Implikasi Partisipasi Swasta
oleh:Prof.Mardjono Reksodiputro
dan Dr.Surastini Fitriasih[1]
Pengantar
Lembaga Pemasyarakatan (selanjutnya Lapas) mendapat
falsafah baru tentang fungsi penjara di Indonesia, melalui pidato penerimaan
gelar Doktor Honoris Causa Menteri Kehakiman Sahardjo,SH di Istana Negara pada
tahun 1963. Setelah melalui sejumlah tahap pengembangan a.l. melalui tulisan
Koesnoen, SH, Bahrudin Suryobroto dan Waliman,SH dan sejumlah lokakarya yang
diselenggarakan bersama kalangan akademisi dan praktisi,maka terakhir kita
punya UU 1995 No.12 tentang Pemasyarakatan Terpidana untuk menggantikan
peraturan Hindia Belanda (Gestichten Reglement, Staatsblad No. 708 tahun 1917)
tentang kepenjaraan[2].Istilah
“pemasyarakatan” ini, menurut saya, dipilih oleh Dr.Sahardjo sebagai terjemahan
dari istilah dan konsep yang dikenal dalam bahan pustaka kriminologi dengan
kata “resocialization”.
Dalam sejarah “kepenjaraan” jaman Hindia Belanda, maka
penjara-penjara di Indonesia mempunyai “tempat-kerja” atau “bengkel-kerja” bagi
para narapidana (selanjutnya “napi”). Pada waktu itu bengkel-kerja ini
dipergunakan sebagai a)penghasil produk yang akan dipergunakan oleh
kantor-kantor “gubernemen” atau diambil sebagai hasil pertanian/perkebunan dan
pertambangan untuk diekspor, dan b)sekaligus sebagai tempat latihan-kerja napi
untuk mencari penghasilan setelah selesai pidananya.[3]
Semasa konsep pemasyarakatan napi sedang mulai dikembangkan
oleh Kementerian Kehakiman pada waktu itu, maka perlu dicatat adanya dua proyek
untuk sosialisasi konsep baru ini di Indonesia. Pertama, dibukanya “lapas
terbuka di Kalimantan Barat” dan Kedua, adanya pembuatan film dengan judul “Dari
Sangkar ke Sanggar”.[4]
Uraian singkat di atas ini dimaksudkan untuk menguraikan bahwa keinginan
membuat “pidana penjara” lebih manusiawi dan bersifat mendidik sudah berjalan
lama di Indonesia. Tujuan untuk membuka pendidikan khusus petugas
pemasyarakatan melalui Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP – didirikan tahun 1963/1964
) juga adalah dalam rangka politik kriminal ini. Hal ini juga tentunya tidak
lepas dari perkembangan dunia, a.l. PBB yang mensponsori dikeluarkannya
ketentuan tentang “pemberlakuan terhadap napi di lapas”.[5]
Permasalahan dan
Pertanyaan Penelitian
Keadaan Lapas di Indonesia saat ini mengkhawatirkan.
Permasalahannya (statement of the
problem) secara singkat adalah sbb: Pertama, pertambahan penghuni Lapas,
terutama di daerah urban/perkotaan, menyebabkan banyak Lapas di daerah
perkotaan yang “penuh-sesak” (overcrowded)
dihuni napi, sehingga konsep Pemasyarakatan Napi tidak dapat dilaksanakan
dengan baik. Kedua, pembangunan Lapas baru atau pun renovasi Lapas lama
membutuhkan biaya anggaran yang belum mendapat prioritas dalam pembangunan
ekonomi Indonesia, dan ketiga konsep kemitraan antara Pemerintah dan Swasta
diharapkan dapat berjalan juga untuk mengatasi kedua masalah di atas.Yang
terakhir ini dikenal sebagai “swastanisasi
Lapas” dan untuk penelitian sementara ini dapat difokuskan kepada 3 (tiga)
pertanyaan penelitian (research questions):
1)Apakah yang dimaksud
dengan “swastanisasi Lapas” dan bagaimana kaitannya dengan konsep menghukum
pelaku kejahatan dengan “pidana hilang kebebasan” ?;
2)Mengapa terjadi
kelebihan penghuni dan mungkinkah diambil kebijakan menghindari hal ini atau
sekurang-kurangnya meringankan penderitaan napi dalam Lapas ?;
3)Apakah “swastanisasi
Lapas” merupakan solusi terbaik dan apa persyaratannya ?
Selayang Pandang
tentang Prison Privatization
Swastanisasi Lapas bukanlah konsep baru dalam penology (ilmu pengetahuan tentang
pemidanaan). Buku-buku kriminologi sudah membahasnya terutama untuk
pelaksanaannya di Amerika Serikat dan Inggris, dengan berbagai permasalahannya.
Pembahasan tentang kerjasama dalam
pemidanaan antara pemerintah/penegak hukum dengan swasta di Inggris dapat
dibaca dalam bahan pustaka dengan tekanan pada kritik terhadap pelaksanaannya.
Pertama, adanya kemungkinan penyalahgunaan
oleh pihak swasta (exploitation and
mistreatment), kedua tidak efektifnya pengawasan
(oversight) pemerintah terhadap pihak
swasta, dan ketiga, kemungkinan terjadinya korupsi
(penyalahgunaan kekuasaan) antara pejabat pemerintah, petugas pengawasan, petugas Lapas dan pihak swasta. [6]
Pada awal 1970-an politik kriminal untuk melakukan
“swastanisasi” Lapas dilakukan di Inggris pada rumah-tahanan untuk “suspected illegal immigrants” tetapi
kemudian juga dilanjutkan pada tempat tahanan untuk “remand prisoners” (tahanan pengadilan). Namun, sampai tahun 1987
masih ada perbedaan pendapat antara Pemerintah yang tidak menyetujui “privatizing the prisons or handing over the
business of keeping prisoners safe to anyone other than government servants” dengan
DPR Inggris (House of Commons) yang
menyetujui “for private firms to be
allowed to tender for the construction and management of custodial
institutions” (Cavadino, 2003: 230). Tetapi kemudian dalam “the Criminal Justice Bill 1991”, pasal 84 memperluas
kewenangan Pemerintah untuk melibatkan swasta dalam rumah tahanan (remand centers) dan lapas (prisons), yang menghasilkan lapas-lapas
“DCMF” (designed – constructed – managed – financed by the
private sector). Model ini yang kemudian dipergunakan dalam mendirikan
lapas-lapas baru dengan melakukan kerjasama melalui kontrak. Menurut
Cavadino dalam kontrak-kontrak ini “the
private contractors arrange finance to meet the capital cost and only start to
receive payments when the first places become available. Thereafter, the Prison
Service pays a set fee for each available place over a 25-year period” (Cavadino
& Dignan, 2003: 232).
Di Indonesia, kemungkinan partisipasi publik dalam
bidang pemasyarakatan narapidana sebagai suatu kebijakan resmi pemerintah dapat
dilihat dalam kebijakan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata dalam peraturan
No. M.HH-OT.02.02 Tahun 2009,
tentang Cetak Biru Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan dengan
Lampiran sepanjang 183 halaman, yang terbagi atas 10 Bab. Dalam Bab IX tentang
Manajemen Perubahan Sistem Pemasyarakatan terdapat sub-bab no.7 tentang Kemitraan.
Perlunya kemitraan dilihat sebagai sarana menunjang perubahan yang dituju dalam
peraturan tersebut. Dikatakan :”Selain membantu dari aspek pembiayaan,
kemitraan juga menunjang perumusan strategi yang lebih efektif”
(Per.Men.02.02/2009: 174). Meskipun kebijakan ini sudah berumur 10 tahun, namun,
partisipasi publik seperti digambarkan di atas di Inggris, dengan kerjasama
melalui kontrak, belum terlihat
dilakukan di Indonesia (observasi tahun 2019).
Sedikit tentang Pidana
Kehilangan Kebebasan
Bila melihat kepada media massa, maka sikap masyarakat
Indonesia dewasa ini dengan dukungan kebijakan kriminal pemerintah adalah “highly punitive” dengan dasar “law and order ideology”. Strategi
menghadapi kejahatan ini terutama ditujukan kepada tindak pidana korupsi,
tindak pidana narkotika dan tindak pidana terorisme. Namun, strategi dengan “general deterrence” sebagai pembenaran
pemidanaan ini dalam prakteknya juga ditujukan kepada kejahatan dan pelanggaran
hukum lainnya. Rancangan KUHP Nasional telah mencoba untuk mengurangi pidana
kehilangan kemerdekaan (pidana penjara) dengan menekankan pada pidana
alternatif, antara lain pidana denda. Namun, dengan lambatnya pembicaraan
tentang RKUHP ini di DPR, maka pidana penjara masih merupakan pidana–utama yang
dijatuhkan oleh pengadilan-pengadilan di Indonesia. Kalau mau dikaji secara jujur,
maka praktek pelaksanaan pidana penjara dewasa ini belumlah sejalan dengan
konsep “Pemasyarakatan Narapidana Sahardjo”. Dengan menjalankan konsep Sahardjo
yang tidak menghendaki Lapas menjadi “sekolah tinggi kejahatan” dan berpegang
pada prinsip “negara tidak berhak membuat narapidana menjadi lebih buruk
sifatnya, dibanding sebelum dijatuhi pidana penjara”, maka kebijakan kriminal
yang dianut haruslah “to protect and uphold the human rights of
offenders, victims and potential
victims of crime” (Cavadino & Dignan 2003: 5-6). Dengan memperhatikan
tujuan pidana penjara yaitu mengembalikan narapidana ke dalam masyarakat
sebagai “law-abiding citizens”, maka
program latihan kerja dalam Lapas dan Community
Based Corrections haruslah utama.[7]
Overcrowded (Kelebihan Penghuni) dalam Lapas di Indonesia
Dari laporan-laporan di media massa diketahui bahwa
banyak lapas-lapas di kota-kota besar telah mengalami kelebihan penghuni
narapidana.[8]
Jumlah seluruh penghuni di Lapas-lapas di Indonesia per September 2014 adalah
159.704 orang (narapidana: 110.035 dan tahanan: 49.669), yang terbagi lagi atas
Dewasa Pria: 147.031, Dewasa Wanita: 8.226, Anak Pria: 4.369 dan Anak Wanita:
78.[9]
Kelebihan penghuni ini disebabkan tingginya jumlah populasi Lapas, karena
“kiriman” dari Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan, sedangkan fasilitas yang
tersedia tidak cukup untuk menampung jumlah tersebut.
Lapas-lapas di Indonesia sebagian besar adalah warisan
jaman Hindia Belanda dan karena itu fasilitasnya juga sudah tidak memadai lagi,
apalagi kalau terjadi “overcrowding”.
Dengan kelebihan penghuni ini, ditambah dengan fasilitas yang tidak memadai
lagi, ada kemungkinan pula terdapat penambahan beban-kerja karena kekurangan
petugas pemasyarakatan (understaffing)
dan hal ini dapat menimbulkan pula “keresahan” pada petugas. Dengan kondisi
seperti ini maka kemungkinan terjadi pelangaran disiplin ataupun pelanggaran
hukum menjadi lebih besar. Pelanggaran seperti pemilikan dan penggunaan HP,
Narkoba, dan barang-barang terlarang lainnya lebih mudah terjadi. Juga
kemungkinan perkelahian dan kerusuhan antar narapidana menjadi lebih besar pula.
Dan tentunya kemungkinan larinya narapidana dari Lapas.
Penjara Terbuka untuk
Napi dengan “Keamanan Minimum”
Dengan mengutamakan “to protect and uphold the human rights of offenders” dalam politik
atau kebijakan kriminal negara, maka Pemerintah seharusnya dapat mulai
melaksanakan “penjara terbuka" (open
prisons). Pembangunan Lapas-lapas terbuka akan lebih murah dan dapat dipergunakan
untuk menampung “kelebihan penghuni” dari lapas-lapas disekitarnya. Tentunya
penghuni lapas-lapas terbuka ini adalah para narapidana yang termasuk “berisiko-kecil
akan melarikan diri” dari lapas atau napi yang perlu pengawasan keamanan
minimum (minimum security prisoners).
Apabila lapas menyediakan program pendidikan dan program latihan kerja yang
baik dan bermanfaat bagi napi, maka dapatlah diharapkan akan adanya insentif
bagi napi untuk menyelesaikan “tanggungjawab pidananya” dan tidak melarikan
diri.
Lapas-terbuka juga adalah lebih manusiawi dan
memberikan kepada napi juga rasa harga-diri kembali. Kenyon J.Scudder yang
memimpin sebuah Lapas terbuka di Amerika Serikat, mengatakan bahwa falsafah
yang harus dianut oleh para petugas dari Lapas-terbuka ini adalah “prisoners are people and that they must be
returned to society wirh a better attitude than when they entered prison, that
they must be taught the dignity of honest work, given the opportunity to
acquire new skills by which they may make an honest living and stay out of
trouble”[10].Dikatakannya
pula, adalah keliru pendapat bahwa dengan menghukum seseorang dalam penjara
dengan tembok-tembok tinggi, maka dia akan pasti bertaubat. Ada kemungkinan dia akan keluar dari lapas dengan rasa marah
dan benci terhadap masyarakat yang telah “mengurung”nya tanpa memberi dia
kesempatan untuk memperbaiki nasibnya. Sikapnya kemudian terhadap masyarakat di
mana dia harus kembali, akan banyak tergantung pada bagaimana dia merasa
diperlakukan di dalam lapas.
Swastanisasi Lapas (Penjara)
Terbuka
Dengan minimnya anggaran yang mungkin akan diperoleh
dari Pemerintah untuk membangun lapas-lapas baru dengan model bangunan dengan
tembok tinggi dan pengamanan yang ketat untuk menghindari pelarian napi, maka
adalah suatu kesempatan untuk mengajak swasta berpartisipasi dalam bidang
pemasyarakatan narapidana. Swasta yang merupakan perusahaan komersial tentunya
mengharapkan adanya keuntungan dari partisipasi ini.Sebagai percobaan dalam pembangunan dan
pengelolaan Lapas, maka disarankan
untuk memulai kerjasama dengan perusahaan swasta atau BUMD di bidang pertanian
dan perkebunan.
Kerjasama ini dilakukan dengan kontrak (mungkin dengan
model “build-operate-transfer” - BOT),
yang secara rinci menguraikan hak dan kewajiban masing-masing pihak
(Kementerian Hukum dan HAM serta Perusahaan Swasta). Secara garis besar
Perjanjian (Kontrak) kerjasama ini memuat (A) tentang Bangunan Lapas dan
fasilitas bekerja untuk napi, (B) tentang Narapidana dalam Lapas, (C) tentang
Pengelolaan (management) Lapas, (D)
tentang Petugas Pemasyarakatan dan Staf Perusahaan, dan (E) tentang Keuangan.
Bangunan Lapas (A) dapat merupakan bangunan lama yang
direnovasi menjadi Lapas-Terbuka atau dapat merupakan lapas baru yang dibangun
serupa dengan “asrama TNI”.Fasilitas kerja dapat berupa bengkel-kerja di dalam
atau di luar lapas atau merupakan lahan pertanian atau perkebunan milik
perusahaan swasta. Narapidana dalam
Lapas (B) akan mengikuti peraturan disiplin yang sekarang berlaku di lapas (atau
bagian dari lapas) dengan “minimum
security”, dan mereka tetap memperoleh hak dan kewajiban sesuai peraturan
yang ada.Kewajiban mereka adalah bekerja di fasilitas yang disediakan
perusahaan swasta dan untuk itu mereka mendapat “upah” yang memenuhi ketentuan
dari Kementerian Tenaga Kerja-uang tersebut dimasukkan dalam tabungan yang
dikelola bank pemerintah. Pengelolaan lapas terbuka (C) tetap berada ditangan
Ditjen Pemasyarakatan dengan Kepala lapas yang diangkat oleh MenKumHam dan
merupakan Aparat Sipil Negara. Bengkel-kerja dan Pertanian serta Perkebunan
yang merupakan milik perusahaan swasta tetap dikelola secara mandiri dengan
para napi bekerja di bawah pengawasan bersama Petugas Pemasyarakatan dan Staf
Perusahaan. Petugas Pemasyarakatan yang dipilih bekerja di Lapas-terbuka (D)
harus melalui seleksi dan pelatihan khusus, begitu pula anggota Staf Perusahaan
harus diseleksi dan dilatih khusus dalam membimbing dan mengawasi narapidana
yang bekerja di bagiannya.Tentang keuangan (E) diperlukan peraturan khusus
bilamana terjadi kontrak dengan model BOT, penambahan gaji Petugas
Pemasyarakatan dan pengaturan gaji narapidana yang bekerja pada Perusahaan
dilakukan dengan pengawasan Kementerian Keuangan.
Swastanisasi Lapas
Solusi atau “Kotak Pandora” ?
Cavadino dan Dignan mengingatkan adanya tiga
kemungkinan utama yang dapat menggagalkan kerjasama Lapas dengan perusahaan
swasta. Pertama adalah “penyalahgunaan kekuasaan”, kedua adalah “tidak
efektifnya pengawasan” dan ketiga adalah “korupsi”. Terlalu luas untuk
menguraikan ketiga hal ini, cukup dengan mengatakan bahwa ketiga hal ini memang
dapat menjadi “batu sandung” di bidang “management”,
bagi kerjasama dalam suatu “joint
venture” yang diharapkan menguntungkan kedua belah pihak (mitra kerjasama).
Yang berbeda dengan kerjasama dalam usaha bisnis umum adalah di sini “tenaga
kerja” tidak bebas dan lingkungan di
mana kerjasama ini berlangsung belum tentu “mendukung”. Kemungkinan ada napi
yang melarikan diri dari lapas-terbuka memang harus diantisipasi, namun hal itu
jangan sampai menggangu falsafah lapas-terbuka yang didasarkan atas rasa
penghormatan pada individu dan saling mempercayai. Begitu juga rasa cemas
lingkungan terhadap kemungkinan seorang napi melarikan diri dan “mengulang
kejahatannya” di lingkungan tersebut, tentu harus pula diperhatikan. Karena
itu, sering pula dikatakan, bahwa menyelenggarakan lapas- terbuka ditengah
masyarakat akan serupa dengan membuka suatu “kotak Pandora”. Artinya, akan timbul berbagai masalah yang tidak
mudah diselesaikan, apalagi sekarang dengan adanya mitra-kerja berupa
perusahaan swasta akan timbul pula benturan kepentingan dengan tenaga kerja
penduduk di sekitar lapas-terbuka tersebut.
Penutup: Kesimpulan dan
Saran
Dengan memperhatikan permasalahan dan pertanyaan
penelitian pada awal makalah ini, akan diambil kesimpulan sebagai berikut:
1)Swastanisasi lapas adalah suatu “joint venture” (selanjutnya “J-V” )antara
Kementerian Hukum dan HAM dengan pihak swasta, khususnya perusahaan swasta,
untuk mengelola bersama suatu lapas-terbuka. Mengapa lapas-terbuka ? Karena
kerjasama dalam bentuk “J-V” ini
membutuhkan bantuan dana dari pihak swasta untuk “merenovasi” bangunan lapas
lama atau membangun lapas-lapas baru, untuk menambah daya-tampung lapas untuk
napi yang mendapat “pidana hilang kebebasan”. Sebagai lapas-terbuka diharapkan
biaya renovasi atau pembangunan baru akan lebih murah, sehingga perusahaan
swasta yang harus investasi lebih tertarik.
2)Kelebihan penghuni yang terjadi sekarang adalah
karena lapas-lapas yang ada sebagian besar adalah lapas lama yang dibangun
berdasarkan falsafah Reglemen Kepenjaraan 1917 Hindia Belanda (lebih dari 100
tahun yang lalu). Kalau kita konsekuen menerapkan Konsep Pemasyarakatan
Narapidana dari Sahardjo 1963 (46 tahun yang lalu) melalui UU 12/1995 (24 tahun
yang lalu), maka lapas-lapas tersebut sudah tidak layak untuk program-program
pembinaan napi untuk memungkinkan mereka berintegrasi kembali ke dalam
masyarakat. Kelebihan penghuni ini juga disebabkan kebijakan kriminal yang
dipakai di Indonesia adalah “highly
punitive approach” yang menggantungkan diri pada “pidana hilang kebebasan”.
3)Untuk kondisi Indonesia masa kini, dengan minimnya
anggaran yang dapat disediakan untuk pembangunan lapas-lapas baru dan tidak
mudahnya mengubah kebijakan kriminal yang dianut negara dan masyarakat umum (general public), maka “swastanisasi
lapas-terbuka” memang masih akan
merupakan
solusi terbaik. Memang untuk memulai “pembaruan/reformasi” di bidang
pemasyarakatan narapidana di Indonesia tidak mudah. Diperlukan “kemauan
politik” yang kuat (seperti untuk pemberantasan korupsi) dan adanya Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan yang tangguh dan didukung oleh organisasi masyarakat
(seperti dukungan terhadap KPK). Buku “Refleksi 50 Tahun Sistem Pemasyarakatan
(Narapidana) – Anatomi Permasalahan dan Upaya Mengatasinya” yang disusun tahun
2015, seharusnya menjadi awal dari suatu perjuangan reformasi ! SARAN-nya:
Mulailah dengan hati-hati, tetapi dengan tekad yang kuat bahwa swastanisasi
lapas-terbuka di Indonesia bertujuan :”to
protect and uphold the human rights of offenders, victims and potential victims
of crime”.
*Makalah ini disampaikan dalam “Seminar Reformasi Fungsi Lembaga Pemasyarakatan Sebagai Institusi Pembinaan Terpidana”
Pusat Kajian Lembaga Pemasyarakatan – Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia
Jakarta, 6 Maret 2019
Daftar Pustaka:
Aranoval, M.Ali, “Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan
Pemasyarakatan” dalam Hasanudin Massaile dkk,(2015) Refleksi 50 Tahun Sistem Pemasyarakatan – Anatomi Permasalahan dan
Upaya Mengatasinya, Jakarta: Center for Detention Studies.
Cavadino, Michael &James Dignan (2003), The Penal System – An Introduction (A Brief History of Prison Privatization).Third
Edition, SAGE Publications.
Kenyon J.Scudder (1952), Prisoners Are People, Garden City N.Y.: Doubleday & Company
Mardjaman
dkk, “Perlindungan
dan Penghormatan Hak Pelanggar Hukum” dalam Hasanudin Massaile dkk (2015), Refleksi
50 Tahun Sistem Pemasyarakatan – Anatomi Permasalahan dan Upaya Mengatasinya, Jakarta:
Center for Detention Studies.
Sudirman,
Dindin Sudirman “Permasalahan Yang
Dihadapi Pemasyarakatan” dalam Hasanudin
Massaile dkk (2015), Refleksi 50 Tahun
Sistem Pemasyarakatan – Anatomi Permasalahan dan Upaya Mengatasinya, Jakarta:
Center for Detention Studies.
[1]Garis-besar
Makalah dibuat oleh Prof.Mardjono Reksodiputro dan dikembangkan oleh
Dr.Surastini Fitriasih, yang juga melakukan penelitian bahan pustaka dan
diskusi.
[2]
Ada pendapat bahwa asal kata “penjara” adalah dari kata “jera” (lihat Kamus
Besar Bah.Ind);
[3]
Kata “gubernemen” dipakai untuk pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia.
Menurut informasi lisan dari Bpk Koesnoen,Bahrudin Suryobroto dan Waliman
kepada MR (pada sekitar tahun 1962), maka Lapas Cipinang (Jakarta) dan Lapas
Kalisosok (Surabaya) menghasilkan “perabot kayu untuk kantor”, Lapas Sukamiskin
dan Lapas Tangerang menghasilkan produk pertanian, serta Lapas Sawahlunto
(Sumatera Barat) menghasilkan batu-bara.
[4]
Lapas Terbuka di Air Itam Kalbar dibuka oleh Direktur Jendral Pemasyarakatan
Bahrudin Suryobroto dan film sosialisasi dibuat semasa DirJen Ibnu Susanto – sedangkan Direktur Waliman adalah “sponsor” pemasyarakatan napi pemuda di
Tangerang dengan konsep lahan pertanian.
[5]Kongres
PBB di Jenewa, yang menghasilkan keputusan Standard
Minimum Rules for the Treatment of Prisoners dalam UN Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders
ke-1 tahun 1955 – sering disingkat SMR .
[6]
Michael Cavadino & James Dignan (2003),The
Penal System – An Introduction.Third Edition, hlm.229 - 234 (A Brief History of Prison Privatization),
SAGE Publications
[7]
Lihat juga M.Ali Aranoval “Partisipasi
Masyarakat Dalam Pelaksanaan Pemasyarakatan” dalam Hasanudin Massaile
dkk,(2015) Refleksi 50 Tahun Sistem Pemasyarakatan
– Anatomi Permasalahan dan Upaya Mengatasinya, Jakarta: Center for
Detention Studies, hlm.187 -193
[8]
Mardjaman dkk “Perlindungan dan
Penghormatan Hak Pelanggar Hukum” dalam Hasanudin Massaile dkk (2015) op.cit. hlm 240
[9]
Dindin Sudirman “Permasalahan Yang
Dihadapi Pemasyarakatan” dalam Hasanudin
Massaile dkk (2015),0p.cit. hlm.163
[10]
Kenyon J.Scudder (1952), Prisoners Are
People, Garden City N.Y.: Doubleday & Company, hlm.5