Pertanyaan yang sering
saya peroleh dari mahasiswa magister ilmu hukum dan magister ilmu kepolisian di
mana saya mengajar, intinya (dapat disarikan) sebagai berikut :
A.Mengapa perlu mengubah KUHAP 1981 ?
B.Apa beda Pra-Peradilan dengan lembaga Hakim Komisaris ?
C.Apakah lembaga Hakim Komisaris akan membuat Sistem
Peradilan Pidana (SPP) kita menjadi lebih “manusiawi”, benar-benar ada “due process of law” dan akan “memberantas
Markus serta Mafia Peradilan” ?
Uraian di bawah
ini berusaha menjawab pertanyaan di atas. Kita ingat kembali bahwa proses
penysunan KUHAP dahulu memang alot (penuh tarik menarik untuk berebut
kewenangan).Di mulai Desember 1968 dalam Seminar Hukum Nasional Ke II di
Semarang melalui Komisi-3 yang membahas permasalahan “hukum acara pidana dan
hak-hak asasi manusia”, dan baru rampung ahir tahun 1981 (13 tahun kemudian –
padahal kita merasa HIR yang warisan Hindia Belanda sudah perlu segera diganti).Menteri Kehakiman
Mudjiono waktu itu mengangap ini suatu “karya agung”,karena mengharap karya
anak-bangsa ini akan mengubah SPP Indonesia dari “kesewenang-wenangan”
pemerintahan Hindia Belanda dan Militer Jepang ke suatu sistem yang memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia Tersangka,Terdakwa dan
Terpidana, sebagaimana wajarnya dimiliki suatu Negara Hukum dengan
pemerintahan bangsa sendiri. Sejarah SPP kita dengan KUHAP1981 ternyata tidak membenarkan harapan itu. Apalagi
apa yang terungkap selama 6-10 bulan terahir, menunjukkan bahwa nasib
Tersangka,Terdakwa dan Terpidan kita, lebih buruk dari waktu HIR (pemerintah
jajahan Hindia Belanda).Sungguh suatu hal yang tidak pernah terduga 30 tahun
yang lalu, bahwa pelaksanaan SPP dengan KUHAP1981 lebih buruk dari dengan HIR 1941!
Tentu saja keadaan yang
memalukan itu tidak semata-mata kesalahan peraturan KUHAP1981, moral dan
integritas para pelaksana KUHAP mempunyai peranan yang penting. Seorang
guru besar Belanda mengatakan kurang-lebih sebagai berikut “beri saya undang-undang yang
buruk,tapi dengan pelaksana-pelaksana yang bermoral dan punya integritas yang
baik, saya dapat memberi keadilan”.Apakah keadaan di Indonesia dengan KUHAP
“karya agung”nya, harus kita tafsirkan kesalahan ada pada pelaksana-pelaksana
yang buruk moral dan integritasnya ? Memang sukar mengambil kesimpulan yang
“berat” seperti itu ! Mungkin lebih baik kita simpulkan: - peraturannya kurang membantu pelaksanaan yang baik, sehingga
pelaksana-pelaksana yang buruk (melakukan aniaya dan siksa di tahanan dan
penjara, serta markus dan mafia peradilan) dapat berkiprah sewenang-wenang.
Kalau ini kita yakini, maka solusi adalah menyempurnakan
peraturan agar kesewenang-wenangan itu
sedapat mungkin dapat dihindari.Karena itulah setelah -/+ 30 tahun berusaha
mengubah perilaku pelaksana-pelaksana hukum acara pidana kita melalui KUHAP
pengganti HIR, maka sudah waktunya kita sekarang menyempurnakan hukum acara
pidana kita. Tentu ada yang tidak senang dan menolak,mudah diduga mereka adalah
yang memang dapat menarik manfaat dari KUHAP1981 untuk kepentingan dan
keuntungan pribadi (para “markus dan mafia peradilan” ?)
Mengapa lembaga Hakim
Komisaris dipertanyakan ? Apakah lembaga hukum ini berbeda dengan prosedur
Pra-Peradilan yang telah kita kenal dalam KUHAP1981 ? Prosedur Pra-Peradilan
(untuk selanjutnya disingkat P-P) “dicangkok” dari prosedur peradilan Amerika
Serikat “habeas corpus”(Lat:you have the body).Prosedur ini
bertujuan “obtaining a judicial determination
of the legality of an individual’s custody”. Ini juga merupakan inti prosedur
P-P, meminta hakim menentukan kesahan
suatu tindakan penangkapan atau penahanan (dan tindakan lainnya dalam Pasal
1 Butir 10 KUHAP). Lembaga Hakim Komisaris (untuk selanjutnya HK), menurut saya
juga sebenarnya “cangkokan” dari “Rechter-Commissaris”(RC)
peradilan Belanda (Pasal 170 dstnya Kuhap Belanda) dan “Examining Magistrate”(EM) peradilan
Perancis (Pasal 79 Kuhap Perancis). Melihat fungsinya, maka RC dan EM ini tugasnya
lebih luas dibanding tugas prosedur habeas
corpus hakim P-P di Indonesia (dan di Amerika Serikat). Di Belanda RC
memimpin lembaga/prosedur hukum yang bernama “Gerechtelijk Vooronderzoek”(GVO),yaitu “pemeriksaan pendahuluan
oleh pengadilan” dan di Perancis EM memimpin “the First Degree Investigating Jurisdiction”(FDIJ). Tanpa ingin
masuk pada hal-hal yang rinci, menurut saya GVO dan FDIJ bertujuan untuk mejamin
bahwa prosedur yang dilaksanakan terhadap seorang Tersangka telah memenuhi persyaratan
“Due Process Of Law” (Substantive Due Process and Procedural Due
Process) yang intinya adalah telah memenuhi syarat-syarat Konstitusi
tentang perlindungan terhadap hak asasi manusia seorang Tersangka. Apa artinya
ini ? Tidak lain daripada pertanggungjawaban
Penyidik dan Jaksa-Penuntut Umum kepada seorang hakim (HK), tentang prosedur
yang telah dilakukannya dalam mengungkap suatu perkara krminal. Penolakan
terhadap HK berintikan hal ini, merasa hilangnya kemandirian Penyidik dan
Jaksa-Penuntut Umum yang telah dicapai dalam perjuangan alot pembentukan KUHAP
(1968 – 1981). Ingin kembali tetap terkotak-kotaknya kewenangan Kepolisian –
Kejaksaan – dan Pengadilan.Menolak semua pengawasan dari luar korpsnya
(pengawasan horisontal). Padahal di negara- negara demokratis “procedural design” SPP memberikan posisi
dominan kepada Pengadilan (Hakim, sebagai pihak ketiga yang netral) untuk
mengawasi penyidikan (suatu proses yang sifatnya tertutup dan mudah diselewengkan)
!
Apakah lembaga HK ini
(seandainya dia dapat berfungsi serupa RC dengan GVOnya dan/atau serupa EM
dengan FDIJnya) akan menghilangkan “kanker ganas” Markus dan Mafia Peradilan
yang sekarang diderita SPP Indonesia ? Tidak
ada jaminan ! Kalau begitu untuk apa kita susah-susah mengganti KUHAP1981 ?
Menurut saya hanya ada dua jawaban. Pertama,
seperti pada seorang perokok berat yang sering terbatuk-batuk, memaksa dia
mengakui bahwa sebaiknya dia berhenti merokok. Kalau dalam diskusi kita ini,
masyarakat harus memaksa Kepolisian dan
Kejaksaan (serta Pengadilan) mengakui adanya “kanker ganas” (berupa Markus dan Mafia Peradilan) dalam sistem mereka, yang
mewajibkan adanya reformasi mendasar dalam SPP kita.Dan kedua,
lembaga Hakim Komisaris akan mewajibkan agar penyidikan dan semua upaya-paksa
yang dberikan hukum acara pidana, telah dijalankan sesuai dengan perlindungan
hak asasi manusia yang dijamin konstitusi.Berarti apabila peyidikan mengabaikan
perlindungan konstitusi ini, Hakim
Komisaris berhak membatalkan seluruh
hasil penyidikan dan bukti-bukti yang diperoleh, serta membebaskan Tersangka
dari semua upaya paksa yang diterimanya. Ini akan menjadi sanksi bagi Penyidik dan Jaksa Penuntut
Umum yang telah bekerja keras untuk mengungkap perkara kriminal bersangkutan.Ini
adalah jawaban pula atas permintaan para Advokat agar KUHAP memuat sanksi terhadap
pelaksana KUHAP yang melanggar perintah KUHAP.
Dapat dipahami bahwa
pihak-pihak yang sekarang sudah sangat “senang”(comfortable) dengan sistem yang ada, akan menolak setiap perubahan
yang merugikan kewenangan mereka dan menjadikan mereka harus “terbuka” dan
“akuntabel” pada HK.Kepada mereka harus diberikan penjelasan bahwa semua ini
adalah agar SPP kita “lebih manusiawi” dan tidak dituduh sebagai
sistem yang bengis (draconian system).Kritikan
yang sering pula ditujukan pada KUHAP adalah bahwa undang-undang ini terlalu
memperhatikan hak-hak Tersangka, Terdakwa dan Terpidana. Kurang sekali memperhatikan hak-hak Korban Kejahatan. Hakim Komisaris dikritik,karena diadakan untuk membela dan melindungi Pelaku
(Tersangka). Kritikan ini dapat dipahami, namun desain suatu KUHAP memang
adalah: a) Membatasi kewenangan Penyidik dan Jaksa Penutut Umum,agar tidak
sewenang-wenang menjalankan kekuasaan kepolisian (police powers) dan kekuasaan pendakwaan-penuntutan (prosecutorial powers). Jangan lupa
bahwa Tersangka-Pelaku harus menghadapi suatu kekuasaan yang dapat menjadi
sangat bengis dan sewenang-wenang, bila tidak dikendalikan dengan baik,terbuka
dan akuntabel, dan b) Orang bijak mengatakan “untuk diri sendiri kita dapat
mendisiplinkan diri agar tidak melanggar hukum, tetapi dapatkah kita menjamin
bahwa kita akan bebas-risiko menjadi Tersangka atau Terdakwa dan Terpidana ?” Menghadapi
risiko seperti ini, maka seharusnya kita mendukung suatu SPP yang menjadikan
penyidikan lebih terbuka dan akuntabel, sehingga dapat menjamin dilaksanakannya
“due process of law”. Solusinya,
antara lain, adalah lembaga Hakim Komisaris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar