Pengantar
Sejak tahun anggaran 1981/1982 pemerintah telah secara serius menyusun
konsep Kitab Undang-undang Hukum Pidana Baru. Konsep ke-1 ini diserahkan pada
tanggal 13 Maret 1993 kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh. Dasar-dasar untuk
Konsep ke-1 ini telah diletakkan antara lain oleh: Prof. R. Sudarto, SH (wafat
1986), Prof. Oemar Seno Adji, SH (wafat 1991) dan Prof. Mr. Roeslan Saleh
(wafat 1998).(1) Sayangnya Konsep ke-1
ini terlupakan selama masa tugas Menteri Oetojo Oesman, dan baru teringat
kembali pada masa tugas Menteri Kehakiman Muladi dan Menteri Kehakiman Yusril
Ihza Mahendra. Pada waktu itulah terbit Konsep ke-2 (1999-2000) dan Konsep ke-3
(2004). Sekarang, setelah + 23 tahun sejak dimulai prakarsa penyusunan
Konsep ke-1 oleh Prof. R. Sudarto, SH, Konsep ke-3 yang sudah jauh berubah
(dari Konsep ke-1) mulai diajukan ke DPR untuk dibahas. Dalam perjalanan
penyusunan selama 23 tahun ini memang konteks dan tantangan dalam masyarakat
Indonesia (maupun dunia) sudah berbeda. Karena itu memang menarik untuk mengkaji
apakah naskah Konsep ke-3 ini dapat menjawab konteks dan tantangan masyarakat
Indonesia tahun 2005 dan
selanjutnya.
Beberapa prinsip pembaruan WvS
WvS (Wetboek van Strafrecht, 1918)
merupakan hukum positif di Indonesia di bidang hukum pidana materiil, dengan
berbagai pengubahannya selama hampir 90 tahun ini. Ketika pada tahun 1993, pada saat WvS berumur 75 tahun, Konsep ke-1 diperkenalkan
kepada masyarakat, oposisinya cukup keras. Oposisi ini datang dari mereka yang
lebih cenderung berada di bawah naungan WvS, ketimbang Konsep ke-1
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Gagasan-gagasan baru yang dimasukkan
dalam Konsep ke-1 misalnya tentang pemidanaan serta delik-delik baru seperti
pencucian uang dan perzinahan (kumpul kebo), menimbulkan reaksi keras, baik
dari pihak pemerintah maupun dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM).(2)
Yang perlu dicatat adalah bahwa Konsep ke-1 yang diajukan tahun 1993
ini, telah juga memperhatikan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga
masyarakat, dengan didukung oleh tiga prinsip (Reksodiputro; Januari, 1994):
(a) hukum pidana (juga) dipergunakan untuk
menegaskan atau menegakkan kembali nilai-nilai sosial dasar (fundamental
social values) perilaku hidup bermasyarakat (dalam negara kesatuan Republik
Indonesia, yang dijiwai oleh falsafah dan ideologi negara Pancasila);
(b) hukum pidana (sedapat mungkin) hanya
dipergunakan dalam keadaan di mana cara lain melakukan pengendalian sosial (social
control) tidak (belum) dapat diharapkan keefektifannya; dan
(c)
hukum
pidana (yang telah mempergunakan kedua pembatasan (a dan b di
atas) harus diterapkan dengan cara seminimal mungkin mengganggu hak dan
kebebasan individu, tanpa mengurangi perlunya juga perlindungan terhadap kepentingan
kolektifitas dalam masyarakat demokratik yang modern.
Di samping ketiga prinsip tersebut, Konsep ke-1 juga
mengusahakan, agar perumusan:
(i)
perbuatan
apa yang merupakan tindak pidana; dan
(ii)
kesalahan
(schuld; culpability) macam apa yang disyaratkan untuk meminta
pertanggungjawaban pidana (criminal liability) kepada seorang pelaku,
dilakukan secara jelas dan dalam bahasa yang dapat dipahami oleh warga.
Agar sistem peradilan pidana tidak terlalu terganggu, maka merumuskan hukum
pidana Indonesia oleh orang Indonesia untuk masyarakat Indonesia ini, dilakukan
dengan cara re-kodifikasi terhadap WvS 1918 (sebagaimana telah diubah sampai
tahun 1993).
Konsep ke-1 RUU KUHP ini telah diusahakan agar mencerminkan asas-asas utama
hukum pidana dan aturan-aturan umum penerapannya. Hal ini dirumuskan dalam Buku
Kesatu – Ketentuan Umum, yang terbagi dalam sejumlah bab. Begitu juga Konsep
ke-1 ini mencoba merumuskan sejumlah tindak pidana yang dianggap serius dan
yang merupakan keprihatinan masyarakat Indonesia, khususnya dalam masyarakat
yang sedang beralih dari masyarakat tradisional ke masyarakat industri modern.
Dalam masyarakat transisi inilah terlihat adanya keinginan menegakkan kembali
nilai-nilai moral dan agama, untuk perilaku hidup bermasyarakat. Bagian ini
dirumuskan dalam Buku Kedua – Tindak Pidana, yang juga terbagi dalam beberapa
bab dan sub-bab.
Pengaruh kriminologi pada re-kodifikasi WvS
Aspek yang menonjol dalam kriminologi sebagai suatu ilmu pengetahuan
empirik, adalah penelitiannya mengenai tindak pidana (crimes) dan
pelakunya (criminals). Sumbangan kriminologi pada pembaruan politik
kriminal (criminal policy), melalui kesimpulan yang diperoleh dari penelitian-penelitiannya, telah terasa
pula pada re-kodifikasi WvS 1918 menjadi Konsep ke-1 (lihat Reksodiputro,
Nopember 1994). Pengaruh kriminologi ini terlihat baik dalam Buku Kesatu -
Ketentuan Umum, maupun dalam Buku Kedua - Tindak Pidana.
Para
sarjana pada umumnya memahami tujuan hukum pidana itu sebagai suatu pernyataan
celaan resmi masyarakat tentang perilaku yang dilarang. Celaan resmi ini
didukung oleh sanksi pidana, dengan maksud mencegah terjadinya atau terulangnya
perilaku tersebut. Perilaku yang dicela dan dilarang ini tentunya sangat
dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial dasar (fundamental
social values) yang hidup dan ditaati masyarakat Indonesia. Dalam konteks
pengakuan atas kemajemukan masyarakat Indonesia, dengan budaya-budayanya
masing-masing, maka asas legalitas yang tetap merupakan salah satu sendi hukum
pidana Indonesia, ditafsirkan meliputi pula “delik adat”. Unsur kesalahan,
tetap merupakan persyaratan dalam memidana pelaku dan dijatuhkan dalam bentuk
“pemenuhan kewajiban adat” (Reksodiputro, Desember 1994).
Sendi
hukum pidana Indonesia yang lain, adalah perlu adanya kesalahan (schuld; dolus atau culpa), dan ini
berakibat adanya konsep pertanggungjawaban pidana (criminal liability). Disamping keadaan tidak dapat
dipertanggungjawabkan, karena “mental
defect” dan “mental abnormality”, maka
keadaan kurang bertanggungjawab (diminished
responsibility) digagaskan pula sebagai suatu alat pembelaan (defense) bagi pelaku. Masih dalam
rangka asas “criminal liability”, maka
Konsep ke–1 juga mengajukan adanya “corporate
criminal liability”, yang terutama ditujukan untuk melawan “crime by corporations” (kejahatan oleh
korporasi/organisasi – KOO) (Reksodiputro, Juni 1993).
Selanjutnya,
dengan memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan tentang perilaku anak serta
perlunya perlindungan terhadap hak-hak anak (rights of the child), maka dalam Konsep
ke–1 diajukan ketentuan ditiadakannya pertanggungjawaban pidana anak di bawah
umur 12 (duabelas) tahun. Juga dalam bab khusus diatur tentang jenis-jenis
pidana khusus (dibedakan dari orang dewasa) untuk anak antara 12 – 18 tahun.
Hal ini adalah sesuai dengan “the Beijing
Rules” yang disponsori PBB dalam tahun 1985.
Yang
juga merupakan hal baru dalam re-kodifikasi WvS adalah dirumuskannya Tujuan
Pemidanaan, Pedoman Pemidanaan dan Pedoman Penerapan Pidana Penjara. Pengaturan
ini dimaksudkan untuk memberikan kepada hakim pegangan dalam memilih sanksi
pidana yang tersedia dalam Konsep ke–1. Disini perlu juga dicatat bahwa dalam
Konsep ke–1 ini pidana mati (death
sentence) dijadikan pidana khusus di luar pidana pokok. Juga diatur bahwa
disamping sanksi berupa pidana, terdapat sanksi berupa “tindakan” (maatregel).
Penegasan atau penegakan kembali nilai sosial dasar
Kritik yang pada awal tahun 1990-an ditujukan kepada Konsep ke–1 adalah
berkisar pada :
(a)
masih tetap
dipertahankannya bab tentang keamanan negara dan pejabat negara;
(b)
diperluasnya
perbuatan yang dilarang dalam bab tentang kesusilaan;
(c)
dalam kaitan dengan
butir b ini, dipermasalahkan pula
kurang pekanya para penyusun pada permasalahan jender, khususnya korban
perempuan.
Pada tahun 2004 dan
2005 ini kritik ditambah pula pada masalah :
(d)
Pembatasan yang
terlalu ketat terhadap kebebasan menyampaikan pendapat (freedom of speech) dan kemerdekaan pers (freedom of the press).
Dibawah ini akan dicoba dijelaskan bagaimana pemikiran dalam Konsep ke–1
tersebut tentang hal-hal yang memperoleh kritik.
a.
Tentang bab keamanan negara dan pejabat
negara
Dalam WvS 1918, empat bab pertama dalam
Buku Kedua tentang Tindak Pidana adalah sehubungan dengan: keamanan negara,
martabat presiden dan wakil presiden, kepala negara sahabat dan terhadap dewan
perwakilan rakyat. Pada dasarnya kepentingan yang dilindungi adalah memang
“kepentingan negara”, yaitu berfungsinya organisasi negara (termasuk hubungan
dengan negara sahabat). Dalam beberapa negara asing,
tindak pidana seperti ini dikenal sebagai “crimes
against state security”.
Tindak pidana yang paling serius disini adalah yang dikategorikan
sebagai “high treason” (membunuh
presiden, membantu musuh yang berperang dengan Indonesia, dll) dan “treason” (menggulingkan pemerintahan
yang sah, pemberontakan, dll). Rumusan dari keempat bab ini dalam konsep ke–1
(dan sebenarnya + 75% dari RUU KUHP) pada dasarnya diambil dari rumusan
lama WvS (karena itu dilakukan re-kodifikasi), dengan pengecualian 4 – 5 pasal
pertama dalam Bab–1 Buku Kedua. Pasal-pasal tersebut berhubungan dengan ajaran
komunisme dan marxisme. Adapun maksud dari masuknya pasal-pasal tersebut adalah
untuk mengganti atau mempersiapkan ganti bagi aturan undang-undang subversi.
Tim perumus Konsep ke–1 tidak punya mandaat untuk mengusulkan pencabutan UU
Subversi (pada awal tahun 1990-an) dan dengan masuknya pasal-pasal tersebut,
mengharapkan pemerintah dapat menerima dicabutnya undang-undang yang oleh Tim
perumus dianggap sebagai tidak sejalan dengan pembaruan undang-undang pidana
nasional.
Meskipun tetap berpedoman pada rumusan tindak pidana bab-bab 1
sampai dengan 4 Buku Kedua WvS, namun perumusan tindak pidana dalam bahasa
Indonesia telah diusahakan agar jelas dan dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh
warga (clearly and understandably) perbuatan
apa yang dilarang dan unsur-unsur apa yang diperlukan untuk pertanggungjawab
pidana pelaku. Sejumlah perbuatan yang dilarang juga dirumuskan sebagai delik
materiil, yang berarti bahwa dalam perumusan harus disebut apa yang merupakan
akibat dari perbuatan tersebut, yang dianggap membahayakan kepentingan keamanan
negara. Remmelink juga menyebut tindak pidana ini sebagai “kejahatan politik”
(dibedakan dari “kejahatan umum”), apabila motivasi yang melandasi perbuatan
pelaku adalah “keyakinan politik” (Remmelink, 2003, hal. 73 dstnya). Diakui
bahwa tindak pidana ini dapat disalahgunakan oleh negara (pemerintah) untuk
menghambat “kebebasan berbicara” (speech), yang dijamin Konstitusi kita
(pasal 28 dan 28E ayat 3).
Konsep ke-1 mengakui adanya “kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan” (pasal 28 UUD 1945), namun juga berpendapat tetap harus
dibatasi “free speech” yang melampaui batas-batas perlindungan
konstitusi. Kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan tetap
harus dilindungi, namun penyalahgunaannya yang (dapat) menimbulkan keonaran
atau kerusuhan dalam masyarakat tentunya sudah melampaui batas perlindungan
konstitusi. Terutama yang harus diancam pidana adalah “penyebaran kebencian” (inciting
hate), yang menimbulkan keonaran dan kerusuhan dalam masyarakat. Penyebaran
“kebencian” ini adalah pernyataan pikiran
dengan lisan atau tulisan yang sama sekali tidak ada artinya, kecuali
mengekspresikan kebencian terhadap pemerintah atau kelompok orang tertentu dan
(dapat) menimbulkan kekerasan terhadap manusia atau barang. Disini penting untuk merumuskan tindak
pidana ini menjadi delik materiil. Dalam delik materiil yang dicegah adalah
timbulnya suatu bahaya konkret, karena itu yang dilarang adalah suatu tindakan
(misalnya: menghina atau menghasut) dan munculnya suatu akibat yang menimbulkan
bahaya bagi kepentingan hukum tertentu (misalnya: keonaran dalam masyarakat
yang memecah kesatuan bangsa atau membahayakan jiwa atau barang).
Struktur Buku Kedua dapat saja diganti dan
disesuaikan dengan alam demokrasi yang sedang berkembang di Indonesia, sehingga
strukturnya menjadi mendahulukan ancaman terhadap hak-hak individu (crimes
against the person, seperti a.l.: tindak pidana terhadap nyawa,
penganiayaan, kemerdekaan orang, kesusilaan, penghinaan, hak asasi manusia,
dll), kemudian ancaman terhadap hak-hak kebendaan (crimes against
property, seperti: a.l. tindak pidana pencurian, penggelapan, perbuatan
curang/penipuan, merugikan kreditor, korupsi), selanjutnya ancaman
terhadap hak-hak masyarakat (communal rights, seperti a.l. : tindak
pidana terhadap ketertiban umum, penyelenggaraan peradilan, agama dan kehidupan
beragama, keamanan umum bagi orang, kesehatan, barang dan lingkungan hidup,
dll), baru terakhir ancaman terhadap kepentingan negara (crimes
against state’s policy and governmental order, seperti a.l. : tindak pidana
terhadap keamanan negara, martabat presiden, kewajiban dan hak kenegaraan,
kekuasaan umum dan lembaga negara, dll).
b. Tentang diperluasnya perbuatan yang dilarang
dalam bab tentang tindak pidana kesusilaan.
Bab tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan
dalam WvS, berasal dari judul bahasa Belanda: “Misdrijven tegen de zeden”. Bagian
awal dari bab ini memuat tindak pidana yang berkaitan dengan kesusilaan dalam
pengertian “kehidupan seksual”, namun pada akhir bab terdapat tindak pidana
yang berkaitan dengan penganiayaan hewan (dieren mishandeling),
perjudian (kansspelen), pemabukan dan pengemisan. Pengertian “zeden”
memang tidak selalu harus berkaitan dengan kehidupan seksual. Dapat diartikan
pula tata-susila, sopan santun, kesopanan dan karena itu berkaitan pula dengan
“moral masyarakat” atau “akhlak” (crimes against public morals).
Kehidupan seksual yang merupakan inti
perbuatan yang dilarang dalam bab ini semula memang ditujukan hanya pada
“integritas badan dan jiwa” (bodily and psychological integrity) dan
karena itu mengatur tindak pidana perkosaan, pengguguran kandungan, perbuatan
cabul, incest (persetubuhan dengan anggota keluarga sedarah), pelacuran
dan perzinahan. Yang bersinggungan dengan kehidupan seksual adalah pornografi
(tulisan, gambar atau benda, serta menyanyikan dan mengucapkan pidato yang
melanggar kesusilaan).
Perzinahan atau permukahan (overspel)
memang berada juga di “daerah perbatasan” tentang “crimes against public
morality”. Pertama, karena tidak ada “kekerasan” terhadap “bodily and
psychological integrity”, dan juga kedua tidak dilakukan di muka umum atau
tempat umum. Oleh karena itu sifat delik ini adalah delik pengaduan (klacht
delict). Pengaduan dilakukan oleh suami/istri yang “tercemar” atau
keluarga, kepala adat atau kepala desa/lurah setempat. Ini
cara Konsep ke-1 melindujngi “privacy”, agar tidak mudah “private trouble” menjadi “public trouble”.
b.
Tentang
kepekaan pada permasalahan jender, khususnya korban perempuan
Kritik yang diberikan kepada perumusan dalam Konsep ke-1,
dalam masalah jender dan korban perempuan adalah: (a) kurangnya perhatian
kepada korban kejahatan kesusilaan seksual (sexual violence victims) dan
(b) kurangnya perhatian kepada korban kekerasan dalam rumah tangga (domestic
violence victims).(3)
Tim perumus Konsep ke-1 menyadari pula permasalahan ini
dan mencoba untuk memberi perhatian dengan cara memperluas dan memperinci
pengertian tentang perkosaan. Terdapat 8 (delapan) perbuatan yang diancam
pidana sebagai perkosaan dan disamping ancaman maksimum 12 (duabelas) tahun,
untuk pertama kali dalam sejarah hukum pidana Indonesia dirumuskan ancaman
pidana minimum 3 (tiga) tahun. Dirumuskan pula perbuatan yang dikenal sebagai “statutory
rape”, laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan persetujuan perempuan
yang belum berusia 14 tahun. Untuk melindungi perempuan, juga diancam pidana
laki-laki yang ingkar janji mengawini perempuan yang berzina dengannya, ataupun
tidak mau mengawini perempuan yang hamil karena berzina dengannya.
Memang cara yang dilakukan di atas diakui belum dapat
sepenuhnya melindungi perempuan korban kejahatan kesusilaan, maupun korban
kekerasan dalam rumah tangga. Di luar negeri perlindungan ini dilakukan a.l.
melalui : (a) perlindungan terhadap korban sebagai saksi, dengan peraturan
perlindungan saksi dan larangan untuk mempublikasi identitas korban/saksi; (b)
menyediakan “guidance centers” dan “shelters” untuk para korban;
(c) erat kaitan dengan di atas adalah memberikan bantuan dana untuk pengobatan,
rehabilitasi dan juga melakukan gugatan kepada pelaku (litigation expenses),
(d) mempersiapkan tenaga-tenaga yang ahli (expert) dalam menangani
kasus, sejak dari pengaduan, rehabilitasi sampai ke pengadilan, dan (e)
mempermudah pengaduan sehubungan dengan kekerasan rumah tangga, khususnya
pengaduan terhadap kekerasan oleh suami, yang tidak memerlukan prosedur hukum
acara pidana yang biasa (Purnianti, 2002). Tim berpendapat bahwa cara
perlindungan seperti diuraikan di atas bukanlah wewenang Tim dan tempatnya
bukan dalam hukum pidana materiil (substansi), tetapi dalam hukum acara pidana
(prosedural) atau peraturan tersendiri.
d. Tentang pembatasan terhadap kebebasan berpendapat maupun
kemerdekaan pers
Kritik terhadap rumusan yang dianggap membatasi kebebasan
berpendapat dan/atau kemerdekaan pers, baru diajukan dalam + 2 tahun
terakhir. Kritik ini tidak mempergunakan Konsep ke-1 sebagai acuan melainkan
Konsep ke-3 (2004). Namun sebagian besar dari rumusan RUU KUHP yang dikritik
berasal dari Konsep ke-1 dan karena itu dapat dijawab makalah ini.(4)
Terdapat 49 (empatpuluh
sembilan) rumusan tindak pidana yang oleh para pengeritik dianggap membatasi
atau mengancam “kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan atau tulisan”
(pasal 28 UUD) maupun “kebebasan mengeluarkan pendapat” (pasal 28E ayat 3 UUD).
Rumusan perbuatan yang dilarang itu tersebar dalam 18 (delapan belas) jenis tindak
pidana. Dengan mempergunakan sistematik dan penomoran pasal-pasal dalam Konsep
ke-3 (2004), akan diperoleh gambaran seperti di bawah ini. Ternyata bahwa dari 49 pasal tersebut : 9 pasal adalah
baru dan 40 pasal lainnya berasal dari WvS.
1. Tindak pidana terhadap ideologi negara (4 pasal): Pasal 209,
210, 211, 212 (tidak ada padanan dalam WvS);
2. Tindak pidana terhadap pertahanan dan keamanan negara (3
pasal): Pasal 218, 226, 227 (118, 112 dan 113 WvS);
3. Penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden (3 pasal):
Pasal 262, 263, 264 (131, 137, -- WvS);
4. Penghinaan terhadap kepala negara sahabat (3 pasal): Pasal 269,
270, 271 (142, 143 dan 144 WvS);
5. Penghinaan terhadap simbol negara dan pemerintah (3 pasal):
Pasal 284, 285, 287 (154, 155, 157 WvS);
6. Penghasutan (4 pasal): Pasal 288, 289, 290, 291 (160, 161, 162
dan 163 WvS);
7. Gangguan terhadap ketertiban dan ketenteraman umum (2 pasal):
Pasal 307, 308 (--, -- WvS);
8. Tindak pidana terhadap agama ( 3 pasal)¨Pasal 336, 339 , 340
(156a WvS, -- WvS);
9. Penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara (2 pasal):
Pasal 400, 401 (207 dan 208 WvS);
10. Pornografi dan porno aksi (5 pasal): Pasal 469, 470, 471, 472,
473 (282 WvS, -- WvS);
11. Mempertunjukkan pencegahan kehamilan dan pengguguran kandungan (3
pasal): Pasal 481, 482, 483 (283 WvS, -- WvS);
12. Pencemaran (1 pasal): Pasal 511 (310 WvS);
13. Fitnah (1 pasal): Pasal 512 (311 WvS);
14. Penghinaan ringan (2 pasal): Pasal 514, 515 (315 dan 316 WvS);
15. Persangkaan palsu (1 pasal): Pasal 517 (318 WvS);
16. Pencemaran orang mati (2 pasal): Pasal 519, 520 (320 WvS);
17. Tindak pidana pembocoran rahasia (4 pasal): Pasal 522, 523, 524,
525 (322, 323, -- WvS);
18. Tindak pidana penerbitan dan pencetakan (3 pasal): Pasal 723, 724,
725 (483, 484, 485 WvS);
Dari perincian di atas dapat
terlihat bahwa sebagian besar pasal yang ditakuti akan mengancam “freedom of
speech” dan/atau “freedon of the press”, adalah sebenarnya juga
bertujuan untuk melindungi warga masyarakat terhadap pengingkaran haknya oleh
sesama warga masyarakat lainnya. Permasalahan tentang butir 1 sampai dengan 4
telah didiskusikan sebelumnya, mungkin juga butir 5 dapat diperiksa kembali.
Namun, sehubungan dengan butir 6 sampai dengan 18, perlu kita sadari bahwa:
(1)
Perbuatan
penghinaan terhadap golongan penduduk dan penghasutan terhadap publik pada
dasarnya adalah “crimes against society
in general”, karena bertujuan untuk mengganggu keharmonisan dalam
masyarakat (social harmony). Tujuan
pelaku adalah “to promote feelings
of ill will and hostility between
different groups in the community” (ingat kasus Ambon dan Poso!).
(2)
Perbuatan yang
berkaitan dengan pornografi dan pencegahan kehamilan, memang menyangkut masalah
“public morals”. Justru apabila kita
ingin lebih baik melindungi perempuan dari korban pelecehan dan kekerasan, maka
jenis tindak pidana ini harus dianggap tidak mengganggu kebebasan berekspresi.
(3)
Pencemaran (slander, smaad), penghinaan (belediging) dan fitnah (libel, defamation, laster) selalu ada
dalam setiap Kitab Undang Undang Pidana (Penal
Code) dari negara demokratik dan modern. Selama “perbuatan” tersebut bukan “hate crimes” dan selama dilakukan untuk
membela diri (in his own necessary
defense) atau dengan iktikad baik pelaku berasumsi bahwa tuduhannya adalah
benar dan diperlukan untuk kepentingan umum (required
in the public interest), maka perbuatannya bukanlah pencemaran, penghinaan
atau fitnah.
(4)
Tindak pidana
pembocoran rahasia ditujukan kepada seseorang dalam profesi (beroep) tertentu atau karena jabatan (by reason of his office) dan dimaksudkan
agar publik yang memerlukan bantuan mereka tersebut tidak takut memberitahu
permasalahannya, karena pasal ini mencegah dibukanya rahasia atau permasalahannya
kepada umum (misal dokter, advokat dan pendeta). Karena itu pasal ini sama
sekali tidak mengancam “freedom of
speech” dan/atau “freedom of the
press”.
(5)
Tindak pidana
penerbitan dan pencetakan termasuk dalam bab tentang pemudahan (beganstiging, cooperation after the fact)
dan ditujukan kepada penerbit dan pencetak yang menerbitkan atau mencetak bahan
yang menurut sifatnya telah dapat dipidana (of
a criminal nature). Apakah
pasal ini akan dipertahankan atau dihapus karena sudah ada undang-undang pers
dapat didiskusikan.
Penutup – Kesimpulan
Uraian di atas ingin menunjukkan bahwa tuduhan seakan-akan Konsep RUU KUHP
adalah anti–demokrasi, atau inkonstitusional adalah keliru sekali. Apalagi
pendapat yang meminta agar DPR menolak seluruh RUU KUHP. Dua pepatah mungkin
dapat menjelaskan cara berpikir keliru dari pemuat saran terakhir ini : “Ia
mendengar bunyi lonceng, tetapi tidak tahu dimana adanya” dan atau “Secara
sembrono membuang bayi bersama-sama dengan air mandinya”.(5) Apa yang seharusnya dilakukan adalah mengkaji
apakah memang perbuatan yang dilarang itu benar, kemudian melihat apakah
perumusannya tidak keliru karena terlalu luas jangkauannya, Kalau begitu
sempurnakan perumusannya!
*Disampaikan
dalam Pertemuan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia: “Pembaruan KUHP: Melindungi HAM, Kepentingan Umum dan Kebijakan
Negara”. (Jakarta, 24 November 2005).
Daftar Pustaka
Mardjono Reksodipuro, “Tindak
Pidana Korporasi dan Pertanggung-jawabannya. Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan
di Indonesia“, Pidato Dies Natalis Ke-47 Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian,
Juni 1993.
______________, “Rekodifikasi
Hukum Pidana: Beberapa Catatan Awal”, makalah di Fakultas Hukum Universitas
Mataram, Januari 1994.
______________, “Pengaruh Pemikiran Kriminologi Dalam
Rancangan KUHP Baru”, makalah di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
Nopember 1994.
______________, “Delik Adat Dalam Rancangan KUHP Nasional”.
Makalah di Fakultas Hukum Universitas Udayana, Desember 1994.
Purnianti dan Rita Serena
Kolibonso, Menyingkap Tirai Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Mitra
Perempuan, 2003.
(1) Untuk
daftar lengkap Panitia Penyusunan Konsep ke-1 RUU KUHP, lihat Mardjono
Reksodiputro, Pembaharuan Hukum Pidana, Lembaga Kriminologi UI, Jakarta
1995, hal. 13.
(2) Dalam harian Kompas, 24 Pebruari 1997,
Menteri Kehakiman Oetojo Oesman mengatakan telah “mengembalikan”(?) konsep RUU
KUHP Nasional, mengingat materinya masing mengandung banyak kelemahan.
(3) Lihat misalnya kritik Nursyabani
Katjasungkana, “Revisi KUHP Bias Gender dan Bias Kelas”, wawancara
Kamis, 9 Oktober 2003 dengan Kajian Islam Utan Kayu (KIUK).
(4) Antara lain kritik yang diajukan oleh
Nursyahbani Katjasungkana, loc.cit., yang berpendapat bahwa pasal 310 dan 311 WvS,
yang tetap dipertahankan, pada umumnya digunakan untuk “merepresi dunia pers
dan insan pers”. R.H. Siregar dalam “RUU KUHP dan Kebebasan Pers”,
Suara Pembaruan 27 April 2005, menyatakan bahwa RUU KUHP bukannya
menghilangkan “ranjau-ranjau pers”, bahkan sebaliknya menambah “pasal-pasal
karet” yang bisa mengancam kebebasan pers. Ketua Dewan Pers Ichlasul Amal, membacakan
Memorandum Dewan Pers dan menyebut adanya 49 pasal karet dalam RUU KUHP yang
berpotensi membelenggu hak-hak masyarakat untuk berpendapat, berekspresi dan
berkomunikasi (Kompas, 4 Maret 2005). Pendapat serupa dikemukakan oleh
mantan Ketua Dewan Pers, Atmakusumah Astraatmadja dalam “Misteri Di Balik RUU
KUHP” (September 2005).
(5) Pepatah
Belanda : “Hij hoort de bel luiden, maar weet niet waar de klepel hangt” dan
pepatah Inggris : “Throw the baby out with the bathwater”.