Pendahuluan
KUHAP Indonesia (UU No. 8/1981)
adalah kulminasi dari hasil Seminar Hukum
Nasional II (diselenggarakan oleh LPHN di Universitas Diponegoro, 27 – 30
Desember 1968). Dalam SHN II ini (tema : “Pelaksanaan Negara Hukum Berdasarkan
Demokrasi Pancasila”), terdapat Komisi - 3 yang membahas permasalahan “hukum
acara pidana dan hak asasi manusia” . Semangat pembaharuan pada waktu itu adalah
perlindungan hukum yang lebih besar atas hak-hak dasar warga negara.
Kritik-kritik yang dilontarkan “…diarahkan kepada cara perlakuan aparat hukum
dalam jaman Indonesia Merdeka, kepada rakyatnya sendiri, warga negara
Indonesia.” (Reksodiputro,2007)
Meskipun cukup lambat (13 tahun
sejak SHN II, 1968), tetapi KUHAP 1981 ini sangat melegakan hati dan memberi
harapan baru bagi terwujudnya keadilan hukum. Penjelasan KUHAP dan pendapat
akhir fraksi-fraksi di DPR juga menegaskan bagaimana pentingnya KUHAP mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia.
Sekarang setelah seperempat abad
(1981 – 2009), kita telah merasakan dan dapat menilai bagaimana harapan diatas tidak sepenuhnya terwujud. Karena itu
diperlukan pemikiran ulang tentang
sistem peradilan pidana (disingkat sebagai SPP) kita. Itulah maksud istilah “rekonstruksi” pada judul makalah ini.
Yang dimaksud dengan pelaksanaan peradilan pidana adalah apa yang dikenal
sebagai the administration of criminal
justice atau strafrechtspleging. Pemikiran ulang terhadap SPP ini diperlukan
agar dapat diselaraskan dengan ketentuan-ketentuan
tentang Hak Asasi Manusia dalam Bab XA Konstitusi kita. Pendeknya berusaha
untuk mendesain (merancang bangun) ulang SPP agar dapat tercipta “pelaksanaan peradilan pidana yang patut dan semestinya” (behoorlijk strafrechtspleging – decently
administration of criminal justice).
Desain prosedur (procedural design) :
Pengertian yang banyak dianut di Indonesia
adalah bahwa hukum pidana formal (hukum acara pidana) mengatur bagaimana
Negara, melalui organ-organnya, menegakkan haknya untuk menghukum dan
menetapkan pidana. Dengan demikian harus diatur secara jelas proses
mempergunakan hak tersebut. Pengaturan itu bermaksud untuk membatasi kewenangan Negara, agar tidak sewenang-wenang mempergunakan
haknya.
Proses ini harus mengatur : a)
penyelidikan, penyidikan, pendakwaan, pemeriksaan dan peradilan, sedemikian rupa agar terdakwa yang bersalah
mendapat hukumannya, tetapi juga : b) harus diupayakan semaksimal mungkin bahwa
pendakwaan dan peradilan seorang yang tidak
bersalah harus dicegah. Kedua tujuan ini merupakan dua sisi dari suatu mata
uang dan sama nilainya. Dalam pengertian hukum, ini dinamakan ”proses hukum yang adil” (due process of law). Sering
dilupakan bahwa pengertian hukum ini adalah lawan dari ”proses hukum
yang sewenang-wenang” (arbitrary
process), suatu proses yang berdasarkan kuasa aparat penegak hukum
semata-mata.Beberapa kasus yang diberitakan di surat kabar dalam enam bulan
terahir ini, telah membenarkan dugaan bahwa proses hukum yang adil belum
terlaksana di Indonesia.
Sering kita dengar bahwa hukum acara
pidana kita terikat pada asas legalitas,
yang berbeda dengan asas oportunitas.
Pada asas legalitas, penegak hukum pidana terikat pada undang-undang (gebondenheit aan de wet), yang diartikan
juga bahwa semua pelanggaran hukum pidana harus diselesaikan dalam SPP (ingat
protes masyarakat terhadap kemungkinan penyelesaian kasus-kasus BLBI melalui “settlement agreement”/MSAA). Namun,
dalam kasus Bibit-Chandra, penegak hukum (Jaksa Tinggi) menutup perkara, yang
berarti mengakui adanya asas oportunitas. Pada asas oportunitas, maka kejaksaan
(JPU) dapat menutup perkara atas dasar “kepentingan umum” (dalam Hukum Acara
Pidana Belanda, hal ini dinyatakan dengan tegas dalam Pasal 167 ayat 2). Ini
juga dikenal sebagai hak oportunitas secara negatif, dimana hak “menutup perkara” ini dipergunakan secara
sangat terbatas.Namun ada pula hak oportunitas secara positif, disini dilakukan pendekatan, bahwa “apabila tidak diperlukan
oleh kepentingan umum, maka penuntutan dihentikan”.
Pelaksanaan hak oportunitas secara
positif ini memang ditujukan demi keuntungan terdakwa (legaliteitsbeginsel ten voordele van de verdachte).Pada dasarnya
pendekatan ini dikenal dalam hukum pidana Indonesia melalui Pasal 82 (gugurnya kewenangan
penuntutan), dan diambil kembali dalam Rancangan KUHP (versi 1999-2000) dalam Pasal
137 sub-c dan d, Dan di Belanda diperluas melalui pendekatan “penyelesaian tuntas diluar pengadilan” (afdoening buiten proces – settlement outside of court) (lihat juga
Remmelink, hal 442-dst dan Wet
Vermogenssancties, Stb.1983,nr153)
Di Belanda Officier van Justitie dapat menjalankan “kebijakan transaksi” (transactiebeleid) menawarkan “transaksi”
untuk mencegah penuntutan dalam kasus “kejahatan harta-benda” (vermogens delicten), dengan syarat (a)Pembayaran
jumlah uang tertentu kepada Negara, (b)Melepaskan hak atas barang-barang yang
disita, (c)Meyerahkan barang- barang yang dapat dinyatakan dirampas untuk
Negara, (d)Menyerahkan keuntungan yang diperoleh secara melawan hukum, dan (e)Mengganti
kerugian yang timbul dari tindak pidana tersebut. . Untuk Indonesia masih
diperlukan pedoman Jaksa Agung untuk melaksanakan “asas-asas kebijakan penuntutan yang patut dan semestinya” (beginselen
van een behoorlijk vervolgingsbeleid – decently prosecution or indictment
policy) yang mendekatkan tafsiran tentang undang-undang dengan teori dan praktek.
Disinilah pentingnya kita pikirkan
tentang ”desain prosedur” sistem
peradilan pidana kita. Pada waktu penyusunan KUHAP1981, yang terpikir utama
adalah perlindungan tentang ”hak warga negara” para tersangka dan terdakwa,
dengan kesepuluh asas yang ditegaskan dalam penjelasan KUHAP (Reksodiputro,2007).
Ternyata hal ini tidak cukup, sebagaimana terbukti dari keluhan-keluhan
masyarakat. Kasus-kasus yang diberitakan di suratkabar ahir-ahir ini
menunjukkan hal tersebut (misalnya, penuntutan terhadap nenek pencuri buah
cokelat; terhadap ibu yang didakwa mencemarkan nama rumah sakit; terhadap
pemulung yang didakwa punya lintingan rokok ganja, dsbnya).
Untuk makalah ini ”desain prosedur
sistem peradilan pidana (SPP)” dapat dibagi tiga :
(a)
tahap pra-adyudikasi (pre-adjudication),
(b)
tahap adyudikasi (adjudication), dan
(c)
tahap pasca-adyudikasi (post-adjudication).
Ketiga urutan ini memang menunjukan
desain prosedur, tetapi belum jelas adalah tahap
mana dari ketiga tahap tersebut yang dominan. Sebenarnya bilamana kita
tengok kembali diskusi-diskusi yang ”alot” pada penyusunan KUHAP1981,sudah
terasa bagaimana adanya gesekan dan
benturan antara “kewenangan penyidikan” atau ”investigation (police) powers” dengan “kewenangan penuntutan/pendakwaan
atau ”prosecutorial (public prosecutor)
powers”. Kejadian akhir-akhir ini (yang secara terbuka ”mempermalukan”
bangsa pada umumnya dan alat penegak hukum khususnya) membuktikan paling tidak
hal-hal berikut :
(a) Persaingan yang belum
berakhir antara kepentingan masing-masing untuk mempertahankan ”monopoli” kekuasaan penyidikan (investigation powers) dan ”monopoli” kekuasaan
pendakwaan/penuntutan (prosecutorial
powers) dengan konsep “dominus litis”
(penguasa litigasi). Perlawanan
terhadap KPK dapat dilihat dan dijelaskan dari sudut ini;
(b) Tidak jelasnya ”desain”
(bangun-rancang) sistem peradilan kita, yang tidak bersedia mengikuti sistem
peradilan yang berlaku di negara-negara demokrasi, dimana tahap ad-yudikasi (tahap sidang pengadilan
yang terbuka untuk umum dengan
hakim-hakim yang independen) adalah tahap yang dominan (mengawasi tahap pra-adyudikasi - dimana peyidikan pada
dasarnya tertutup - dan tahap
pasca-adyudikasi); untuk ketertutupan
dalam tahap pasca-adyudikasi, terlihat dalam penolakan adanya Hakim WasMat
oleh pihak Pemasyarakatan (di Indonesia,juga kekuasaan penyidikan dan
pendakwaan, merasa dirinya tidak perlu diawasi oleh kekuasaan kehakiman).
Kewenangan Penyidikan dan Pendakwaan/Penuntutan
Penyidikan (Belanda : “opsporing”, Inggris : “investigation”) dan Pendakwaan (Ing:”prosecution”) atau Penuntutan (Bel:”vervolging”), adalah kewenangan negara
untuk menegakkan hukum (to enforce the
law). Adapun alat negara penegak hukum (law
enforcement agencies) adalah instansi pemerintah : Kepolisian dan Instansi
pemerintah Kejaksaan.
Beberapa “kekeliruan” di Indonesia, ingin di “luruskan” disini :
(a) Alat penegak hukum
(milik Negara) adalah hanya instansi
Kepolisian dan instansi Kejaksaan. Keliru menyebut Pengadilan, Advokat, Notaris
dan Instansi Pemasyarakatan Narapidana sebagai “penegak hukum” (law enforcement agencies).Kita harus
dapat membedakan antara pengertian harafiah bahasa, dengan makna suatu konsep
(concept). Penggunaan istilah “aparat”
(yang dipakai di suratkabar) juga kurang tepat, karena berasal dari istilah partai
komunis Rusia “apparatchik”.
(b) Instansi Kepolisian dan
instansi Kejaksaan adalah bagian dari Kekuasan Eksekutif (pemerintahan), dan
bukan Kekuasaan Yudikatif (kekuasaan kehakiman). Pengertian “(Kewenangan)
Kepolisian” dan “(Kewenangan) Kejaksaan” yang independen, hanya berarti “bebas intervensi (politik) untuk kasus”, tetapi bukan berarti “bebas pengaruh politik Kabinet” (dengan .Presiden sebagai Kepala Pemerintahan, Kapolri dan Jaksa
Agung sebagai pembantu Presiden, setingkat Menteri, tunduk kepada politik/kebijakan
Kabinet); apakah Kapolri harus duduk dalam (Sidang)Kabinet (setara Menteri)
adalah kebijaksanaan politik, bukan hukum.
(c) Kepolisian dan Kejaksaan harus
bekerjasama dalam proses SPP, secara “in
tandem” (keduanya bekerjasama secara erat). Bagian Kepolisian yang
mempunyai wewenang penyidikan, sebagai ahli dengan wewenang upaya-paksa yang
diberi undang-undang, hanya “Divisi Reserse Kriminal (Reskrim)” (Bel : de rechterlijke politie, Ing : criminal investigation division – CID). Dan
kalau divisi ini dahulu dinamakan “hulp-magistraat”
(magistrat-pembantu), jangan merasa
“terhina”. Ini sekedar “istilah” dan bukan untuk merendahkan Kepolisian, seperti
juga ada istilah “magistrat – duduk” (hakim) dan “magistrat berdiri” (penuntut
umum). Mungkin tidak akan merasa “terhina” kalau pejabat reskrim dinamakan
sebagai “magistrat-pendamping ”;
(d) Tidak dikenal “monopoli” wewenang kepolisian (police powers), karena publik juga punya wewenang kepolisian
(terutama dalam hal “tertangkap tangan”), begitu
pula : instansi Imigrasi, instansi Bea Cukai, instansi Pajak, dan
instansi-instansi lain yang ditentukan oleh undang-undang. Tidak pula dikenal “monopoli” wewenang pendakwaan (prosecutorial powers). Dalam KUHAP
untuk tindak pidana ringan, kepolisian dapat mendakwa di pengadilan. Di luar
negeri dikenal adanya “private
prosecutor” (disamping “state/public
prosecutor”) atau “special prosecutor”
(dalam hal tersangka/terdakwa adalah hakim, menteri atau presiden). Di
Inggris ”prosecution” diserahkan oleh
Directorate of Prosecution kepada Advokat Swasta (Barrister).
(e) Perbedaan wewenang
kepolisian dengan wewenang penuntut umum/kejaksaan, harus dilihat dalam
pengertian “division of powers” (pembagian kewenangan) dan bukan “separation of powers” (pemisahan
kewenangan). Tujuan pembagian kewenangan
ini adalah untuk “saling mengawasi” (check
and balances).Saling mengawasi dalam kewenangan berimbang,dengan tujuan sinergi (disinilah letak pengertian SPP
Terpadu).
Kewenangan (Kekuasaan) Kehakiman
Kekuasaan kehakiman berasal dari
terjemahan istilah (konsep) Belanda “rechterlijke
macht” (rechter : hakim, rechterlijke
: kehakiman). Dalam konsep “kekuasaan kehakiman” ini tercakup pengertian “judicial power” oleh “the Judiciary” (jajaran hakim
pengadilan), tetapi juga dari “officers
of the court” (pejabat pengadilan lainnya). Siapa yang lain ini ? Menurut
saya antara lain: the judicial police” (Indonesia
: Polisi kehakiman atau Reserse,sebagai
“pendamping magistrat berdiri/penuntut umum”), dan Jaksa/PU sebagai magistrat berdiri, Juga adalah “officers of the court”, para advokat ketika mereka “memakai toganya”
(melaksanakan kewenangan “membela perkara pidana”) dan Panitera/Panitera-pengganti. Dalam kedudukan dan kewenangan penuntut umum
sebagai “officer of the court”, dia
dapat “memerintah kegiatan” (direct the activities) dari “judicial police”. Karena itu :
(a) Instansi Kepolisian memang bukan bagian dari Bab
Kekuasaan Kehakiman UUD/Konstitusi kita. Instansi Kepolisian masuk dalam Bab
lain (Bab tentang Pertahanan dan
Keamanan Negara) dari konstitusi (yaitu kekuasaan eksekutif). Namun, kewenangan kepolisian
kehakiman/kewenangan reserse sebagai “judicial
police” ada di dalam kekuasaan kehakiman. Karena itu pula, Kepala
Reserse pada Kepolisian berada secara administratif di bawah Kapolri, tetapi secara fungsional di bawah “officer
of the court” : yaitu Penuntut
Umum (Jaksa Agung ) dan Majelis Hakim (Pengadilan) yang sedang bersidang memeriksa
perkara yang bersangkutan.
(b) Instansi Kejaksaan
(Agung) adalah bagian dari pemerintahan (kekuasaan
eksekutif), seperti juga instansi Kepolisian. Akan tetapi kewenangan
pendakwaan (prosecutorial powers)/penuntutan
(vervolging) adalah sebagai “officer of the court” dan karena itu
masuk dalam kekuasaan kehakiman, dan
merupakan wakil publik bersama dengan polisi–reserse, mewakili kekuasaan negara
(publik) membuktikan terjadinya tindak-pidana,adanya kesalahan terdakwa dan
menuntut hukuman (tetapi juga, bila tidak
cukup bukti membatalkan dakwaan dan hukuman). Didalam bahan pustaka, maka
bilamana dibicarakan tentang reformasi “judiciary”,
yang dimaksud adalah reformasi
hakim dan penuntut umum (judges and
prosecutors).Dan secara logika tentunya juga reformasi polisi
kehakiman/reserse !
(c) Advokat adalah
organisasi swasta (private), tetapi
begitu mereka berperan sebagai “pembela”, baik dalam tahap pra-adyudikasi
(penyidikan), maupun dalam tahap adyudikasi (pendakwaan di pengadilan), mereka
adalah bagian pula dari “kekuasaan
kehakiman”. Mereka disebut sebagai “ “counsel
of the court” ataupun juga “officer
of the court”. Di Inggris, advokat (barrister) dapat bertindak mewakili
publik (negara) mendakwa di pengadilan, sedangkan di Belanda, advokat dapat
diangkat (sementara) sebagai hakim (rechter).
Kekeliruan desain KUHAP 1981 adalah karena mengarah pada peng”kotak-kotak”an. Ini salah satu hasil “kompromi”
pada waktu pembentukannya.
Kesimpulan uraian di atas adalah
bahwa “desain prosedur” dalam sistem
peradilan pidana Indonesia, harus jelas dan
konsisten menyatakan bahwa :
(1)
KUHAP (sekarang dan yang
akan datang) memberi posisi dominan kepada tahap adyudikasi, dan karena itu
pusat kewenangan adalah pada hakim (pengadilan).Sebab itu kalau reformasi
sistem peradilan/Mahkamah Agung berhasil, maka yang lain (penuntut umum dan
polisi kehakiman/reserse) mudah memperbaiki diri.
(2)
Penuntut Umum dan Polisi
Reserse adalah bagian dari kekuasaan kehakiman dan tunduk pada hakim serta dapat ditegur dan dihukum oleh hakim/majelis sidang pengadilan bersangkutan, bilamana
lalai ataupun mengganggu kelancaran proses pengadilan pidana, serta melanggar
hak asasi manusia Tersangka atau Terdakwa.
(3) Polisi Reserse adalah pendamping Penuntut Umum, dalam
mempersiapkan bukti-bukti adanya tindak pidana dan kesalahan Tersangka/Terdakwa. Tugas utamanya adalah
pengumpulan fakta lapangan (physical
evidence dan witnesses).Dalam
KUHAP dikenal pula adanya penyelidikan
(Bel.onderzoek;pro-actief rechercheren),
di mana belum diperlukan adanya “bukti permulaan yang kuat”, berbeda dengan penyidikan. Penuntut Umum memeriksa dan
mengawasi (oversight) pengumpulan
fakta lapangan, agar sesuai dengan hukum dan yurisprudensi. Hanya Polisi Reserse
yang adalah pendamping Penuntut Umum. Divisi-divisi lain dari Kepolisian tidak
berkaitan langsung dengan Kejaksaan atau Penuntut Umum. Karena itu dahulu,
pegertian “hulp-magistraat” hanya
berlaku untuk “de rechterlijke politie”, tidak untuk kepolisian secara
keseluruhan !
KPK , Pengadilan TIPIKOR dan Hakim-Komisaris
Suatu “anomali” (perbedaan dari yang
biasa/umum) adalah dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (TIPIKOR), dalam Sistem
Peradilan Pidana (SPP) Indonesia. Memang dapat dinamakan anomali SPP Indonesia, tetapi dasar politiknya jelas “ketidak percayaan
total terhadap Kepolisian, Kejaksaan
dan Mahkamah Agung/Pengadilan”, yang dipersepsikan terlibat dalam korupsi dan pelanggaran hak
asasi manusia (HAM) Tersangka dan Terdakwa ( dan juga Terpidana oleh Instansi
Pemasyarakatan). Benar atau tidaknya
persepsi ini, bukanlah isyu makalah ini.
Persepsi masyarakat terhadap SPP Indonesia menghasilkan solusi
KPK dan Pengadilan TIPIKOR sebagai usaha pemulihan kepercayaan masyarakat.
Dalam krisis kepercayaan yang terjadi, maka solusi ini seharusnya dapat diterima oleh
instansi Kepolisian, instansi Kejaksaan (Agung) dan jajaran Pengadilan/Mahkamah
Agung. Apa yang kita lihat bersama dalam beberapa bulan yang lalu (Oktober – November 2009) adalah indikasi “persaingan tidak sehat” antara
kewenangan kepolisian (police powers) dan
kewenangan pendakwaan (prosecutorial
powers) serta kewenangan (kekuasaan) kehakiman (judicial powers). Berhadapan dengan “kewenangan KPK dan Pengadilan
TIPIKOR”.Kewenangan yang diperoleh mereka secara konstitusional, namun mengganggu
“kepentingan-kepentingan kewenangan kepolisian dan pendakwaan” yang selama ini
telah mereka nikmati melalui KUHAP 1981.Karena itu, reaksi ini secara
sosiologis dan politis adalah “normal,” sebagai pencerminan “arogansi sektoral” (yang terdapat pula
di sektor-sektor lain !).
Meskipun peradilan khusus (semisal : peradilan
anak, peradilan niaga) ada dalam sistem hukum Indonesia, namun peradilan
Tipikor anehnya tidak sepenuhnya
didukung oleh Mahkamah Agung. Meskipun suatu kewenangan khusus untuk melawan
tindak pidana ekonomi dikenal di Indonesia sejak tahun 1955 (undang-undang
tindak pidana ekonomi, yang menghasilkan adanya Pengadilan Ekonomi, Kejaksaan
Ekonomi dan Polisi Ekonomi), namun suatu kewenangan khusus anti-korupsi hanya didukung
secara “separuh hati” oleh Kepolisian, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. Mengapa ? Jawabannya harus dicari dalam uraian di atas.
Menyampingkan
kemungkinan “faktor politik” serta
pengaruh/tekanan dari apa yang dikenal sebagai “makelar kasus” (yang takut tidak dapat menembus KPK dan peradilan
Tipikor), maka sebabnya mungkin harus dicari juga dalam suatu sistem peradilan pidana yang “salah desain”.
KUHAP 1981 di desain dengan “model
terkotak-kotak”, berdasarkan falsafah “pemisahan
kekuasaan” (separation of powers), mengutamakan tahap pra-adyudikasi (mengutamakan “kekuasaan polisi” dan
“kekuasaan penuntut umum”), persaingan tidak sehat antara kewenangan penyidikan
dan kewenangan pendakwaan, dan tidak mau mengakui dominasi tahap adyudikatif. Dominasi tahap ad-yudikasi (kekuasaan
pengadilan mengawasi tahap-tahap sebelumnya dan sesudahnya) adalah ciri universal dalam sistem peradilan
pidana di negara-negara demokrasi .
(berbeda adalah negara-negara totaliter,di mana pengadilan “tunduk”
pada kekuasaan eksekutif, di sini kita kenal “pengadilan sandiwara” di
mana kekuasaan kepolisian dan pendakwaan bersatu untuk men”dikte” kekuasaan
kehakiman).
Rancangan KUHAP Baru (2008) mencoba mulai mengubah
kekeliruan tersebut dengan memberi kewenangan kepada seorang hakim – komisaris. Hakim – komisaris
ini akan mempunyai wewenang “oversight” atau
supervisi dalam “kewenangan
penyidikan” dan “kewenangan pendakwaan” (Belanda : rechter commissaris, di Perancis :Examining Magistrate/juge d’instruction).Dalam bahasa Indonesia
hakim-komisaris ini juga dapat dinamakan hakim-pemeriksa.
Dalam konsep hukum Perancis dan Hukum Belanda, tugas hakim-komisaris ini memang
memeriksa perkara sebelum perkara diperiksa dalam
substansinya oleh (majelis) hakim dalam
sidang terbuka. Di Belanda sidang pemeriksaan oleh hakim-komisaris ini
dinamakan “pemeriksaan-persiapan” (voorbereidende
vooronderzoek) atau juga resminya dirujuk sebagai “pemeriksaan-pedahuluan oleh pengadilan” (gerechtelijk vooronderzoek- sering
disingkat GVO) dan dilakukan atas permintaan kejaksaan (officier van justitie- Pasal 181 Sv
Belanda), dengan tidak menutup
kemungkinan dilakukannya atas wewenang
jabatan (ambtshalve) atau atas permintaan tersangka yang berada
dalam tahanan (Pasal 184 Sv).Tujuan dari GVO ini adalah untuk menjamin bahwa
telah dipatuhinya asas “kebijakan penuntutan yang layak dan semestinya”.Pemeriksaan
oleh hakim-komisaris terutama ditujukan pada penggunaan upaya paksa dalam
penyidikan (penangkapan, penahanan, penggeledahan badan, pemasukan rumah, penyitaan
dan pemeriksaan surat). Dalam Code of
Crimanal Procedure Perancis, hakim komisaris ini diatur dalam Bab mengenai
“The Examining Magistrate:The First
Degree Investigating Jurisdiction” (Pasal 79 – 190), sedangkan dalam “Wetboek van Strafvordering” Belanda diatur
dalam Bab mengenai “De rechter-commissaris
belast met de behandeling van strafzaken” (Hakim komisaris yang bertugas
memeriksa perkara pidana – Pasal 170 – 241).Penolakan atas dimunculkannya lembaga hukum baru yang bernama “hakim-komisaris”
dapat dimengerti (secara sosiologis dan politis) karena ini menyulitkan berbagai
kelompok untuk menjadikan “hukum sebagai
komoditas dagang” seperti selama ini dilakukan mereka (dulu dikenal sebagai
“mafia peradilan”, tetapi sekarang lebih dikenal sebagai “mafia hukum” dan
“makelar kasus atau markus”).Sebagai dikemukakan pada awal makalah ini, sudah
waktunya kita men”desain” kembali KUHAP kita. Bukan saja karena memang terbukti
bahwa terdapat banyak kelemahan dalam
desain KUHAP 1981, tetapi
kelemahan tersebut seolah-olah secara sengaja telah dipersiapkan untuk
dimanfaatkan melawan asas “pelaksanaan peradilan pidana yang patut dan
semestinya” (behoorlijk
strafrechtspleging).Sepantasnya lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan ,
Lembaga Pemasyarakatan serta Advokat
merasa malu dengan terbukanya berbagai aib dalam diri mereka.
Pada ahirnya masih
ada permasalahan dalam re-konstruksi SPP Indonesia ini yang peru dikomentari.
Yaitu sehubungan dengan KPK, dimana “kewenangan
penyidikan” dan “kewenangan pendakwaan” berada dalam satu badan (“satu-tangan”) . Ini juga suatu anomali,karena di
negara demokratis manapun juga, kedua kewenangan tersebut dipisahkan dalam dua
badan, dengan berdasarkan asas “division
of power” dengan memperhatikan “check
and balances”. Anomali (penyimpangan dari yang normal) ini, hanya dapat dijelaskan sebagai suatu solusi
(sementara ?) dari masa krisis
kepercayaan total pada Kepolisian
dan Kejaksaan. Anomali ini dapat
dikurangi dengan membentuk “chinese wall”
antara divisi penyidikan dan divisi pendakwaan di KPK.(seperti umum
dilakukan kantor-kantor hukum yang menghormati kode-etik profesi, apabila
secara tidak sengaja dua klien lama kantor hukum itu, tiba-tiba berkonflik).
Hakim
komisaris khusus harus juga diadakan di peradilan Tipikor,
untuk mengawasi pengumpulan bukti (physical
evidence dan witnesses), memberi ijin
“wiretapping” (penyadapan), dan
yang paling penting adalah turut menentukan “the
decision to charge a suspect with a crime, based on probable cause”, yang
dilakukan KPK. Hakim komisaris di
sini harus menentukan apakah “police
powers” telah dilakukan dengan sah dan bahwa “prosecutorial powers” akan dilaksanakan “in the community interest”. Asasnya
adalah “hanya apabila kepentingan
hukum menghendakinya dan dengan cukup
bukti, maka pendakwaan dilakukan”(asas legalitas positif). Asas ini
sebenarnya secara “mutatis mutandis”
juga berlaku untuk penangkapan dan penahanan. Kasus penahanan dalam sel,seorang
ibu yang punya bayi/anak balita, sungguh mencoreng pelaksanaan wewenang kepolisian
dan kejaksaan,yang dianggap telah melakukan proses hukum yang sewenang-wenang (arbitrary process).
*Makalah ini pertama kali disampaikan pada Seminar Komisi Hukum Nasional (9 Desember 2009) kemudian disempurnakan untuk Kuliah Umum di Universitas Batanghari Jambi (April 2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar