Senin, 08 Agustus 2016

Notabene - Menelisik sistem pemidanaan di Indonesia*


NOTA BENE[1]
Menelisik[2] sistem pemidanaan di Indonesia


Indonesia pada waktu ini dihadapi pada reformasi di bidang hukum, tidak saja tentang norma hukum, tetapi juga penafsiran tentang pelaksanaan atau penegakan norma tersebut. Misalnya saja tentang grasi yang memang merupakan hak prerogatif Presiden. Tetapi tentunya permintaan grasi oleh Terpidana ini, setiap kali harus dipertimbangkan (diterima atau ditolak) dengan memperhatikan pendapat Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung dan Kementerian Hukum dan HAM (mereka masing-masing tentunya punya alasan-alasan sendiri). Tetapi bagaimana kalau Presiden sudah terlebih dahulu menyatakan di muka umum akan selalu menolak permintaan grasi dari Terpidana Mati kasus Narkoba ? Menurut saya ini adalah kekeliruan fatal dalam menafsirkan hak prerogatif Presiden dalam pemberian grasi (dalam arti peringanan hukuman).Presiden disini telah mengubah undang-undang tentang grasi. Lain lagi adalah diterbitkannya Perpu tentang pemidanaan dengan cara “kebiri” (dalam hal ini yang dikenal sebagai “kastrasi kimiawi”) untuk Terpidana kejahatan seksual terhadap anak. Perpu ini masih akan diperdebatkan di DPR. Tetapi apakah pemidanaan seperti ini tidak melanggar harkat,martabat dan kodrat seorang manusia (meskipun telah melakukan perbuatan yang sangat tercela) ? Masih dalam menelisik sistem pemidanaan di Indonesia, baru-baru ini media massa melaporkan adanya gagasan pemerintah untuk menghilangkan pemidanaan dalam bentuk pemenjaraan (pidana hilang kebebasan) bagi para Terpidana delik korupsi. Gagasan ini rupanya merupakan tanggapan atas permintaan Presiden agar pejabat daerah yang dituduh membuat kebijakan yang dapat dianggap “tindak pidana korupsi”, tidak dimintakan pidana penjara oleh Jaksa/Penuntut Umum. Kalau tidak keliru, permintaan Presiden ini dilakukan dengan mengingat laporan masih banyaknya anggaran Pemda yang belum dibelanjakan/terserap, karena pejabat yang bersangkutan “takut dituduh korupsi”. Dari informasi yang saya terima, masalah ini adalah berkaitan dengan kadang-kadang perlunya pejabat daerah melakukan “kebijakan-diskresi”, dan boleh jadi ini akan dianggap “merugikan keuangan negara” oleh aparat penegak hukum (Kepolisian.Kejaksaan dan KPK). Bagaimana kita harus menanggapi ini semua ?


Pengertian hukum pidana tentang pemidanaan perlu diperhatikan. Memang semua perbuatan yang melanggar norma dalam hukum pidana akan diberi sanksi (sanctie). Pengertian sanksi ini amat luas dan salah satunya adalah sanksi pidana (ada pula sanksi perdata dan sanksi administratif). Pada sanksi pidana dikatakan tujuannya adalah pencegahan (prevensi-khusus dan prevensi-umum), tetapi ada juga pendapat bahwa sanksi pidana ini adalah “pembalasan” terhadap kesalahan pelaku, dan ini dapat bersifat subyektif (kesalahan moral) ataupun obyektif (kesalahan hukum/yuridis).Tetap menegakkan hukuman mati berarti kita melihatnya sebagai pembalasan terhadap kesalahan moral pelaku, serta melihatnya pula sebagai pencegahan umum (mengharapkan umum akan takut melakukan perbuatan tersebut). Dalam hal diberikan hukuman penjara untuk waktu tertentu (meskipun seumur hidup), maka kita masih dapat melihatnya sebagai prevensi-khusus dengan mengharapkan pula yang bersangkutan akan “bertobat” dan mengubah kelakuannya. Bagaimana sekarang dengan hukuman “kastrasi kimiawi”?Disini perdebatannya adalah apakah disini terdapat kesalahan moral pelaku ?Ada yang berpendapat bahwa ini adalah kodrat dari Tuhan Yang Maha Kuasa (sama seperti sifat homoseksual), tetapi tetap pada pelaku ada kesalahan hukum/yuridis, apabila ada pemaksaan atau penipuan. Hukuman penjara mungkin lebih bermanfaat disini, untuk dapat mengubahnya menghormati hukum. Bagaimana pula dengan menghilangkan hukuman penjara bagi kesalahan membuat kebijakan yang kemudian merugikan keuangan negara. Disini yang dipermasalahkan adalah kebijakan yang bersifat diskresi[3]. Dan karena itu permintaan Presiden harus ditafsirkan, jangan membuat suatu kebijakan yang bersifat diskresi menjadi suatu kejahatan dengan sanksi pidana, tetapi berilah sanksi perdata atau sanksi administratif. Tentu yang dimaksud Presiden adalah diskresi yang dibuat dengan ikhtikad baik (te goede trouw), yang merupakan kekeliruan hingga merugikan negara. Bagaimana kalau tidak ada kerugian keuangan Negara? Ya, tentu juga tidak dapat diberikan sanksi perdata berupa penggantian kerugian atau sanksi administratif berupa pemulihan kerugian.Reformasi hukum ini sebenarnya bukanlah melalui peraturan, tetapi melalui putusan hakim (PN,PT atau MA) yang bijaksana dan cendekia, dan dimuat di dalam argumentasi hukum (motivering) putusannya. Sayang di Indonesia hal ini amat jarang terjadi, juga dalam putusan Hakim Agung!


*Diterbitkan dalam Jurnal SELISIK dari Program Magister Hukum Universitas Pancasila.



[1] Dalam KBBI Edisi Keempat, istilah bahasa Latin ini diberi arti :”Catatan Tambahan” atau “Peringatan”; dalam bahasa Inggris diartikan “Please Note” dan bahasa Belanda “Let Wel”
[2] Selisik berarti “singkap”; menelisik berarti menyingkap atau menyelidiki (KBBI Edisi Keempat)
[3] Diskresi pernah dipermisalkan sebagai “the hole in the doughnut”, kekosongan peraturan hukum dalam menyelesaikan masalah dengan cara membuat suatu kebijakan tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar