Pengantar
Perlu saya
jelaskan dahulu bahwa apa yang saya sampaikan di bawah ini adalah pendapat saya
sebagai pribadi, yang sejak tahun 1970 turut mengelola sebuah kantor hukum di Jakarta. Pendapat ini
terbawa pula oleh pikiran-pikiran yang telah pernah pula saya tuangkan dalam
beberapa karangan. Di sini saya ingin bicara sebagai pengamat atau pemerhati
kejadian ahir-ahir ini, namun tidak
bermaksud memberi solusi.
Kejadian
ahir-ahir ini,menurut pendapat saya,sungguh mengecewakan hati kebanyakan
anggota profesi hukum, kalangan advokat maupun anggota profesi hukum lainnya
(hakim,penuntut umum,notaris,penyidik), serta masyarakat pada umumnya. Di
kalangan advokat, euforia yang timbul pada tahun 2003 dan 2005 dengan UU Advokat
dan terbentuknya Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia), lambat-laun sirna
dengan timbulnya berbagai peristiwa perbedaan
pendapat antar advokat, seperti; permohonan pengujian UU Advokat ke Mahkamah
Konstitusi, terbentuknya KAI (Kongres Advokat Indonesia) serta terdorongnya
Mahkamah Agung kita turut campur, yang berakibat demonstrasi advokat dengan
akibat yang tidak pernah diharapkan.
Pertanyaan-
pertanyaan permasalahan (ada lima)
yang diajukan Panitia Diskusi Publik KHN ini memang menarik untuk
diperdebatkan, tetapi pengetahuan dan pengalaman saya belum cukup untuk
membahasnya. Karena itu saya hanya mengambil sebagian saja dari pertanyaan pertama, yang saya tangkap
inti-sarinya adalah “Apakah sebenarnya atau
kenyataannya pribadi-pribadi Advokat Indonesia
mendambakan organisasi advokat yang tidak tunggal ?”
Untuk mencoba diadakan diskusi, saya
membaginya dengan sub-sub pertanyaan berikut.
A)Apakah masyarakat Indonesia perlu advokat ?
B)Mengapa advokat perlu diatur Negara ?
C)Perlukah advokat berhimpun dalam organisasi
?
Sebagian dari
pertanyaan-pertanyaan di atas, pernah saya bahas pula (tidak berurutan seperti
di atas) dalam karangan-karangan saya di bawah ini :
1. Etika Profesi Menjunjung Kehormatan Advokat
(2005),
2. Apakah komunitas advokat Indonesia ditakdirkan mempunyai “Multi-bar
Association”
? (2008)
3.
Organisasi Advokat Indonesia:
“Quo Vadis”? – Hendak Ke Mana ?
(2009)
A.
APAKAH MASYARAKAT INDONESIA
PERLU ADVOKAT ?
Advokat diambil
dari kata Belanda advocaat yang
diartkan sebagai seorang penasihat dalam
perkara hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Selanjutnya perlu
dijelaskan pula bahwa untuk Indonesia,
advokat itu haruslah seorang ahli hukum (minimal S-1 hukum/Sarjana Hukum) yang
berwenang bertindak sebagai penasihat hukum atau pembela perkara di pengadilan.
Disamping itu masyarakat juga
mengenal istilah “pokrol”(istilah yang sering didskreditkan), yang berasal dari
kata Latin “procuratie” (kuasa;volmacht) dan “procurator”(pemegang kuasa; vertegenwoordiger).
Setelah masuknya penanaman modal asing (1967) dikenal
pula istilah “konsultan hukum” (legal consultant;
juridisch raadsman). Untuk karangan in pengertian di atas yang dipergunakan
dan apabila tidak secara spesifik saya katakan, maka pengertian advokat
mencakup semua pengertian di atas.
Advokat secara
keliru dinamakan juga “penegak hukum”(law
enforcer; ordehandhaver) yang kalau kita tarik lebih lanjut mengakibatkan “kantor
advokat” berarti kantor penegak hukum (law
enforcement office) serupa kantor polisi dan kantor kejaksaan. Kalau ada
amandeman UU Advokat, saya sarankan ini patut didiskusikan.Pengertian keliru
ini tidak saya pakai dalam karangan ini !
Pertanyaan dalam
judul sekarang berubah menjadi “perlukah ada penasihat hukum atau pembela
perkara di pengadilan ?”(dan bukan perlukah
ada advokat penegak hukum !).
Saya pribadi
berpendapat bahwa advokat menduduki tempat dan menjalankan fungsi yang penting
di masyarakat Indonesia,seperti
seorang dokter (ahli di bidang kesehatan). Tetapi sayangnya mereka (advokat dan
dokter) tidak punya reputasi serupa di mata masyarakat. Dalam suatu karangan di
majalah Australia baru-baru ini ada debat yang intinya berpendapat bahwa
advokat itu tidak terlalu memperhatikan etika profesinya dan cenderung “memeras”
(money-grabbing, billing abuses) kliennya
(dalam The Australian, 27 Agustus 2010). Namun demikian, di negara-negara modern dan
demokratis peranan advokat itu memang tidak kalah dari dokter. Terutama dalam
berperkara di pengadilan,baik dalam perkara perdata, apalagi dalam perkara
pidana. Dalam Konstitusi Amerika Serikat hal ini
dinyatakan sebagai hak “In all criminal prosecutions, the accused
shall enjoy the right…to have the
assistance of counsel for his defense”. Jadi adalah hak yang dilindungi
konstitusi, apabila tidak mampu membayar maka pengadilan dapat menunjuk anggota
Bar Association setempat dan di
beberapa negara bagian terdapat pula Public
Defenders (bukan Public Law Enforcers
! bukan Advokat sebagai Penegak Hukum !) yang didefinisikan sebagai “a local lawyer is placed on the payroll of
the county for the purpose of defending all the people accused of
crimes who do not have the necessary funds to employ legal counsel”.
Apakah ini
berarti juga bahwa profesi Advokat punya monopoli
untuk “mewakili suatu perkara (pidana dan perdata) di pengadilan ? Tidak juga !, dan oleh karena itu pasal
31 UU Advokat, tidak boleh ditafsirkan mencerminkan “verplichte vertegenwoordiging” (kewjiban untuk selalu diwakili/didampingi
advokat di pengadilan).Bantuan seorang advokat di pengadilan adalah hak dan bukan kewajiban. Di Amerika Serikat “the right of self-representation” (hak
untuk mewakili diri sendiri; propria
persona) dinyatakan sebagai berikut: “in
all courts…the parties may plead and manage their own cases personally or by
assistance of counsel”.Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang pasal 31 ini,
yang dinyatakan “tidak punya kekuatan mengikat” haruslah ditafsirkan sesuai
asas propria persona ini.
Jadi kesimpulannya memang kita perlu ada profesi advokat, tetapi keperluannya
tidak sepenting “semua daerah harus ada dokter”.Oleh karena tanpa advokatpun seorang penggugat atau
seorang tersangka/terdakwa dapat berproses di pengadilan. Tentu asumsinya penegak hukum yang sebenarnya (yaitu
polisi dan JPU) serta penegak keadilan (yaitu hakim) memang bekerja
secara profesional (ahli) dan menjunjung tinggi etika masing-masing profesi
dalam memberi keadilan.
B.
MENGAPA ADVOKAT PERLU DIATUR NEGARA ?
Pengalaman Indonesia (dan beberap negara demokratik-semu) selama Orde Baru
(-/+ 30 tahun) memang tidak begitu
baik mengenai hubungan advokat dengan negara. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa
ketika kita punya UU Advokat, banyak suara yang menyayangkan atau tidak setuju.Adapun
alasan mereka yang ingin menjauhkan campurtangan negara terhadap profesi hukum,
menurut saya pribadi, karena masih trauma dengan beberapa kali intervensi
negara terhadap profesi advokat.Tetapi saya pribadi berpendapat adanya UU
Advokat adalah suatu kemajuan besar
untuk profesi advokat di Indonesia. Negara-negara ASEAN
tetangga kita sudah lama punya UU Advokat (Legal Profession Act), Malaysia
tahun 1976, Thailand
1985, Filipina 1986, dan di Singapura undang-undangnya diamendir tahun 1993.
Janganlah
menganggap bahwa aturan-aturan Negara tentang profesi advokat ini pasti akan
mengurangi atau menghambat kemandirian profesi.Seharusnya undang-undang itu
dirumuskan dan ditafsirkan dengan tujuan agar advokat yang mendapat hak /
kewajiban menjalankan profesinya di bawah UU Advokat, akan menjalankan
peranannya secara profesional dalam kerangka supremasi hukum dan di bawah
aturan-aturan etika profesi advokat (within
the rules of law and standards of professional ethics).Sebagai akan
dikemukakan di bawah ini, tujuan di atas dapat disingkatkan menjadi melindungi
masyarakat (asas public interest –kepentingan
publik) dari mal-praktik advokat.
Standar kerja
profesional seorang advokat sekurang-kurangnya dapat dibagi dalam kewajibannya
terhadap masyarakat, pengadilan, sejawat profesi dan para klienya. Dalam
pembukaan KEAI (Kode Etik Advokat Indonesia,2002) dikatakan bahwa advokat
adalah suatu jabatan terhormat (nobile
officium), karena itu padanya terdapat kewajiban berperilaku terhormat (honorable), murah-hati (generous) dan bertanggungjawab (responsible), sebagaimana dapat
disimpulkan dari ungkapan “noblesse oblige”(kedudukan terhormat
membawa kewajiban).
Dengan
diangkatnya seorang sarjana hukum menjadi advokat sesuai UU Advokat, maka ia
menduduki suatu jabatan terhormat (nobile
officium) dengan hak eksklusif, yaitu (a)menyatakan dirinya kepada publik bahwa ia
seorang advokat, (b)dengan begitu berhak memberikan nasihat hukum dan mewakili
kliennya, dan (c)menghadap di muka
sidang pengadilan dalam proses perkara klienya. Serta berkewajiban: (d)menjaga
agar dirinya selalu punya kompetensi pengetahuan yang diperlukan untuk melayani
kliennya, dan menjaga integritas dirinya menjalankan profesi advokat tersebut.
Yang terahir ini menimbulkan lebih lanjut kewajibannya
kepada masyarakat, berupa (e)kesediaan menyingkirkan teman sejawat yang
terbukti tidak layak menjalankan profesi terhormat ini (dalam Asas-asas ABA,1954 dikatakan “to expose the abuses –corrupt or dishonest
conduct in the profession- of which they
know that certain of their brethren are guilty”
Kesimpulannya menurut saya,
memang diperlukan undang-undang dan
campur tangan Negara. Meskipun
keinginan self-governing layak
diperhatikan, namun dalam hal anggota profesi tidak berdaya atau tidak mau
“menyingkirkan teman sejawat” yang tidak layak menjalankan profesi, maka negara wajib bertindak untuk melindungi
publik dari mal-praktek profesi.
Bukankah hal serupa akan juga kita harapkan dari negara dalam hal terbukti ada perbuatan
mal-praktek dari seorang anggota profesi kedokteran (dokter) ?
C.
PERLUKAH ADVOKAT BERHIMPUN DALAM SUATU ORGANISASI ?
Dalam uraian di
atas ditekankan perlunya diperhatikan etika profesi yang berintikan kewajiban
advokat kepada masyarakat. Disamping itu masih ada juga kewajiban advokat
terhadap kliennya. Klien pada umumnya mempunyai kepercayaan penuh, bahwa
advokat akan mewakili dirinya dalam permasalahan hukum yang dihadapinya, dan
akan bekerja profesional untuk kepentingannya, Tentu saja hal ini tidak selalu
benar. Seperti pada profesi-profesi lainnya, tentu ada saja ada advokat yang
“menelantarkan” atau dengan cara lain merugikan kliennya. Dalam dunia advokat
dikenal istilah “the lawyer as a fiduciary”
dan asas “the duty of fidelity”,
kedua-duanya menyatakan hubungan kepercayaan yang penuh antara advokat dan klien
(dari sini pula asas “kewajiban advokat loyal kepada kliennya” dan
“kewjiban advokat memegang rahasia jabatan”(lihat a.l pasal 4 alinea 8
KEAI).
Beberapa asas
lain yang penting diperhatikan dalam hubungan kepercayaan antara advokat dengan
kliennya ini adalah :
(a)”the
duty to give candid advice” , advokat wajib memberi pendapat hukumnya secara
terus-terang (candid) tentang untung-rugi (merits)
perkara yang dihadapi kliennya
dan kemungkinan hasilnya (lihat a.l pasal
4 alinea 2,3 KEAI, agar advokat tidak
memberi keterangan yang
menyesatkan dan menjamin perkaranya akan menang)
(b)”the duty to avoid conflicting interest”,advokat
wajib menolak kasus dari klien yang
akan menimbulkan pertentangan
kepentingan dengan perkara klien yang telah atau
sedang ditanganinya (kewajiban untuk
loyal kepada kliennya berakibat advokat
dilarang menerima kasus baru
yang akan merugikan kepentingan kliennya – dalam
kantor-kantor hukum besar
dengan jumlah advokat banyak, hal ini tidak mudah –
sepengetahuan saya hal ini
belum diatur dalam KEAI)
(c)”the duty to do what ever may enable the
lawyer to succeed in winning his client’s
case,…but
it is to be performed within and not without the bounds of law” (asas ini
melarang advokat melanggar sumpahnya dalam
pasal 4(2) UU Advokat, yaitu
bahwa
advokat akan bertindak jujur,adil,dan bertanggungjawab berdasarkan hukum dan
keadilan, serta tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat
pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan perkara kliennya).
Ketiga contoh asas dalam aturan
etika tentang kewajiban advokat terhadap kliennya ini, hanya sebagian kecil dari
jumlah yang banyak, apalagi kalau ditambah pula pada kewajiban advokat kepada
masyarakat, kepada pengadilan dan kepada sejawat profesi.
Ini harus ditegakkan dan tidak dapat seluruhnya diserahkan kepada negara
(lihat uraian sebelumnya tentang “Mengapa
advokat perlu diatur Negara”). Sekali lagi diingatkan bahwa kewjiban
advokat kepada masyarakat (sebagai public
duty) adalah menyingkirkan
teman-teman sejawat profesinya yang telah mencemarkan kedudukan dan jabatan
advokat sebagai profesi terhormat (officium
nobile).Ini adalah penting untuk menjaga kepercayaan (dan rasa hormat) dari
masyarakat !
Disinilah, menurut saya kesimpulan
pentingnya ada organisasi advokat, yaitu
untuk menjaga “harkat (kemuliaan) dan
martabat (harga diri)” profesi
advokat. Ini adalah tujuan utama dari organisasi advokat yang wajib mendapat
dukungan negara !
Sekedar sebagai contoh
organisasi advokat di negara-negara modern-demokratik dapat diambil Inngris dan
Amerika Serikat. Di Inggris ada
kelompok advokat yang dinamakan “barrister” (dengan hak ekslusif
menghadap di “higher courts”) dan
kelompok advokat yang dinamakan “solicitor” (berhak menghadap hanya
di “lower courts”). Barristers mempunyai organisasi yang kaku, dengan kewajiban pendidikan. seleksi
admisi dan disiplin dalam tangan empat organisasi (Inns of Court), yaitu Lincoln’s
Inn, the Middle Temple, the Inner Temple dan Gray’s
Inn. Masing-masing punya gedung tersendiri di mana para calon (murid) dan
Senior wajib berkantor. Berbeda adalah
para Solicitors, dengan organisasinya
yang dinamakan the Law Society yang
merupakan suatu voluntary association
(tidak semua solicitor jadi anggota),
tetapi berdasarkan undang-undang berhak mengatur dan menjalankan (establishes and administers)
syarat-syarat diterima untuk praktek sebagai solicitor. Dalam hal ada pelangaran etika advokat, maka ada Disciplinary Committee yang merupakan “a separate statutory entity, not part of the
Law Society, but composed of past and present members of the Council of the
Society”, dan mempuyai “the power,
subject to appeal to the courts, to strike a solicitor from the rolls” (mencabut ijin praktek).
Yang ingin saya
tekankan di sini adalah (a) sifat sukarela menjadi anggota asosiasi,dan tidak
perlu ada single-bar (b) tetapi asosiasi
mendapat hak berdasarkan undang-undang untuk menentukan syarat-syarat
memperoleh ijin praktek, (c) adanya komisi disiplin berdasarkan undang-undang,
tetapi mandiri bukan bagian asosiasi (tetapi beranggotakan pengurus lama dan
baru asosiasi), dan (d) adanya hak banding pada pengadilan atas hukuman
disiplin yang dijatuhkan. Kesimpulan
yang jelas dari contoh ini adalah, bahwa kemandirian
organisasi advokat (self-governing) tidak berarti harus tanpa dukungan negara (melalui
undang-undang) dan bantuan pengadilan (untuk banding hukuman disiplin), dan
juga dapat saja seorang warganegara mempunyai ijin praktek tanpa jadi anggota asosiasi advokat.
Menurut saya
tidak jauh berbeda adalah fungsi asosiasi advokat di Amerika Serikat, dikatakan “American
lawyers on the whole, are less organized than either branch of the English
profession … Admission to the bar is controlled by the courts on a state by state basis. Discipline is likewise a judicial function…There are bar
associations on all levels: national, state, and local. Membership in the state
bar associations …and all national and local bar associations are voluntary organizations with no
official power”.
Pada ahirnya
saya harus mengakui bahwa bahan-bahan yang saya pergunakan di atas adalah dari
tahun 1960-an dan 1970-an (ketika saya belajar di Amerika
Serikat), sehingga boleh jadi sudah ada penyempurnaan (amandemen). Namun, kesimpulan yang ingin saya berikan
adalah bahwa ada tradisi di negara modern-demoktatik yang tidak memutlakkan kekuasaan
suatu organisasi advokat. Sehingga kemandirian advokat dapat berjalan damai
tanpa negara (yudikatif, eksekutif dan legislatif)
perlu terlalu banyak campur tangan. Organisasi advokat itu penting dan perlu
untuk menegakkan officium nobile (profesi
terhormat), tetapi justru karena itu
wajib menyadari perlunya organisasi berperilaku noblesse oblige (kedudukan terhormat membawa kewajiban)!
Penutup
Makalah ini
tidak bermaksud menggurui, tidak juga pendapat resmi Komisi Hukum Nasional (KHN).
Katakanlah sekedar rasa-keprhatinan yang mendalam, melihat perkembangan yang
terjadi diantara berbagai organisasi advokat Indonesia. Saya ulangi dengan mengingatkan
kita semua akan peribahasa lama “Ikhtiar menjalani, takdir menyudahi”.
Bagi saya ini bukan fatalisme (menyerah pada nasib), bahkan sebaliknya, kita
harus selalu berikhtiar, namun hasil ahirnya akan selalu merupakan “buah”
ikhtiar (perilaku) kita sediri. Apakah nanti dalam sejarah advokat Indonesia akan
ada suatu “single-bar association”, ataukah “multi-bar
association”, atau suatu “federal-bar
association” tergantung pada ikhtiar kita. Dan saya optimis bahwa beda
pendapat sekarang ini harus dapat diambil hikmahnya,yaitu pada akhirnya akan menguntungkan
perjalanan proses reformasi di bidang “pelayanan hukum” (legal services).
Makalah ini disampaikan 31 Agustus 2010 dalam Diskusi Publik Komisi Hukum Nasional