Rabu, 30 Oktober 2013

Perlukah Hakim Komisaris dalam Peradilan Pidana ?



Pertanyaan yang sering saya peroleh dari mahasiswa magister ilmu hukum dan magister ilmu kepolisian di mana saya mengajar, intinya (dapat disarikan) sebagai berikut :

A.Mengapa perlu mengubah KUHAP 1981 ?

B.Apa beda Pra-Peradilan dengan lembaga Hakim Komisaris ?

C.Apakah lembaga Hakim Komisaris akan membuat Sistem Peradilan Pidana (SPP) kita menjadi lebih “manusiawi”, benar-benar ada “due process of law” dan akan “memberantas Markus serta Mafia Peradilan” ?

Uraian di bawah ini berusaha menjawab pertanyaan di atas. Kita ingat kembali bahwa proses penysunan KUHAP dahulu memang alot (penuh tarik menarik untuk berebut kewenangan).Di mulai Desember 1968 dalam Seminar Hukum Nasional Ke II di Semarang melalui Komisi-3 yang membahas permasalahan “hukum acara pidana dan hak-hak asasi manusia”, dan baru rampung ahir tahun 1981 (13 tahun kemudian – padahal kita merasa HIR yang warisan Hindia Belanda sudah perlu segera diganti).Menteri Kehakiman Mudjiono waktu itu mengangap ini suatu “karya agung”,karena mengharap karya anak-bangsa ini akan mengubah SPP Indonesia dari “kesewenang-wenangan” pemerintahan Hindia Belanda dan Militer Jepang ke suatu sistem yang memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia Tersangka,Terdakwa dan Terpidana, sebagaimana wajarnya dimiliki suatu Negara Hukum dengan pemerintahan bangsa sendiri. Sejarah SPP kita dengan KUHAP1981 ternyata tidak membenarkan harapan itu. Apalagi apa yang terungkap selama 6-10 bulan terahir, menunjukkan bahwa nasib Tersangka,Terdakwa dan Terpidan kita, lebih buruk dari waktu HIR (pemerintah jajahan Hindia Belanda).Sungguh suatu hal yang tidak pernah terduga 30 tahun yang lalu, bahwa pelaksanaan SPP dengan KUHAP1981 lebih buruk dari dengan HIR 1941!

 Tentu saja keadaan yang memalukan itu tidak semata-mata kesalahan peraturan KUHAP1981, moral dan integritas para pelaksana KUHAP mempunyai peranan yang penting. Seorang guru besar Belanda mengatakan kurang-lebih sebagai berikut “beri saya undang-undang yang buruk,tapi dengan pelaksana-pelaksana yang bermoral dan punya integritas yang baik, saya dapat memberi keadilan”.Apakah keadaan di Indonesia dengan KUHAP “karya agung”nya, harus kita tafsirkan kesalahan ada pada pelaksana-pelaksana yang buruk moral dan integritasnya ? Memang sukar mengambil kesimpulan yang “berat” seperti itu ! Mungkin lebih baik kita simpulkan: - peraturannya kurang membantu pelaksanaan yang baik, sehingga pelaksana-pelaksana yang buruk (melakukan aniaya dan siksa di tahanan dan penjara, serta markus dan mafia peradilan) dapat berkiprah sewenang-wenang. Kalau ini kita yakini, maka solusi adalah menyempurnakan peraturan agar kesewenang-wenangan itu sedapat mungkin dapat dihindari.Karena itulah setelah -/+ 30 tahun berusaha mengubah perilaku pelaksana-pelaksana hukum acara pidana kita melalui KUHAP pengganti HIR, maka sudah waktunya kita sekarang menyempurnakan hukum acara pidana kita. Tentu ada yang tidak senang dan menolak,mudah diduga mereka adalah yang memang dapat menarik manfaat dari KUHAP1981 untuk kepentingan dan keuntungan pribadi (para “markus dan mafia peradilan” ?)

  Mengapa lembaga Hakim Komisaris dipertanyakan ? Apakah lembaga hukum ini berbeda dengan prosedur Pra-Peradilan yang telah kita kenal dalam KUHAP1981 ? Prosedur Pra-Peradilan (untuk selanjutnya disingkat P-P) “dicangkok” dari prosedur peradilan Amerika Serikat “habeas corpus”(Lat:you have the body).Prosedur ini bertujuan “obtaining a judicial determination of the legality of an individual’s custody”. Ini juga merupakan inti prosedur P-P, meminta hakim menentukan kesahan suatu tindakan penangkapan atau penahanan (dan tindakan lainnya dalam Pasal 1 Butir 10 KUHAP). Lembaga Hakim Komisaris (untuk selanjutnya HK), menurut saya juga sebenarnya “cangkokan” dari “Rechter-Commissaris”(RC) peradilan Belanda (Pasal 170 dstnya Kuhap Belanda) dan “Examining Magistrate”(EM) peradilan Perancis (Pasal 79 Kuhap Perancis). Melihat fungsinya, maka RC dan EM ini tugasnya lebih luas dibanding tugas prosedur habeas corpus hakim P-P di Indonesia (dan di Amerika Serikat). Di Belanda RC memimpin lembaga/prosedur hukum yang bernama “Gerechtelijk Vooronderzoek”(GVO),yaitu “pemeriksaan pendahuluan oleh pengadilan” dan di Perancis EM memimpin “the First Degree Investigating Jurisdiction”(FDIJ). Tanpa ingin masuk pada hal-hal yang rinci, menurut saya GVO dan FDIJ bertujuan untuk mejamin bahwa prosedur yang dilaksanakan terhadap seorang Tersangka telah memenuhi persyaratan “Due Process Of Law” (Substantive Due Process and Procedural Due Process) yang intinya adalah telah memenuhi syarat-syarat Konstitusi tentang perlindungan terhadap hak asasi manusia seorang Tersangka. Apa artinya ini ? Tidak lain daripada pertanggungjawaban Penyidik dan Jaksa-Penuntut Umum kepada seorang hakim (HK), tentang prosedur yang telah dilakukannya dalam mengungkap suatu perkara krminal. Penolakan terhadap HK berintikan hal ini, merasa hilangnya kemandirian Penyidik dan Jaksa-Penuntut Umum yang telah dicapai dalam perjuangan alot pembentukan KUHAP (1968 – 1981). Ingin kembali tetap terkotak-kotaknya kewenangan Kepolisian – Kejaksaan – dan Pengadilan.Menolak semua pengawasan dari luar korpsnya (pengawasan horisontal). Padahal di negara- negara demokratis “procedural design” SPP memberikan posisi dominan kepada Pengadilan (Hakim, sebagai pihak ketiga yang netral) untuk mengawasi penyidikan (suatu proses yang sifatnya tertutup dan mudah diselewengkan) !

  Apakah lembaga HK ini (seandainya dia dapat berfungsi serupa RC dengan GVOnya dan/atau serupa EM dengan FDIJnya) akan menghilangkan “kanker ganas” Markus dan Mafia Peradilan yang sekarang diderita SPP Indonesia ? Tidak ada jaminan ! Kalau begitu untuk apa kita susah-susah mengganti KUHAP1981 ? Menurut saya hanya ada dua jawaban. Pertama, seperti pada seorang perokok berat yang sering terbatuk-batuk, memaksa dia mengakui bahwa sebaiknya dia berhenti merokok. Kalau dalam diskusi kita ini, masyarakat harus memaksa Kepolisian dan Kejaksaan (serta Pengadilan) mengakui adanya “kanker ganas” (berupa Markus dan Mafia Peradilan) dalam sistem  mereka, yang mewajibkan adanya reformasi mendasar dalam SPP kita.Dan kedua, lembaga Hakim Komisaris akan mewajibkan agar penyidikan dan semua upaya-paksa yang dberikan hukum acara pidana, telah dijalankan sesuai dengan perlindungan hak asasi manusia yang dijamin konstitusi.Berarti apabila peyidikan mengabaikan perlindungan konstitusi ini,  Hakim Komisaris berhak membatalkan seluruh hasil penyidikan dan bukti-bukti yang diperoleh, serta membebaskan Tersangka dari semua upaya paksa yang diterimanya. Ini akan menjadi sanksi bagi Penyidik dan Jaksa Penuntut Umum yang telah bekerja keras untuk mengungkap perkara kriminal bersangkutan.Ini adalah jawaban pula atas permintaan para Advokat agar KUHAP memuat sanksi terhadap pelaksana KUHAP yang melanggar perintah KUHAP.

  Dapat dipahami bahwa pihak-pihak yang sekarang sudah sangat “senang”(comfortable) dengan sistem yang ada, akan menolak setiap perubahan yang merugikan kewenangan mereka dan menjadikan mereka harus “terbuka” dan “akuntabel” pada HK.Kepada mereka harus diberikan penjelasan bahwa semua ini adalah agar SPP kita “lebih manusiawi” dan tidak dituduh sebagai sistem yang bengis (draconian system).Kritikan yang sering pula ditujukan pada KUHAP adalah bahwa undang-undang ini terlalu memperhatikan hak-hak Tersangka, Terdakwa dan Terpidana. Kurang sekali memperhatikan hak-hak Korban Kejahatan. Hakim Komisaris dikritik,karena  diadakan untuk membela dan melindungi Pelaku (Tersangka). Kritikan ini dapat dipahami, namun desain suatu KUHAP memang adalah: a) Membatasi kewenangan Penyidik dan Jaksa Penutut Umum,agar tidak sewenang-wenang menjalankan kekuasaan kepolisian (police powers) dan kekuasaan pendakwaan-penuntutan (prosecutorial powers). Jangan lupa bahwa Tersangka-Pelaku harus menghadapi suatu kekuasaan yang dapat menjadi sangat bengis dan sewenang-wenang, bila tidak dikendalikan dengan baik,terbuka dan akuntabel, dan b) Orang bijak mengatakan “untuk diri sendiri kita dapat mendisiplinkan diri agar tidak melanggar hukum, tetapi dapatkah kita menjamin bahwa kita akan bebas-risiko menjadi Tersangka atau Terdakwa dan Terpidana ?” Menghadapi risiko seperti ini, maka seharusnya kita mendukung suatu SPP yang menjadikan penyidikan lebih terbuka dan akuntabel, sehingga dapat menjamin dilaksanakannya “due process of law”. Solusinya, antara lain, adalah lembaga Hakim Komisaris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar