PENGANTAR
Dalam usaha kita di Indonesia
melawan korupsi, maka ahir-ahir ini sistem hukum acara pidana kita memperkenalkan
whistleblower dan interception sebagai alat (instrument) bantu penyidikan. Dalam
karangan singkat ini saya hanya ingin memberi beberapa catatan tentang kedua
alat bantu ini.Maksud utama catatan ini adalah agar kita berhati-hati, karena
kedua alat bantu ini mempunyai segi-segi negatifnya.
WHISTLEBLOWER
Dalam bahan pustaka pengertian whistleblower adalah “pembocor-rahasia” atau “pengadu”.Dia
adalah seorang yang membocorkan informasi yang sebenarnya bersifat rahasia di
kalangan di mana informasi itu berada.Tempat di mana informasi itu berada maupun
jenis informasi tersebut dapat bermacam-macam.Sementara ini di Indonesia informasi
yang diharapkan dibocorkan adalah informasi tentang kegiatan-kegiatan yang
tidak sah,melawan hukum ataupun bertentangan dengan moral yang baik. Si
pembocor sendiri adalah “orang-dalam” di organisasi tersebut, dia dapat
terlibat ataupun tidak dalam kegiatan yang dibocorkan itu.Karena dia adalah
“orang-dalam” maka dia menempuh risiko dengan perbuatannya itu.
Dalam diskusi sering dipergunakan ungkapan “to blow the whistle” (sempritan
“wasit”) yang diartikan sebagai menyebabkan sesuatu yang melanggar (aturan
hukum) agar berhenti, khususnya dengan membawanya kepada perhatian publik.
Beberapa
macam pembocor-rahasia.
Organisasi di mana informasi itu berada
dapat merupakan tempat atau organisasi yang sah (misalnya organisasi pemerintah atau organisasi
bisnis swasta), tetapi boleh jadi juga suatu organisasi kriminal (misalnya sindikat perjudian, usaha human trafficking, organisasi teroris).Terutama
kalau pembocor atau pengadu ini berasal dari organisasi kriminal, maka risiko
yang dihadapinya besar.Karena itu diperlukan perlindungan hukum baginya, terutama terhadap ancaman balas-dendam
teman-temannya.Undang-undang perlindungan saksi bermaksud ke arah ini.
Yang terungkap selama ini di Indonesia
(setidak-tidaknya melalui media massa) adalah informasi kegiatan tidak sah
dalam organisasi publik (pengadilan,kejaksaan,kepolisian
dan kantor pemerintah).Risiko yang dihadapi pembocor adalah sikap-permusuhan
dari teman-teman seorganisasinya, atau sering pula “habisnya karier”nya dalam
organisasi tersebut.Perlindungan hukum diperlukan di sini agar membocorkan
praktek-praktek melangar hukum dalam suatu organisasi pemerintah tidak
menimbulkan disincentive.
Adapula tentunya kemungkinan bahwa kegiatan
yang dibocorkan adalah kegiatan “sah” dari segi organisasi pemerintah, tetapi
menurut si-pembocor adalah bertentangan dengan moral publik (misalnya kegiatan
melawan “ancaman keamanan dalam negeri” yang dilakukan oleh organisasi
intelijen pemerintah).Pembocoran dilakukan (biasanya) melalui media pers,
dengan harapan disiarkan dan menimbulkan kritik/sensor masyarakat.Pertanyaannya
apakah “pembocoran-rahasia” seperti ini juga membutuhkan perlindungan hukum ?
Lebih sulit lagi adalah apabila peristiwa atau kegiatan yang dibocorkan
dikategorikan sebagai “rahasia-negara”.
Kemungkinan terahir di atas dikenal sebagai
“political whistleblowers”, mereka
yang membocorkan dokumen (-dokumen) Negara/Pemerintah yang telah
diklasifikasikan rahasia untuk melindungi keamanan negara.Tujuan pembocor di
sini sebenarnya juga “mulia”, karena ingin melindungi masyarakat dari
tindakan-tindakan pemerintah yang perlu dipertanyakan publik atau tindakan yang
merupakan “misinformation”.Contoh
yang pernah terjadi di luar negeri adalah informasi-rahasia tentang perang
Vietnam (The Pentagon Papers,1971)
dan tentang kegitan CIA di Amerika Selatan (1975).Beberapa waktu yang lalu kita
membaca di surat kabar tentang warga Negara Amerika Serikat yang dituduh
menjadi mata-mata Rusia.Apakah mereka dapat dikategorikan sebagai “whistleblower” ? Ingat pula peristiwa
dua orang suami-istri ahli nuklir yang membocorkan rahasia bom nuklir kepada
Uni Sovyet (Rosenberg,1950-an) dengan alasan “moral anti-perang”.
Macam pembocor-rahasia terahir yang perlu
diperhatikan pula adalah yang berasal dari organisasi
bisnis swasta. Pembocor di sini dapat mengungkapkan kegiatan yang sah dan
yang tidak sah. Kalau kegiatan bisnis itu sah, maka pembocor di sini
kemungkinan besar ingin menjual informasi itu untuk keuntungan pribadi.Di sini
kita memasuki kegiatan “business intelligence”
untuk mecuri “rahasia-dagang”. Tetapi ada juga tentu kemungkinan bahwa “rahasia-dagang”
itu merugikan konsumen publik.Kembali disini pembocor-rahasia didorong oleh
tujuan “mulia” untuk melindungi masyarakat (misalnya, produk yang mempergunakan
bahan-bahan kimia yang merugikan kesehatan).Apakah pembocor-rahasia terahir seperti
ini perlu juga dilindungi ? Bukankah ada kemunkinan bahwa produsen di sini juga
telah diancam hukum pidana ?
Informan
sebagai pembocor-rahasia.
Informasi yang diperoleh instansi
penegak-hukum (kepolisian dan kejaksaan) dalam kasus-kasus dugaan pelanggaran
hukum seperti tersebut di atas dapat pula diperoleh dari seorang “informan”. Istilah
yang biasa dikenal di Indonesia
adalah bahwa orang ini adalah “bukan anggota
“resmi” instansi penegak hukum). Tetapi boleh jadi juga dia adalah seorang
polisi atau jaksa (atau anggota intelijen negara). Dalam hal ini kita dapat menamakannya
“undercover agent” (informan-resmi).Tidak jarang terjadi bahwa
“informan-resmi” ini “terpaksa terlibat “ dalam perbuatan tindak pidana yang
sedang diselidikinya.Baik untuk melindungi dirinya terhadap kecurigaan anggota
organisasi kriminal tersebut (misalnya organisasi narkoba atau terror) ataupun
untuk “memancing” terjadinya peristiwa pelanggaran hukum yang ingin dibongkar (entrapment -penjebakan). Bagaimama kedudukan hukum
informan-resmi ini ? Sepatutnya dia tentu juga harus dilindungi secara hukum,
baik mengenai kesaksiannya maupun tentang keterlibatannya dalam perbuatan
melanggar hukum.Apakah UU Perlindungan Saksi telah mencakup perlindungan “whistleblower” dalam arti luas ini (undercover agent atau informan-resmi)?
INTERSEPSI
(INTERCEPTION)
Intersepsi
yang dimaksud disini dalam bahan pustaka, umumnya dikategorikan sebagai “wiretapping and electronic surveillance”.
Kegiatan ini adalah bersifat rahasia, karena yang dimaksud disini adalah:“mendengarkan
secara rahasia pembicaraan orang lain melalui penyadapan telepon atau
intersepsi elektronik lainnya”.Di Indonesia istilah umum yang dipergunakan
adalah “penyadapan” saja.
Kaitannya dengan “pembocor-rahasia” di atas
adalah, bahwa ada kemungkinan seorang informan (resmi ataupun bukan) mengajak
seorang yang dicurigai akan atau telah melakukan tindak pidana untuk berbicara
(menjebak ?), dan pembicaraan ini ditransmisikan melalui alat elektronik yang
terpasang secara rahasia ke pusat penerima milik pemerintah.Dengan demikian
pembicaraan di bidang hukum (pidana materiil dan formil) tentang
intersepsi-rahasia, terkait pembicaraan tentang “pembocor-rahasia” dan “entrapment” (penjebakan).
Status-hukum
penyadapan/intersepsi – rahasia.
Mungkin harus dibedakan dalam hal
intersepsi dilakukan dalam hal suatu peristiwa kejahatan telah terjadi dan dalam hal
dicurigai akan terjadinya peristiwa
kejahatan. Dalam hal pertama (ada kejahatan), maka intersepsi dapat dibenarkan
dalam rangka penegakan hukum dengan memakai “upaya paksa”. Tetapi dalam hal kedua
(diduga mungkin akan terjadi kejahatan) penegak hukum harus berhati-hati,
karena rawan melakukan perbuatan inkonstitusional (melanggar hak asasi manusia tentang
“privacy”).
Baik dalam hal pertama dan kedua, maka sah
tidaknya upaya-paksa intersepsi ini di Amerika Serikat tergantung pada
ada-tidaknya “probable cause”
(sebab/alasan yang dapat diterima hukum).Dalam yurisprudensi AS, maka alasan
yang dapat diterima hukum, dikatakan sebagai “the existence of facts and circumstances within one’s knowledge, and
of which one has reasonably trustworthy information, sufficient in themselves
to warrant a person of reasonable caution to believe that a crime has been
committed by the accused, in the independent judgement of a “detached”
magistrate”.Untuk Indonesia saya belum menemukan yurisprudensi MA tentang Pasal
17 KUHAP mengenai pengertian: “orang yang diduga
keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”.
Beberapa
permasalahan dalam hal penggunaan Intersepsi dalam penegakan hukum.
1)Menurut KUHAP, penggledahan
(badan,pakaian,rumah) dan pemeriksaan surat
memerlukan ijin pengadilan (a.l.pasal 32,33,47).Hal ini disebabkan adanya “an intrusion on somebody’s privacy”.Intrusi (penerobosan ?) ini
dilakukan secara fisik,terlihat dan terasa. Bagaimana dengan intrusi secara
rahasia (intersepsi-rahasia), bukankah hal ini lebih perlu lagi perlindungan
hukum ?
2)Seperti dikatakan sebelumnya harus
dibedakan antara a) ada probable cause mempercayai
telah terjadi kejahatan oleh target
intersepsi, dan b) ada probable cause mempercayai akan dilakukan kejahatan oleh target
intersepsi.Kemungkinan pelanggaran HAM pada keadaan kedua tentu lebih besar.
3)Private
interception tentunya harus dilarang (a.l. menangkal intersepsi untuk
kepentingan persaingan bisnis).Tetapi bagaimana dalam hal untuk kepentingan
politik ? Kasus Watergate
(executive-branch surveillance of lawful political activity, by intelligence
agencies) di AS, perlu mendapat
perhatian pula di Indonesia.
4)Dapat juga jadi masalah hukum adalah probable cause (yang dimaksud dengan “diduga
keras dengan bukti permulaan yang cukup”) dalam hal “kepentingan keamanan
nasional” ? Apakah kepercayaan adanya “domestic
dissent” yang akan membahayakan keamanan nasional dapat membenarkan
intersepsi-rahasia ?
HAL
LAIN YANG TERKAIT
Di atas disinggung tentang perlindungan
hukum bagi whistleblower yang menjadi
saksi.Risiko utama tentu adalah keamanan fisik dirinya dan keluarganya.Disamping
itu dia kemungkinan akan kehilangan jabatan/posisi dalam pekerjaannya.Apakah
dia perlu mendapat hadiah (reward),
padahal secara moral/etika dia telah melanggar kepercayaan/loyalitas/disiplin
kepegawaian ? Hal yang tidak mudah diatur dalam peraturan per-uu-an.
Makalah ini disampaikan
3 Agustus 2010 dalam Seminar Center for
Legislacy, Empowerment, Advocacy and Research (CLEAR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar