Rabu, 30 Oktober 2013

Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana Indonesia *



Pendahuluan
KUHAP Indonesia (UU No. 8/1981) adalah kulminasi dari hasil Seminar Hukum Nasional II (diselenggarakan oleh LPHN di Universitas Diponegoro, 27 – 30 Desember 1968). Dalam SHN II ini (tema : “Pelaksanaan Negara Hukum Berdasarkan Demokrasi Pancasila”), terdapat Komisi - 3 yang membahas permasalahan “hukum acara pidana dan hak asasi manusia” . Semangat pembaharuan pada waktu itu adalah perlindungan hukum yang lebih besar atas hak-hak dasar warga negara. Kritik-kritik yang dilontarkan “…diarahkan kepada cara perlakuan aparat hukum dalam jaman Indonesia Merdeka, kepada rakyatnya sendiri, warga negara Indonesia.” (Reksodiputro,2007)

Meskipun cukup lambat (13 tahun sejak SHN II, 1968), tetapi KUHAP 1981 ini sangat melegakan hati dan memberi harapan baru bagi terwujudnya keadilan hukum. Penjelasan KUHAP dan pendapat akhir fraksi-fraksi di DPR juga menegaskan bagaimana pentingnya KUHAP mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia.

Sekarang setelah seperempat abad (1981 – 2009), kita telah merasakan dan dapat menilai bagaimana harapan diatas tidak sepenuhnya terwujud. Karena itu diperlukan pemikiran ulang tentang sistem peradilan pidana (disingkat sebagai SPP) kita. Itulah maksud istilah “rekonstruksi” pada judul makalah ini. Yang dimaksud dengan pelaksanaan peradilan pidana adalah apa yang dikenal sebagai the administration of criminal justice  atau strafrechtspleging. Pemikiran ulang terhadap SPP ini diperlukan agar dapat diselaraskan dengan  ketentuan-ketentuan tentang Hak Asasi Manusia dalam Bab XA Konstitusi kita. Pendeknya berusaha untuk mendesain (merancang  bangun) ulang SPP agar dapat tercipta “pelaksanaan peradilan pidana yang patut dan semestinya” (behoorlijk strafrechtspleging – decently administration of criminal justice).

Desain prosedur (procedural design) :
Pengertian yang banyak dianut di Indonesia adalah bahwa hukum pidana formal (hukum acara pidana) mengatur bagaimana Negara, melalui organ-organnya, menegakkan haknya untuk menghukum dan menetapkan pidana. Dengan demikian harus diatur secara jelas proses mempergunakan hak tersebut. Pengaturan itu  bermaksud untuk membatasi kewenangan Negara, agar tidak sewenang-wenang mempergunakan haknya.

Proses ini harus mengatur : a) penyelidikan, penyidikan, pendakwaan, pemeriksaan dan peradilan,  sedemikian rupa agar terdakwa yang bersalah mendapat hukumannya, tetapi juga : b) harus diupayakan semaksimal mungkin bahwa pendakwaan dan peradilan seorang yang tidak bersalah harus dicegah. Kedua tujuan ini merupakan dua sisi dari suatu mata uang dan sama nilainya. Dalam pengertian hukum, ini dinamakan ”proses hukum yang adil” (due process of law). Sering dilupakan bahwa pengertian hukum ini adalah lawan dari ”proses hukum yang sewenang-wenang(arbitrary process), suatu proses yang berdasarkan kuasa aparat penegak hukum semata-mata.Beberapa kasus yang diberitakan di surat kabar dalam enam bulan terahir ini, telah membenarkan dugaan bahwa proses hukum yang adil belum terlaksana di Indonesia.

Sering kita dengar bahwa hukum acara pidana kita terikat pada asas legalitas, yang berbeda dengan asas oportunitas. Pada asas legalitas, penegak hukum pidana terikat pada undang-undang (gebondenheit aan de wet), yang diartikan juga bahwa semua pelanggaran hukum pidana harus diselesaikan dalam SPP (ingat protes masyarakat terhadap kemungkinan penyelesaian kasus-kasus BLBI melalui “settlement agreement”/MSAA). Namun, dalam kasus Bibit-Chandra, penegak hukum (Jaksa Tinggi) menutup perkara, yang berarti mengakui adanya asas oportunitas. Pada asas oportunitas, maka kejaksaan (JPU) dapat menutup perkara atas dasar “kepentingan umum” (dalam Hukum Acara Pidana Belanda, hal ini dinyatakan dengan tegas dalam Pasal 167 ayat 2). Ini juga dikenal sebagai hak oportunitas secara negatif, dimana hak “menutup perkara” ini dipergunakan secara sangat terbatas.Namun ada pula hak oportunitas secara positif, disini dilakukan pendekatan, bahwa “apabila tidak diperlukan oleh kepentingan umum, maka penuntutan dihentikan”.

Pelaksanaan hak oportunitas secara positif ini memang ditujukan demi keuntungan terdakwa (legaliteitsbeginsel ten voordele van de verdachte).Pada dasarnya pendekatan ini dikenal dalam hukum pidana Indonesia melalui Pasal 82 (gugurnya kewenangan penuntutan), dan diambil kembali dalam Rancangan KUHP (versi 1999-2000) dalam Pasal 137 sub-c dan d, Dan di Belanda diperluas melalui pendekatan “penyelesaian tuntas diluar pengadilan” (afdoening buiten proces – settlement outside of court) (lihat juga Remmelink, hal 442-dst dan Wet Vermogenssancties, Stb.1983,nr153)

Di Belanda Officier van Justitie dapat menjalankan “kebijakan transaksi” (transactiebeleid) menawarkan “transaksi” untuk mencegah penuntutan dalam kasus “kejahatan harta-benda” (vermogens delicten), dengan syarat (a)Pembayaran jumlah uang tertentu kepada Negara, (b)Melepaskan hak atas barang-barang yang disita, (c)Meyerahkan barang- barang yang dapat dinyatakan dirampas untuk Negara, (d)Menyerahkan keuntungan yang diperoleh secara melawan hukum, dan (e)Mengganti kerugian yang timbul dari tindak pidana tersebut. . Untuk Indonesia masih diperlukan pedoman Jaksa Agung untuk melaksanakan “asas-asas kebijakan penuntutan yang patut dan semestinya” (beginselen van een behoorlijk vervolgingsbeleid – decently prosecution or indictment policy) yang mendekatkan tafsiran tentang  undang-undang dengan teori dan praktek.

Disinilah pentingnya kita pikirkan tentang ”desain prosedur” sistem peradilan pidana kita. Pada waktu penyusunan KUHAP1981, yang terpikir utama adalah perlindungan tentang ”hak warga negara” para tersangka dan terdakwa, dengan kesepuluh asas yang ditegaskan dalam penjelasan KUHAP (Reksodiputro,2007). Ternyata hal ini tidak cukup, sebagaimana terbukti dari keluhan-keluhan masyarakat. Kasus-kasus yang diberitakan di suratkabar ahir-ahir ini menunjukkan hal tersebut (misalnya, penuntutan terhadap nenek pencuri buah cokelat; terhadap ibu yang didakwa mencemarkan nama rumah sakit; terhadap pemulung yang didakwa punya lintingan rokok ganja, dsbnya).

Untuk makalah ini ”desain prosedur sistem peradilan pidana (SPP)” dapat dibagi tiga :
(a) tahap pra-adyudikasi (pre-adjudication),
(b) tahap adyudikasi (adjudication), dan
(c) tahap pasca-adyudikasi (post-adjudication).

Ketiga urutan ini memang menunjukan desain prosedur, tetapi belum jelas adalah tahap mana dari ketiga tahap tersebut yang dominan. Sebenarnya bilamana kita tengok kembali diskusi-diskusi yang ”alot” pada penyusunan KUHAP1981,sudah terasa bagaimana adanya gesekan dan benturan antara “kewenangan penyidikan” atau ”investigation (police) powers” dengan “kewenangan penuntutan/pendakwaan atau ”prosecutorial (public prosecutor) powers”. Kejadian akhir-akhir ini (yang secara terbuka ”mempermalukan” bangsa pada umumnya dan alat penegak hukum khususnya) membuktikan paling tidak hal-hal berikut :

(a) Persaingan yang belum berakhir antara kepentingan masing-masing untuk mempertahankan ”monopoli” kekuasaan penyidikan (investigation powers) dan ”monopoli” kekuasaan pendakwaan/penuntutan (prosecutorial powers) dengan konsep “dominus litis” (penguasa litigasi). Perlawanan terhadap KPK dapat dilihat dan dijelaskan  dari sudut ini;

(b)  Tidak jelasnya ”desain” (bangun-rancang) sistem peradilan kita, yang tidak bersedia mengikuti sistem peradilan yang berlaku di negara-negara demokrasi, dimana tahap ad-yudikasi (tahap sidang pengadilan yang terbuka untuk umum dengan hakim-hakim yang independen) adalah tahap yang dominan (mengawasi tahap pra-adyudikasi - dimana peyidikan pada dasarnya tertutup - dan tahap pasca-adyudikasi); untuk ketertutupan dalam tahap pasca-adyudikasi, terlihat dalam penolakan adanya Hakim WasMat oleh pihak Pemasyarakatan (di Indonesia,juga kekuasaan penyidikan dan pendakwaan, merasa dirinya tidak perlu diawasi oleh kekuasaan kehakiman).  

Kewenangan Penyidikan dan Pendakwaan/Penuntutan
Penyidikan (Belanda : “opsporing”, Inggris : “investigation”) dan Pendakwaan (Ing:”prosecution”) atau Penuntutan (Bel:”vervolging”), adalah kewenangan negara untuk menegakkan hukum (to enforce the law). Adapun alat negara penegak hukum (law enforcement agencies) adalah instansi pemerintah : Kepolisian dan Instansi pemerintah Kejaksaan.
Beberapa “kekeliruan” di Indonesia, ingin di “luruskan” disini :
(a)  Alat penegak hukum (milik Negara) adalah hanya instansi Kepolisian dan instansi Kejaksaan. Keliru menyebut Pengadilan, Advokat, Notaris dan Instansi Pemasyarakatan Narapidana sebagai “penegak hukum” (law enforcement agencies).Kita harus dapat membedakan antara pengertian harafiah bahasa, dengan makna suatu konsep (concept). Penggunaan istilah “aparat” (yang dipakai di suratkabar) juga kurang tepat, karena berasal dari istilah partai komunis Rusia “apparatchik”.

(b)   Instansi Kepolisian dan instansi Kejaksaan adalah bagian dari Kekuasan Eksekutif (pemerintahan), dan bukan Kekuasaan Yudikatif (kekuasaan kehakiman). Pengertian “(Kewenangan) Kepolisian” dan “(Kewenangan) Kejaksaan” yang independen, hanya berarti “bebas intervensi (politik) untuk kasus”, tetapi bukan berarti “bebas pengaruh politik Kabinet(dengan .Presiden sebagai Kepala Pemerintahan, Kapolri dan Jaksa Agung sebagai pembantu Presiden, setingkat Menteri, tunduk kepada politik/kebijakan Kabinet); apakah Kapolri harus duduk dalam (Sidang)Kabinet (setara Menteri) adalah kebijaksanaan politik, bukan hukum.

 (c)  Kepolisian dan Kejaksaan harus bekerjasama dalam proses SPP, secara “in tandem” (keduanya bekerjasama secara erat). Bagian Kepolisian yang mempunyai wewenang penyidikan, sebagai ahli dengan wewenang upaya-paksa yang diberi undang-undang, hanya “Divisi Reserse Kriminal (Reskrim)” (Bel : de rechterlijke politie, Ing : criminal investigation division – CID). Dan kalau divisi ini dahulu dinamakan hulp-magistraat (magistrat-pembantu), jangan merasa “terhina”. Ini sekedar “istilah” dan bukan untuk merendahkan Kepolisian, seperti juga ada istilah “magistrat – duduk” (hakim) dan “magistrat berdiri” (penuntut umum). Mungkin tidak akan merasa “terhina” kalau pejabat reskrim dinamakan sebagai “magistrat-pendamping ”;

(d)   Tidak dikenal “monopoli” wewenang kepolisian (police powers), karena publik juga punya wewenang kepolisian (terutama dalam hal “tertangkap tangan”), begitu pula : instansi Imigrasi, instansi Bea Cukai, instansi Pajak, dan instansi-instansi lain yang ditentukan oleh undang-undang. Tidak pula dikenal “monopoli” wewenang pendakwaan (prosecutorial powers). Dalam KUHAP untuk tindak pidana ringan, kepolisian dapat mendakwa di pengadilan. Di luar negeri dikenal adanya “private prosecutor” (disamping “state/public prosecutor”) atau “special prosecutor” (dalam hal tersangka/terdakwa adalah hakim, menteri atau presiden). Di Inggris ”prosecution” diserahkan oleh Directorate of Prosecution  kepada Advokat Swasta (Barrister).

(e)    Perbedaan wewenang kepolisian dengan wewenang penuntut umum/kejaksaan, harus dilihat dalam pengertian “division of powers” (pembagian kewenangan) dan bukan “separation of powers” (pemisahan kewenangan). Tujuan pembagian kewenangan ini adalah untuk “saling mengawasi” (check and balances).Saling mengawasi dalam kewenangan berimbang,dengan tujuan sinergi (disinilah letak pengertian SPP Terpadu).

Kewenangan (Kekuasaan) Kehakiman
Kekuasaan kehakiman berasal dari terjemahan istilah (konsep) Belanda “rechterlijke macht” (rechter : hakim, rechterlijke : kehakiman). Dalam konsep “kekuasaan kehakiman” ini tercakup pengertian “judicial power” oleh “the Judiciary” (jajaran hakim pengadilan), tetapi juga dari “officers of the court” (pejabat pengadilan lainnya). Siapa yang lain ini ? Menurut saya antara lain: the judicial police” (Indonesia : Polisi kehakiman atau Reserse,sebagai “pendamping magistrat berdiri/penuntut umum”), dan Jaksa/PU sebagai magistrat berdiri, Juga adalah “officers of the court”, para advokat ketika mereka “memakai toganya” (melaksanakan kewenangan “membela perkara pidana”) dan Panitera/Panitera-pengganti.  Dalam kedudukan dan kewenangan penuntut umum sebagai “officer of the court”, dia dapat “memerintah kegiatan”  (direct the activities) dari “judicial police”. Karena itu :
(a) Instansi Kepolisian memang bukan bagian dari Bab Kekuasaan Kehakiman UUD/Konstitusi kita. Instansi Kepolisian masuk dalam Bab lain (Bab tentang Pertahanan dan Keamanan Negara) dari konstitusi (yaitu kekuasaan eksekutif). Namun, kewenangan kepolisian kehakiman/kewenangan reserse sebagai “judicial police” ada di dalam kekuasaan kehakiman. Karena itu pula, Kepala Reserse pada Kepolisian berada secara administratif di bawah Kapolri, tetapi secara fungsional di bawah “officer of the court” : yaitu Penuntut Umum (Jaksa Agung ) dan Majelis Hakim (Pengadilan) yang sedang bersidang memeriksa perkara yang bersangkutan.

(b)   Instansi Kejaksaan (Agung) adalah bagian dari pemerintahan (kekuasaan eksekutif), seperti juga instansi Kepolisian. Akan tetapi kewenangan pendakwaan (prosecutorial powers)/penuntutan (vervolging) adalah sebagai “officer of the court” dan karena itu masuk dalam kekuasaan kehakiman, dan merupakan wakil publik bersama dengan polisi–reserse, mewakili kekuasaan negara (publik) membuktikan terjadinya tindak-pidana,adanya kesalahan terdakwa dan menuntut hukuman (tetapi juga, bila tidak cukup bukti membatalkan dakwaan dan hukuman). Didalam bahan pustaka, maka bilamana dibicarakan tentang reformasi “judiciary”, yang dimaksud adalah reformasi hakim dan penuntut umum (judges and prosecutors).Dan secara logika tentunya juga reformasi polisi kehakiman/reserse !

(c)   Advokat adalah organisasi swasta (private), tetapi begitu mereka berperan sebagai “pembela”, baik dalam tahap pra-adyudikasi (penyidikan), maupun dalam tahap adyudikasi (pendakwaan di pengadilan), mereka adalah bagian pula dari “kekuasaan kehakiman”. Mereka disebut sebagai “ “counsel of the court” ataupun juga “officer of the court”.  Di Inggris, advokat (barrister) dapat bertindak mewakili publik (negara) mendakwa di pengadilan, sedangkan di Belanda, advokat dapat diangkat (sementara) sebagai hakim (rechter). Kekeliruan desain KUHAP 1981 adalah karena mengarah pada peng”kotak-kotak”an. Ini salah satu hasil “kompromi” pada waktu pembentukannya.

Kesimpulan uraian di atas adalah bahwa “desain prosedur” dalam sistem peradilan pidana Indonesia, harus jelas dan konsisten menyatakan bahwa :
(1)  KUHAP (sekarang dan yang akan datang) memberi posisi dominan kepada tahap adyudikasi, dan karena itu pusat kewenangan adalah pada hakim (pengadilan).Sebab itu kalau reformasi sistem peradilan/Mahkamah Agung berhasil, maka yang lain (penuntut umum dan polisi kehakiman/reserse) mudah memperbaiki diri.

(2)  Penuntut Umum dan Polisi Reserse adalah bagian dari kekuasaan kehakiman dan tunduk pada hakim serta dapat ditegur dan dihukum oleh hakim/majelis sidang pengadilan bersangkutan, bilamana lalai ataupun mengganggu kelancaran proses pengadilan pidana, serta melanggar hak asasi manusia Tersangka atau Terdakwa.

(3) Polisi Reserse adalah pendamping Penuntut Umum, dalam mempersiapkan bukti-bukti adanya tindak pidana dan kesalahan  Tersangka/Terdakwa. Tugas utamanya adalah pengumpulan fakta lapangan (physical evidence dan witnesses).Dalam KUHAP dikenal pula adanya penyelidikan (Bel.onderzoek;pro-actief rechercheren), di mana belum diperlukan adanya “bukti permulaan yang kuat”, berbeda dengan penyidikan.  Penuntut Umum memeriksa dan mengawasi (oversight) pengumpulan fakta lapangan, agar sesuai dengan hukum dan yurisprudensi. Hanya Polisi Reserse yang adalah pendamping Penuntut Umum. Divisi-divisi lain dari Kepolisian tidak berkaitan langsung dengan Kejaksaan atau Penuntut Umum. Karena itu dahulu, pegertian “hulp-magistraat” hanya berlaku untuk “de rechterlijke politie”, tidak untuk kepolisian secara keseluruhan !

KPK , Pengadilan TIPIKOR dan Hakim-Komisaris
Suatu “anomali” (perbedaan dari yang biasa/umum) adalah dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR), dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) Indonesia. Memang dapat dinamakan anomali SPP Indonesia, tetapi dasar politiknya jelas “ketidak percayaan total terhadap Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung/Pengadilan”, yang dipersepsikan  terlibat dalam korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) Tersangka dan Terdakwa ( dan juga Terpidana oleh Instansi Pemasyarakatan).  Benar atau tidaknya persepsi ini, bukanlah isyu makalah ini.

Persepsi masyarakat terhadap SPP Indonesia menghasilkan solusi KPK dan Pengadilan TIPIKOR sebagai usaha pemulihan kepercayaan masyarakat. Dalam krisis kepercayaan yang terjadi, maka solusi ini seharusnya dapat diterima oleh instansi Kepolisian, instansi Kejaksaan (Agung) dan jajaran Pengadilan/Mahkamah Agung. Apa yang kita lihat bersama dalam beberapa bulan yang lalu  (Oktober – November 2009) adalah indikasi “persaingan tidak sehat” antara kewenangan kepolisian (police powers) dan kewenangan pendakwaan (prosecutorial powers) serta kewenangan (kekuasaan) kehakiman (judicial powers). Berhadapan dengan “kewenangan KPK dan Pengadilan TIPIKOR”.Kewenangan yang diperoleh mereka secara konstitusional, namun mengganggu “kepentingan-kepentingan kewenangan kepolisian dan pendakwaan” yang selama ini telah mereka nikmati melalui KUHAP 1981.Karena itu, reaksi ini secara sosiologis dan politis adalah “normal,” sebagai pencerminan “arogansi sektoral” (yang terdapat pula di sektor-sektor lain !).

Meskipun peradilan khusus (semisal : peradilan anak, peradilan niaga) ada dalam sistem hukum Indonesia, namun peradilan Tipikor anehnya  tidak sepenuhnya didukung oleh Mahkamah Agung. Meskipun suatu kewenangan khusus untuk melawan tindak pidana ekonomi dikenal di Indonesia sejak tahun 1955 (undang-undang tindak pidana ekonomi, yang menghasilkan adanya Pengadilan Ekonomi, Kejaksaan Ekonomi dan Polisi Ekonomi), namun suatu kewenangan khusus anti-korupsi hanya didukung secara “separuh hati” oleh Kepolisian, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. Mengapa ? Jawabannya  harus dicari dalam uraian di atas.

Menyampingkan kemungkinan “faktor politik” serta pengaruh/tekanan dari apa yang dikenal sebagai “makelar kasus” (yang takut tidak dapat menembus KPK dan peradilan Tipikor), maka sebabnya mungkin harus dicari juga dalam suatu sistem peradilan pidana yang “salah desain”. KUHAP 1981 di desain dengan “model terkotak-kotak”, berdasarkan falsafah “pemisahan kekuasaan” (separation of powers), mengutamakan tahap pra-adyudikasi (mengutamakan “kekuasaan polisi” dan “kekuasaan penuntut umum”), persaingan tidak sehat antara kewenangan penyidikan dan kewenangan pendakwaan, dan tidak mau mengakui dominasi tahap adyudikatif. Dominasi tahap ad-yudikasi (kekuasaan pengadilan mengawasi tahap-tahap sebelumnya dan sesudahnya) adalah ciri universal dalam sistem peradilan pidana di negara-negara demokrasi . (berbeda adalah negara-negara totaliter,di mana pengadilan “tunduk” pada kekuasaan eksekutif, di sini kita kenal “pengadilan sandiwara” di mana kekuasaan kepolisian dan pendakwaan bersatu untuk men”dikte” kekuasaan kehakiman).

Rancangan KUHAP Baru (2008) mencoba mulai mengubah kekeliruan tersebut dengan memberi kewenangan kepada seorang hakim – komisaris. Hakim – komisaris ini akan mempunyai wewenang “oversight” atau supervisi dalam “kewenangan penyidikan” dan “kewenangan pendakwaan” (Belanda : rechter commissaris, di Perancis :Examining Magistrate/juge d’instruction).Dalam bahasa Indonesia hakim-komisaris ini juga dapat dinamakan hakim-pemeriksa. Dalam konsep hukum Perancis dan Hukum Belanda, tugas hakim-komisaris ini memang memeriksa perkara sebelum perkara diperiksa dalam substansinya oleh (majelis) hakim dalam sidang terbuka. Di Belanda sidang pemeriksaan oleh hakim-komisaris ini dinamakan “pemeriksaan-persiapan” (voorbereidende vooronderzoek) atau juga resminya dirujuk sebagai  “pemeriksaan-pedahuluan oleh pengadilan” (gerechtelijk vooronderzoek- sering disingkat GVO) dan dilakukan atas permintaan kejaksaan (officier van justitie- Pasal 181 Sv Belanda), dengan tidak menutup kemungkinan dilakukannya atas wewenang jabatan (ambtshalve) atau atas permintaan tersangka yang berada dalam tahanan (Pasal 184 Sv).Tujuan dari GVO ini adalah untuk menjamin bahwa telah dipatuhinya asas “kebijakan penuntutan yang layak dan semestinya”.Pemeriksaan oleh hakim-komisaris terutama ditujukan pada penggunaan upaya paksa dalam penyidikan (penangkapan, penahanan, penggeledahan badan, pemasukan rumah, penyitaan dan pemeriksaan surat). Dalam Code of Crimanal Procedure Perancis, hakim komisaris ini diatur dalam Bab mengenai “The Examining Magistrate:The First Degree Investigating Jurisdiction” (Pasal 79 – 190), sedangkan dalam “Wetboek van Strafvordering” Belanda diatur dalam Bab mengenai “De rechter-commissaris belast met de behandeling van strafzaken” (Hakim komisaris yang bertugas memeriksa perkara pidana – Pasal 170 – 241).Penolakan atas dimunculkannya lembaga hukum baru yang bernama “hakim-komisaris” dapat dimengerti (secara sosiologis dan politis) karena ini menyulitkan berbagai kelompok untuk menjadikan “hukum sebagai komoditas dagang” seperti selama ini dilakukan mereka (dulu dikenal sebagai “mafia peradilan”, tetapi sekarang lebih dikenal sebagai “mafia hukum” dan “makelar kasus atau markus”).Sebagai dikemukakan pada awal makalah ini, sudah waktunya kita men”desain” kembali KUHAP kita. Bukan saja karena memang terbukti bahwa terdapat banyak kelemahan dalam desain KUHAP 1981, tetapi kelemahan tersebut seolah-olah secara sengaja telah dipersiapkan untuk dimanfaatkan melawan asas “pelaksanaan peradilan pidana yang patut dan semestinya” (behoorlijk strafrechtspleging).Sepantasnya lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan , Lembaga Pemasyarakatan  serta Advokat merasa malu dengan terbukanya berbagai aib dalam diri mereka.  

Pada ahirnya masih ada permasalahan dalam re-konstruksi SPP Indonesia ini yang peru dikomentari. Yaitu sehubungan dengan KPK, dimana “kewenangan penyidikan” dan “kewenangan pendakwaan” berada dalam satu badan (“satu-tangan”) . Ini juga suatu anomali,karena di negara demokratis manapun juga, kedua kewenangan tersebut dipisahkan dalam dua badan, dengan berdasarkan asas “division of power” dengan memperhatikan “check and balances”. Anomali (penyimpangan dari yang normal) ini,  hanya dapat dijelaskan sebagai suatu solusi (sementara ?) dari masa krisis kepercayaan total pada Kepolisian  dan Kejaksaan.  Anomali ini dapat dikurangi dengan membentuk “chinese wall” antara divisi penyidikan dan divisi pendakwaan di KPK.(seperti umum dilakukan kantor-kantor hukum yang menghormati kode-etik profesi, apabila secara tidak sengaja dua klien lama kantor hukum itu, tiba-tiba berkonflik).


Hakim komisaris khusus harus juga diadakan di peradilan Tipikor, untuk mengawasi pengumpulan bukti (physical evidence dan witnesses), memberi ijin “wiretapping” (penyadapan), dan yang paling penting adalah turut menentukan “the decision to charge a suspect with a crime, based on probable cause”, yang dilakukan KPK. Hakim komisaris di sini harus menentukan apakah “police powers” telah dilakukan dengan sah dan bahwa “prosecutorial powers” akan dilaksanakan “in the community interest”. Asasnya adalah “hanya apabila kepentingan hukum menghendakinya dan dengan cukup bukti, maka pendakwaan dilakukan”(asas legalitas positif). Asas ini sebenarnya secara “mutatis mutandis” juga berlaku untuk penangkapan dan penahanan. Kasus penahanan dalam sel,seorang ibu yang punya bayi/anak balita, sungguh mencoreng pelaksanaan wewenang kepolisian dan kejaksaan,yang dianggap telah melakukan proses hukum yang sewenang-wenang (arbitrary process).

*Makalah ini pertama kali disampaikan pada Seminar Komisi Hukum Nasional (9 Desember 2009) kemudian disempurnakan untuk Kuliah Umum di Universitas Batanghari Jambi (April 2010).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar