Menggugat Praperadilan
(Benarkah “Sarpin Effect” Merupakan “Malapetaka” ?
- Mengapa Reformasi di Bidang Peradilan Gagal di Indonesia ?)
Abstrak
Reformasi di bidang
peradilan pidana yang diharapkan oleh masyarakat adalah di mana Pengadilan kita
secara aktif membantu terciptanya reformasi hukum. Yang diharapkan masyarakat
adalah sistem peradilan pidana yang menjalankan proses hukum yang adil (due
process of law). Ini berarti Pengadilan tidak cukup hanya mengikuti
undang-undang secara harafiah saja, namun harus berani memberi penafsiran yang
futuristik dan yang mau memahami permasalahan warga masyarakat yang mengalami
permasalahan hukum. Penerobosan hukum yang dilakukan Hakim Sarpin dalam sidang
praperadilan merupakan usaha reformasi hukum yang menimbulkan kontroversi.Sikap
selanjutnya dari hakim-hakim lain dan dari Mahkamah Agung dinantikan, agar
reformasi di bidang peradilan tidak mengalami kegagalan.
Pengantar
Awal tahun 2015 ini komunitas hukum di Indonesia disibukkan dengan
debat yang kemudian terkenal dengan istilah :”Sarpin Effect”.[1]Sebagian
sarjana hukum dan tokoh-tokoh anti-korupsi menganggap ini sebagai “malapetaka”
dalam perjuangan memberantas korupsi di Indonesia, karena putusan Hakim Sarpin
dalam kasus praperadilan ini menyebabkan sejumlah Tersangka Korupsi yang tidak
ditahan juga mengajukan proses praperadilan. Sebagian lagi dari para sarjana
hukum, berpendapat bahwa putusan Hakim Sarpin patut dipuji, karena membenarkan
gugatan Terpidana BG terhadap KPK dan melepaskannya dari “status” Tersangka. Pendapat
terakhir ini melihat putusan Hakim Sarpin ini sebagai suatu “terobosan hukum”
terhadap kesewenang-wenangan Penyidik menyatakan kepada umum bahwa seseorang
tertentu adalah “tersangka suatu kejahatan”. Tulisan ini bermaksud untuk mendukung pendapat kedua, bahwa apa yang
dilakukan oleh Hakim Sarpin adalah usaha untuk memperbaiki sistem peradilan
pidana Indonesia, melalui suatu interpretasi yang didasarkan pada asas
kepatutan dalam proses.[2]
Tulisan ini tidak akan mempersoalkan
materi kasus Terpidana BG, namun hanya akan membahas dan memberi dukungan
kepada putusan Hakim Sarpin untuk bersedia
menerima suatu gugatan tentang status Terpidana (yang tidak ditahan)
dalam sidang praperadilan.
Apa yang dikatakan KUHAP ?
Dalam Pasal 1 Kuhap (Ketentuan Umum) dikatakan dalam butir 10:
“Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus
menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini, tentang: a. sah
atau tidaknya suatu penangkapan dan
atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; b….”. Tidak
ada penjelasan resmi tentang istilah hukum berupa kewenangan yang dinamakan
“praperadilan” ini, yang tercantum dalam Pasal1 butir 10. Hanya ada Pasal 78
yang memakai kembali istilah ini, yaitu ayat (1) yang menyatakan: “Yang
melaksanakan wewenang pengadilan negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 adalah praperadilan”,
dan selanjutnya ayat (2): Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang
ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera.”
Pasal 77 Kuhap yang dirujuk ini menyatakan:
“Pengadilan negeri berwenang
untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
undang-undang ini tentang:
a.sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b.ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”[3]
Juga disini tidak ada
penjelasan resmi tentang istilah hukum yang pertama kali muncul tahun 1981
dalam ilmu hukum Indonesia ini.[4]
Heboh “Sarpin Effect”
Yang menarik dari putusan praperadilan ini adalah “nuansa politik”
yang melibatkan debat hukum tersebut. Sejumlah aktivis anti-korupsi menamakan
putusan ini sebagai usaha yang di “dalangi” oleh para koruptor dan bertujuan
untuk mengurangi dan memasung kewenangan KPK dalam menyatakan di muka umum
(menuduh?) seseorang sebagai Tersangka tindak-pidana-korupsi (selanjutnya tipikor)[5].
Putusan ini juga berakibat bahwa sejumlah Tersangka tipikor yang tidak ditahan, namun sudah lama diberikan status Tersangka
oleh KPK (sudah beberapa bulan,sampai
beberapa tahun), menggugat kesahan
status mereka tersebut. Para aktivis anti-korupsi meminta agar Mahkamah Agung
dapat “turun-tangan” meredakan ketidakpastian hukum ini. Namun, rupanya MA
tidak mau terlibat dalam perseteruan yang ”berbau politik” ini dan tidak
semata-mata merupakan masalah hukum. Keadaan menjadi lebih heboh dengan
diumumkannya oleh Kepolisian bahwa dua orang Pimpinan KPK menjadi Tersangka
tindak pidana, yang satu (BW) berhubungan dengan Pilkada dan yang satu lagi
(AS) berhubungan dengan pemalsuan surat.Suatu hal yang menarik adalah bahwa BW
dan AS tidak mau mempergunakan proses hukum yang telah diputus oleh Hakim
Sarpin (menggugat via praperadilan kesahan penentuan mereka sebagai Tersangka
yang tidak ditahan).
Akibat dari putusan praperadilan Sarpin yang menimbulkan “Sarpin effect” dapat dimengerti,
melalui pandangan Malcolm M.Feeley, seorang ahli ilmu politik:
“A court decision creating or expanding a right
provides an important vehicle for dramatizing an objective and for shaping
expectations”[6]
Apa yang dilakukan oleh Hakim Sarpin adalah “expanding a right”, memperluas hak warganegara yang merasa telah
dizalimi oleh Penyidik dengan memberinya status Tersangka, tanpa sebenarnya
Penyidik mempunyai bukti-permulaan yang cukup untuk “patut menduga” bahwa orang
yang bersangkutan adalah Pelaku Kejahatan. C.P.M.Cleiren dalam komentarnya
tentang Ps 27 Kuhap Belanda menyatakan bahwa definisi tentang apa itu Tersangka,telah
menjelaskan bahwa dia itu bukan saja “obyek penyidikan” tetapi juga “peserta
dalam proses peradilan pidana” (procesdeelnemer)
dan karena itu, harus punya juga berbagai wewenang (bevoegdheden).[7]
Tentulah tidak boleh secara sembarangan atau sewenang-wenang seseorang
diberikan status sebagai “Tersangka”. Mengapa
? Karena status Tersangka akan menyebabkan seseorang itu dapat “ditangkap”
dan “ditahan”. Penangkapan adalah “pengekangan
sementara waktu kebebasan Tersangka”, guna kepentingan penyidikan.[8]
Apakah putusan Hakim Sarpin dapat kita
anggap sebagai “an important vehicle for
dramatizing an objective and for shaping expectations” ? Atau kalau
disingkat: dapatkah putusan Hakim Sarpin membantu reformasi hukum yang
berintikan “due process of law” ? Saya
akan mencoba menguraikanya di bawah ini.
Tujuan Pengadilan Negeri
diberi wewenang praperadilan
Penangkapan dan penahanan pada dasarnya adalah “pengekangan kebebasan” seseorang oleh Penyidik (dan untuk penahanan dapat juga dilakukan
oleh Penuntut Umum dan Hakim), yang harus
dilakukan berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Kalau orang itu ditangkap
atau ditahan, dan karena itu kebebasannya berkurang, maka orang “bebas” ini
statusnya menjadi Tersangka melakukan kejahatan. Atau dapat juga kita katakan bahwa
seorang yang dinyatakan sebagai Tersangka, dapat “dikekang” atau dikurangi
kebebasannya sebagai seorang warga masyarakat (dapat warganegara Indonesia atau
asing). Karena itu orang tersebut dapat meminta kepada Pengadilan Negeri untuk
memeriksa kesahannya sebagai orang yang ditangkap atau ditahan. Apakah ini
berarti bahwa kalau Tersangka tidak
ditangkap atau tidak ditahan, maka wewenang praperadilan Pengadilan Negeri
ini tidak berlaku ?
Saya berkeberatan dengan
pendapat bahwa bila orang itu tidak
ditangkap atau tidak ditahan, maka
Pengadilan Negeri tidak mempunyai
yurisdiksi menilai kesahan pencantuman status Tersangka oleh Penyidik. Apakah
ini berarti bahwa kita selalu harus
percaya bahwa Penyidik akan selalu mempunyai bukti permulaan yang cukup dan
kuat bahwa seseorang yang diberi status Tersangka adalah pelaku kejahatan?
Apakah tidak mungkin bahwa Penyidik sebenarnya tidak punya bukti permulaan yang cukup untuk mempersangkakan adanya kejahatan dan bahwa seseorang itu adalah pelaku kejahatan? Apakah tidak mungkin Penyidik telah berlaku sewenang-wenang,
menyatakan seorang sebagai Tersangka kejahatan hanya berdasarkan aduan seseorang yang sebenarnya fitnah atau akan
lebih parah lagi, hanya karena Penyidik
mencari pencitraan bagi dirinya atau lembaganya (bahwa lembaga tersebut
telah bekerja sungguh-sungguh ataupun telah berani menyatakan seorang pejabat
tinggi Negara sebagai pelaku kejahatan?). Kalau dugaan kesewenang-wenangan ini
tidak benar, maka berilah wewenang
praperadilan untuk memeriksa kebenaran status Tersangka yang tidak
ditangkap atau tidak ditahan. Karena bukankah itulah maksud dari wewenang Pengadilan Negeri melalui praperadilan untuk
memeriksa kemungkinan kesewenang-wenangan dalam menghilangkan atau mengekang
hak-hak seorang warga masyarakat ?
Status Tersangka dan
Pengekangan Kebebasan
Apakah hak Penyidik dalam hal seseorang dinyatakan olehnya adalah
Tersangka? Pertama tentu orang
tersebut dapat ditangkapnya, dan hal ini dibatasi oleh ketentuan hanya
dilakukan terhadap seorang yang diduga keras
(melakukan kejahatan) berdasarkan bukti
permulaan yang cukup. Seterusnya dia dapat ditahan dalam hal adanya kekhawatiran bahwa Tersangka akan melarikan diri,
merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi kejahatannya.[9]
Bagaimanakah halnya bilamana Penyidik
tidak mempergunakan hak-haknya sehubungan dengan Penangkapan dan Penahanan ? Bagi saya ini menunjukkan bahwa Penyidik
kemungkinan besar telah berlaku sewenang-wenang, karena tidak mempunyai bukti
permulaan yang cukup (sesuai undang-undang) dan ini dapat berarti bahwa status
Tersangka tidak dapat dibenarkan menurut hukum atau tidah sah. Adakah
kemungkinan lain ? Batas waktu penangkapan adalah satu hari (24 jam), berarti
kalau dibebaskan sebelum 24 jam, maka tidak dapat diajukan ke Pengadilan Negeri
yang mempunyai wewenang praperadilan. Tetapi status Tersangka tidak hilang dan berbagai pengekangan kebebasannya
sebagai warga tetap dapat dilakukan oleh Penyidik.[10]
Apa saja ? Ini yang kedua: Seseorang
dengan status Tersangka (apalagi yang diumumkan secara luas melalui media
massa) tentu saja telah “tercemar” namanya dan kehilangan kehormatan yang
tadinya diberikan masyarakat kepadanya. Dia sewaktu-waktu dapat dipanggil oleh
Penyidik untuk diperiksa lebih lanjut dan karena itu tidak bebas untuk berpergian
keluar kota apalagi ke luar negeri (kemungkinan besar sudah dibatasi oleh
Kantor Imigrasi). Selanjutnya ketiga: Sebagai
Tersangka suatu kejahatan, maka untuk keperluan penyidikan dapat dilakukan
penggeledahan rumah (dan kantor/tempat kerja) dan penggeledahan pakaian /badan.
Ini tentu dapat dilakukan berkali-kali sesuai dengan yang dirasa perlu oleh
Penyidik. Dan keempat: Juga bilamana
dirasa perlu, atas diskresi Penyidik, maka harta kekayaan seorang Tersangka
dapat disita, karena diduga diperoleh atau adalah hasil dari kejahatan yang
dipersangkakan kepadanya (dalam persangkaan kejahatan korupsi, maka keuangan di
rekening bank dapat diblokir). Dan terakhir kelima: Semua surat yang diterima ataupun berada dalam arsip
Tersangka dapat dibaca Penyidik dan bila perlu disita dan komunikasinya disadap
!
Jadi meskipun sudah lepas dari penangkapan dan tidak ditahan, seorang Tersangka akan mengalami berbagai pengekangan atas dirinya,
yaitu seperti diuraikan di atas: 1)berupa
rasa malu bergaul, karena namanya telah tercemar, dia juga harus siap-sedia
untuk setiap waktu dipanggil untuk
pemeriksaan lanjutan atau tambahan oleh Penyidik dan karena itu tidak bebas
meninggalkan kota apalagi Indonesia; 2)pemeriksaan
atas badan (misalnya dalam kasus narkoba atau perkosaan) dapat dialaminya juga,
dan tentunya penggeledahan rumah,
kendaraan dan tempat bekerja; 3)kemungkinan
penyitaan harta benda yang diduga
berasal atau terkait kejahatan yang dipersangkakan dapat dilakukan Penyidik;
dan ke- 4)pemeriksaan atas semua
surat dan dokumen yang merupakan komunikasi
pribadinya dan tidak tertutup pula bahwa semua komunikasinya disadap.
Karena itu adalah
melegakan bahwa dalam kasus yang ditangani oleh Hakim Sarpin, beliau menerima
praperadilan untuk status Tersangka yang tidak ditahan dan juga telah dilepas
dari penangkapan. Bagi saya ini adalah suatu
terobosan hukum yang sama nilainya seperti pernah putusan Hoge Raad Belanda yang
menerima pengertian bahwa “listrik yang
bukan benda berwujud” dapat juga dicuri seperti barang berwujud dalam
pengertian hukum. Apa yang harus ditarik sebagai pelajaran (lesson learned) dari kasus Hakim Sarpin
ini hanyalah bahwa mengubah status
seseorang menjadi Tersangka akan membuka kemungkinan bahwa Penyidik dapat
mempergunakan wewenang daya-paksanya kepada orang tersebut, dan karena itu perubahan status menjadi Tersangka hanya
dapat dilakukan berdasarkan alat bukti permulaan yang kuat dan cukup, bahwa
orang tersebut diduga sebagai pelaku kejahatan. Praperadilan tentang status
Tersangka haruslah dimungkinkan
untuk menguji ada tidaknya alat bukti permulaan yang kuat dan cukup tersebut.
Bilamana Seseorang Dapat
Jadi Tersangka ?
Seorang menjadi Tersangka kalau Penyidik menemukan awal pembuktian
yang cukup dan baik/kuat untuk menduga atau mempersangkakan bahwa seseorang itu
terlibat atau telah melakukan suatu tindak pidana atau kejahatan. Seharusnya
pengertian “awal pembuktian yang cukup dan baik”, tidak boleh didasarkan atas “intuisi atau gerak hati subjektif”.
Harus ada standar yang dapat diperiksa oleh pihak ketiga (hakim praperadilan)
yang menjelaskan dugaan Penyidik untuk memberikan status Tersangka kepada
seseorang. Di Belanda Ps.27 Sv memakai kalimat “… uit feiten of omstandigheden een redelijk
vermoeden van schuld aan enig strafbaarfeit voortvloeit” – jadi harus
ada persangkaan yang rasional adanya kesalahan atas suatu tindak pidana. Di Amerika Serikat dipergunakan istilah ”reasonable suspicion” dan “reasonable
grounds”. Kata “reasonable” merujuk
pada kata “reason” dan dalam hal ini
berarti “yang rasional” atau “yang pantas” atau “yang masuk akal-sehat”. Erat
kaitan dengan istilah yang dipergunakan di atas untuk “pembuktian yang cukup
dan baik” adalah “probable cause”,dikatakannya
:”…we are dealing with probabilities.
These are not technical, they are the factual and practical considerations of
every day life on which reasonable and prudent men, not legal technicians, act”
(…kita bicara tentang berbagai kemungkinan. Hal-hal ini tidaklah teknis,
hal-hal ini adalah pertimbangan berupa fakta yang praktis dari kehidupan
sehari-hari untuk mana seseorang yang memakai akal-sehat dan berhati-hati akan
bertindak, jadi bukan dari seorang teknisi-hukum).[11]
Dalam pengertian seperti inilah seorang Penyidik boleh memberi status Tersangka
(suspect) kepada seseorang untuk ,
misalnya melakukan penggeledahan (searches),
penyitaan (seizures) dan
penangkapan (arrest).
Kalau seorang sudah menjadi Tersangka (dinyatakan di muka umum atau
melalui media massa), maka karena seorang Tersangka dapat dikenai berbagai
pembatasan, seperti keharusan datang di tempat yang ditentukan Penyidik
(biasanya kantor Penyidik), atau dikenakan larangan bepergian ke luar kota atau
luar negeri tanpa ijin Penyidik, ataupun diminta menyerahkan surat atau dokumen
tertentu, maka benarlah posisinya adalah serupa dengan seorang yang “ditangkap”
(meskipun secara fisik “seperti-bebas”, namun tidak sebebas haknya seorang
warga masyarakat), dan karena itulah sepantasnya Tersangka tersebut harus
diberikan segala hak dan perlindungan seperti seseorang yang hilang kebebasannya, karena “ditangkap”
(lihat Pasal 28D Konstitusi kita). Kesimpulannya
adalah: Tersangka, baik dia berada dalam status ditangkap, ditahan ataupun tidak, wajib mendapat hak dan
perlindungan Pengadilan melalui wewenang praperadilan.
Apa Sebaiknya Bunyi
Peraturan tentang Praperadilan Tersangka ?
Tentunya begitu Penyidik mengetahui adanya kemungkinan telah terjadi kejahatan (misalnya tindak pidana
korupsi), maka (1)Penyidik harus memastikan bahwa memang telah terjadi Tipikor, dan kalau ini benar, (2)Penyidik
harus menemukan informasi yang cukup untuk menjadikan seseorang berstatus
Tersangka. Langkah (1) dan (2) ini menurut saya wajib dilalui sebelum Penyidik dapat menyatakan (secara “terbuka”)[12] bahwa seseorang adalah Tersangka
Tipikor. Sehingga kalau Tersangka menggugatnya di Prapradilan, Penyidik cukup
membuktikan bahwa langkah (1) dan (2) telah dilaluinya. Selanjutnya aturan apa yang masih diperlukan ?
Pertama: Perlu ditentukan bahwa segera setelah seseorang dinyatakan menjadi
Tersangka, maka kepadanya diberitahukan secara tertulis perbuatan apa yang
dipersangkakan telah dilakukannya serta pasal-pasal KUHPidana atau UU Hukum
Pidana lainnya yang akan diberlakukan kepadanya. Kedua: Dia juga diberitahu secara tertulis tentang kewajibannya
untuk menghadiri pemeriksaan lanjutan dan dilarang unutk meninggalkan kota
kediamannya tanpa ijin Penyidik. Ini dikenal juga sebagai “Pre-arrest Investigation”.[13]
Ketiga: Dibertahukan kepadanya bahwa
dalam pemeriksaan lanjutan Tersangka boleh didampingi oleh Advokat (meskipun
dibatasi hanya “within sight, but not
within hearing”). Keempat:
Penyidik mendapat waktu 30 hari kerja untuk memberkas Berita Acara Pemeriksaan
(BAP) yang akan disampaikan kepada Jaksa/Penuntut Umum (JPU) dan JPU mendapat waktu
60 hari kerja untuk meyusun Surat Dakwaan dan menyerahkannya ke Pengadilan
Negeri. Dengan demikian seorang
Tersangka yang tidak ditahan, pertama-tama dapat memohon pemeriksaan
praperadilan tentang status Tersangka-nya, dan apabila status Tersangka ini
dibenarkan oleh sidang Praperadilan, maka
dalam waktu 90 hari kerja akan mendapat kesempatan untuk membela
perkaranya di muka sidang terbuka Pengadilan Negeri, sebagai Terdakwa. Ini
adalah prosedur yang adil, dan akan mmenghindari kesewenang-wenangan Penyidik
menyatakan seseorang itu menjadi Tersangka.[14]
Usul saya di atas adalah dalam rangka pemikiran: bahwa kita
memang ingin memperbaiki/mereformasi
sistem peradilan pidana kita, agar benar-benar memenuhi standar due process of law. Apa yang terjadi
sekarang dimana seseorang dapat dinyatakan sebagai Tersangka dan kemudian berbulan-bulan diperiksa tanpa ada
kepastian statusnya (tentu dengan segala pembatasan atas kebebasannya dan
privasinya) adalah melanggar asas tersebut. Ketidaksetujuan yang ada dari sejumlah
pihak terhadap praperadilan atas status Tersangka, disebabkan hanya karena “amarah mereka terhadap seorang Tersangka Korupsi, apalagi bila dia
seorang pejabat”. Yang dilupakan adalah bahwa cara “menyatakan seseorang adalah Tersangka dan kemudian membiarkan kasusnya
berbulan-bulan atau mungkin bertahun-tahun tanpa keputusan” dapat (dan
mungkin juga sudah banyak) terjadi pada perkara
pidana “kecil” di luar korupsi. Seperti tindak pidana pencemaran nama baik,
fitnah, pencurian kayu atau buah coklat, pencurian dalam keluarga, dsb-nya.
Memang diakui bahwa dalam kasus korupsi, penyidikannya pasti lebih sukar,
karena menyangkut saksi-saksi (kalau ada) dan pembuktian melalui
dokumen-dokumen (catatan, surat, bukti keuangan, dsb-nya), atau oleh KPK
melalui penyadapan. Namun ini tidak
berarti bahwa Penyidik boleh menyatakan seseorang menjadi Tersangka, hanya atas
dugaan yang belum jelas dan baru kemudian mencari pembuktian yang lebih
sempurna, yang dapat memakan waktu berbulan atau bertahun. Bagaimana
profesionalisme Peyidik dalam kasus-kasus seperti ini ? Dua asas universal
telah dilanggar disini, pertama adalah asas due
process of law dan kedua asas hak seorang Tersangka mendapat a speedy trial untuk mempertahankan
dirinya terhadap dakwaan JPU.
Kesimpulan
Tanpa harus menunggu perubahan dalam perundang-undangan (dalam hal
ini KUHAP 1981 yang akan diganti dengan RKUHAP 2013), kita harus mendukung
pandangan bahwa pengadilan mempunyai
potensi untuk menanggulangi masalah hukum yang terjadi dalam masyarakat kita.
Masalah kita menjadi masalah sosial, karena dibenarkannya oleh sebagian
masyarakat, untuk membiarkan praktek Penyidik menyatakan seseorang sebagai
Tersangka, tanpa Penyidik mempunyai awal
bukti permulaan yang kuat, bahwa memang ada dugaan kuat Tersangka telah
melakukan tindak pidana korupsi. Praktek ini telah dikuatkan oleh KPK untuk
dugaan korupsi yang didasarkan pada “perbuatan melawan hukum” dan
“penyalahgunaan kewenangan” dengan dugaan timbulnya “kerugian keuangan Negara”
atau “kerugian pada perekonomian Negara”.
Putusan Hakim Sarpin,
memang telah menciptakan hak menggugat statusnya, bagi seorang Tersangka yang merasa dirinya
diperlakukan sewenang-wenang oleh Penyidik. Penyidik yang sebenarnya belum
mempunyai awal pembuktian yang cukup, sehingga Tersangka tidak ditangkap ataupun ditahan. Seyogyanya
Mahkamah Agung memberikan dukungannya kepada hak Tersangka ini dan mencegah
kesewenang-wenangan Penyidik[15].
Jakarta, 13 April 2015
-00O00-
Bahan Pustaka Rujukan
1.Bemmelen,J.M.Van (1953),Strafvordering-Leerboek van het Nederlandse
Strafprocesrecht, Martinus Nijhoff.
2.Cleiren,C.P.M.(1989), Beginselen van een geode procesorde-Een
analyse van rechtspraak in strafzaken, Gouda Quint BV.
3.Cleiren,C.P.M. & J.F.Nijboer (2005), Strafvordering-Teks &
Commentaar, Kluwer.
4.Cremers,C.P.M. & J.J.M.Van Bentham (1975), Wetboek van Strafrecht en Wetboek
van Strafvordering, S.Gouda Quint.
5.Feeley,Malcom M.(1983), Court Reform on Trial-Why Simple Solutions
Fail, Basic Books Inc.
6.Gifis,Steven H.(1983), Dictionary of Legal Terms, Third
Edition, Barron’s.
7.Harahap,Yahya SH (1995), “Mencari
Sistem Peradilan yang Lebih Efektif dan Efisien”, (makalah dalam Seminar
Akbar BPHN Dep.Kehakiman 18-21 Juli 1995).
8.LaFave,Wayne R.& Jerold H.Israel (1985), Criminal Procedure, West
Publishing Co.
9.Mahkamah Agung R.I.(2010),Cetak
Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035.
10.Malaysian Law Publishers Sdn.Bhd. (1982), Criminal Procedure Code-With
Annotations of Ammendments 1970-1976.
11.MaPPI FHUI, Teropong -
Pembaharuan Hukum Acara Pidana,Volume 2-Oktober 2014.
12.Pangaribuan,Luhut,M.P.(2003),Hukum
Acara Pidana-Satu Kompilasi, Penerbit Djambatan.
13.Putusan
No.04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel, tgl.16 Febr.2015,
Direktori Putusan MARI.
14.Rancangan Undang-Undang
R.I. Tentang Hukum Acara Pidana (2012).
15.Reksodiputro,Mardjono (2009),Menyelaraskan
Pembaruan Hukum, KHN-RI.
16. ------------------------- (2013),Perenungan Perjalanan Reformasi Hukum, KHN-RI.
17.Rosengart,Oliver & Gail Weinheimer (1974), The Rights of Suspects, Avon
Books.
18.Sutrisno,Ade,SH (Mayor Polisi-Hakim Militer) (1976),Taktik & Teknik Menggali Motief
Perbuatan Pidana dalam menyusun Berita Acara Penyidikan Kepolisian, Surabaya
(tanpa Penerbit).
19.The American Law Institute (1972), A Model Code of Pre-Arraignment
Procedure-Official Draft No.1.
20.Tobias,Weber Marc &
David Petersen (1972),Pre-Trial Criminal Procedure-A Survey of
Constitutional Rights, Charles C.Thomas.
[1] Lihat misalnya Majalah Forum
Keadilan 8 Maret dan 22 Maret 2015. Tiga orang Tersangka kasus korupsi yang
sedang diperiksa KPK adalah mantan Menteri Agama (SA), mantan Ketua Badan
Pemeriksa Keuangan (HP) dan mantan Direktur Pengolahan PT Pertamina (SAM).
Status Tersangka mereka sudah berbulan-bulan, dan karena itu mereka
“mem-praperadilan-kan status Tersangka” mereka.
[2] Lihat Christina P.M.Cleiren (1989),Beginselen van een goede
procesorde.Een analyse van rechtspraak in strafzaken, Disertasi di Rijksuniversiteit te Leiden, Arnhem: Gouda Quint BV. Bandingkan pula
pendapat ini dengan pemikiran Luhut M.P.Pangaribuan(2014), “Hakim Pemeriksa
Pendahuluan (HPP) Dalam Rancangan Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, dalam Teropong, Volume 2-Oktober
2014,Jakarta: MaPPI FHUI, hal.2-15; Salah satu nilai utama Badan Peradilan
adalah “Akuntabilitas”, yang a.l. diartikan “… membuat putusan yang didasari
dengan dasar alasan yang memadai, serta usaha untuk selalu mengikuti
perkembangan masalah-masalah hukum actual”, dalam MARI(2010), Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010 – 2035,diterbitkan
oleh Mahkamah Agung RI.-
[3] Menurut saya butir b bermaksud
mengingatkan Penyidik dan JPU untuk berlaku cermat dan tidak sewenang- wenang
dalam menyatakan seseorang itu berstatus Tersangka atau Terdakwa.
[4] Rujukan yang dipakai adalah dari buku Luhut M.P.Pangaribuan,SH.LLM.
(2003),Hukum Acara Pidana. Suatu
Kompilasi Ketentuan-ketentuan KUHAP dan Hukum Internasional yang relevan,
Penerbit Djambatan.
[5] Meskipun tentu ada benarnya, namun pandangan akan di”pasung”nya dan
di”gergajinya” KPK, terlalu di”dramatisir”, seperti pula pandangan bahwa “the Corruptors Fight Back”.Lihat pula
pendapat saya : ”Benarkah the Corruptors
Fight Back?” dalam Mardjono Reksodiputro (2013),Renungan Perjalanan Reformasi Hukum, Diterbitkan oleh Komisi Hukum
Nasional RI, hal.39 – 52.
[6] Malcolm M.Feeley (1983),Court Reform on Trial. Why Simple Solutions
Fail, Twentieth Century Fund,Inc – Basic Books Inc..hal.216.
[7] C.P.M.Cleiren & J.F.Nijboer (2005),Strafvordering-Teks &
Commentaar, Kluwer, hal.69.
[8] KUHAP 1981, Pasal 1 butir 20 – serupa dengan Rancangan KUHAP 2012,
Pasal 1 butir 20
[9] KUHAP 1981, Pasal 16-19 tentang Penangkapan dan Pasal 20-31 tentang Penahanan
[10] Beberapa kasus di Indonesia mengenai kasus Korupsi telah dtangani
oleh KPK dengan cara yang tidak masuk akal, karena mereka membiarkan status
Tersangka ini berlama-lama tanpa membawanya ke Pengadilan. Kalau hal ini berani
dilakukan oleh Penyidik untuk kasus yang mendapat sorotan media massa,
bagaimana kemungkinan warga masyarakat yang “buta-hukum” untuk dijadikan
Tersangka selama berbulan-bulan, tanpa hak membela diri ? Bagaimana hak
seseorang yang “digantung kasusnya” dengan status sebagai Tersangka, dan tidak dapat menggugat status Tersangka itu,
kalau tidak melalui praperadilan ?
[11] Marc Weber Tobias dan R.David Petersen,1972, Pre-Trial Criminal Procedure. A Survey of Constitutional Rights, Charles
C. Thomas Publisher, hal.44 – 46.
[12] Dikatakan “terbuka”, karena ini diumumkan kepada publik-berbeda
bila Penyidik hanya mendiskusikan ini dengan teman sesama Penyidik ataupun
dengan atasannya.
[13] Lihat Wayne R.LaFave & Jerold H.Israel (1984),Criminal
Procedure, West Publishing Co. Hal.8.
[14] Dengan prosedur seperti ini, maka kedua pimpinan KPK (AS dan BW)
yang sekarang menjadi Tersangka, maupun mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM (DI)
dapat memperoleh kepastian melalui sidang praperadilan tentang sahnya mereka
dijadikan Tersangka dan kalau ini sah, maka dalam waktu 90 hari mereka sudah
dapat membela diri mereka di sidang pengadilan terbuka, sebagai
Terdakwa.Prosedur ini tentunya bukan hanya untuk Tipikor, tetapi juga berlaku
untuk perkara-perkara kecil dimana sering Penyidik secara terburu-buru dan
sewenang-wenang menyatakan seorang warganegara menjadi Tersangka (meskipun
tidak ditahan !).
[15] Menyikapi Seminar Hukum Nasional Ke-7 (Oktober 1999) dng Tema
“Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani”, dua tahun kemudian (1981) telah
dibuat pendapat Mardjono Reksodiputro “Menegakkan kembali Citra Kekuasaan
Kehakiman: Peranan Pengadilan Dalam Negara Indonesia Baru (Sebuah Saran Kepada
Ketua Mahkamah Agung RI)”- Respons MA adalah dengan a.l. membentuk Tim
Pembaruan Peradilan yang berhasil membuat buku Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010 – 2035 – Menurut pendapat saya
putusan Hakim Sarpin menciptakan hak bagi seorang Tersangka yang tidak ditahan
untuk menggugat statusnya yang “digantung” Penyidik termasuk pembaruan yang
kita harapkan. Semoga putusan ini mengisi Visi “Terwujudnya Badan Peradilan
Indonesia Yang Agung” (Hasil Rumusan MARI 10/9/2009).-