Pendahuluan
Karena
waktunya sempit untuk menulis karangan baru dan saya bukan ahli dalam masalah
Etika Profesi Hukum, maka saya memakai karangan-lama saya yang pernah saya
sampaikan dalam suatu Kuliah Umum untuk S2-Hukum Universitas Gajah Mada di
Yogya[1].
Karangan-lama ini memang saya pilih karena mengkaitkan etika dengan nilai
anti-korupsi. Menurut saya “etika profesi hukum” juga dapat menjadi dasar untuk suatu “budaya hukum dengan
nilai anti-korupsi” dalam profesi hukum.
Bagaimana kaitannya ?
Karangan-lama saya dimaksudkan untuk mendiskusikan bagaimana universitas dapat “membangun budaya hukum yang menghargai “integritas”, yang intinya adalah
pada: “kejujuran”, “keterbukaan”, dan
“kesediaan bertanggung-jawab” (honesty -
transparency – accountability ).
Menurut
saya seorang yang bekerja dalam salah satu profesi hukum (advokat, jaksa dan
hakim serta notaris) harus mempunyai penghargaan
(memberinya nilai tinggi) atas ketiga sifat-moral atau karakter-moral di
atas. Atas dasar ketiga sifat/karakter di atas dibangunlah “etika profesi”. Menurut saya, etika–profesi ini adalah bagian dari ilmu
tentang ahlak/moral (moral science), yang akan menjadi dasar pemilihan sikap kita yang anti-korupsi ataupun pilihan
kita tentang apa yang baik dan apa yang buruk (merugikan orang lain), dalam
kita menjalankan profesi hukum kita.
Harapan saya adalah bahwa setelah kuliah yang nanti akan Anda ikuti, Anda
dapat menghargai (dapat memberi nilai tinggi) kepada “etika dan tanggungjawab profesi hukum”. Jadi janganlah Anda sekedar
menghafal pasal-pasal Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI 2002). Ketentuan-dalam
suatu Kode Etik akan selalu dirumuskan secara umum, apa yang boleh atau tidak
boleh dilakukan seorang Advokat sering terlalu umum dirumuskan, sehingga sering
sukar dilaksanakan dalam praktek, kecuali bila kita memahaminya sebagai
“kewajiban moral” untuk mengabdi kepada pelayanan-publik ( a moral duty of public service ).-
Apa yang (menurut saya) penting dari
karangan-lama saya ini ?
Suatu
peristiwa menarik (tahun 2014) terjadi di sebuah kota di Polandia, bernama
POZNAN. Di sana sejumlah universitas menyerukan suatu pernyataan yang kemudian
dikenal sebagai Poznan Declaration. Inti-sari deklarasi ini adalah agar di
perguruan tinggi para mahasiswa dibekali
pendidikan yang membantu mereka menghargai etika dan dengan itu bersikap
anti-korupsi.
Pemikiran
dibelakang deklarasi Poznan ini adalah bahwa “kemungkinan besar disfungsi yang terjadi di pemerintahan serta iklim perilaku
anti-sosial yang terjadi dalam masyarakat, akarnya berasal pada para penentu
kebijakan (decision makers ) yang
kebanyakan mendapat pendidikan tinggi di universitas. Karena itu, cara utama membangun
sikap anti-korupsi adalah dengan meneliti untuk menemukan dan menganalisa budaya,
sikap dan perilaku “beracun” (toxic )
ini” (terjemahan bebas – hlm.3 karangan saya ). Yang dimaksud dengan “disfungsi di pemerintahan” dan
“perilaku anti-sosial” adalah
sikap dan perilaku “pejabat pemerintah” yang melanggar etika dan sikapnya
yang tidak mau bertanggungjawab.
Yang
menarik bagi saya, adalah bahwa “dakwaan” ini tidak terdengar dibantah oleh perguruan tinggi, malah dikatakan
“merupakan langkah pertama untuk perguruan tinggi bekerjasama dengan
pemerintah, bisnis dan masyarakat-madani (civil
society) dalam ikut berperang secara global melawan korupsi” (terjemahan
bebas – hlm.3 karangan saya ).
Keadaan
di atas mendapat reaksi dari dua orang
gurubesar, yang pertama Marcus
Tanneberg dari Universitas Gothenburg (yang juga salah seorang perumus
Deklarasi Poznan), yang mengatakan bahwa dalam pelaksanaannya “jangan diharapkan
akan ada “rumusan yang siap-pakai”, tetapi yang diharapkan adalah menginspirasi para pendidik agar mereka
dapat sendiri mengintegrasikan nilai-nilai etika dan anti-korupsi dalam perkuliahan
mereka” (terjemahan bebas – hlm.4 karangan saya ). Gurubesar yang kedua
adalah Matthew Stephenson dari Havard Law School (yang juga Editor
Kepala dari Blog Anti-Korupsi), yang menulis karangan “Can Universities Teach People Not to Be Corrupt ? Reflections on the
Ponzan Declaration”. Beliau
menekankan bahwa yang utama adalah untuk
“menghilangkan korupsi dalam universitas”, karena mahasiswa itu kritis dan
mustahil kita mengajarkan mereka anti-korupsi dalam suasana administrasi
universitas yang korup. Yang dimaksud
oleh beliau sebagai korupsi di universitas adalah: "pay bribes for grades
admission, where cheating and plagiarism are rampant, and where other forms of
corruption and dishonesty are widespread”
(hlm 4-5 karangan saya). Saya mendukung kedua pendapat ini, untuk membangun
suatu komunitas di bidang profesi hukum yang menghargai dan menjalankan
etika-profesi, maka para pendidik/pelatih
profesi hukum haruslah memberi contoh melalui perilaku dirinya, dan tempat
pendidikan/pelatihan itu juga haruslah menjadi contoh bagaimana menghargai dan
melaksanakan etika profesi.
Empat tanggung jawab dan kewajiban seorang
anggota profesi-hukum
Dalam
suatu ceramah 15 tahun yang lalu (pada acara peringatan ulang tahun AAI ke-15 –
28 Juli 2005), saya menyampaikan tentang keempat
kewajiban Advokat ini, yaitu kewajiban
kepada : Masyarakat – Pengadilan – Sejawat
Profesi – dan Klien. Silakan Anda membacanya dari buku saya Menyelaraskan
Pembaruan Hukum, hlm.247 – 255, dalam karangan berjudul “Etika Profesi Menjunjung Kehormatan Advokat”.
Tetapi
ada satu kewajiban yang ingin saya ulas sedikit,
yaitu tentang kewajiban Advokat kepada Klien.
Dalam Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) dikatakan bahwa Advokat adalah profesi
hukum yang terhormat dan diberi istilah “Officium
Mobile”.
Karena
itu Advokat diberi kepercayaan penuh oleh Kliennya, dan hal ini diungkapkan
dalam kalimat “the Lawyer as fiduciary” dan
“the duty of fidelity”. Secara
singkat uraian saya tentang “kewajiban Advokat kepada Klien”, isinya adalah sebagai berikut:
a)Seorang Advokat
wajib berusaha mendapat pengetahuan yang sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya
tentang kasus kliennya. Dia wajib memberikan pendapatnya secara terus terang
tentang perkaranya dan kemungkinan hasilnya
( hal ini berarti bahwa Advokat tidak boleh
memberikan keterangan yang menyesatkan dan tidak boleh menjamin bahwa perkara yang
ditanganinya akan menang );
b)Seorang Advokat
harus menjaga agar dirinya tidak menerima kasus dari klien yang dapat
menimbulkan “konflik kepentingan”( hal
ini terutama harus dijaga dalam kantor hukum yang mempekerjakan sejumlah besar
Advokat – dan juga dalam hal dua atau lebih Klien lama mempunyai kepentingan
dalam perkara yang sama dan kepentingan ini saling bertentangan );
c)Seorang Advokat
wajib menjaga rahasia jabatan (yaitu informasi konfidensial yang diberikan oleh
Klien kepada advokatnya ) ( pertanyaan
yang dapat timbul adalah apakah hal ini tetap berlaku setelah Klien wafat ? Dan
bagaimana dengan informasi konfidensial bahwa Klien telah atau akan melakukan
kejahatan? Dan bagaimana kalau informasi ini mempunyai implikasi tehadap
keamanan publik atau keamanan negara ? );
d)Seorang Advokat
berhak menolak menerima perkara seorang Klien, kecuali atas dasar agama,
politik, atau status sosial. ( Akan
tetapi seorang Advokat tidak dibenarkan melepaskan tugas yang diberikan oleh
Kliennya pada saat tidak menguntungkan posisi Kliennya );
f)Seorang Advokat
harus memperjuangkan dengan segala daya upaya kepentingan Kliennya ( tetapi hal ini tidak berarti bahwa
kepercayaan yang diberikan oleh Klien dapat dilakukan dengan melanggar hukum –
dalam hal ada kemungkinan keraguan, maka dia harus mengikuti hati-nuraninya dan
bukan pendapat atau hati-nurani Kliennya ).-
Catatan :
Meskipun yang saya sampaikan di atas ini adalah banyak tentang etika-profesi
yang perlu diperhatikan seorang Advokat, namun kiranya moral yang terkandung didalamnya,
dalam kenyataannya (ipso facto), dapat pula berlaku untuk profesi lainnya,
seperti Hakim, Penuntut Umum dan Notaris.-
*Disampaikan pada 21 Februari 2020 sebagai Kuliah Pembuka/Pengantar tentang
Etika dan Profesi Hukum di STH Indonesia Jentera - Jakarta.
[1] Mardjono Reksoduputro ,2016,”Penguatan Integritas Mahasiswa Pascasarjana
Dalam Membangun Budaya
Hukum – Dapatkah Universitas Mengajar
Lulusannya Untuk Tidak Melakukan Perilaku Koruptif ? – Catatan untuk
Diskusi “, makalah disampaikan sebagai
pemicu diskusi pada Kuliah Umum Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Gajah Mada, 30 Juli 2016.-