HARAPAN UNTUK KRIMINOLOGI INDONESIA
(Suatu Uraian Singkat untuk Diskusi)
Pengantar
Tulisan ini lebih merupakan cukilan sejarah singkat dengan beberapa pemikiran “kasar” dan tidak berpretensi bersifat
ilmiah-akademik. Yang menarik perhatian saya adalah tiga hal: 1) Dipergunakannya istilah “Kriminologi Indonesia”; 2) Adanya rencana membentuk “Asosiasi
Cendekia Kriminologi Indonesia”; dan 3) Akan dilakukannya suatu “Deklarasi Asosiasi Program Studi Kriminologi Indonesia”. Mudah-mudahan
tulisan ini dapat memberi masukan untuk ketiga hal tersebut.
Saya akan mulai dengan sekelumit sejarah untuk menjadi
latar belakang dari tulisan ini. Orang bijak mengatakan:
“Keadaan hari ini adalah
akibat perkembangan masa lalu, dan apa yang kita lakukan sekarang akan
menentukan masa depan”.
Masa lalu: Membangun
Ilmu Pengetahuan Baru
1)Ketika saya mulai menjadi mahasiswa FH dan IPK UI (tahun 1955), sudah ada Lembaga Kriminologi
Universitas Indonesia - LKUI (warisan Universiteit van Indonesia). Lembaga ini
dulunya bernama Criminologisch Instituut (CI) dan
merupakan lembaga multi-disiplin (bertemunya tiga ilmu pengetahuan) berisi Guru Besar/ para ahli dari Kedokteran Forensik, Kimia dan Alam Forensik (Kriminalistik),
Hukum Pidana dan Kriminologi. LKUI (CI) didirikan tahun 1948 – dan pada tahun 1988 berganti
nama menjadi Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Center for Justice and the Rule of Law)[2].
Lembaga ini ditutup oleh Pimpinan UI pada tahun 2006. Gedung baru dibangun
di Kampus UI Salemba pada tahun 1977 (empat
tingkat) dan sekarang diserahkan kepada FISIP-UI dengan diberi nama Gedung “Mardjono
Reksodiputro” (4 April 2009).
2)LKUI menjadi tempat lahirnya Jurusan Kriminologi dan Jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial - UI. Pendekatan awal di kedua jurusan ini dapat dinamakan
pendekatan “bio-sosiologis”. Untuk kriminologi, pendekatan ini adalah seperti digambarkan
oleh Jan Remmelink :”… tanpa ada kecenderungan lahiriah tertentu, kejahatan
tidak mungkin muncul …(dan) … diterima pula bahwa tanpa adanya situasi kondisi
yang memungkinkan, kecenderungan a-sosial tidak mungkin berkembang menjadi
suatu perbuatan” (lihat Jan Remmelink,2003:36). Karena itu dalam kurikulum awal
Jurusan Kriminoligi terdapat mata kuliah a.l.
“Antropo-biologi,” “Psikiatri Forensik’ dan “Psikologi Forensik”. Bapak
Paul Moedikdo, SH (wafat pada tahun 2016 di Belanda), pemrakarsa dan pendiri
Jurusan Kriminologi membawa pemikiran dari pendekatan bio-sosiologis ini menjadi
suatu teori yang dinamakannya “teori dialog”[3]
3)Matakuliah Pengantar
Kriminologi di FHUI sudah ada sebagai warisan dalam kurikulum Faculteit der Rechtgeleerdheid en Sociale
Wetenschappen (kemudian jadi Fakultet Hukum dan Ilmu Pengetahuan
Kemasyarakatan – FH & IPK - 1950).
Merupakan matakuliah tambahan bagi mereka yang mengambil Jurusan Hukum Pidana,
dan dianggap sebagai ilmu pengetahuan
pembantu untuk ilmu Hukum Pidana. Oleh Prof. J.M.van Bemmelen dinamakannya
sebagai “a king without a country”. Mengikuti
pendekatan warisan Hindia Belanda ini, maka matakuliah Pengantar Kriminologi
diajarkan di semua fakultas-fakultas hukum negeri dan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian
(PTIK).
4)Dari tahun 1950-an
sampai tahun 1980-an, maka buku-buku
kriminologi yang banyak dipergunakan di Fakultas Hukum (baik di Universitas Indonesia, Universitas
Padjadjaran, Universitas Diponegoro, Universitas Gajah Mada dan Universitas
Airlangga)
serta PTIK, adalah buku-buku antara lain
dari: W.M. Noach, W.A. Bonger, Edwin Sutherland & D.R.Cressey, J.M.van
Bemmelen (yang dapat dikategorikan sebagai pandangan “konservatif”), dan
kemudian antara lain Howard S.Becker, Richard Quinney, Tonny Platt, serta
W.J.Chambliss & R.B.Seidman (yang merupakan representasi pendekatan
“liberal” dan sering juga dicap “marxis”). Menurut saya pengaruh Bonger di
Indonesia terutama terlihat pada keyakinan kuatnya pengaruh faktor ekonomi
dalam timbulnya kejahatan dan pandangan Sutherland telah membawa pengertian tentang adanya proses
belajar dalam berkenalan dengan kejahatan. Tidak boleh dilupakan juga antara
lain: pengaruh Thorsten Sellin (culture
conflict), Marvin Wolfgang (culture
of violence), Merton (anomie),
Cohen (delinquent subculture),
Cloward & Ohlin (illegitimate
opportunity structure), Matza (delinquency
and drift), Shaw & McKay (ecological
studies – delinquency areas in the city – rural urban differences), Clemmer
& Sykes (prisons as schools of crime),
dan Cressey (professional criminals).
5)Dalam perkuliahan Pengantar Kriminologi saya (1967 –
1997) di FHUI dan PTIK , maka pendekatan-dasar saya adalah melalui (yang saya namakan) “tiga-mashab besar”. Pertama,
Mashab Klasik (Beccaria) dengan modifikasi oleh Mashab Neo-Klasik (Code Penal
Perancis 1819) – Kedua, Mashab Positivis (Lombroso, 1835 – 1909)) sebagai awal
pemikiran ilmiah kriminologi tentang sebab-musabab kejahatan – Ketiga, Mashab
Kritikal (Critical Criminology), yang
dimulai dengan perspektif interaksionis (Becker, dengan labelling approach to crime - 1963) dan yang kemudian berkembang
menjadi “sociology of conflict” (Quinney
- 1970; Chambliss & Seidman – 1971; dan Taylor, Walton & Young - 1973).
Untuk selanjutnya silakan lihat pada makalah saya di Seminar Nasional Program Studi
Magister Ilmu Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (Mardjono Reksodiputro
2015: 2-5 – disampaikan sebagai bahan bacaan tambahan dalam Simposium ini ).
Masa Sekarang : Politik
Hukum dalam Penegakan Hukum
6)-Kriminologi harus dapat berperan dalam Pemerintah
menetapkan politik hukum khusus dalam bidang penegakan hukum. Dengan istilah
penegakan hukum saya melihatnya dalam rangka proses yang terjadi dalam sistem
peradilan pidana (SPP). Kalau melihat pada berita di media massa dengan laporan
kepolisian, maka diperkirakan kejahatan di Indonesia meningkat drastis. Apakah
hal ini benar atau keliru merupakan wilayah penelitian kriminologi. Sudah lama
(sejak tahun 1971) saya mengusulkan agar
statistik kejahatan di Indonesia disempurnakan, kurang lebih meniru apa yang dilakukan di negara-negara maju
(a.l. Amerika Serikat), namun menurut saya hal ini tidak juga dilakukan
(Mardjono Reksodiputro, 1997a: 9-27).[4]
Tetapi yang sekarang populer diberitakan di media massa adalah kejahatan
korupsi dan kejahatan narkoba. Politik atau kebijakan hukum pidana mengenai kedua kejahatan ini menarik
untuk diperhatikan oleh para peneliti
Kriminologi Indonesia maupun peneliti Hukum Pidana. Pertanyaan yang sangat
mendasar yang diajukan umum adalah: Mengapa
hukuman yang berat yang diberikan kepada mereka yang tertangkap dan dinyatakan
bersalah sebagai penjahat korupsi dan penjahat narkoba, tidak menurunkan angka
kejahatan ? Bukankah teori simple deterrence mengatakan bahwa: “ancaman
pidana berat, diikuti oleh pelaksanaan pidana berat tersebut”, akan membuat
calon-pelaku kejahatan mengurungkan niatnya (causing a change of heart). Teori ini sudah dianut oleh Beccaria (to instil fear in other men) dan Bentham
(intimidation or terror of the law) (Zimring
& Hawkins, 1973:75-77). Inilah teori klasik yang juga dianut di Indonesia,
“berilah hukuman yang setimpal” (just
desert), karena para pejabat penegak hukum kita berpendirian bahwa manusia itu punya “free will” dan bersifat “rasional” serta “hedonistik”.[5]
Masalah penelitian Hukum Pidana dan penelitian
Kriminologi Indonesia adalah: Apakah
Indonesia telah meninggalkan Konsep “Pemasyarakatan Terpidana” dan memilih
konsep “Pembalasan” dalam politik kriminal untuk kejahatan korupsi dan
kejahatan narkoba ?
7)-Konsep Pemasyarakatan Terpidana sangat erat
kaitannya dengan kondisi Lembaga Pemasyarakatan (LaPas) kita. Sudah sering kita
dengar laporan tentang kelebihan penghuni di berbagai LaPas, yang antara lain
menyebabkan “perkelahian”, “pemberontakan” dan “pelarian” narapidana (napi).
Yang sering dijadikan isyu dalam pembicaraan tentang “kelebihan penghuni LaPas”
adalah banyaknya pelanggar delik narkoba di dalam LaPas, padahal konsep
“pemasyarakatan napi” dan ketentuan UU Narkoba memungkinkan mereka “dibina” di luar LaPas (kesempatan
“rehabilitasi” di Panti-Panti yang disediakan). Tetapi mengapa banyak yang
masih “dihukum” penjara
dalam LaPas yang sudah “over crowded”
? [6]
Kalau benar bahwa yang tertinggal di dalam LaPas adalah pecandu (pengguna
narkoba) yang tidak-mampu-membayar biaya rehabilitasi, maka perlu dikaji
mengapa diskriminasi yang terjadi seperti ini tidak pernah diberitakan dalam
media massa ? Yang tentunya juga menarik diteliti oleh para Kriminolog adalah bagaimana pertanggungjawaban Pimpinan LaPas
atas berita media massa bahwa banyak peredaran ilegal narkoba di masyarakat
diatur dari dalam LaPas (melalui ponsel dan kurir). Hampir tidak ada
“gebrakan pembersihan” ke dalam organisasi intern LaPas. Istilah impunity mungkin dapat dijelaskan dengan
contoh ini. Bukankah
ini menarik diteliti oleh ahli
Kriminologi Indonesia ?
8)-Akhir-akhir ini kita membaca di media massa tentang
tertembaknya atau ditembaknya
terduga kejahatan, ada yang terduga pelanggaran delik narkoba dan ada pula yang terduga anggota organisasi terorisme atau
ajaran radikalisme yang dilarang. Dengan meningkatnya penggunaan internet
di Indonesia, maka akan mudah bagi para bandar narkoba mengatur perdagangan
narkoba illegal mereka. Begitu juga bagi kelompok-kelompok yang mengajarkan
paham-paham radikal dan bermusuhan dengan kebijakan pemerintah, maka aplikasi
teknologi informasi (TI) mempermudah kegiatan mereka. Namun kecanggihan penggunaan TI
juga dipunyai oleh aparat penegak hukum kita, untuk mempermudah pelacakan kegiatan-kegiatan
yang ilegal. Contoh yang paling sering kita dengar atau baca adalah penangkapan
oknum (-oknum) yang melakukan transaksi ilegal korupsi/penyuapan pejabat
(dikenal sebagai OTT = Operasi Tangkap- Tangan). Dugaan saya adalah, bahwa
kecanggihan (penyadapan) petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan
transaksi ilegal korupsi, juga dipunyai oleh petugas Badan Anti-Narkoba maupun
petugas Badan Anti-Teror. Namun, yang
berbeda adalah bahwa petugas KPK tidak terdengar menembak seorang Terduga
Kejahatan Korupsi. Berbeda dengan petugas Anti-Narkoba dan Anti-Teror, yang
agak sering kita baca di Media Massa, menembak mati seorang Terduga kejahatan
yang melarikan diri dari penangkapan (yang akan ditangkap atau telah
ditangkap). Yang juga meresahkan saya adalah bahwa Kapolri telah “merestui”
penembakan ini (meskipun dengan dalih, “kalau melawan”). Keinginan massa agar
koruptor dihukum mati (dengan alasan agar seperti di China-RRT) dan membiarkan ditembak matinya
terduga bandar narkoba dan terduga anggota organisasi teror, menimbulkan pertanyaan:
sudah sedemikian kritiskah kejahatan-kejahatan tersebut sehingga menimbulkan
situasi “fear of crime” dalam
masyarakat dengan akibat “zero tolerance”
? Pertanyaan untuk peneliti Kriminologi Indonesia: apakah
masyarakat Indonesia telah menjadi masyarakat yang punitive (gemar menghukum-keras)
?[7]
Masa Yang Akan Datang:
9)-Dalam membangun Asosiasi Cendekia Kriminologi Indonesia, kita dapat mencontoh
keberhasilan komunitas-ilmiah/profesi bidang Ekonomi dan komunitas-ilmiah/profesi
bidang Kesehatan. Sepanjang pengetahuan saya, di Indonesia, kedua asosiasi-ilmiah ini yang paling
“bersatu” dan mempunyai jaringan kuat diantara para anggotanya, baik di kalangan profesi maupun akademisi.
Begitu pula hubungan asosiasi dengan para pembuat keputusan kebijakan (policy decision makers) tingkat nasional
maupun daerah terlihat cukup erat.[8]
Dengan latar belakang seperti itu, maka dalam penyusunan kebijakan dan
peraturan di bidang mereka masing-masing terlihat adanya kestabilan dan keselarasan. Sebaiknya Asosiasi Cendekia
Kriminologi Indonesia (ACKI) meniru kedua asosiasi tersebut di atas.
10)-Para ahli Kriminologi Indonesia sudah waktunya
menyadarkan para ahli Hukum Pidana Indonesia akan adanya tiga prinsip (golden rules) yang perlu diikuti dalam
merumuskan perbuatan-perbuatan tertentu menjadi terlarang dan diancam pidana:
a)hukum pidana hanya dapat dipergunakan untuk
menegaskan ataupun menegakkan kembali nilai-nilai sosial dasar (basic social values) hidup bermasyarakat
dalam negara Indonesia –
nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi negara Pancasila tentunya adalah
penting disini;
b)namun demikian hukum pidana sedapat mungkin juga
hanya dipergunakan dalam keadaan dimana cara lain melakukan pengendalian sosial
(social control) tidak atau belum
efektif (ingat asas: ultimum remedium),
karena itu harus dihindari kriminalisasi yang berlebihan;
c)dalam menggunakan hukum pidana sesuai dengan kedua
prinsip di atas, haruslah diusahakan dengan sungguh-sungguh bahwa caranya seminimal
mungkin mengganggu hak dan kebebasan
individu. Tentu
saja tanpa mengurangi
perlindungan kolektif masyarakat Indonesia yang demokratis dan modern (untuk
itu perlu diperhatikan Bab XA dalam konstitusi kita).-
Kesimpulan
Uraian diatas ingin menyimpulkan bahwa para
akademisi atau para ilmuwan di bidang
Kriminologi dapat memegang peranan penting dalam pembuatan putusan-kebijakan (policy decision making) dalam proses SPP.
Menurut saya, untuk itu mereka harus bekerja sama dengan para ahli hukum pidana
(akademisi, ilmuwan dan praktisi) membangun konsensus bilamana berhadapan
dengan tantangan menyusun politik kriminal yang efektif dan manusiawi. Mungkin
kita dapat belajar dari model-model penyusunan kebijakan di bidang Ekonomi dan
kebijakan di bidang Kesehatan (di Indonesia), yang telah sukses membuat model-model mereka
berpengaruh dalam pembuatan putusan kebijakan. Cara mereka (menurut saya)
adalah membangun jaringan antar para anggota komunitas-ilmiah (scientific community ) dengan para
pembuat kebijakan (policy makers) di
pemerintahan.
--00O00—
Disampaikan dalam Simposium Nasonal
Kriminologi Indonesia I
Auditorium Juwono Sudarsono, Kampus FISIP
Universitas Indonesia
Pada tanggal 19 September 2018
DAFTAR PUSTAKA (sebagai bagian rujukan untuk penelitian
Kriminologi Indonesia yang akan datang)
1-Cohen, Albert, Alfred Lindesmith, Karl Schuessler
(1956), The Sutherland Papers, Bloomington:
Indiana University Press.
2-Findlay, Mark & Ugljesa Zvekic (1993), Alternative Policing Styles-Cross Cultural
Perspectives, UN Interregional Crime and Justice Research Institute,
Deventer: Kluwer Law and Taxation Publishers – lihat Chapter 3: Community-Oriented Policing in Urban
Indonesia (Mardjono Reksodiputro dan Yanti Purnianti).
3-Golose, Petrus Reinhard (2008), Seputar Kejahatan Hacking-Teori dan Studi Kasus,Jakarta: Yayasan
Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.
4 - ----------------------------------- (2015), Invasi
Terorisme Ke Cyberspace, Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu
Kepolisian.
5-Han Bing Siong (1998), The Japanese Occupation of Indonesia and the Administration of
Justice-Myths and Realities, KITLV (Overdruk), Journal of the Humanities
and Social Sciences of Southeast Asia and Oceania.
6-Hazewinkel-Suringa (1953), Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Strafrecht, Haarlem:
Tjeenk Willink & Zoon N.V.
7-Kurniasari, Anne Safrina (2012), Kriminalisasi Penyiksaan oleh Pejabat Publik
Sebagai Konsekuensi Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan Di Indonesia, Ringkasan
Disertasi, Jakarta: Pascasarjana FH Universitas Indonesia.
8-Miller,Daniel & Don Slater (2003), The Internet - An Ethnographic Approach, Oxford:Berg.
9-Mustofa,Muhammad (2010), Kriminologi-Kajian Sosiologi Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang
dan Pelanggaran Hukum, Edisi Kedua, Bekasi:Sari Ilmu Pratama.
10-Ota,Tatsuya, Editor (2003), Victims and Criminal Justice – Asian Perspective, Tokyo: Keio
University – Lihat: Chapter 4: Victimization
in Indonesia: An Expensive Lesson (Mardjono Reksodiputro dan Mudzakkir);
dan Chapter 5: Protection of Female
Victim of Violence in Indonesia (Purnianti).
11-Reksodiputro,Mardjono (1997a), Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Buku Kedua, Jakarta:
Lembaga Kriminologi UI.
12- ------------------------------- (1997b), Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan
Pidana, Buku Ketiga, Jakarta: Lembaga Kriminologi UI.
13- ------------------------------- (2009), Menyelaraskan Pembaruan Hukum, Jakarta:
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia.
14- ------------------------------ (2015), “Politik Hukum dalam Bidang Penegakan Hukum
– Keynote Address”, Seminar Nasional Program Studi Magister Ilmu Hukum,
Universitas Bhayangkara Jakarta Raya.
15-Remmelink,Jan (2003), Hukum Pidana – Komentar atas pasal-pasal terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan padanannya dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia, Terjemahan Tristam Pascal Moeliono, Sh.LLM. dkk,
Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Utama.
16-Smartt,Ursula (2009), Law For Criminologist – A Practical Guide, London: Sage.
17-Zimring,Franklin E & Gordon J.Hawkins (1973), Deterrence – The Legal Threat in Crime
Control, Chicago: The University of Chicago Press.
[1]
Asisten Mahasiswa pada Lembaga Kriminologi UI (LKUI), 1959; Sarjana Hukum UI
1961, MA in Criminology Univ.Pennsylvania 1967, Gurubesar Tetap dalam Ilmu
Hukum UI 1993 – Ketua Peminatan Sistem Peradilan Pidana PPS-UI (sekarang);
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum (PMIH) Unv.Pancasila (sekarang) - Pernah menjadi: Ketua LKUI – PuDek 3 FIS-UI – Ses Kons.Ilmu
Sosial – Ses Kons Ilmu Hukum (KIH) – Ketua PDH FHUI – Ketua Panitia Penyusunan
KUHP Nasional - Dekan FHUI – Ketua Kajian Ilmu Kepolisian (KIK) UI - Ses Komisi
Hukum Nasional (KHN) RI - Anggota Board
ASEAN Law Association (ALA) – Anggota Board Asia Crime Prevention Foundation
(ACPF).
[2]
Ini adalah salah satu lembaga kriminologi tertua di dunia, baru tahun 1965 Prof. Leon Radzinowicz (University of
Cambridge) menulis buku The Need For
Criminology – and A Proposal for an Institute of Criminology, London:
Heinemann, khususnya hlm. 80 – 90.
[3]
Sayang pemikirannya tentang teori dialog tidak pernah dituliskan secara detil
dan lengkap, hanya di dalam kuliah dan ceramah-ceramahnya (antara lain untuk
konsep Bantuan Hukum Struktural) terdapat sedikit keterangan tentang bagaimana
teori ini. Lihat juga, Mas Achmad Santosa dan Henny Supolo (2012), Verboden Voor Honden En Inlanders Dan
Lahirlah LBH – Catatan 40 Tahun Pasang Surut Keadilan, Jakarta: Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, hal.158 dst-nya dan
hal.323 dst-nya.
[4]
Statistik Kejahatan/Kriminal memang dipergunakan untuk menghitung kejahatan
yang terjadi-namun perlu diingat bahwa yang tercatat hanyalah yang dilaporkan
dan diketahui oleh Polisi. Banyak yang tidak dilaporkan dan menjadi dark number in criminal statistics (misalnya
perkosaan atau penipuan oleh perusahaan Umroh). Menghitung perbandingan
antar-tahun atau antar-tempat juga harus memperhatikan jumlah, jenis dan umur
penduduk. Untuk menguji kebenaran statistik kriminal yang diperoleh, perlu juga
dilakuan victim surveys.
[5]
Keinginan menghukum mati pelaku Korupsi dan pelaku Narkoba sering “terdengar”
di Media Massa, a.l. yang menarik adalah pemberatan pidana oleh Hakim Agung dan
penolakan grasi oleh Presiden untuk terhukum mati bandar delik narkoba.
[6]
Secara keliru untuk menunjukkan “kelebihan-penghuni” di LaPas dipergunaka
istilah “over capacity” – ini berarti
LaPas-nya yang “kelebihan-ruangan” – seharusnya istilah yang benar adalah over
crowded- ada pendapat yang mengatakan bahwa biaya rehabilitasi yang mahal
menyebabkan hanya mereka dari keluarga mampu saja yang dapat mengongkosi
kerabatnya yang “kecanduan narkoba”, sehingga yang tertinggal di LaPas adalah
mereka yang berasal dari keluarga miskin.
[7]
Masyarakat Indonesia telah pernah mengalami situasi “zero tolerance” karena “fear
of crime”, yaitu keadaan yang kemudian dikenal sebagai “Petrus” (Penembakan
Misterius) dan diakui oleh Presiden Suharto, Pangab/Pangkopkamtib Jenderal LB
Murdani, Panglima Kopkamtib Sudomo dan Kaskopkamtib Jenderal Widjojo Soejono. Kegiatan
operasi ini dimulai awal tahun 1984 di Jogjakarta dibawah komando Dandim 0734
Garnizun Yogyakarta Letkol CZI Moch.Hasbi.
[8]
Pujian saya kepada kedua asosiasi ini memang relatif dan subyektif serta tidak
terlepas dari kekecewaan saya kepada asosiasi para ahli hukum dan praktisi
hukum (advokat dan notaris) yang tidak dapat menjaga kode etik profesi mereka
dan terpecah menjadi beberapa organisasi.