Kamis, 31 Oktober 2013

Pembocor-rahasia dan Penyadapan-rahasia Dalam Menanggulangi Kejahatan di Indonesia*



PENGANTAR



Dalam usaha kita di Indonesia melawan korupsi, maka ahir-ahir ini sistem hukum acara pidana kita memperkenalkan whistleblower dan interception sebagai alat (instrument) bantu penyidikan. Dalam karangan singkat ini saya hanya ingin memberi beberapa catatan tentang kedua alat bantu ini.Maksud utama catatan ini adalah agar kita berhati-hati, karena kedua alat bantu ini mempunyai segi-segi negatifnya.



WHISTLEBLOWER



Dalam bahan pustaka pengertian whistleblower adalah “pembocor-rahasia” atau “pengadu”.Dia adalah seorang yang membocorkan informasi yang sebenarnya bersifat rahasia di kalangan di mana informasi itu berada.Tempat di mana informasi itu berada maupun jenis informasi tersebut dapat bermacam-macam.Sementara ini di Indonesia informasi yang diharapkan dibocorkan adalah informasi tentang kegiatan-kegiatan yang tidak sah,melawan hukum ataupun bertentangan dengan moral yang baik. Si pembocor sendiri adalah “orang-dalam” di organisasi tersebut, dia dapat terlibat ataupun tidak dalam kegiatan yang dibocorkan itu.Karena dia adalah “orang-dalam” maka dia menempuh risiko dengan perbuatannya itu.



Dalam diskusi sering dipergunakan ungkapan “to blow the whistle” (sempritan “wasit”) yang diartikan sebagai menyebabkan sesuatu yang melanggar (aturan hukum) agar berhenti, khususnya dengan membawanya kepada perhatian publik.





Beberapa macam pembocor-rahasia.



Organisasi di mana informasi itu berada dapat merupakan tempat atau organisasi yang sah (misalnya organisasi pemerintah atau organisasi bisnis swasta), tetapi boleh jadi juga suatu organisasi kriminal (misalnya sindikat perjudian, usaha human trafficking, organisasi teroris).Terutama kalau pembocor atau pengadu ini berasal dari organisasi kriminal, maka risiko yang dihadapinya besar.Karena itu diperlukan perlindungan hukum baginya, terutama terhadap ancaman balas-dendam teman-temannya.Undang-undang perlindungan saksi bermaksud ke arah ini.



Yang terungkap selama ini di Indonesia (setidak-tidaknya melalui media massa) adalah informasi kegiatan tidak sah dalam organisasi publik (pengadilan,kejaksaan,kepolisian dan kantor pemerintah).Risiko yang dihadapi pembocor adalah sikap-permusuhan dari teman-teman seorganisasinya, atau  sering pula “habisnya karier”nya dalam organisasi tersebut.Perlindungan hukum diperlukan di sini agar membocorkan praktek-praktek melangar hukum dalam suatu organisasi pemerintah tidak menimbulkan disincentive.



Adapula tentunya kemungkinan bahwa kegiatan yang dibocorkan adalah kegiatan “sah” dari segi organisasi pemerintah, tetapi menurut si-pembocor adalah bertentangan dengan moral publik (misalnya kegiatan melawan “ancaman keamanan dalam negeri” yang dilakukan oleh organisasi intelijen pemerintah).Pembocoran dilakukan (biasanya) melalui media pers, dengan harapan disiarkan dan menimbulkan kritik/sensor masyarakat.Pertanyaannya apakah “pembocoran-rahasia” seperti ini juga membutuhkan perlindungan hukum ? Lebih sulit lagi adalah apabila peristiwa atau kegiatan yang dibocorkan dikategorikan sebagai “rahasia-negara”.



Kemungkinan terahir di atas dikenal sebagai “political whistleblowers”, mereka yang membocorkan dokumen (-dokumen) Negara/Pemerintah yang telah diklasifikasikan rahasia untuk melindungi keamanan negara.Tujuan pembocor di sini sebenarnya juga “mulia”, karena ingin melindungi masyarakat dari tindakan-tindakan pemerintah yang perlu dipertanyakan publik atau tindakan yang merupakan “misinformation”.Contoh yang pernah terjadi di luar negeri adalah informasi-rahasia tentang perang Vietnam (The Pentagon Papers,1971) dan tentang kegitan CIA di Amerika Selatan (1975).Beberapa waktu yang lalu kita membaca di surat kabar tentang warga Negara Amerika Serikat yang dituduh menjadi mata-mata Rusia.Apakah mereka dapat dikategorikan sebagai “whistleblower” ? Ingat pula peristiwa dua orang suami-istri ahli nuklir yang membocorkan rahasia bom nuklir kepada Uni Sovyet (Rosenberg,1950-an) dengan alasan “moral anti-perang”.



Macam pembocor-rahasia terahir yang perlu diperhatikan pula adalah yang berasal dari organisasi bisnis swasta. Pembocor di sini dapat mengungkapkan kegiatan yang sah dan yang tidak sah. Kalau kegiatan bisnis itu sah, maka pembocor di sini kemungkinan besar ingin menjual informasi itu untuk keuntungan pribadi.Di sini kita memasuki kegiatan “business intelligence” untuk mecuri “rahasia-dagang”. Tetapi ada juga tentu kemungkinan bahwa “rahasia-dagang” itu merugikan konsumen publik.Kembali disini pembocor-rahasia didorong oleh tujuan “mulia” untuk melindungi masyarakat (misalnya, produk yang mempergunakan bahan-bahan kimia yang merugikan kesehatan).Apakah pembocor-rahasia terahir seperti ini perlu juga dilindungi ? Bukankah ada kemunkinan bahwa produsen di sini juga telah diancam hukum pidana ?





Informan sebagai pembocor-rahasia.



Informasi yang diperoleh instansi penegak-hukum (kepolisian dan kejaksaan) dalam kasus-kasus dugaan pelanggaran hukum seperti tersebut di atas dapat pula diperoleh dari seorang “informan”. Istilah yang biasa dikenal di Indonesia adalah bahwa orang ini adalah “bukan anggota “resmi” instansi penegak hukum). Tetapi boleh jadi juga dia adalah seorang polisi atau jaksa (atau anggota intelijen negara). Dalam hal ini kita dapat menamakannya “undercover agent” (informan-resmi).Tidak jarang terjadi bahwa “informan-resmi” ini “terpaksa terlibat “ dalam perbuatan tindak pidana yang sedang diselidikinya.Baik untuk melindungi dirinya terhadap kecurigaan anggota organisasi kriminal tersebut (misalnya organisasi narkoba atau terror) ataupun untuk “memancing” terjadinya peristiwa pelanggaran hukum yang ingin dibongkar (entrapment -penjebakan). Bagaimama kedudukan hukum informan-resmi ini ? Sepatutnya dia tentu juga harus dilindungi secara hukum, baik mengenai kesaksiannya maupun tentang keterlibatannya dalam perbuatan melanggar hukum.Apakah UU Perlindungan Saksi telah mencakup perlindungan “whistleblower” dalam arti luas ini (undercover agent atau informan-resmi)?



INTERSEPSI (INTERCEPTION)



Intersepsi yang dimaksud disini dalam bahan pustaka, umumnya dikategorikan sebagai “wiretapping and electronic surveillance”. Kegiatan ini adalah bersifat rahasia, karena yang dimaksud disini adalah:“mendengarkan secara rahasia pembicaraan orang lain melalui penyadapan telepon atau intersepsi elektronik lainnya”.Di Indonesia istilah umum yang dipergunakan adalah “penyadapan” saja.



Kaitannya dengan “pembocor-rahasia” di atas adalah, bahwa ada kemungkinan seorang informan (resmi ataupun bukan) mengajak seorang yang dicurigai akan atau telah melakukan tindak pidana untuk berbicara (menjebak ?), dan pembicaraan ini ditransmisikan melalui alat elektronik yang terpasang secara rahasia ke pusat penerima milik pemerintah.Dengan demikian pembicaraan di bidang hukum (pidana materiil dan formil) tentang intersepsi-rahasia, terkait pembicaraan tentang “pembocor-rahasia” dan “entrapment” (penjebakan).





Status-hukum penyadapan/intersepsi – rahasia.



Mungkin harus dibedakan dalam hal intersepsi dilakukan dalam hal suatu peristiwa kejahatan telah terjadi dan  dalam hal dicurigai akan terjadinya peristiwa kejahatan. Dalam hal pertama (ada kejahatan), maka intersepsi dapat dibenarkan dalam rangka penegakan hukum dengan memakai “upaya paksa”. Tetapi dalam hal kedua (diduga mungkin akan terjadi kejahatan) penegak hukum harus berhati-hati, karena rawan melakukan perbuatan inkonstitusional (melanggar hak asasi manusia tentang “privacy”).



Baik dalam hal pertama dan kedua, maka sah tidaknya upaya-paksa intersepsi ini di Amerika Serikat tergantung pada ada-tidaknya “probable cause” (sebab/alasan yang dapat diterima hukum).Dalam yurisprudensi AS, maka alasan yang dapat diterima hukum, dikatakan sebagai “the existence of facts and circumstances within one’s knowledge, and of which one has reasonably trustworthy information, sufficient in themselves to warrant a person of reasonable caution to believe that a crime has been committed by the accused, in the independent judgement of a “detached” magistrate”.Untuk Indonesia saya belum menemukan yurisprudensi MA tentang Pasal 17 KUHAP mengenai pengertian: “orang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”.





Beberapa permasalahan dalam hal penggunaan Intersepsi dalam penegakan hukum.



1)Menurut KUHAP, penggledahan (badan,pakaian,rumah) dan pemeriksaan surat memerlukan ijin pengadilan (a.l.pasal 32,33,47).Hal ini disebabkan adanya “an intrusion on somebody’s privacy”.Intrusi (penerobosan ?) ini dilakukan secara fisik,terlihat dan terasa. Bagaimana dengan intrusi secara rahasia (intersepsi-rahasia), bukankah hal ini lebih perlu lagi perlindungan hukum ?



2)Seperti dikatakan sebelumnya harus dibedakan antara a) ada probable cause mempercayai telah terjadi kejahatan oleh target intersepsi, dan  b) ada probable cause mempercayai akan dilakukan kejahatan oleh target intersepsi.Kemungkinan pelanggaran HAM pada keadaan kedua tentu lebih besar.



3)Private interception tentunya harus dilarang (a.l. menangkal intersepsi untuk kepentingan persaingan bisnis).Tetapi bagaimana dalam hal untuk kepentingan politik ? Kasus Watergate (executive-branch surveillance of lawful political activity, by intelligence agencies) di AS, perlu mendapat perhatian pula di Indonesia.



4)Dapat juga jadi masalah hukum adalah probable cause (yang dimaksud dengan “diduga keras dengan bukti permulaan yang cukup”) dalam hal “kepentingan keamanan nasional” ? Apakah kepercayaan adanya “domestic dissent” yang akan membahayakan keamanan nasional dapat membenarkan intersepsi-rahasia ?



HAL LAIN YANG TERKAIT





Di atas disinggung tentang perlindungan hukum bagi whistleblower yang menjadi saksi.Risiko utama tentu adalah keamanan fisik dirinya dan keluarganya.Disamping itu dia kemungkinan akan kehilangan jabatan/posisi dalam pekerjaannya.Apakah dia perlu mendapat hadiah (reward), padahal secara moral/etika dia telah melanggar kepercayaan/loyalitas/disiplin kepegawaian ? Hal yang tidak mudah diatur dalam peraturan per-uu-an.


Dan bagaimana bilamana dia “turut melakukan” ? Bolehkah dia dibebaskan dari dakwaan ataukah diperingan dakwaan/pidananya (ingat plea bargaining) ? Bagaimana pula dalam hal “undercover agent” yang turut melakukan kejahatan bersangkutan (misalnya melanggar UU Narkoba-di Singapura dan Malaysia ada “strict liability” dan “mandatory capital punishment”).



Makalah ini disampaikan 3 Agustus 2010 dalam Seminar Center for Legislacy, Empowerment, Advocacy and Research (CLEAR)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar