Kamis, 05 November 2015

Wawancara dengan majalah Forum Keadilan tahun 1991



Rencana Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana beberapa saat lagi akan diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Bagaimana hasilnya nanti ?
Mardjono Reksodiputro (selanjutnya akan disingkat MR) : Pembaruan hukum-hukum warisan kolonial sudah dilakukan sejak lama. Bahkan sebelum berdirinya Badan Pembinaan Hukum Nasional sekarang ini. Termasuk dalam hal ini penyusunan rancangan KUHP.  Sepengetahuan saya konsep atau rancangan KUHP sudah beberapa kali disusun. Ada yang susunannya baru setengah jadi. Ada yang 90 persen jadi. Rancangan-rancangan ini dibuat pada masa Lembaga Pembinaaan Hukum Nasional maupun Badan Pembinaan Hukum Nasional (BABINKUMNAS). Waktu BABINKUMNAS serius menangani kembali soal ini tahun 80-an, penyusun rancangan undang-undang (RUU) ini berpikiran bahwa kita sudah waktunya menyelesaikan pekerjaan ini. ‘Mosok’ dari dulu kita cuma bikin konsep saja. Setelah saya bertemu Pak Ismail Saleh (Menteri Kehakiman RI), kami sepakat berharap agar pekerjaan ini bisa diselesaikan panitia penyusun yang saya ketuai akhir Juli 1991. Dari segi mulainya diadakan upaya penyusunan rancangan itu, sudah sepantasnya memang harus selesai. Kalau dilihat dari sudut perkembangan kebutuhan masyarakat, sebaiknya kita jangan terlalu gegabah agar rancangan ini cepat-cepat diselesaikan. Banyak hal yang harus kita pertimbangkan. Pertama, kita ingin membuat satu KUHP bercorak Indonesia. Tapi kita juga tak boleh lupa, corak nasional itu tak lepas dari pengaruh perkembangan internasional yang cukup banyak akhir-akhir ini. Untuk itu kita tambahkan hal-hal baru, termasuk tindak pidana baru yang belum pernah ada di KUHP kita yang diberlakukan 1918. Untuk menciptakan KUHP bercorak Indonesia, tim penyusun RUU KUHP berusaha merumuskan tindak pidana atas dasar pengalaman dan keadaan bangsa Indonesia sendiri.

Bagaimana kiat tim penyusun dalam menganalisa tindak pidana baru seperti dalam masalah komputer dan contempt of court?
MR : Cara kerja tim begini : Para anggota tim adalah orang-orang yang mengerti keadaan Indonesia dan juga tak asing perkembangan di luar negeri. Karena itu yang kita lakukan adalah diskusi-diskusi dari hasil pengamatan-pengamatan atas perkembangan itu. Karena kita tak ingin membatasi pikiran tentang sesuatu hanya menurut pikiran pakar di dalam tim, kita melakukan juga lokakarya atau seminar untuk menguji pikirian kita dalam forum yang lebih luas. Forum luas ini melibatkan pakar-pakar diluar tim, termasuk kelompok praktisi polisi, hakim, jaksa, pengacara, dan sebagainya. Kita juga punya banyak bahan dari luar negeri, misalnya untuk so0al komputer. Salah satu bahan itu adalah dari Commissie Franken yang sudah lima tahun menggarap perlunya kejahatan komputer di KUHP di Belanda dengan mengadakan penambahan pasal atau perubahan. Kemungkinan besar cara inilah yang akan diterapkan di dalam KUHP kita dengan mengkaji pasal-pasal KUHP kita sehingga bisa mengantisipasi kejahatan tanpa harus menunggu perkembangan dari luar. Tim penyusun RUU di dalam memandang perkembangan delik atau tindak pidana punya asumsi bahwa KUHP baru nantinya tidak harus mencakup semua tindak pidana yang ada. Artinya, bila ada perubahan terhadap bentuk tindak pidananya maka berarti bisa saja dilakukan penambahan lewat lembaga legislatif.

Apa betul isi RUU KUHP yang baru sangat berbeda dengan KUHP yang berlaku sekarang ?
MR : Di dalam RUU KUHP tidak dibedakan lagi kejahatan dan pelanggaran seperti KUHP sekarang. Kita menyebutnya ke dalam satu istilah yaitu tindak pidana. Itu tentu membawa konsekuensi cukup besar karena peraturan-peraturan diluar KUHP masih membedakan istilah kejahatan dengan pelanggaran. Pelanggaran (overtredingen) adalah tindak pidana yang relatif ringan dan sebenarnya dianggap tidak punya bobot jahat. Kitab Undang-undang Acara Pidana (KUHAP) pun masih mengatur secara berbeda soal ini. Kalau RUU KUHP sudah disetujui dan diundangkan, kita perlu waktu untuk menyesuaikan peraturan-peraturan lainnya terhadap KUHP baru itu. Kita perlukan waktu itu sekitar dua sampai tiga tahun. Misalnya kalau RUU KUHP itu disahkan 1992, berarti sekitar tahun 1994 atau 1995. Sementara itu kita bisa melakukan penyesuaian-penyesuaian peraturan-peraturan lain. Karena itulah kita juga menyiapkan satu RUU Peraturan Pemberlakuan KUHP (invoeringswetgeving). Disini dinyatakan kapan KUHP itu mulai berlaku, dan apa yang harus dilakukan terhadap kasus-kasus yang terjadi di dalam masa transisi. Juga misalnya jika ada orang melakukan tindak pidana pada waktu berlakunya KUHP lama, tapi baru diadili ketika KUHP baru sudah berlaku. Peraturan ini juga mengatur soal keberlakuan peraturan-peraturan pidana yang tersebar diluar KUHP.



Perubahan-perubahan itu bila dikatakan dalam jumlah, berapa banyak pasal ?
MR : Di dalam buku satu yang memuat aturan umum atau asas-asas kira-kira perubahan itu lebih dari 50 persen. Letaknya di dua hal. Pertama di satu pihak kita mencoba memperluas beberapa asas yang dikenal dan berkembang di dalam praktek. Memperluas disini dalam arti menegaskan lagi. Kedua kita memperluas stelsel (sistem) pidana. Buku dua yang dulu isinya rumusan tindak pidana dan ancamannya, sekarang kita coba memperbarui dengan rumusan tindak pidana baru. Bahkan juga menghapus rumusan tindak pidana yang kita anggap tidak cocok lagi. Kita dalam waktu yang cukup lama juga menyusun kembali ancaman pidananya. Didalam KUHP sekarang, ancaman pidananya seolah-olah tidak ada sistem ancaman pidananya. Disini akan terjawab, mengapa untuk tindak pidana ini ancaman pidananya diatas tujuh tahun misalnya. Atau mengapa tindak pidana itu ancaman hukumannya dialternatifkan dengan denda dan seterusnya. Ini semua kita coba untuk dipolakan. Bisa dicari kembali hubungan antara tindak pidana dengan berat-ringannya ancaman pidana.

Jadi ancaman pidana di KUHP sekarang ini tidak bersistem ?
MR : Tidak jelas menurut saya sistem ancamannya. Mungkin penyusun undang-undang ini dulu punya sistem. Tapi sistem itu tak kami jumpai lagi. Ini mungkin karena perubahan-perubahan yang pernah terjadi terhadap KUHP ini, termasuk terhadap ancaman pidananya. Saya pernah bertanya pada orang-orang Belanda, mereka juga tak tahu sistem ancaman pidana di KUHP ini.

Bagaimana jelasnya perubahan dalam soal sistem pemidanaan yang Anda katakan tadi ?
MR : Pidana pokok adalah penjara. Yang kedua adalah pidana denda. Kemudian kita kenal juga pidana kurungan. Juga kita mengenal pidana yang dikenal dengan community service order atau kita boleh sebut sebagai pidana kerja sosial. Sedangkan pidana mati kita sebut sebagai pidana khusus, maksudnya penjatuhannya harus dipertimbangkan baik-baik atau selektif, sebagai ancaman pidana maksimum.

Bagaimana caranya untuk mengatasi perbedaan yang terlalu tinggi antara tinggi rendahnya ancaman pidana ?
MR : Perbedaan dalam penjatuhan pidana oleh hakim harus diterima sebagai sesuatu yang baik dalam masyarakat, karena ini mencerminkan pandangan bahwa tidak ada dua kasus yang bisa sama. Kalaupun sama, dua kasus tertentu bisa kelihatan sama. Contohnya adalah perkosaan. Antara korban satu dengan yang lainnya, pelaku satu dengan pelaku lain belum tentu sama. Ini memberikan hak yang ada di dalam sistem hukum pidana kita kepada hakim untuk menilai setiap kasus atas dasar kasus itu sendiri. Yang menjadi masalah sebenarnya bukan adanya perbedaan, tapi adanya perbedaan yang mencolok dan terlalu sering. Sehingga menimbulkan kesan sewenang-wenang dari si hakim. Ada ketentuan dalam RUU KUHP yang mengatur pemberian pedoman kepada hakim untuk melihat sebuah kasus. Pedoman yang jumlahnya 10 ini tidak menjawab langsung soal perbedaan ini. Tapi secara tidak langsung pasal ini mau mengatakan : “Para hakim ini lho ada 10 pedoman. Sebelum menjatuhkan pidana tolonglah Anda memeriksa butir-butir dalam pasal ini. Selanjutnya terserah Anda...” Yang harus diperhatikan dalam pasal ini antara lain adalah bagaimana seriusnya tindak pidana, sikap pelaku, dan bagaimana reaksi masyarakat.

Jadi bila pasal itu tidak menjawab soal perbedaan mencolok pengancaman pidana, lantas pasal atau ketentuan mana yang bisa untuk menghindari dan mengantisipasi perbedaan mencolok itu ?
MR : Di RUU ini beberapa tindak pidana yang diberikan ancaman pidana minimum khusus yang tidak memungkinkan hakim untuk memidana turun dari minimum itu. Sekarang jarak hukuman pidana penjara itu adalah dari sehari sampai seumur hidup atau mati. Tapi hakim boleh-boleh saja menjatuhkan hukuman cuma sehari, meskipun ancaman hukumannya adalah mati. Pasal-pasal yang memakai minimum khusus ini tidak banyak. Selektif sekali, misalnya perkosaan –kalau tidak salah- minimal tiga tahun penjara.




Apa pasal ini tidak mengganggu hakim dalam soal kebebasannya ?
MR : Tidak. Karena pasal ini hanya meminta hakim untuk memperhatikannya. Apakah hakim akan melakukannya atau tidak, tidak ada kontrol bukan ? Kita tentu menginginkan bahwa hakim menyadari hal ini. Jadi tidak ada maksud mengurangi kebebasan hakim sama sekali.

RUU KUHP masih memuat ancaman pidana mati. Anda setuju hukuman mati ?
MR : Secara pribadi saya tidak setuju hukuman mati. Tapi saya harus menghormati tim penyusun RUU KUHP. Menurut saya tujuan hukuman pidana salah satunya membuat orang kecil hati (discourage) untuk melakukan tidak pidana. Sehingga ia segan melakukannya. Sehingga hukuman pidana ini bersifat preventif. Menurut pemikiran tim, untuk beberapa hal memang perlu diancam hukuman mati. Untuk hukuman mati haruslah benar-benar sifatnya khusus. Hakim harus melihat, kasus tertentu, pelakunya tertentu, korbannya tertentu, dan situasi masyarakatnya juga harus tertentu. Semuanya harus dipertimbangkan si hakim.

Mengapa RUU KUHP tidak lagi mencantumkan delik pelanggaran ?
MR : Banyak alasan untuk itu. Tapi kalau kita ambil dari rujukan teori, sering dikatakan bahwa ada perbedaan antara delik hukum (rechtsdelicten) dan delik undang-undang (wetsdelicten). Sebenarnya perbedaan ini sudah kabur. Dulu memang rechtsdelicten dinamakan misdrijven atau kejahatan karena memang punya sifat jahat, karena melanggar nilai-nilai hukum di dalam masyarakat. Atau ada kepentingan-kepentingan tertentu yang dilanggar misalnya jiwa, badan kehormatan, dan harta benda. Jadi pelaku misdrijven sebenarnya melanggar perlindungan hukum terhadap kepentingan tadi. Sedangkan wetsdelicten sifatnya administratif. Hanya pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan misalnya penyelundupan. Mengapa ada penyelundupan ? Penyelundupan ada karena ada batasan-batasan dan orang mengatur adanya kewajiban membayar pajak kepada negara. Misalnya dalam soal lalu-lintas. Mengapa ada jalan raya satu arah adalah karena jalan itu cuma bisa menampung lalu lintas satu arah. Di wetsdelicten tidak ada kepentingan hukum yang dilindungi, karena sebenarnya hanya pengaturan, dan ini bisa diubah-ubah. Dalam perkembangannya, penyelundupan dianggap bisa merusak kepentingan ekonomi tertentu yang dilindungi negara. Lantas karena akibatnya merusak kepentingan tertentu; wetsdelicten berubah menjadi rechtsdelicten. Karena itulah kita anggap tidak perlu lagi ada perbedaan. Tapi perbedaan tindak pidana berat, sedang, kurang, maupun yang ringan lah yang ada. Saya rasa di dalam praktek tidak perlu lagi perbedaan itu ada. Ini bukan merupakan soal baru. Ketika guru saya Prof Satochid masih hidup; soal ini juga sudah muncul pendapat tidak perlunya lagi perbedaan ini. Demikian juga ketika Prof Moeljatno masih hidup. Jadi secara sederhana pembuat undang-undang membedakan kejahatan dengan pelanggaran itu dasarnya sebenarnya adalah bahwa kejahatan diancam hukuman berat, sedangkan pelanggaran diancam dengan hukuman ringan. Kalau dasarnya adalah ringan dan berat tak perlu nama lain. Beri saja satu nama, yaitu tindak pidana saja. Lantas kita buat secara bertingkat ancaman-ancaman itu.

Bila RUU KUHP tanpa buku pelanggaran, bagaimana dengan aturan KUHAP yang mengatur prosedur pemeriksaan untuk kasus pelanggaran ?
MR : Dengan adanya RUU KUHP baru seharusnya jangan memandang hal ini sebagai “terjadi perubahan luar biasa”. Memang hal ini dianggap luar biasa karena kita mewarisi Belanda seolah-olah ada perbedaan yang tajam antara pelanggaran dan kejahatan. Dulu ketika Belanda masih mengikuti Perancis malah ada tiga jenis delik. Dengan dihapuskannya pelanggaran, dan hanya ada tindak pidana saja untuk semua jenis delik maka semua delik pidana hanya dibedakan dengan berat-ringannya ancaman hukuman pidananya. Ada yang sangat serius, serius, biasa, dan seterusnya ini. Misalnya kalau tindak pidana sangat serius akan kita beri ancaman pidana yang lebih tinggi daripada tindak pidana biasa. Tapi derajat ancaman pidana ini tidak disebut di dalam undang-undang agar mudah bila ada perubahan. Bisa saja sekarang ada tindak pidana sangat serius nantinya bisa berubah biasa saja. Atau sebaliknya. Jadi kalau kita ingin mengetahui suatu tindak pidana sifatnya ringan atau berat, lihat saja ancaman hukumannya. Dulu untuk kasus pelanggaran acaranya pun disederhanakan. Kalau melihat KUHAP sebetulnya tidak ada kesulitan bila pelanggaran dihapuskan. Caranya adalah dengan mendentukan dalam suatu pasal, misalnya untuk tindak pidana dengan ancaman denda atau ancaman pidananya tidak lebih dari satu tahun maka prosedur acaranya adalah acara singkat di KUHAP. Jadi maknanya kita ambil lantas kita terapkan di KUHAP. Disinilah perlunya peraturan pemberlakuan KUHP itu untuk menjembatani masalah ini. Misalnya di dalam peraturan pemberlakuan KUHP itu disebutkan setiap kali ada istilah pelanggaran haruslah diartikan sebagai tindak pidana yang sanksinya tidak lebih dari sekian tahun dan atau denda sekian rupiah.

Peraturan Pemberlakuan KUHP itu seperti sebuah Peraturan Pelaksanaan saja ?
MR : Ya begitulah. Bentuknya bisa undang-undang, bisa juga Peraturan Pemerintah.

Tapi bagaimana kalau KUHP itu diberlakukan tanpa Peraturan Pelaksanaan itu ?
MR : Saya kira nanti akan menyulitkan. Terutama buat praktisi polisi, jaksa, atau hakim yang belum sempat memahami KUHP sebagai peraturan baru. Walaupun demikian kita tidak bisa mengatur semuanya. Tergantung pada antisipasi kita. Yang jelas, sejauh mungkin kita buatkan peraturan itu sebagai pedoman buat para praktisi. Yang kita minta untuk mengerjakan RUU Pemberlakuan KUHP ini adalah Prof. Dr. Sahetapy di Universitas Airlangga.

Peraturan pemberlakuan KUHP itu fungsinya mempermudah penerapan KUHP itu sendiri. Berarti berlakunya KUHP tidak mudah bila tanpa peraturan pemberlakuan KUHP. Apakah ini karena KUHP sebagai hukum material dibuat belakangan setelah KUHAP yang merupakan hukum formal ?
MR : Yang ideal memang yang harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat kita tentunya terlebih dulu adalah hukum materialnya (substantive criminal law). Saya pikir pemerintah mencoba melakukannya demikian. Hanya saja dalam pengerjaannya ternyata mengubah hukum acara lebih mendesak karena banyak kritik dalam pelaksanaan sebelumnya. Lagipula untuk megubah hukum acara relatif lebih mudah. Walaupun terbalik begini, tidak apa-apa. Nanti kita adakan penyempurnaan lagi bila ada yang kurang. Peraturan pemberlakuan KUHP inilah yang menjadi jembatan antara KUHP dengan KUHP yang nantinya berlaku. Tapi harap diperhatikan tim penyusun RUU KUHP tidak membahas KUHAP.

Mungkinkan sama sekali tidak membahas KUHAP, sedangkan KUHP adalah hukum materialnya ?
MR : Tim penyusun bukan berarti menganggap bahwa KUHAP bukan urusannya, sebab bagaimanapun juga dalam membahas RUU KUHP kami “melihat” keterkaitan kedua produk hukum ini. Contohnya adalah tindak pidana khusus. KUHAP masih memungkinkan adanya tindak pidana khusus. Meskipun tim perumus berusaha memasukkan semua undang-undang yang ada diluar sebatas yang bisa masuk dalam kerangka KUHP yang sudah ada, kita tidak mengganggu gugat tercantumnya kemungkinan adanya pengaturan tindak pidana khusus di KUHAP. Di RUU KUHP tim memperluas pengertian korupsi atau penyuapan tapi kita tidak menyarankan bahwa tindak pidana khusus yang ada dihapuskan saja.

Sejak sekitar tahun 1982 tim KUHP ini sudah mulai bergerak. Berarti cukup lama mereka bekerja. Mengapa ?
MR : Memang kita cukup lama bekerja. Sebab tim antara lain, sekaligus menyusun setiap pasal yang ada dengan penjelasan. Sekarang undang-undang kita umumnya penjelasannya banyak yang ditulis “cukup jelas”. Mungkin 20 sampai 30 persen saja yang diuraikan. Penjelasan setiap pasal itu sebetulnya juga untuk memudahkan dalam praktek. Sebab pasal-pasal KUHP harusnya tidak dalam kalimat yang panjang-panjang. Di dalam penjelasan inilah yang akan membuat kita leluasa menerangkan maksud pasal-pasal itu. Termasuk pembatasan-pembatasannya mungkin.

Tadi beberapa kali disebut-sebut tindak pidana khusus. Kriteria suatu tindak pidana termasuk tindak pidana khusus itu apa saja ?
MR : Tindak pidana khusus mengandung pengertian peraturan pidana tertentu yang tidak bisa dimasukkan ke dalam sistematika kodifikasi yang ada. Sehingga ia diatur diluar kodifikasi dengan acara pidana khusus pula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar