Rabu, 01 Juli 2015

PANDANGAN TENTANG HAK- HAK ASASI MANUSIA DITINJAU DARI ASPEK HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK DENGAN PERHATIAN KHUSUS PADA HAK-HAK SIPIL DALAM KUHAP*



Ketua Mahkamah Agung, Bapak Purwoto S. Gandasubrata, S.H., menyatakan dalam makalah beliau dua hal yang menarik per­hatian kami. Pertama, bahwa meskipun sebagian besar keten­tuan-ketentuan hak asasi manusia (HAM) yang ada dalam Konstitusi RIS (1949) dan UUD-sementara (1950) tidak terdapat dalam UUD-1945, "namun tidak berarti bahwa HAM tersebut tidak berlaku di negara RI, karena ketentuan HAM itu dapat ditemukan dalam pelbagai perundang-undangan dan hukum positif yang berlaku di negara kita". Dan yang kedua dalam rangka pelaksanaan kongkret HAM itu dikatakan beliau: "Tidak kalah pentingnya adalah peranan Pengadilan/Hakim yang me­lalui putusan-putusannya dalam kasus kongkret ... selalu ber­pegang teguh pada HAM berdasarkan Pancasila**.11
Kami ingin mengambil contoh hukum positif Indonesia yang telah mengandung asas-asas HAM. Kami ingin membahas­nya dengan meminta perhatian yang lebih besar dari Penga­dilan/Hakim, bahwa kepada merekalah akhirnya semua pan­dangan ditujukan untuk menguji apakah di Indonesia HAM secara kongkret dilindungi atau tidak. Adanya asas-asas HAM dalam peraturan perundang-undangan kita, tidak banyak arti­nya apabila tidak dilindungi dan ditegakkan oleh dan dalam Pengadilan.
HAM berdasarkan Pancasila
Contoh hukum positif Indonesia yang akan dipergunakan ada­lah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam Penjelasan KUHAP dapat dibaca "celaan" terhadap HIR (yang berlaku di Indonesia sampai 1981) dan pernyataan bahwa KUHAP (yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945) mementingkan: "... penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan hak asasi manusia maupun hak serta kewajiban warga negara". Pernyataan yang segera muncul adalah apakah ada perbedaan antara pengertian "hak asasi manusia" dan "hak warga negara"? Dalam literatur, "human rights" (HAM) dikatakan mempunyai tiga unsur: "civilrights" (-burgerrechten; hak warga/warga negara),"political rights" dan "social rights". T.H. Marshall mengatakan bahwa "civil rights" adalah:
"the rights to defend and assert all one's right on terms of
equality with others and by due process oflaw".2)
Hak warga negara inilah menurut hemat kami yang utama dibanding dengan hak politik dan hak sosial. Mengapa? Karena hanya apabila "hak warga negara" ini benar-benar dimiliki oleh para warga negara dan dipertahankan oleh pengadilan, barulah hak politik dan hak sosial mempunyai arti.
Pengertian HAM itu sendiri, seperti dikatakan dalam ma­kalah Ketua Mahkamah Agung, adalah: "... hak yang inhaerent dipunyai oleh setiap manusia makhluk Tuhan dan merupakan
anugrah Tuhan kepada semua hamba-Nya tanpa pandang bulu..."3* Dari sini dapat kita katakan bahwa HAM adalah hak- hak yang demikian melekat pada sifat manusia, sehingga tanpa hak-hak itu kita tidak mungkin mempunyai martabat sebagai manusia. Karena itu pula harus kita nyatakan bahwa HAM itu tidak dapat dicabut (inalienable) dan tidak boleh dilanggar (invio-lable). Inipun sejalan dengan pernyataan Presiden Republik Indonesia bahwa: "...Konsep hak asasi yang kita anut adalah penjabaran dari sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, yang disemangati oleh sila-sila lainnya dari Pancasila".4* Karak­teristik inilah yang membedakan HAM dari hak-hak lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan kita. Yang ter­akhir ini hanyalah "legal rights"yang diberikan oleh hukum.
Dalam KUHAP dipergunakan untuk "civil rights" istilah hak dan kewajiban warga negara. Pandangan bahwa penyebutan "hak" selalu harus dibarengi dengan pengertian adanya "kewa­jiban" timbul dari pemahaman yang benar, bahwa hak dan kewajiban itu adalah simetris. Yang keliru adalah kesimpulan bahwa hak dan kewajiban itu berada pada subyek (individu) yang sama. Dengan contoh: kalau A mempunyai hak X, maka B mempunyai kewajiban yang berhubungan dengan hak X ter­sebut, atau kalau A mempunyai kewajiban Y, maka B mempunyai hak yang berkaitan dengan kewajiban Y itu. Seperti telah disampaikan terlebih dahulu, HAM (termasuk hak warga negara) melekat pada manusia dan hanya dapat dimiliki oleh warga negara. Sedangkan kewajiban yang merupakan bagian simetri dari hak warga negara terdapat pada negara, karena hanya negaralah yang mempunyai kekuasaan memelihara dan melindungi hak warga negara tersebut. Karena itu apabila ingin dipergunakan istilah "hak dan kewajiban asasi manusia", maka pengertiannya adalah adanya hak pada individu (manusia) dan adanya kewajiban pada pemerintah (negara). HAM pada individu menimbulkan kewajiban pada pemerintah/negara untuk melindungi individu tersebut terhadap setiap kemungkinan pelanggaran, termasuk pelanggaran dari negara atau aparat pemerintahan sendiri.

HAM dan KUHAP
Setelah orde baru berhasil mengatasi kekacauan G30S/PKI, maka dengan semangat "negara hukum", "rule of law", dan "kembali kepada UUD 1945 secara mumi dan konsekuen", maka masyarakat hukum Indonesia segera menyelenggarakan per­temuan nasionalnya berupa Seminar Hukum Nasional II (27-30 Desember 1968). Dalam seminar yang bertemakan: "Pelaksa­naan Negara Hukum Berdasarkan Demokrasi Pancasila", ter­dapat salah satu komisi yang membicarakan permasalahan: "hukum acara pidana dan hak-hak asasi manusia". Dalam dis­kusi dan kesimpulan seminar terungkap bagaimana parahnya pelanggaran HAM (terutama tentang "hak-hak warga negara" dalam proses peradilan pidana) pada masa Orde Lama. Kritik yang diajukan bukan lagi ditujukan kepada hukum acara pidana kolonial yang masih diberlakukan di negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat, tetapi sudah diarahkan kepada cara perlakuan aparat hukum dalam jaman Indonesia merdeka ke­pada warga negara sendiri. Perbuatan sewenang-wenang yang tidak berbeda sifatnya dengan apa yang pernah dialami oleh rakyat Indonesia dari aparat hukum kolonial Hindia Belanda maupun kekuasaan militer fasis Jepang tahun 1942-1945.
Diundangkannya hukum acara pidana nasional kita pada akhir tahun 1981 [tiga belas tahun setelah Seminar Hukum Nasional 1968) sangat melegakan hati dan memberi harapan baru bagi terwujudnya cita-cita Orde Baru dalam bidang ke­adilan hukum. Lebih-lebih lagi karena dalam Penjelasannya maupun dalam pendapat akhir fraksi-fraksi di DPR ditegas­kan bagaimana pentingnya KUHAP mengatur perlindungan terhadap "keluhuran harkat serta martabat manusia Indonesia".
Marshall dalam pengertian yang telah dikutip sebelumnya menyatakan bahwa "hak warga negara" (civil rights) adalah: "hak seorang untuk membela diri dan menuntut hak-haknya dengan pengakuan atas kebersamaan kedudukannya di dalam hukum (equality before law) dan dengan melalui proses hukum yang adil (due process of law)" (terjemahan bebas dengan penaf­siran penulis). Marilah kita melihat nanti apakah KUHAP yang pernah dicanangkan merupakan "karya agung" memuat perlindungan atas hak warga negara ini. Tetapi marilah kita melihat dahulu apakah yang dimaksud dengan "due process of law" itu.
Sangat keliru, pengertian "proses hukum yang adil" atau "due process of law", hanya dikaitkan dengan penerapan aturan- aturan KUHAP terhadap tersangka dan terdakwa. Pertama harus dipahami bahwa "proses hukum yang adil" adalah lawan dari "proses hukum yang sewenang-wenang, yang hanya berdasar­kan kuasa aparat penegak hukum" (arbitrary process). Kedua, bahwa makna dan hakikat "proses hukum yang adil" tidak saja berupa penerapan hukum atau peraturan perundang- undangan (yang diasumsikan adil) secara formal, tetapi juga mengandung jaminan akan "hak atas kemerdekaan" dari se­orang warga negara (bandingkan dengan alinea UUD-1945 yang meyatakan: "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa...").
Kembali ke "proses hukum yang adil" dalam KUHAP, maka dasar pemikiran berikut ini kiranya dapat membantu. Meski­pun seorang warga negara telah melakukan suatu perbuatan yang tercela atau sangat tercela (sehingga menimbulkan kere­sahan dalam masyarakat), hak-haknya sebagai warga negara tidaklah hapus atau hilang (baik sebagai tersangka, terdakwa maupun terpidana). Kitapun harus ingat, bahwa untuk diri kita sendiri kita dapat mendisiplinkan diri untuk tidak melakukan pelanggaran hukum. Tetapi dapatkah kita menjamin pada diri kita, bahwa kita akan "bebas dari risiko" menjadi tersangka, terdakwa dan terpidana? Inilah yang merupakan inti keresahan dalam tahun 1968 dan menimbulkan harapan dalam tahun 1981.
Marilah kita kembali sebentar menengok pada sejarah. Suasana pada tahun 1968 dan perjuangan selanjutnya mewu­judkan KUHAP, kira-kira dapat dianalogikan dengan keadaan menjelang Revolusi Prancis tahun 1789 (duaratus tahun yang lalu). Rakyat Perancis mengambil inspirasi dari ucapan Mon­tesquieu (1698-1755), ahli hukum Perancis dan penulis filsafat tentang sejarah dan masalah kenegaraan, yang menyatakan:
"Apabila warga negara tidak mempunyai perlindungan
untuk membela diri dalam kesalahannya, maka dia tidak mempunyai perlindungan pula dalam mempertahankan kemerdekaannya".5)
Tuntutan perubahan hukum acara pidana Perancis pada waktu itu antara lain menyangkut 10 (sepuluh) hal:6)
(1)   Keterbukaan proses;
(2)   Bantuan penasehat hukum;
(3)   Penghapusan memaksa tersangka bersumpah;
(4)   Persamaan posisi antara penyidik/penuntut dengan tersangka/terdakwa;
(5)   Pembatasan kekuasaan hakim pemimpin penyidikan;
(6)   Motivasi yang jelas dalam putusan hakim;
(7)   Penghapusan menyeluruh pemeriksaan dengan penyiksaan;
(8)   Penghapusan peradilan pidana dalam bentuk khusus;
(9)   Pengajuan ke muka pengadilan 24 jam setelah penangkapan dan dalam hal delik yang tidak serius pembebasan ter­sangka dengan jaminan; dan
(10)Kemungkinan untuk para saksi dalam hal dikonfrontasi­kan dengan tersangka/terdakwa, menarik kembali kete­rangan yang diberikan sebelumnya, tanpa ancaman pidana karena memberi kesaksian palsu.
Dengan uraian pendek tentang sejarah Perancis di atas ingin dikemukakan, bahwa hukum acara pidana (KUHAP) janganlah dilihat sebagai hukum yang semata-mata berhubungan dengan para penjahat dan pelanggar hukum pidana saja, tetapi harus dilihat pula sebagai hukum yang menjamin kemerdekaan warga negara.
Asas-asas dalam KUHAP mengenai HAM
Memahami KUHAP, tidak hanya dengan mempelajari pasal- pasalnya. Seharusnya dipelajari pula; sejarah pembentukkan- nya dan "desain prosedur" sistem peradilan pidana yang ditata melalui KUHAP. Dan ternyata disinilah kita dapat membaca asas-asas HAM yang harus merupakan pedoman dalam me­mahami dan menafsirkan arti ketentuan-ketentuan yang ter­cantum dalam pasal-pasal KUHAP. Hal ini sangat sering dilupa­kan oleh para penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan), para pembela dan pengadilan. Mengenai desain-prosedur (procedural design) dari KUHAP, dapat ditafsirkan bahwa maksud pembuat undang-undang adalah memberi "peran utama" kepada Penga­dilan atau sidang pengadilan. Hal ini didasarkan antara lain pada ketentuan KUHAP (pasal 191 dan 197) yang menyatakan bah­wa baik dalam "putusan bersalah" maupun "putusan bebas" hal ini harus didasarkan pada "fakta dan keadaan serta alat pem­buktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang". Karena itu pulalah sangat tepat pendapat Ketua Mahkamah Agung yang melihat pentingnya peranan putusan Pengadilan/Hakim untuk selalu berpegang teguh pada HAM.
Pemahaman kita tentang desain-prosedur ini sangat pen­ting, karena hanya dalam tahap di sidang pengadilan terdakwa dan pembelanya dapat berdiri tegak sebagai pihak yang ber­samaan derajatnya berhadapan dengan penuntut umum. Pe­ngadilan wajib menjamin sepenuhnya hak-hak kedua belah pihak, hak penuntut umum adalah mendakwa dan hak terdakwa adalah membela diri terhadap dakwaan. Jaminan yang penuh ini hanya dapat berlangsung apabila kita selalu dapat meyakini netralnya dan bebasnya pengadilan/hakim (an independent- judiciary). Sering suatu desain-prosedur hukum acara pidana, terlalu berat memberikan penekanan kepada hak-hak pejabat negara untuk "menyelesaikan perkara" atau "menemukan ke­benaran", ketimbang memperhatikan hak-hak seorang warga negara untuk membela dirinya terhadap kemungkinan per­sangkaan atau pendakwaan yang kurang atau tidak benar atau­pun palsu.
Kita dapat membayangkan bagaimana suatu masyarakat yang dihadapkan pada krisis peningkatan kriminalitas atau pelanggaran hukum pidana tertentu ataupun dikejutkan de­ngan terjadinya suatu tindak pidana, dapat menghadapi si tersangka dengan kemarahan moral yang besar. Dalam keadaan seperti ini proses penyidikan, penuntut dan pemidanaan di-anggap sebagai tidak mempunyai permasalahan hukum. Dalam keadaan ini begitu mudah seorang tersangka, seorang warga negara seperti kita, tanpa melalui prosedur hukum yang adil berubah "status hukumnya" menjadi penjahat dan musuh masyarakat. Tidak jarang proses semacam ini diikuti dengan degradasi si individu tersangka/terdakwa/terpidana. Proses, pembelaan argumentasi hukum dan perlunya hakim yang bebas dan tidak memihak dianggap sebagai mengada-ada. Suatu pro­ses yang dikenal dengan nama "lynchjustice" (proses keadilan semu untuk menggantung orang) yang dapat kita lihat dalam film-film "Western".
KUHAP kita tidak menghendaki hal ini, tidak menghendaki suatu proses peradilan dimana seorang tersangka sudah dijatuhi "putusan bersalah" sebelum prosesnya dimulai. Perjuangan kita melepaskan diri dari penjajahan Belanda, mengharuskan kita- pun tidak mengikuti proses peradilan yang cocok untuk jaman kolonial Hindia-Belanda itu. Itulah sebabnya kita mengganti HIR dengan KUHAP.
Apa yang ingin diganti oleh bangsa Indonesia dari HIR me­lalui KUHAP? Proses pembentukan KUHAP (1969-1981) menun­jukkan bahwa yang ingin diperjuangkan adalah pemahaman untuk melihat proses peradilan pidana itu sebagai bertandasan proses hukum yang adil (due process of law), di mana hak-hak tersangka/terdakwa/terpidana dilindungi dan dianggap sebagai bagian dari hak-hak warga negara (civil rights) dan karena itu bagian dari HAM.
Pertimbangan pertama dari KUHAP menyatakan: "bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum..." Dimanakah harus kita cari asas-asas yang oleh pembuat undang-undang ingin dipergunakan sebagai pedoman perlindungan HAM, yang harus dipergunakan untuk memahami dan menafsirkan KUHAP? Ternyata dalam Penjelasan KUHAP kita dapat menemukan 10 (sepuluh) asas yang mengatur perlindungan KUHAP terhadap "keluhuran harkat serta martabat manusia". Adapun kesepuluh asas itu adalah:7'
(1)    Perlakuan yang sama di muka hukum, tanpa diskriminasi apapun;
(2)   Praduga tidak bersalah;
(3)   Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan re­habilitasi;
(4)   Hak untuk mendapat bantuan hukum;
(5)   Hak kehadiran terdakwa dimuka pengadilan;
(6)   Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana;
(7)   Peradilan terbuka untuk umum;
(8)   Pelanggaran atas hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan) harus didasar­kan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis);
(9)   Hak seorang tersangka untuk diberitahu tentang persang­kaan dan pendakwaan terhadapnya; dan
(10)  Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan-putusannya.
Kesepuluh asas di atas harus dikembangkan lebih lanjut dan dijadikan pedoman bagi pelaksanaan KUHAP yang benar-benar memperhatikan dan melindungi hak-hak sipil (HAM). Inilah yang kemudian akan mendasari diperhatikan dan dilindunginya unsur-unsur HAM yang lain, seperti hak-hak politik dan hak- hak sosial.
Di bawah ini akan diberikan sekedar contoh bagaimana asas- asas yang secara singkat ada dalam Penjelasan KUHAP dapat di­tafsirkan sehingga menjadi pedoman dalam pelaksanaan KUHAP pada umumnya, dan (seperti yang diinginkan oleh Ketua Mah­kamah Agung) mempertegas peranan Pengadilan/Hakim dalam putusan-putusnya untuk: "... selalu berpegang teguh pada HAM berdasarkan Pancasila". Contoh yang diambil adalah mengenai asas ke-6: "peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana", serta asas ke-10 "kewajiban pengadilan untuk me­ngendalikan pelaksanaan putusan-putusanya".bahwa tanggungjawabnya berakhir dengan diberikannya pu­tusan. Sikap semacam ini tidaklah benar, karena khususnya dalam hal pidana perampasan kemerdekaan (pidana penjara) ketetapan keputusan pengadilan tersebut masih perlu diuji. Apapun yang dianut dalam hal teori pemidanaan, tetapi yang tetap harus diingat adalah bahwa dengan "hilangnya" terpidana dibalik tembok penjara dia tidak kehilangan haknya sebagai warga negara. Perlindungan yang diberikan oleh KUHAP ter­hadap "harkat dan martabat manusia" tetap mengikat terpidana juga ke dalam penjara. Dalam suatu sistem peradilan pidana yang terpadu (integrated criminal justice system) tahap purna-ajudikasi sama pentingnya dengan tahap-tahap terdahulunya. Juga disini harus dianut pandangan bahwa tahap ajudikasi (sidang pengadilan) tetap "dominan" dalam seluruh proses. Pro­ses baru terhenti pada saat terpidana dilepaskan kembali ke masyarakat sebagai sorang warga negara yang telah menyelesai­kan pidana yang diberikan negara kepadanya melalui penga­dilan. Tanggung jawab moral hakim mewajibkan mengikuti dan melindungi hak-hak terpidana di dalam penjara. Lebih kuat lagi alasan ini bilamana kita mengingat bahwa putusan pengadilan (hakim) diberikan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Tegaknya keadilan bagi terpidana juga merupakan tanggung jawab hakim selama yang bersangkutan berada dalam penjara.
Sehubungan asas kesepuluh ini, perlu dikemukakan tentang lembaga baru yang diciptakan oleh KUHAP, yaitu "Hakim Pe­ngawas dan Pengamat" (selanjutnya Hakim Wasmat). Karena penjelasan KUHAP maupun Pidato Sambutan Pemeritah Atas Persetujuan DPR terhadap Rancangan KUHAP (disampaikan tanggal 23 September 1981) tidak memberi keterangan lebih lan­jut tentang Hakim Wasmat ini, maka dipergunakan Penjelasan Rancangan (yang diajukan 12 September 1979) dan Keterangan Pemeritah dihadapan Rapat Paripurna DPR tanggal 9 Oktober 1979. Dengan mempergunakan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7 tahun 1985 (SE MA 7/1985), maka kami menafsirkan tugas "pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan" (pasal 33 ayat (2), UU No. 14/1970) dan tugas Hakim Wasmat dalam KUHAP (pasal 277) sebagai: secara aktif menjaga agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak terpidana yang memperoleh putusan pidana penjara.9* Bagaimana kalau Hakim Wasmat menemukan atau mendapat laporan tentang pelanggaran ter­hadap hak-hak ini? Menurut pendapat (penafsiran) kami, selama hal itu merupakan pelanggaran-pelanggaran kecil, hal ini dapat diselesaikan dengan "pegawasan horizontal" (administratif- persuasif dan koreksi sendiri oleh Lembaga Permasyarakatan). Akan tetapi dalam hal teijadi pelanggaran besar atau serius (misalnya penganiayaan atau matinya narapidana), maka hal ini harus diselesaikan secara hukum melalui sidang pengadilan. Dalam kaitan ini perlu diingat bahwa seorang narapidana pun tetap dij amin haknya untuk meminta bantuan hukum. Tidak ada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, yang menghilangkan hak-hak terpidana (sebagai warga negara, dan karena itu tetap dilindungi hak-hak warga negara atau hak- hak sipilnya) untuk memperoleh bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum untuk membela hak-hak sebagai narapidana dalam sistem pemasyarakatan yang berdasarkan Pancasila.

Kesimpulan
Uraian yang telah disampaikan ingin menggarisbawahi pen­dapat Ketua Mahkamah Agung, bahwa dalam hukum positif kita (dalam hal ini KUHAP) telah terdapat ketentuan tentang perlindungan HAM. Juga bahwa Pengadilan/Hakim melalui putusan-putusanya selalu harus berpegang teguh pada HAM berdasarkan Pancasila. Adanya asas-asas yang berintikan HAM dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, tidaklah ba­nyak artinya apabila tidak dilindungi dan ditegakkan oleh Pengadilan. Dalam hukum selalu dikatakan: dimana ada hak, maka selalu harus ada kemungkinan untuk menuntut dan memperolehnya apabila dilanggar (ubi jus ibi remedium). Ke­lanjutan logis dari asas ini adalah penafsiran, bahwa hanya apabila ada proses hukum untuk menuntutnya, dapat dikatakan adanya hak bersangkutan (ubi remedium ibi jus).
KUHAP dalam penjelasan telah memberi pedoman bagai­mana hak-hak sipil (hak-hak warga negara) dilindungi dalam proses peradilan pidana. Peradilan harus menjaga bahwa selalu ada kemungkinan untuk menuntut dan menperolehnya apabila hak-hak tersebut dilanggar. Hak-hak warga negara yang dilin­dungi dalam proses peradilan pidana seharusnya tidak mempu­nyai perbedaan yang berarti antara negara-negara ASEAN, juga tidak dengan negara-negara beradab di dunia ini. Bukankah konsep hak asasi yang kita anut adalah penjabaran dari sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab?

*Tulisan ini telah dimuat dalam buku “Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia” terbitan PT Eresco Bandung tahun 1995

CATATAN
(1)     Purwoto S. Gandasubrata, SH (Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, "Pandangan Umum tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Ditinjau dari Aspek Hak-hak Sipil dan Politik (Di Indonesia)", makalah yang disampaikan pada Seminar DPR-RI tanggal 5 Pebruari 1993.
(2)     Dikutip dari Paul Sieghart, The Lawful Rights of Mankind (An Introduction to the International Legal Code of Human Rights), Oxford University Press, 1986.
(3)     Purwoto S. Gandasubrata, SH, op.cit.
(4)     Pidato Presiden Republik Indonesia di muka Sidang DPR/MPR pada HUT ke-45 RI (16 Agustus 1990).
(5)     Dikutip dari A.A.G. Peters, "Individuele Vrijheid en de positie van verdachten in het strafproces", dalam Praesidium Ubertatis, Kluwer, 1975.
(6)     Esmein (diterjemahkan oleh John Simpson), A History of Continental Criminal Procedure. With Special Reference To France, New York: A.M. Kelley, 1968.
(7)     Mardjono Reksodiputro, "Hak-hak Tersangka dan Terdakwa Dalam KUHAP Sebagai Bagian dari Hak-hak Warga Negara (Civil Rights)", disampaikan dalam Seminar tentang KUHAP di FHUI tanggal 6 Maret 1990.
(8)     Ibid.
(9)    Mardjono Reksodiputro, "Peran dan Tanggung Jawab Hakim Pengawas dan Pengamat terhadap Hak-hak yang Menurut HukumDimilikiNarapidana (suatu makalah pembanding)", disampaikan dalam Seminar Senat Mahasiswa FH­UI, tanggal 27 November 1991.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar