah (pusat dan daerah) dan dunia swasta-komersial;
2)Penayangan oknum koruptor di TV menunjukkan bahwa masih banyak pelaku korupsi ini tidak tampak malu atau takut dalam menghadapi pemeriksaan dan putusan pengadilan;
3)Tidak jelas strategi KPK menjadikan korupsi di Indonesia - bagi pelakunya -  kegiatan yang “high-risk but low-reward” (suatu spekulasi yang berisiko besar tetapi dengan harapan keuntungan yang kecil).

Mengapa Publik masih kecewa ?
Dengan memakai ketiga kritik di atas, akan disampaikan kesimpulan kami :
1)Strategi KPK terutama ditujukan kepada “pencegahan melalui pemidanaan”, berarti diharapkan bahwa melalui pemidanaan yang “berat” (pidana penjara yang lama), maka calon-pelaku (pelaku-potensial) akan “takut” melakukan korupsi. Strategi ini antara lain   kurang memperhitungkan: a)kesempatan yang ditawarkan dan b)keuntungan yang akan diperoleh. Kesempatan ini biasanya ditawarkan (atau dibayangkan) oleh pihak Swasta-komersial, sedangkan pihak swasta ini jarang dapat diajukan ke pengadilan (umumnya hanya “oknum” dan bukan “korporasi”-nya). Sehingga bagi swasta-komersial berlaku asas “low-risk but high-reward”. Keuntungan seorang pelaku korupsi, sering masih “tersisa”, meskipun sudah dikurangi oleh biaya pembelaan oleh advokat-canggih-mahal dan pidana denda disertai pengembalian kerugian negara. Dengan harta “sisa” ini, Terpidana korupsi sering masih dapat menikmati “penghukuman yang ringan” (baik selama proses peradilan, maupun di dalam Lapas).

2)Media-massa khususnya televisi, mempergunakan berita dengan gambar atau foto Pelaku/Tersangka/Terdakwa sebagai “promosi” media TV-nya, sehingga terdapat kesan bahwa Pelaku adalah seorang “selebriti”, dan ini tercermin pula pada Pelaku yang mencoba untuk meniadakan “rasa salah”-nya dengan tersenyum dan melambaikan tangan kepada para wartawan. Seharusnya media massa harus dapat membantu membentuk opini publik yang “mengharamkan” perbuatan Pelaku dan menciptakan stigma perilaku korupsi yang tidak akan dapat hilang meskipun telah menjalani pidana. Rencana memperingati publik dalam Pemilu dengan memberi tanda pada nama ex-Pelaku merupakan cara baik untuk mendidik masyarakat memilih wakilnya dengan hati-hati.  Namun rencana (?) “memborgol” Pelaku di pemeriksaan di Gedung KPK dan Gedung Pengadilan dirasakan terlalu berlebihan membuat malu seorang Tersangka/Terdakwa dan melanggar asas praduga tidak bersalah (Pelaku korupsi tidak mungkin melawan dengan kekerasan atau melarikan diri – beda dengan penjahat dengan kekerasan).

3)Kemampuan Penyidik dan JPU dalam kasus Tipikor menemukan dan mensita secara hukum kekayaan Tersangka Korupsi terlihat masih lemah. Apalagi kalau Terpidana (ataupun Terdakwa) dapat menyembunyikan (sebagian) harta yang diperoleh dari (keuntungan) korupsi di luar negeri (a.l. di negara dengan sistem keuangan/perbankan  yang memudahkan menyembunyikan identitas pemilik harta). Karena itu, maka untuk sebagian calon-Pelaku Tipikor, masih terbayang kemungkinan spekulasi berlakunya bagi dirinya asas “low-risk but high-reward”. Usaha KPK untuk memungkinkan “pemiskinan” koruptor terlihatnya belum optimal. Di bawah akan disarankan upaya memaksimalkan asas “high risk and low reward”.

Strategi Terobosan Untuk “Memiskinkan Koruptor”
Saran yang akan diajukan di sini sebagai “terobosan” mungkin tidak orisinil (sekurang-kurangnya dalam tahun 2012 dan 2013 sudah pernah diajukan dalam Seminar untuk Kejaksaan Agung RI (18 Desember 2018) dan untuk Diskusi Publik KHN-RI (26 Juni 2013)[4] . Intinya adalah bahwa bertentangan dengan ungkapan para penegak hukum bahwa “Crime does not pay” (kejahatan tidak akan pernah menguntungkan), maka rupanya di Indonesia (masih) berlaku “ Financial crime does pay” (kejahatan di bidang finansial/keuangan (dapat) menguntungkan. Bukti untuk Indonesia (dengan melihat berita media massa) adalah sejumlah kasus penipuan investasi keuangan dan tentunya masih banyaknya kasus korupsi yang dibawa ke Pengadilan (a.l. oleh KPK untuk PC dan GC).

Meskipun sudah pernah diajukan 6-7 tahun yang lalu (sekarang tahun 2019), tetapi tidak terdengar atau terbaca gaung kritik yang keras dari Publik atau LSM Anti-Korupsi “mengapa para koruptor (dan keluarga serta kawan-kawannya” masih saja berlimpah kekayaannya (tidak terdengar atau terbaca bahwa seorang koruptor jatuh miskin atau perusahaan yang terlibat bangkrut atau pailit ! – malah rupanya mereka dapat memanfaatkan hartanya untuk mendapat perlakuan istimewa di Lapas !). Karena itu ada dugaan bahwa korupsi di Indonesia itu “sistemik” dan (mungkin) terkait organized crime.

Masalah utama dalam “memiskinkan koruptor” (baik individu atau korporasi) adalah tentang pemahaman kita tentang “pembalikan beban pembuktian” (“omkering van de bewijslast – reversal of the burden of proof”). Perlu dipahami dan diyakini bahwa konsep ini tidak ada kaitannya dengan asas “siapa yang menuduh/mendakwa dialah yang harus membuktikan tuduhan/dakwaannya”, maupun dengan  asas pelengkapnya “pra-duga tidak bersalah bagi tersangka/terdakwa”. Saran untuk memiskinkan koruptor dengan mensita dan kemudian merampas hartanya adalah lebih luas dari apa yang sekarang ada di dalam pasal-pasal 10 sub-b, dan 39 – 42 KUHP serta pasal 194 KUHAP kita.

Saran di sini adalah memperkenalkan dalam hukum Indonesia, Non-Conviction Based Asset Forfeiture (perampasan aset pelaku kejahatan, tanpa melalui prosedur hukum pidana). Konsep dasar perampasan aset ini adalah bahwa harus dimungkinkan untuk merampas harta-kekayaan koruptor meskipun para koruptor ini:
a)dinyatakan bebas oleh pengadilan karena kurang atau tidak terbukti;
b)wafat selama sidang dan proses hukumnya belum selesai (sebelum putusan pengadilan berkekuatan pasti);
c)terdakwa melarikan diri ke luar negeri sebelum sidang selesai (termasuk juga dalam hal dilakukan peradilan in absentia).
Dalam konsep ini, maka karena terdakwa tidak dapat dijadikan pihak dalam perkara pidana tersebut, maka sebagai penggantinya harta-kekayaannya yang menjadi sasaran perampasan melalui putusan pengadilan perdata. Di sini yang perlu dipergunakan adalah “gugatan terhadap benda” (in rem action) sebagai lawan dari yang berlaku dalam hukum perdata kita, yaitu “gugatan terhadap person/manusia” (action in personam).

Adapun alasan perampasan harta koruptor dengan konsep “Non-Conviction Based Asset Forfeiture”, adalah karena dalam sidang pengadilan tipikor terdakwa tidak dapat membuktikan (pembalikan beban pembuktian) bahwa dia telah memiliki harta tersebut secara sah menurut hukum – karena itu kuat dugaan bahwa harta tersebut adalah hasil kejahatan korupsi. Hal ini dilakukan berdasarkan permintaan JPU dalam sidang pengadilan Tipikor, agar Terdakwa korupsi membuktikan sahnya prosedur hukum dia memiliki harta kekayaan tersebut. Jadi “pembalikan pembuktian” tidak ditujukan kepada salahnya Terdakwa korupsi, tetapi kepada harta yang telah disita dan merupakan miliknya.[5]

Untuk dapat memperoleh pengembalian untuk kerugian yang diderita oleh negara, maka saran yang juga diajukan adalah memaksimalkan dana atau harta yang diperoleh dari Pelaku tipikor yang merupakan korporasi.Dalam hal dilakukan “pemiskinan koruptor berbentuk korporasi”, maka perlu diingat bahwa kemungkinan pailitnya/bangkrutnya korporasi sebagai perusahaan, dapat berakibat pada pegawai perusahaan yang sebenarnya tidak bersalah. Oleh karena itu disarankan dalam hal tersangka adalah sebuah korporasi, ditempuh model DPA (Deferred Prosecution Agreement – Penangguhan Pendakwaan Bersyarat).

Model ini adalah suatu variasi dari bentuk umum “Setlement Out of Court” atau
Afdoening Buiten Proces” yang saya terjemahkan “Penyelesaian-tuntas di luar proses Pengadilan” dan “Plea Bargaining” (PB)  atau “Penyelesaian-tuntas melalui Penawaran”. DPA dan PB sebaiknya memang dipergunakan (setelah disahkan dan diatur melalui undang-undang) untuk kasus-kasus tipikor dengan Tersangka korporasi dan yang pembuktian kesalahannya akan memerlukan waktu lama. Sehingga dapat lebih cepat dilakukan negosiasi untuk mendapat dana/aset pengganti kerugian negara (yang dapat cukup besar) dengan imbalan sejumlah syarat yang harus dipenuhi korporasi. Syarat utama yang harus dipenuhi korporasi adalah: 1)Mengakui kesalahan oknum pelaku- pejabat korporasi melakukan tipikor, dan akan memberikan hukuman kepadanya sebagai contoh bagi pejabat korporasi yang lain; 2)Membangun sistem didalam korporasi mencegah hal serupa terjadi lagi dan membangun budaya korporasi yang anti-korupsi; dan 3)memberikan laporan berkala kepada pejabat pemerintah penegak hukum (JPU/KPK) dan bersedia untuk diawasi dan dimonitor kegiatannya membangun “budaya-organisasi yang anti-korupsi”.

Ingin ditambahkan pula sebagai terobosan untuk Indonesia, adalah diwajibkannya Pimpinan Perusahaan (korporasi) secara berkala (setahun sekali dalam Laporan Tahunan untuk Rapat Tahunan Pemegang Saham) mewajibkan para pegawainya intuk menjadi “whistleblower”[6] bilamana mengetahui adanya kegiatan yang dapat dicurigai sebagai tipikor dalam organisasi perusahaan tersebut. Kecurigaan disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan Perusahaan dengan tembusan kepada lembaga penegak hukum (Kepolisian atau Kejaksaan atau KPK) dan bersifat rahasia (dengan ancaman pidana bagi yang menyalahgunakannya) -.mr-sf.-


*Makalah ini telah ditampilkan pada acara "Seminar Nasional Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia", pada tanggal 18 Februari 2019 di Kampus FH UI Depok.


[1]Tulisan ini desain awal disusun oleh Prof.Mardjono Reksodiputro,SH.MA dan di edit dan disempurnakan oleh Dr.Surastini Fitriasih,SH.MH
[2] Harris, Robert (2003) Political Corruption – In and Beyond the Nation State,London:Routledge, hlm.9
[3] Quah, Jon S T (2003) Curbing Corruption in Asia – A Comparative Study of Six Countries, Singapore: Eastern University Press, hlm.16
[4] Lihat Mardjono Reksodiputro (2013) Perenungan Perjalanan Reformasi Hukum, Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI, hlm.327-338
[5]Konsep hukum tentang kewajiban Terdakwa membuktikan sahnya harta yang disita, dan bukan kewajiban JPU (inilah “pembalikan pembuktian”) sudah ada dalam UU Tipikor dan UU Pencucian Uang – untuk penjelasan selanjutnya lihat Mardjono Reksodiputro (2013),Perenungan Perjalanan Reformasi Hukum, hlm.327 – 346.
[6] Lihat juga Mardjono Reksodiputro (2013), Op.cit. hlm.319 -323

Tidak ada komentar:

Posting Komentar