Rencana Undang-Undang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana beberapa saat lagi akan diajukan ke Dewan Perwakilan
Rakyat. Bagaimana hasilnya nanti ?
Mardjono Reksodiputro (selanjutnya
akan disingkat MR) : Pembaruan hukum-hukum warisan kolonial
sudah dilakukan sejak lama. Bahkan sebelum berdirinya Badan Pembinaan Hukum
Nasional sekarang ini. Termasuk dalam hal ini penyusunan rancangan KUHP. Sepengetahuan saya konsep atau rancangan KUHP
sudah beberapa kali disusun. Ada yang susunannya baru setengah jadi. Ada yang
90 persen jadi. Rancangan-rancangan ini dibuat pada masa Lembaga Pembinaaan
Hukum Nasional maupun Badan Pembinaan Hukum Nasional (BABINKUMNAS). Waktu
BABINKUMNAS serius menangani kembali soal ini tahun 80-an, penyusun rancangan
undang-undang (RUU) ini berpikiran bahwa kita sudah waktunya menyelesaikan
pekerjaan ini. ‘Mosok’ dari dulu kita cuma bikin konsep saja. Setelah saya
bertemu Pak Ismail Saleh (Menteri Kehakiman RI), kami sepakat berharap agar
pekerjaan ini bisa diselesaikan panitia penyusun yang saya ketuai akhir Juli
1991. Dari segi mulainya diadakan upaya penyusunan rancangan itu, sudah
sepantasnya memang harus selesai. Kalau dilihat dari sudut perkembangan
kebutuhan masyarakat, sebaiknya kita jangan terlalu gegabah agar rancangan ini
cepat-cepat diselesaikan. Banyak hal yang harus kita pertimbangkan. Pertama,
kita ingin membuat satu KUHP bercorak Indonesia. Tapi kita juga tak boleh lupa,
corak nasional itu tak lepas dari pengaruh perkembangan internasional yang
cukup banyak akhir-akhir ini. Untuk itu kita tambahkan hal-hal baru, termasuk
tindak pidana baru yang belum pernah ada di KUHP kita yang diberlakukan 1918.
Untuk menciptakan KUHP bercorak Indonesia, tim penyusun RUU KUHP berusaha merumuskan
tindak pidana atas dasar pengalaman dan keadaan bangsa Indonesia sendiri.
Bagaimana kiat tim penyusun dalam
menganalisa tindak pidana baru seperti dalam masalah komputer dan contempt of
court?
MR : Cara kerja tim
begini : Para anggota tim adalah orang-orang yang mengerti keadaan Indonesia
dan juga tak asing perkembangan di luar negeri. Karena itu yang kita lakukan
adalah diskusi-diskusi dari hasil pengamatan-pengamatan atas perkembangan itu.
Karena kita tak ingin membatasi pikiran tentang sesuatu hanya menurut pikiran
pakar di dalam tim, kita melakukan juga lokakarya atau seminar untuk menguji
pikirian kita dalam forum yang lebih luas. Forum luas ini melibatkan
pakar-pakar diluar tim, termasuk kelompok praktisi polisi, hakim, jaksa,
pengacara, dan sebagainya. Kita juga punya banyak bahan dari luar negeri,
misalnya untuk so0al komputer. Salah satu bahan itu adalah dari Commissie
Franken yang sudah lima tahun menggarap perlunya kejahatan komputer di KUHP di
Belanda dengan mengadakan penambahan pasal atau perubahan. Kemungkinan besar
cara inilah yang akan diterapkan di dalam KUHP kita dengan mengkaji pasal-pasal
KUHP kita sehingga bisa mengantisipasi kejahatan tanpa harus menunggu
perkembangan dari luar. Tim penyusun RUU di dalam memandang perkembangan delik
atau tindak pidana punya asumsi bahwa KUHP baru nantinya tidak harus mencakup
semua tindak pidana yang ada. Artinya, bila ada perubahan terhadap bentuk
tindak pidananya maka berarti bisa saja dilakukan penambahan lewat lembaga
legislatif.
Apa betul isi RUU KUHP yang baru
sangat berbeda dengan KUHP yang berlaku sekarang ?
MR : Di dalam RUU
KUHP tidak dibedakan lagi kejahatan dan pelanggaran seperti KUHP sekarang. Kita
menyebutnya ke dalam satu istilah yaitu tindak pidana. Itu tentu membawa
konsekuensi cukup besar karena peraturan-peraturan diluar KUHP masih membedakan
istilah kejahatan dengan pelanggaran. Pelanggaran (overtredingen) adalah tindak
pidana yang relatif ringan dan sebenarnya dianggap tidak punya bobot jahat.
Kitab Undang-undang Acara Pidana (KUHAP) pun masih mengatur secara berbeda soal
ini. Kalau RUU KUHP sudah disetujui dan diundangkan, kita perlu waktu untuk
menyesuaikan peraturan-peraturan lainnya terhadap KUHP baru itu. Kita perlukan
waktu itu sekitar dua sampai tiga tahun. Misalnya kalau RUU KUHP itu disahkan
1992, berarti sekitar tahun 1994 atau 1995. Sementara itu kita bisa melakukan
penyesuaian-penyesuaian peraturan-peraturan lain. Karena itulah kita juga
menyiapkan satu RUU Peraturan Pemberlakuan KUHP (invoeringswetgeving). Disini dinyatakan
kapan KUHP itu mulai berlaku, dan apa yang harus dilakukan terhadap kasus-kasus
yang terjadi di dalam masa transisi. Juga misalnya jika ada orang melakukan
tindak pidana pada waktu berlakunya KUHP lama, tapi baru diadili ketika KUHP
baru sudah berlaku. Peraturan ini juga mengatur soal keberlakuan
peraturan-peraturan pidana yang tersebar diluar KUHP.
Perubahan-perubahan itu bila
dikatakan dalam jumlah, berapa banyak pasal ?
MR : Di dalam buku
satu yang memuat aturan umum atau asas-asas kira-kira perubahan itu lebih dari
50 persen. Letaknya di dua hal. Pertama di satu pihak kita mencoba memperluas
beberapa asas yang dikenal dan berkembang di dalam praktek. Memperluas disini
dalam arti menegaskan lagi. Kedua kita memperluas stelsel (sistem) pidana. Buku
dua yang dulu isinya rumusan tindak pidana dan ancamannya, sekarang kita coba
memperbarui dengan rumusan tindak pidana baru. Bahkan juga menghapus rumusan
tindak pidana yang kita anggap tidak cocok lagi. Kita dalam waktu yang cukup
lama juga menyusun kembali ancaman pidananya. Didalam KUHP sekarang, ancaman
pidananya seolah-olah tidak ada sistem ancaman pidananya. Disini akan terjawab,
mengapa untuk tindak pidana ini ancaman pidananya diatas tujuh tahun misalnya.
Atau mengapa tindak pidana itu ancaman hukumannya dialternatifkan dengan denda
dan seterusnya. Ini semua kita coba untuk dipolakan. Bisa dicari kembali
hubungan antara tindak pidana dengan berat-ringannya ancaman pidana.
Jadi ancaman pidana di KUHP sekarang
ini tidak bersistem ?
MR : Tidak jelas
menurut saya sistem ancamannya. Mungkin penyusun undang-undang ini dulu punya
sistem. Tapi sistem itu tak kami jumpai lagi. Ini mungkin karena
perubahan-perubahan yang pernah terjadi terhadap KUHP ini, termasuk terhadap
ancaman pidananya. Saya pernah bertanya pada orang-orang Belanda, mereka juga
tak tahu sistem ancaman pidana di KUHP ini.
Bagaimana jelasnya perubahan dalam
soal sistem pemidanaan yang Anda katakan tadi ?
MR : Pidana pokok
adalah penjara. Yang kedua adalah pidana denda. Kemudian kita kenal juga pidana
kurungan. Juga kita mengenal pidana yang dikenal dengan community service order
atau kita boleh sebut sebagai pidana kerja sosial. Sedangkan pidana mati kita
sebut sebagai pidana khusus, maksudnya penjatuhannya harus dipertimbangkan baik-baik
atau selektif, sebagai ancaman pidana maksimum.
Bagaimana caranya untuk mengatasi
perbedaan yang terlalu tinggi antara tinggi rendahnya ancaman pidana ?
MR : Perbedaan dalam
penjatuhan pidana oleh hakim harus diterima sebagai sesuatu yang baik dalam
masyarakat, karena ini mencerminkan pandangan bahwa tidak ada dua kasus yang
bisa sama. Kalaupun sama, dua kasus tertentu bisa kelihatan sama. Contohnya
adalah perkosaan. Antara korban satu dengan yang lainnya, pelaku satu dengan
pelaku lain belum tentu sama. Ini memberikan hak yang ada di dalam sistem hukum
pidana kita kepada hakim untuk menilai setiap kasus atas dasar kasus itu
sendiri. Yang menjadi masalah sebenarnya bukan adanya perbedaan, tapi adanya
perbedaan yang mencolok dan terlalu sering. Sehingga menimbulkan kesan
sewenang-wenang dari si hakim. Ada ketentuan dalam RUU KUHP yang mengatur
pemberian pedoman kepada hakim untuk melihat sebuah kasus. Pedoman yang
jumlahnya 10 ini tidak menjawab langsung soal perbedaan ini. Tapi secara tidak
langsung pasal ini mau mengatakan : “Para hakim ini lho ada 10 pedoman. Sebelum
menjatuhkan pidana tolonglah Anda memeriksa butir-butir dalam pasal ini.
Selanjutnya terserah Anda...” Yang harus diperhatikan dalam pasal ini antara
lain adalah bagaimana seriusnya tindak pidana, sikap pelaku, dan bagaimana
reaksi masyarakat.
Jadi bila pasal itu tidak menjawab
soal perbedaan mencolok pengancaman pidana, lantas pasal atau ketentuan mana
yang bisa untuk menghindari dan mengantisipasi perbedaan mencolok itu ?
MR : Di RUU ini
beberapa tindak pidana yang diberikan ancaman pidana minimum khusus yang tidak
memungkinkan hakim untuk memidana turun dari minimum itu. Sekarang jarak
hukuman pidana penjara itu adalah dari sehari sampai seumur hidup atau mati.
Tapi hakim boleh-boleh saja menjatuhkan hukuman cuma sehari, meskipun ancaman
hukumannya adalah mati. Pasal-pasal yang memakai minimum khusus ini tidak
banyak. Selektif sekali, misalnya perkosaan –kalau tidak salah- minimal tiga
tahun penjara.
Apa pasal ini tidak mengganggu hakim
dalam soal kebebasannya ?
MR : Tidak. Karena
pasal ini hanya meminta hakim untuk memperhatikannya. Apakah hakim akan
melakukannya atau tidak, tidak ada kontrol bukan ? Kita tentu menginginkan
bahwa hakim menyadari hal ini. Jadi tidak ada maksud mengurangi kebebasan hakim
sama sekali.
RUU KUHP masih memuat ancaman pidana
mati. Anda setuju hukuman mati ?
MR : Secara pribadi
saya tidak setuju hukuman mati. Tapi saya harus menghormati tim penyusun RUU
KUHP. Menurut saya tujuan hukuman pidana salah satunya membuat orang kecil hati
(discourage) untuk melakukan tidak pidana. Sehingga ia segan melakukannya.
Sehingga hukuman pidana ini bersifat preventif. Menurut pemikiran tim, untuk
beberapa hal memang perlu diancam hukuman mati. Untuk hukuman mati haruslah
benar-benar sifatnya khusus. Hakim harus melihat, kasus tertentu, pelakunya
tertentu, korbannya tertentu, dan situasi masyarakatnya juga harus tertentu.
Semuanya harus dipertimbangkan si hakim.
Mengapa RUU KUHP tidak lagi
mencantumkan delik pelanggaran ?
MR : Banyak alasan
untuk itu. Tapi kalau kita ambil dari rujukan teori, sering dikatakan bahwa ada
perbedaan antara delik hukum (rechtsdelicten) dan delik undang-undang
(wetsdelicten). Sebenarnya perbedaan ini sudah kabur. Dulu memang
rechtsdelicten dinamakan misdrijven atau kejahatan karena memang punya sifat
jahat, karena melanggar nilai-nilai hukum di dalam masyarakat. Atau ada
kepentingan-kepentingan tertentu yang dilanggar misalnya jiwa, badan
kehormatan, dan harta benda. Jadi pelaku misdrijven sebenarnya melanggar
perlindungan hukum terhadap kepentingan tadi. Sedangkan wetsdelicten sifatnya
administratif. Hanya pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan misalnya penyelundupan. Mengapa ada penyelundupan ?
Penyelundupan ada karena ada batasan-batasan dan orang mengatur adanya
kewajiban membayar pajak kepada negara. Misalnya dalam soal lalu-lintas.
Mengapa ada jalan raya satu arah adalah karena jalan itu cuma bisa menampung
lalu lintas satu arah. Di wetsdelicten tidak ada kepentingan hukum yang
dilindungi, karena sebenarnya hanya pengaturan, dan ini bisa diubah-ubah. Dalam
perkembangannya, penyelundupan dianggap bisa merusak kepentingan ekonomi
tertentu yang dilindungi negara. Lantas karena akibatnya merusak kepentingan
tertentu; wetsdelicten berubah menjadi rechtsdelicten. Karena itulah kita
anggap tidak perlu lagi ada perbedaan. Tapi perbedaan tindak pidana berat,
sedang, kurang, maupun yang ringan lah yang ada. Saya rasa di dalam praktek
tidak perlu lagi perbedaan itu ada. Ini bukan merupakan soal baru. Ketika guru
saya Prof Satochid masih hidup; soal ini juga sudah muncul pendapat tidak
perlunya lagi perbedaan ini. Demikian juga ketika Prof Moeljatno masih hidup.
Jadi secara sederhana pembuat undang-undang membedakan kejahatan dengan
pelanggaran itu dasarnya sebenarnya adalah bahwa kejahatan diancam hukuman
berat, sedangkan pelanggaran diancam dengan hukuman ringan. Kalau dasarnya
adalah ringan dan berat tak perlu nama lain. Beri saja satu nama, yaitu tindak
pidana saja. Lantas kita buat secara bertingkat ancaman-ancaman itu.
Bila RUU KUHP tanpa buku pelanggaran,
bagaimana dengan aturan KUHAP yang mengatur prosedur pemeriksaan untuk kasus
pelanggaran ?
MR : Dengan adanya
RUU KUHP baru seharusnya jangan memandang hal ini sebagai “terjadi perubahan
luar biasa”. Memang hal ini dianggap luar biasa karena kita mewarisi Belanda
seolah-olah ada perbedaan yang tajam antara pelanggaran dan kejahatan. Dulu
ketika Belanda masih mengikuti Perancis malah ada tiga jenis delik. Dengan
dihapuskannya pelanggaran, dan hanya ada tindak pidana saja untuk semua jenis
delik maka semua delik pidana hanya dibedakan dengan berat-ringannya ancaman
hukuman pidananya. Ada yang sangat serius, serius, biasa, dan seterusnya ini.
Misalnya kalau tindak pidana sangat serius akan kita beri ancaman pidana yang
lebih tinggi daripada tindak pidana biasa. Tapi derajat ancaman pidana ini
tidak disebut di dalam undang-undang agar mudah bila ada perubahan. Bisa saja
sekarang ada tindak pidana sangat serius nantinya bisa berubah biasa saja. Atau
sebaliknya. Jadi kalau kita ingin mengetahui suatu tindak pidana sifatnya
ringan atau berat, lihat saja ancaman hukumannya. Dulu untuk kasus pelanggaran
acaranya pun disederhanakan. Kalau melihat KUHAP sebetulnya tidak ada kesulitan
bila pelanggaran dihapuskan. Caranya adalah dengan mendentukan dalam suatu
pasal, misalnya untuk tindak pidana dengan ancaman denda atau ancaman pidananya
tidak lebih dari satu tahun maka prosedur acaranya adalah acara singkat di
KUHAP. Jadi maknanya kita ambil lantas kita terapkan di KUHAP. Disinilah
perlunya peraturan pemberlakuan KUHP itu untuk menjembatani masalah ini.
Misalnya di dalam peraturan pemberlakuan KUHP itu disebutkan setiap kali ada
istilah pelanggaran haruslah diartikan sebagai tindak pidana yang sanksinya
tidak lebih dari sekian tahun dan atau denda sekian rupiah.
Peraturan Pemberlakuan KUHP itu
seperti sebuah Peraturan Pelaksanaan saja ?
MR : Ya begitulah.
Bentuknya bisa undang-undang, bisa juga Peraturan Pemerintah.
Tapi bagaimana kalau KUHP itu
diberlakukan tanpa Peraturan Pelaksanaan itu ?
MR : Saya kira nanti
akan menyulitkan. Terutama buat praktisi polisi, jaksa, atau hakim yang belum
sempat memahami KUHP sebagai peraturan baru. Walaupun demikian kita tidak bisa
mengatur semuanya. Tergantung pada antisipasi kita. Yang jelas, sejauh mungkin
kita buatkan peraturan itu sebagai pedoman buat para praktisi. Yang kita minta
untuk mengerjakan RUU Pemberlakuan KUHP ini adalah Prof. Dr. Sahetapy di
Universitas Airlangga.
Peraturan pemberlakuan KUHP itu
fungsinya mempermudah penerapan KUHP itu sendiri. Berarti berlakunya KUHP tidak
mudah bila tanpa peraturan pemberlakuan KUHP. Apakah ini karena KUHP sebagai
hukum material dibuat belakangan setelah KUHAP yang merupakan hukum formal ?
MR : Yang ideal
memang yang harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat kita tentunya
terlebih dulu adalah hukum materialnya (substantive criminal law). Saya pikir
pemerintah mencoba melakukannya demikian. Hanya saja dalam pengerjaannya
ternyata mengubah hukum acara lebih mendesak karena banyak kritik dalam
pelaksanaan sebelumnya. Lagipula untuk megubah hukum acara relatif lebih mudah.
Walaupun terbalik begini, tidak apa-apa. Nanti kita adakan penyempurnaan lagi
bila ada yang kurang. Peraturan pemberlakuan KUHP inilah yang menjadi jembatan
antara KUHP dengan KUHP yang nantinya berlaku. Tapi harap diperhatikan tim
penyusun RUU KUHP tidak membahas KUHAP.
Mungkinkan sama sekali tidak membahas
KUHAP, sedangkan KUHP adalah hukum materialnya ?
MR : Tim penyusun
bukan berarti menganggap bahwa KUHAP bukan urusannya, sebab bagaimanapun juga
dalam membahas RUU KUHP kami “melihat” keterkaitan kedua produk hukum ini.
Contohnya adalah tindak pidana khusus. KUHAP masih memungkinkan adanya tindak
pidana khusus. Meskipun tim perumus berusaha memasukkan semua undang-undang
yang ada diluar sebatas yang bisa masuk dalam kerangka KUHP yang sudah ada,
kita tidak mengganggu gugat tercantumnya kemungkinan adanya pengaturan tindak
pidana khusus di KUHAP. Di RUU KUHP tim memperluas pengertian korupsi atau
penyuapan tapi kita tidak menyarankan bahwa tindak pidana khusus yang ada
dihapuskan saja.
Sejak sekitar tahun 1982 tim KUHP ini
sudah mulai bergerak. Berarti cukup lama mereka bekerja. Mengapa ?
MR : Memang kita
cukup lama bekerja. Sebab tim antara lain, sekaligus menyusun setiap pasal yang
ada dengan penjelasan. Sekarang undang-undang kita umumnya penjelasannya banyak
yang ditulis “cukup jelas”. Mungkin 20 sampai 30 persen saja yang diuraikan.
Penjelasan setiap pasal itu sebetulnya juga untuk memudahkan dalam praktek.
Sebab pasal-pasal KUHP harusnya tidak dalam kalimat yang panjang-panjang. Di
dalam penjelasan inilah yang akan membuat kita leluasa menerangkan maksud
pasal-pasal itu. Termasuk pembatasan-pembatasannya mungkin.
Tadi beberapa kali disebut-sebut
tindak pidana khusus. Kriteria suatu tindak pidana termasuk tindak pidana
khusus itu apa saja ?
MR : Tindak pidana
khusus mengandung pengertian peraturan pidana tertentu yang tidak bisa
dimasukkan ke dalam sistematika kodifikasi yang ada. Sehingga ia diatur diluar
kodifikasi dengan acara pidana khusus pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar