(Dapatkah Universitas Mengajar
Lulusannya Untuk
Tidak Melakukan Perilaku Koruptif ?- Catatan untuk
Diskusi)
Pengantar
Judul
utama merujuk kepada Tema yang diberikan Prof. Eddy O.S. Hiariej kepada saya
tanggal 1 Juli 2016, namun aslinya memakai kata Pancasila pada akhir kalimat. Saya menghilangkannya, karena tidak merasa
kompeten bicara tentang arti ”budaya hukum Pancasila”. Judul di bawahnya adalah
refleksi dan penafsiran saya tentang apa
yang dapat saya lakukan dengan tema tersebut, yang sesuai dengan kemampuan saya (seorang sarjana hukum lulusan 1961
yang tertarik dengan masalah-masalah kriminologi).Tanggal 22 Juli, saya mendapat TOR
acara Kuliah Umum ini, namun saya tidak dapat mengubah makalah agar
sesuai pesan untuk menulis makalah dengan judul “Implikasi Integritas Mahasiswa terhadap Pembangunan Hukum Yang
Pancasilais”. Mohon maaf !
Kalau
kita ingin bicara tentang “integritas”, menurut saya, intinya adalah pada
“kejujuran” (honesty) dan “keterbukaan”
(transparency) serta “kesediaan
bertanggungjawab” (accountability).
Ketiga sifat inilah yang ingin ditanamkam pada para mahasiswa, dengan harapan
akan membangun suatu budaya hukum (legal
culture)[1]
yang mampu “melawan” semua perilaku yang melanggar ketiga sifat moral di atas.
Salah
satu contoh pelanggaran atas ketiga sifat moral
tersebut, menurut saya, terdapat pada perbuatan yang kita kenal sebagai tindak
pidana korupsi (tipikor ). Bagi saya
perbuatan yang menurut UU 20/2001 jo.UU 31/1999 disebut “tipikor”, adalah hanya sebagian
saja dari “perilaku koruptif” (corrupt
behavior). Perilaku koruptif (corruptio
= merusak; menyuap; omkoping-bribery)
adalah pelanggaran moral[2]
dan karena itu bagi profesi hukum pada dasarnya adalah pelanggaran atas etika
profesi, suatu perilaku menyimpang (deviant
behavior) terhadap nilai dan norma profesinya. Pengertian kita tentang
moral atau akhlak (“memilih apa yang benar atau baik, dibandingkan dengan apa
yang salah atau buruk”) tidak mudah dan tidak selalu sama. Bagi saya etika
profesi adalah bagian dari ilmu tentang akhlak (moral science) dan pelanggaran atas etika profesi dapat berupa perbuatan
immoral (misalnya:menipu), tetapi
dapat juga berupa perilaku menyimpang (misalnya:di
bidang seksual).Yang terakhir ini sangat relatif sifatnya dan berlaku ungkapan
“beauty is in the eyes of the beholder”.
Makalah
ini secara tidak langsung memang ingin menuju kepada diskusi tentang usaha
pendidikan hukum di universitas, dengan harapan dapat menghasilkan lulusan yang
taat kepada etika profesi hukum.[3]
Atau dengan kata lain: mendidik lulusan yang taat pada “etika profesi hukum”
dan mempunyai “kepribadian (karakter) anti-korupsi” (dalam arti “tipikor”, dan juga
dalam jabatannya nanti kebal terhadap
penyalahgunaan kekuasaan).
Kesimpulan
-1: Tulisan
ini ingin mengajak berdiskusi, tentang pendidikan universiter di bidang hukum,
yang menghasilkan lulusan yang taat pada etika profesi hukum dan mempunyai
kepribadian “anti-korupsi”. Kepribadian yang “kebal” terhadap berperilaku
menyimpang dari nilai dan norma profesinya. Dengan demikian diharapkan lulusan
ini akan dapat turut membangun suatu budaya hukum yang “anti-korupsi”. Mudah-mudahan makalah ini juga dapat
dipergunakan untuk berdiskusi tentang “Implikasi Integritas Mahasiswa Terhadap
Pembangunan Hukum Yang Pancasilais”.
Poznan Declaration
Pada
tanggal 26 September 2014, di kota
Poznan Polandia, sejumlah wakil universitas
yang bergabung dalam Compostela Group of
Universities (CGU) telah menyerukan
suatu pernyataan tentang pentingnya pendidikan “etika dan anti-korupsi” di
perguruan tinggi. Pernyataan ini dikenal sebagai “Poznan Declaration” yang berintikan “mainstreaming ethics and anti-coruption in higher education”.
Deklarasi ini kemudian segera mendapat dukungan dari World Academy of Art and Science (WAAS), World University Consortium (WUC) dan Transparency International (TI).[4]
Mengarusutamakan (mainstreaming –
menjadikannya cara berpikir yang utama oleh umum) etika dengan sikap
anti-korupsi inilah yang diharapkan dapat dilakukan melalui pendidikan yang
berlangsung di unversitas. Apakah hal ini
memang dapat dilakukan ?Dan bagaimana caranya?
Pemikiran
di belakang deklarasi ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
“It seems likely that
dysfunctional governmental and anti-social market behaviors have their roots in
the value system of decisison makers at various levels, many of whom have been
educated at universities. Key to anti-corruption has been research to expose and analyze such “toxic” cutures, attitudes and
behaviors …”[5]
Deklarasi
ini mendapat banyak reaksi di Eropa, antara lain dikatakan:”…is a first important step for higher
education in joining governments, businesses and civil society in the global
fight against corruption”.[6]
Namun,nada gembira ini dibarengi pula dengan permintaan kehati-hatian seperti dikatakan
oleh Marcus Tannenberg:
“The
substantial endorsements for the Poznan Declaration reflect that there are good
reasons for higher education to take on these challenges. But even as
support is ample, there are difficulties connected to implementation … the
goal is not to deliver a ready-made package, but rather to inspire
educators, so that they themselves can integrate ethics and anti-corruption,
how, and if, they see fit”.[7] (garis-bawah MR).
Reaksi
yang lain (berbeda?) datang dari Matthew Stephenson[8],
yang menulis suatu karangan berjudul “Can
Universities Teach People Not to Be Corrupt ? Reflections on the Poznan
Declaration” . Tulisan ini menarik bagi saya, karena selain mengajukan tiga
argumentasi untuk mendukung permintaan Marcus Tannenberg, untuk tidak
terfokus kepada “a ready made package”
tetapi mencoba “to inspire educators, … integrate
ethics and anti-corruption, how, and if, they seem fit”, tulisan ini
ditutup pula dengan kata-kata sebagai
berikut:
“Finally,
there is one point where I am in 100% agreement with the authors and proponents
of the Ponzan Declaration, and that is the need to act more aggressively to
root out corruption within the universities themselves. As the Poznan
Declaration puts it, universities need to “talk the talk and walk the walk[9]
by ‘ensuring impartiality in teaching, student assessment [and] research[,] and
[ensuring] that matters regarding awards of degrees, employment and promotions
are based on legitimate, transparent and objective criteria’. To my mind, this
should be at the very top of the agenda for university-centered anticorruption
approach, not at the bottom. … Students, especially university students, tend
to be hyper-aware of hypocrisy in all its forms. It‘s hopeless and perhaps even
counterproductive, to push an anti-corruption curriculum in a university where students
regularly pay bribes for grades admission, where cheating and plagiarism are
rampant, and where other forms of corruption and dishonesty are widespread.
Indeed, I would much prefer the Poznan Declaration’s supporters to refocus
their attention and efforts almost entirely on fighting corruption within
the university, rather than trying to use university courses to teach
anticorruption norms…. I tend to think that focusing on fighting corruption
within the education sector will do more to spread anti-corruption norms than
will the creation of anti-corruption courses and curricula”.(Garis-bawah
dari MR).
Kesimpulan
- 2: Pada
tahun 2014 telah terjadi kemajuan
berarti dalam usaha global melawan tatacara sejumlah Negara - yang memerintah
dengan melalui perilaku koruptif para penguasanya -, dengan diumumkannya
“Poznan Declaration” - yang ber-intikan seruan melakukan “mainstreaming
ethics and anti-corruption” dalam pendidikan universiter. Berarti mengajak universitas
turut serta dalam usaha pemerintah, kalangan bisnis dan masyarakat-madani melawan korupsi
di masyarakat. Debat yang terjadi adalah bagaimana caranya, dan pendapat
yang yang perlu kita perhatikan adalah: 1)jangan menharapkan adanya “ready made package”,
tetapi usahakanlah “to inspire the educators”, dan 2)janganlah lupa
bahwa “fighting corruption within the education sector” (dalam
universitas/fakultas kita) lebih berarti dalam menyebarkan nilai dan
norma anti-korupsi, dibandingkan dengan pemberian kuliah/ceramah tentang hal
tersebut.
Namun,ternyata
pendapat ini berbeda dengan
yang rupanya telah dilakukan sebelumnya oleh sejumlah universitas maupun
organisasi anti-korupsi dalam bentuk pendidikan (laporan dibawah ini berasal dari tahun 2013, artinya sebelum Poznan
Declaration) .
Program Pendidikan Anti-korupsi
Ternyata
ada beberapa program pendidikan universiter
yang telah melakukan usaha pengajaran dan
riset di bidang anti-korupsi. Dibawah ini ada beberapa program saja yang
saya kutip dari sumber U4 Anti-Corruption
Resource Centre – “U4 Expert Answer”[10].Antara
lain (Saya kutip aslinya – dengan tambahan catatan sekedarnya) :
1).Academic
anti corruption courses
“Most corruption training
courses provided by universities are integrated into academic programs on
political science, public administration, criminal justice or international
law”. Untuk program S2 dan S3 Hukum, maka
keterangan di atas dapat dimanfaatkan oleh para Dosen yang bersangkutan, namun menurut
saya lebih penting adalah apabila dijadikan suatu usulan penelitian Tesis atau
Disertasi. Beberapa contoh disampaikan di bawah ini. Keterangan U4 lebih
lanjut adalah sebagai berikut:
a)Master in Anti-Corruption Studies (MACS):
Diberikan
oleh International Anti-Corruption
Academy dan dijelaskan: “…aims to
enable professionals in managerial or leadership position to become better-acquainted
with the intertwined manner in which corruption manifest itself, and the social
complexities surrounding it”.
b)Mata
kuliah Corruption, Development, and Good
Governance:
Diberikan
di George Washington University dengan
penjelasan:”…this course aims to help
students to understand the roots of corruption and the variants in different
cultures, evaluates how corruption affects and distorts economic growth, …”
c)MA in Corruption and Governance:
Diberikan
oleh School of Law, Politics and
Sociology, University of Sussex dan diberi penjelasan: “…the Sussex Centre for the Study of Corruption
(SCSC) takes an interdisciplinary approach to analyzing what corruption is,
where and why it flourishes and also what can be done to counteract it”.
d)MSc
Counter Fraud and Counter Corruption
Studies:
Diberikan
oleh Institute of Criminal Justice
Studies, University of Portsmouth dengan penjelasan bahwa pendidikan ini merupakan
postgraduate program untuk memenuhi “growing professionalisation agenda in many
public and private sector organizations to counter fraud and corruption”.
Tujuannya adalah:”… to meet the needs of
these staff to provide a challenging programme of study that enhances the
knowledge and skills of counter fraud and counter corruption staff”.
Selanjutnya
ada pula:
2)Other anti-corruption courses, yang diberikan oleh
sejumlah organisasi-nirlaba, antara
l;ain:
a)U4
Anti-Corruption Online Courses (web-based
courses – based on self-study, group work and written assignments – a minimum
of 30 hours will be needed to complete each course) – info yang diberikan
adalah untuk tahun 2013 Februari s/d
November, dengan 8 online courses:
a-1)Essentials of Anti-Corruption;
a-2)Money in Politics: Curbing corruption in
political finance;
a-3)Corruption in the health sector:
a-4)Corruption in natural resource management;
a-5)Corruption in the education sector;
a-6)Understanding the UN Convention against
Corruption;
a-7)Introducing anti-corruption into sector
work; dan
a-8)In-country Workshops.
b)Global infrastructure
Anti-Corruption Centre (GIACC), menerbitkan:
b-1)GIACC
Online Anti-Corruption Training Module;
b-2)GIACC/TI-UK
Anti-Corruption Training Manual.
(Masih
banyak lagi program yang dapat di akses melalui http://www.U4.no)
Kesimpulan
- 3 :
Contoh
di atas menunjukkan bahwa sebelum Poznan Declaration, kegiatan
pendidikan dan latihan dibidang anti-korupsi sudah diadakan di berbagai
universitas maupun organisasi non-akademik. Bagi saya tidak jelas apakah
program-program di atas telah dipelajari
juga untuk menjadi contoh di Indonesia (misalnya oleh KPK atau Kejaksaan
Agung, yang menurut saya juga harus mengutamakan bidang prevensi dengan melalui
pendidikan di perguruan tinggi, disamping fokus utama sekarang pada represi !).
Diskusi (Beberapa
catatan sementara – untuk diskusi,
sekarang ataupun pada kesempatan lain):
1)Ada
3(tiga) konsep yang secara garis besar harus kita sepakati, yaitu konsep
tentang “moral” sebagai dasar dari “etika profesi” dan “budaya hukum anti-korupsi”, yang akan merupakan sasaran akhir
pendidikan di program Pascasarjana ini. Benarkah
keterkaitan ini ? Ada pertanyaan berikut yang juga sangat mendasar: apabila
kita bertujuan untuk mendidik para mahasiswa untuk berpikiran kritis,
dapatkah kita sekaligus mendidik mereka dengan “mengajarkan mereka apa yang menurut kita adalah nilai-nilai yang
benar” ? (bandingkan dengan sistem penataran Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila yang dilakukan pada tahun 1980an).
2)Kalau
etika profesi adalah suatu kode moral (moral
code) bagi perilaku wajar dalam berbagai interaksi sosial,maka cara
mendidiknya kepada para mahasiswa haruslah melalui percontohan dengan cara
diskusi kasus-kasus nyata yang
terjadi disekitar kita - Benarkah ini?
Dan untuk profesi hukum apakah kasus-kasus nyata dari Pengadilan dapat “disadur” menjadi “kasus-kasus
hipotetis” ? Apakah ini adalah bentuk
“looking into the past (backward looking)”, to build a better future (forward
looking – capacity assessment) ?.
3)Sudah
ada “Kode Etik Advokat Indonesia” (KEAI 2002), sudah ada juga
“Pedoman
Etika dan Perilaku Hakim” yang disusun Komisi Yudisial serta “Pedoman Perilaku
Hakim” (yang mengadopsi Bengalore
Principles) yang disusun Mahkamah Agung (mungkin ada pula Kode Etik
Jaksa/Penuntut Umum??) - Apakah bila ingin
membuat kasus hipotetis (untuk bahan diskusi kuliah) berbagai asas dalam kode
etik ini dapat dimanfaatkan ?.[11]
4)Kalau
kita pergunakan sebagai pedoman adalah pemikiran dari American Bar Association (ABA), maka etika profesi hukum itu
(untuk Advokat) sekurang-kurangnya dapat dibagi dalam 4(empat) kewajiban (obligations) yaitu: kepada Masyarakat (to the Public); kepada Pengadilan (to the Courts); kepada Klien (to His Clients); kepada Sejawat Profesi
(to Other Lawyers) –Apakah untuk keperluan Rencana Pembelajaran
Semester (RPS yang disarankan Pendidikan Tinggi), pembagian ini dapat membantu dalam penyusunan kolom-kolom
“kemampuan akhir”, “bahan kajian”, “bentuk pembelajaran”, dan “metode
pembelajaran” (dan lain-lain) untuk perkuliahan?.
5)KEAI
2002 mempergunakan untuk profesi advokat istilah “officium mobile”,yang mengandung arti adanya kewajiban yang mulia
, serupa dengan kata “noblesse oblige”,
yaitu kewajiban perilaku yang terhormat (honorable),
murah-hati (generous) dan
bertanggungjawab (responsible).
Ciri-ciri di atas, tidak saja berlaku untuk advokat, tetapi untuk
seluruh profesi hukum, yang dapat berupa sebagai hakim, jaksa/penuntut umum dan
juga sebagai dosen dan peneliti. - Apakah
pengajaran tentang “menjunjung kehormatan dan menjaga wibawa profesi hukum”
akan juga menciptakan budaya hukum yang anti-korupsi – suatu budaya hukum yang
Pancasilais ?
Penutup
Tulisan
ini bermaksud menunjukkan bahwa masih ada perdebatan dalam hal adanya gagasan “untuk memperkuat integritas mahasiswa dan
mengajarkan etika di universitas, dengan tujuan membantu terciptanya lulusan
yang dapat memperkuat budaya anti-korupsi”. Menurut saya hal ini antar lain
terjadi karena memang tidak mudah untuk mendapat kesatuan pendapat tentang arti
“budaya hukum anti-korupsi”, yang tidak sekedar pernyataan di bibir (lip-service) saja ! Dalam kaitan ini menarik untuk memperhatikan
berita media massa di Indonesia tentang pernyataan
Presiden Jokowi untuk hati-hati “menkriminalisasi diskresi dalam
kebijakan pejabat pemerintah daerah”.
Juga
menarik adalah bahwa di Amerika Serikat Mahkamah Agung-nya rupanya juga ragu
tentang konsep-hukum perbuatan korupsi, khususnya sehubungan dengan dakwaan bribery kepada seorang pejabat negara
setingkat gubernur negara bagian.[12].
Meskipun demikian, menurut saya, kejadian denial
(penolakan keras) adanya “korupsi
di Pemerintahan Malaysia”[13] dan penolakan keras adanya tanggungjawab
Pemerintah Indonesia dalam tragedi tahun 1965[14],
harus membuat kita sadar bahwa pendidikan di universitas memang harus dapat
membantu berakarnya moral yang berintikan
“kejujuran” – “keterbukaan” - dan “kesediaan bertanggungjawab” pada lulusan
kita, tentang perbuatan dan kebijakan publik dimana mereka (akan) terlibat. Menurut
saya sepantasnya hal ini juga merupakan bagian dari pendidikan ke arah budaya
hukum yang Pancasilais !
*Makalah ini telah disampaikan pada Kuliah Umum
Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada
– 30 Juli 2016.
Bahan
Pustaka:
1)GAB
The Global Anticorruption Blog http://globalanticorruptionblog.com/
2016/03/29/ yang menyatakan: “One of
the purposes of this blog… is to promote the interchange of ideas across
disciplinary boundaries,… between researchers and practitioners”. Yang
merujuk lebih lanjut kepada sejumlah halaman atau URL antara lain tentang The Poznan Declaration.
2)Beberapa
karangan tentang kode etik dalam buku
(kumpulan karangan) Mardjono
Reksodiputro : Menyelaraskan Pembaruan Hukum (tahun 2009) dan Perenungan Perjalanan Reformasi Hukum
(tahun 2013). Keduanya diterbitkan di Jakarta oleh Komisi Hukum Nasional
Republik Indonesia.
[1] Bagi saya “budaya hukum” merujuk kepada perilaku,sikap dan persepsi
terhadap hukum dari masyarakat secara umum atau komunitas tertentu – karena itu hukum
janganlah hanya dipelajarai secara yuridis-normatif dan doktrinal, tetapi harus
juga secara sosiologis.
[2]Pelanggaran moral dapat
saja juga dalam bidang “rumah-tangga”,
seperti selingkuh suami atau istri ataupun perbuatan menelantarkan anak; tetapi dapat juga dalam profesi hukum - ingat ucapan
Lord Acton “power tends to corrupt and
absolute power corrupt absolutely”.
[3]Untuk saya ini adalah “professional legal ethics” yang memuat
“etika yudisial” dan “etika advokat” (JPU termasuk disini, sebagai advokat
Negara); lihat Mardjono
Reksodiputro “Rancangan Peraturan tentang Pedoman Etika dan Perilaku: Menjauhkan Diri dari Yang Haram” (Suatu Pengamatan
Yuridis-Sosial), (2006)
[5]Poznan Declaration 26 September 2014 “Whole-Of-University Promotion of
Social Capital, Health and Development”, diakses melalui http://goo.gl/xIYKNj.
[9]Menurut saya yang dimaksud dengan ungkapan ini adalah consistency (konsekwen)- “talk the talk” berarti melakukan sendiri
juga apa yang dikatakan sebagai nasihat dan
“walk the walk” artinya melakukan sendiri juga apa yang disarankannya untuk
dilaksanakan.
[10]U4 adalah suatu resource centre for development practitioners
who wish to effectively address corruption challenges in their work – dioperasikan oleh Chr. Michelsen Institute (CMI), Bergen, Norwegia, yang
dapat diakses melalui http://www.u4.no
[11]Mardjono Reksodiputro op.cit. ; lihat juga Henry S.Drinker,1954,Legal Ethics, Columbia University Press.
[12]Lihat putusan US Supreme
Court June 2016 dalam perkara Gubernur Negara Bagian Virginia
tentang bribery/gratification oleh Jonnie
Williams –yang mengaburkan pengertian “official act.”
[13]Lihat skandal US$3,5 Milyar uang negara yang dituduhkan kepada Perdana
Menteri Malaysia Najib Razak sebagai Pengawas korporasi 1MDB – dan assetnya sedang diusut di Swiss dan USA.
[14]Lihat penolakan Pemerintah Jokowi,
tentang keterlibatan dan tanggungjawab negara terhadap Tragedi 1965 dan
keterangan Nursyahbani Katjasungkana (koordinator IPT 1965) pada 20 Juli 2016
di https://m.tempo.co/read/news/2016/07/20/063789126/putusan-pengadilan-rakyat-1965-indonesia-harus-minta-maaf.