NOTA BENE[1]
Menelisik[2]
sistem pemidanaan di Indonesia
Indonesia
pada waktu ini dihadapi pada reformasi di bidang hukum, tidak saja tentang
norma hukum, tetapi juga penafsiran tentang pelaksanaan atau penegakan norma
tersebut. Misalnya saja tentang grasi yang memang merupakan hak prerogatif
Presiden. Tetapi tentunya permintaan grasi oleh Terpidana ini, setiap kali
harus dipertimbangkan (diterima atau ditolak) dengan memperhatikan pendapat
Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung dan Kementerian Hukum dan HAM (mereka masing-masing
tentunya punya alasan-alasan sendiri). Tetapi bagaimana kalau Presiden sudah
terlebih dahulu menyatakan di muka umum akan selalu menolak permintaan grasi
dari Terpidana Mati kasus Narkoba ?
Menurut saya ini adalah kekeliruan fatal dalam menafsirkan hak prerogatif
Presiden dalam pemberian grasi (dalam arti peringanan hukuman).Presiden disini
telah mengubah undang-undang tentang grasi. Lain lagi adalah diterbitkannya
Perpu tentang pemidanaan dengan cara “kebiri” (dalam hal ini yang dikenal sebagai
“kastrasi kimiawi”) untuk Terpidana
kejahatan seksual terhadap anak. Perpu ini masih akan diperdebatkan di DPR.
Tetapi apakah pemidanaan seperti ini tidak melanggar harkat,martabat dan kodrat
seorang manusia (meskipun telah melakukan perbuatan yang sangat tercela) ?
Masih dalam menelisik sistem pemidanaan di Indonesia, baru-baru ini media massa
melaporkan adanya gagasan pemerintah untuk menghilangkan pemidanaan dalam
bentuk pemenjaraan (pidana hilang kebebasan) bagi para Terpidana delik korupsi. Gagasan ini rupanya merupakan tanggapan
atas permintaan Presiden agar pejabat daerah yang dituduh membuat kebijakan
yang dapat dianggap “tindak pidana korupsi”, tidak dimintakan pidana penjara
oleh Jaksa/Penuntut Umum. Kalau tidak keliru, permintaan Presiden ini dilakukan
dengan mengingat laporan masih banyaknya anggaran Pemda yang belum dibelanjakan/terserap,
karena pejabat yang bersangkutan “takut dituduh korupsi”. Dari informasi yang
saya terima, masalah ini adalah berkaitan dengan kadang-kadang perlunya pejabat
daerah melakukan “kebijakan-diskresi”, dan boleh jadi ini akan dianggap
“merugikan keuangan negara” oleh aparat penegak hukum (Kepolisian.Kejaksaan dan
KPK). Bagaimana kita harus menanggapi ini semua ?
Pengertian
hukum pidana tentang pemidanaan perlu diperhatikan. Memang semua perbuatan yang
melanggar norma dalam hukum pidana akan diberi sanksi (sanctie). Pengertian sanksi ini amat luas dan salah satunya adalah
sanksi pidana (ada pula sanksi perdata dan sanksi administratif). Pada sanksi
pidana dikatakan tujuannya adalah pencegahan (prevensi-khusus dan prevensi-umum),
tetapi ada juga pendapat bahwa sanksi pidana ini adalah “pembalasan” terhadap
kesalahan pelaku, dan ini dapat bersifat subyektif (kesalahan moral) ataupun
obyektif (kesalahan hukum/yuridis).Tetap menegakkan hukuman mati berarti kita
melihatnya sebagai pembalasan terhadap kesalahan moral pelaku, serta melihatnya
pula sebagai pencegahan umum (mengharapkan umum akan takut melakukan perbuatan
tersebut). Dalam hal diberikan hukuman penjara untuk waktu tertentu (meskipun
seumur hidup), maka kita masih dapat melihatnya sebagai prevensi-khusus dengan
mengharapkan pula yang bersangkutan akan “bertobat” dan mengubah kelakuannya. Bagaimana
sekarang dengan hukuman “kastrasi kimiawi”?Disini perdebatannya adalah apakah
disini terdapat kesalahan moral pelaku ?Ada yang berpendapat bahwa ini adalah
kodrat dari Tuhan Yang Maha Kuasa (sama seperti sifat homoseksual), tetapi
tetap pada pelaku ada kesalahan hukum/yuridis, apabila ada pemaksaan atau
penipuan. Hukuman penjara mungkin lebih bermanfaat disini, untuk dapat
mengubahnya menghormati hukum. Bagaimana pula dengan menghilangkan hukuman
penjara bagi kesalahan membuat kebijakan yang kemudian merugikan keuangan
negara. Disini yang dipermasalahkan adalah kebijakan yang bersifat diskresi[3].
Dan karena itu permintaan Presiden harus ditafsirkan, jangan membuat suatu
kebijakan yang bersifat diskresi menjadi suatu kejahatan dengan sanksi pidana,
tetapi berilah sanksi perdata atau sanksi administratif. Tentu yang dimaksud Presiden
adalah diskresi yang dibuat dengan ikhtikad baik (te goede trouw), yang merupakan kekeliruan hingga merugikan negara.
Bagaimana kalau tidak ada kerugian keuangan Negara? Ya, tentu juga tidak dapat
diberikan sanksi perdata berupa penggantian kerugian atau sanksi administratif
berupa pemulihan kerugian.Reformasi hukum ini sebenarnya bukanlah melalui
peraturan, tetapi melalui putusan hakim (PN,PT atau MA) yang bijaksana dan
cendekia, dan dimuat di dalam argumentasi hukum (motivering) putusannya. Sayang di Indonesia hal ini amat jarang
terjadi, juga dalam putusan Hakim Agung!
*Diterbitkan dalam Jurnal SELISIK dari Program Magister Hukum Universitas Pancasila.
*Diterbitkan dalam Jurnal SELISIK dari Program Magister Hukum Universitas Pancasila.
[1] Dalam KBBI Edisi Keempat, istilah bahasa Latin ini diberi arti
:”Catatan Tambahan” atau “Peringatan”; dalam bahasa Inggris diartikan “Please Note” dan bahasa Belanda “Let Wel”
[2] Selisik berarti “singkap”; menelisik berarti menyingkap atau
menyelidiki (KBBI Edisi Keempat)
[3] Diskresi pernah dipermisalkan sebagai “the hole in the doughnut”, kekosongan peraturan hukum dalam
menyelesaikan masalah dengan cara membuat suatu kebijakan tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar