Prof. Mardjono Reksodiputro, SH,MA.
Dr. Surastini Fitriasih, SH,MH.
Permasalahan yang diajukan:
UU No.30/2002 tentang KPK hanya
mengatur tentang Penuntut Umum sedangkan dalam KUHAP terdapat ketentuan yang
menyatakan secara jelas dalam Pasal 270
bahwa pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan oleh Jaksa. Juga dalam
KUHAP Pasal 1 angka 6 dinyatakan
bahwa a)Jaksa diberi wewenang
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan,
dan b)Penuntut Umum adalah Jaksa
yang diberi wewenang melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan
hakim. Haruskah ini ditafsirkan bahwa
kewenangan Jaksa yang berada di Lembaga
KPK hanya terbatas pada
melakukan penuntutan saja, dan tidak melaksanakan putusan pengadilan (yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap) serta tidak pula melaksanakan penetapan
hakim ?
Pembahasan:
1)Dengan
merujuk kepada ketentuan di Belanda
(sekedar sebagai perbandingan),maka dalam UU Hukum Acara Pidananya (Wetboek van Strafvordering mulai berlaku 1
Januari 1926 dan telah disempurnakan dari tahun 1988 – 1993 – selanjutnya Sv), terdapat Buku Kelima yang
berjudul “Pelaksanaan dan Biaya” (Tenuitvoerlegging
en Kosten) yang dalam Pasal 553 Sv
menyatakan “Pelaksanaan putusan hakim dilakukan sesuai pedoman Menteri
Kehakiman atas beban openbaar ministerie (OM) di pengadilan di mana putusan
diberikan” (OM dapat diterjemahkan sebagai Lembaga Kejaksaan atau Public
Prosecutorial Service). Ketentuan ini serupa seperti di KUHAP kita, ada
bab khusus, yaitu Bab XIX dengan judul “Pelaksanaan Putusan Pengadilan” dengan Pasal 270 yang menyatakan “Pelaksanaan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa …” Sedangkan dalam
hal kewenangan mendakwa (beslissingen
omtrent vervolging) terdapat Pasal 167
Sv yang menyatakan: “Dalam hal sehubungan dengan penyidikan yang dilakukan,
openbaar ministerie berpendapat bahwa
pendakwaan harus dilakukan, maka hal ini sesegera mungkin dilakukan (ayat 1). Sedangkan ayat 2 menyatakan: “Pendakwaan dapat tidak dilakukan atas dasar kepentingan umum”.Yang terakhir ini
adalah asas oportunitas, yang dapat
bersifat negatif (pendakwaan adalah asas umum, dan
pengecualian dapat atas dasar kepentingan umum) dan
dapat bersifat positif (hanya mendakwa apabila diharuskan untuk
kepentingan umum).Dalam praktek officier
van justitie (JPU) di Belanda asas oportunitas yang bersifat positif yang
dianut (Lihat,C.P.M. Cleiren dan J.F.Nijboer (1994), Strafvordering – Teks &
Commentaar, Kluwer, hlm.350-351 – Lihat juga J.M. van Bemmelen (1982) Ons strafrecht 4 – Strafprocesrecht, Tjeenk Willink,
hlm.81 – 89 ).
2)Amerika Serikat terdiri dari sejumlah negara bagian, semua negara bagian punya seorang state Attorney General (selanjutnya AG) dan sejumlah local Prosecutors (Penuntut Umum Lokal – selanjutnya PUL). Merujuk kepada buku Wayne L.Fave dan
Jerold H.Israel (1984),Criminal
Procedure, St.Paul:West Publishing,Co, maka wewenang menentukan pendakwaan
(the decision to prosecute) dan
tindakan-tindakan lain selanjutnya (discretionary
enforcement, challenges upon Not to prosecute or decision to prosecute dan execution of sentence imposed by trial court)
adalah wewenang PUL dan bukan AG
(lihat sub-bab 1.3 tentang Variation in
Chronology and Personnel – hlm.6 - Dikatakan
a.l. “In most state cases, the
prosecuting agency will be the office of the local prosecuting attorney (also
called a “district attorney”, “state attorney” or “county attorney”) –
Lihat juga bab dan sub-bab The Steps in
the Process (hlm.7-20), dan Bab 13 The
Decision Whether To Prosecute (hlm.558 – 594).
3)Kesimpulan kesatu :
Tidak ada keseragaman tentang
wewenang Lembaga Kejaksaan di Belanda dan di Amerika Serikat - Di Belanda (model Civil Law
countries), maka kewenangan untuk mendakwa (the decision to charge) menurut Pasal 167 berada pada OM, dan ada hak oportunitas untuk mendakwa. Dalam praktek, maka mempergunakan hak
oportunitas ini, merupakan kewenangan dari Jaksa/Penuntut Umum (officier van justitie) yang menerima berkas
perkara penyidikan tersebut, karena Pasal 9 Sv menyatakan bahwa:” Officier van
Justitie (JPU) dibebani untuk mendakwa tindak pidana yang diterima oleh
pengadilan di mana dia ditempatkan”. Sedangkan undang-undang tersebut menyebut bahwa
kewenangan pelaksanaan putusan pengadilan berada pada Lembaga Kejaksaan (openbaar ministerie)[1]
dengan pedoman yang dibuat oleh Kementerian Kehakiman (Ministerie van Justitie). Namun dalam praktek tidak selamanya OM yang
berwenang, karena dalam hal putusan pengadilan yang bersifat “mengurangi
kebebasan seseorang” (vrijheidsbenemendestraffen)
dan dalam hal denda-uang (geldboeten),
maka terdapat lembaga - lembaga lain (di Kementerian Kehakiman dan di
Kementerian Keuangan) yang menanganinya
(Lihat Cleiren, loc.cit. hlm.1107 –
1108).
Sedangkan di Amerika Serikat (model Common Law
countries), maka baik kewenangan mendakwa dan diskresi dalam penegakan
hukum merupakan wewenang Jaksa/Penuntut
Umum (local Prosecutor), serta pelaksanaan (eksekusi) putusan
pengadilan juga merupakan wewenang
JPU dari pengadilan yang bersangkutan.
4)Dominus litis (Vervolgingsmonopolie) – Di
Belanda monopoli pendakwaan sepenuhnya berada pada OM (Lembaga Kejaksaan
Belanda). Pada dasarnya OM diwakili oleh Officier van Justitie (OvJ)
menentukan apakah akan dilakukan pendakwaan atau tidak (ingat hak oportunitas
OvJ/JPU Belanda).Adapun asas ini ingin menegaskan bahwa warga masyarakat (burger) tidak mepunyai hak untuk
melakukan pendakwaan/penuntutan tersendiri,meskipun berdasarkan Pasal 12 Sv, seorang warga dapat mengajukan
keluhan tentang tidak dilakukannya pendakwaan suatu perkara, pada pengadilan
dalam daerah hukum di mana putusan tidak melakukan dakwaan dilakukan (Lihat Cleiren
op.cit. hlm.22 dan 352).Jadi Dominus Litis, hanya berhubungan dengan
pendakwaan/penuntutan dan tidak dengan
pelaksanaan putusan pengadilan (J.M van Bemmelen mengatakan dalam hlm.85 :
“Officier van Justitie (JPU Belanda)
adalah ‘dominus litis’ sampai perkara
tersebut diterima dan mulai disidangkan oleh pengadilan” - Pasal 258 ayat 1 Sv– “dominus litis” berarti “pemilik pendakwaan perkara” ).
5)Sistem Peradilan Pidana (untuk selanjutnya SPP) dapat dibagi dalam tiga tahapan
proses: a)pra-adyudikasi (sebelum
sidang pengadilan)– b)adyudikasi (selama
sidang pengadilan) – dan c)purna-adyudikasi (setelah sidang pengadilan). Adapun eksekusi putusan pengadilan berada dalam tahap purna-adyudikasi (post-adjuducation) dan karena itu tidak
termasuk dalam cakupan asas “Dominus
Litus” yang ditafsirkan sebagai “monopoli
Kejaksaan di bidang pendakwaan”.
Dalam SPP dikenal adanya konsep
“kekuasaan kehakiman” (Belanda: rechterlijke
macht) atau “judicial power” yang
dilaksanakan oleh “the judiciary” (jajaran
hakim pengadilan) dan “officers of the court”. Dalam bahan pustaka
SPP/CJS (criminal justice system)
maka yang merupakan “officers of the
court” adalah “the judicial police” (polisi
reserse – dahulu dalam HIR “pembantu-jaksa”), JPU dan Advokat (ketika memakai Toga di pengadilan membela
kliennya). Yang penting bagi kita adalah bahwa JPU yang melakukan tugas di
pengadilan adalah bagian dari kekuasaan kehakiman atau “judicial power” dan sebagai “officier
van justitie” di Belanda berdiri
mandiri dan hanya tunduk pada hakim pengadilan yang bersangkutan dan tidak
kepada OM di Belanda (di Indonesia Lembaga Kejaksaan).
6)Kesimpulan kedua:
a.Jaksa/JPU
dalam Pasal 1 angka 6 KUHAP adalah bagian dari Kekuasaan Kehakiman dan
merupakan officer of the court yang
akan melaksanakan perintah Majelis Hakim dari pengadilan di mana dia bertugas;
b.Jaksa/JPU
yang diperbantukan pada KPK dan bertugas di Pengadilan TIPIKOR harus
melaksanakan perintah dari Majelis Hakim yang bersangkutan, dan karena itu
berhak melaksanakan keputusan pengadilan Tipikor atau dengan perkataan lain pelaksanaan putusan pengadilan tipikor yang
bersangkutan dilakukan oleh JPU KPK yang bertugas pada waktu itu.
c.Dominus
Litis atau monopoli lembaga kejaksaan hanya berlaku untuk pendakwaan dan tidak
untuk pelaksanaan putiusan pengadilan.
*Artikel ini disampaikan dalam Focus Group Discussion KPK-RI
Tentang “Kewenangan Jaksa KPK
Melakukan Eksekusi”
Jakarta, 22 November 2018
-00O00-
[1]
Openbaar ministerie bukanlah sebuah kementerian, seperti misalnya
Kementerian Kehakiman (ministerie van justitie ).