Menoleh Ke Belakang dan Mengantisipasi Ke Depan
(Suatu Catatan Tentang Beberapa Isyu Jaminan Hukum
Untuk Tersangka)
Pengantar
Dalam perdebatan di bidang hukum, maka perbedaan pendapat
yang terjadi sering sekali disebabkan adanya perbedaan dalam menafsirkan
sejumlah konsep dan asas dalam ilmu hukum. Karena itu di sini akan saya mulai
dengan memberikan penafsiran saya tentang beberapa hal yang perlu
diketahui untuk dapat mengikuti pemikiran saya.
Yang diminta kepada saya
adalah Kuliah Pembuka tentang Sejarah
Hukum Acara Pidana di Indonesia. Kalau mau sempurna, maka menurut saya kita
harus bicara tentang 1)Jaman
Hindia-Belanda: IR dan HIR; 2)Jaman RI: Terjemahan HIR (RIB) – KUHAP
1981 – sampai RKUHAP 2012; 3)UU
Kepolisian – UU Kejaksaan – UU Pemasyarakatan - UU Mahkamah Agung – dan UU
Pokok Kehakiman serta semua perubahannya; ditambah
lagi dengan 4)peranan
Komisi-komisi Pengawasan (oversight dan
bukan supervision): Komisi Kepolisian
– Komisi Kejaksaan – Komisi Yudisial; dan juga tentu tentang 5)lembaga-lembaga
baru: KPK – TIPIKOR – dan PPATK.
Pembahasan seluas dan
sedalam itu tidak akan mampu saya
lakukan, karena itulah saya memilih judul di atas. Kita “menoleh” ke Belakang, tidak “menengok” karena “menengok” itu
akan memerlukan pendalaman sejarah. Dan kita “mengantisipasi” ke Depan, dengan
memahami kata-kata bijak: “Apa yang kita
peroleh sekarang adalah hasil dari yang lalu, dan apa yang kita lakukan sekarang
akan berakibat kepada yang akan datang”. Jadi kita “ backward looking” sedikit dan kemudian “ forward looking”.
*Gurubesar Emiritus Kriminologi dan
Hukum Pidana Universitas Indonesia dan Universitas Pancasila.-
Karena itu pembicaraan
saya dalam makalah ini akan memakai sebagai pedoman dan acuan lima
karangan-lama saya, yaitu:
1)1993 – Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat
Kepada Kejahatan Dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi) – Pidato
pengukuhan Gurubesar, 30 Oktober;
2)2010 – Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana Indonesia
(Makalah Kuliah Umum UNBARI, Jambi dan yang pertama kali disampaikan pada Seminar
Komisi Hukum Nasional RI Desember 2009);
3) 2015a - Beberapa
Catatan tentang Perkembangan dan Permasalahan dalam Sistem Peradilan Pidana
Indonesia (Disampaikan pada Penataran FHUI di Depok, 6 Mei);
4) 2015b - Reformasi
Sistem Peradilan Pidana Indonesia – Menghadapi Tantangan Untuk Perubahan
(Disampaikan pada Upacara Penerimaan Mahasiswa Baru Sekolah Tinggi Hukum
Indonesia Jentera 14 September);
5) 2017 – Beberapa Catatan Untuk Perjalanan Sejarah Hukum
Pidana Indonesia (Disampaikan sebagai Kuliah Umum pada STHI Jentera 7 April
2016 dan 16 Maret 2017).
Tentang Tujuan
Hukum Pidana dan Acara Pidana
-Hukum Pidana materiil (substantive
– disingkat HPid) memuat norma-norma
berperilaku warga masyarakat Indonesia. Pelanggaran atas norma-norma
berperilaku itu di ancam dengan pidana. Tujuan HPid ini adalah menjaga
ketertiban berperilaku dalam hidup bermasyarakat. Asumsinya adalah bahwa HPid
juga bermanfaat menjaga moralitas masyarakat (moralitas tentang kehidupan, susila,
kejujuran, profesi, dll).
-Bila seseorang melakukan
pelanggaran HPid, maka dia akan diperiksa (dinamakan Tersangka) oleh Polisi untuk menentukan bukti-bukti pelanggarannya,
diserahkan kepada JPU untuk didakwa (dinamakan Terdakwa) di muka sidang Pengadilan dan kemudian diperiksa oleh
Majelis Hakim tentang kebenaran fakta kesalahannya, dan bila ini terbukti akan
dijatuhkan hukuman (dinamakan Terpidana)
serta bila hukumannya adalah pidana penjara akan diserahkan kepada Lembaga
Pemasyarakatan.
-Yang dinamakan Hukum Acara Pidana ( disingkat HAP –
hukum pidana formil) adalah norma-norma: hak dan kewajiban jalannya proses yang harus diikuti mulai dari
menjadi Tersangka sampai dengan menjadi Terpidana oleh seorang warga
masyarakat.
-Tujuan HAP adalah: 1)mengatur
batas kewenangan alat penegak hukum (Polisi dan JPU) serta Majelis Hakim
(dan seharusnya juga Petugas LAPAS); dan 2)melindungi seorang warga masyarakat dari
kesewenang-wenangan yang mungkin terjadi pada seorang warga yang menjadi
Tersangka atau Terdakwa atau Terpidana. Tujuan kedua ini “melindungi warga dari kesewenang-wenangan” (dapat dan
juga sebaiknya) dibantu oleh seorang Advokat (juga dinamakan Penasihat Hukum
atau Pengacara). Perlunya dibicarakan tentang tujuan kedua ini, adalah karena sering sekali tujuan kedua ini terabaikan,
karena masyarakat cenderung merasa marah kepada seorang Pelaku-kejahatan dan
lebih mengutamakan perhatiannya kepada pemberian “pembalasan/imbalan setimpal” (just
desert) kepada Pelaku dalam usaha melakukan “penghindaran oleh
calon-pelaku” (deterrence).
Pengabaian tujuan kedua ini dapat sangat merugikan seorang Tersangka, karena
adanya “upaya paksa” (dwangmiddelen) yang dipunyai oleh
Polisi, JPU dan Pengadilan. Melalui upaya-paksa ini seorang warga dapat
dinyatakan Tertuduh dan/atau Tersangka
untuk kemudian ditangkap, ditahan,
digeledah badan dan rumah/kantornya, disita/dirampas hartanya, dibuka
surat/dokumennya, diikuti segala perbuatannya dan didengar secara rahasia semua
pembicaraannya.
Upaya-paksa ini memang adalah kewenangan Negara untuk melindungi
warganya dari ancaman keamanan perilaku orang lain dan dinamakan “kewenangan kepolisian” yang
didelegasikan oleh Pemerintah (kekuasaan
Eksekutif) kepada dua lembaga penegak hukum (law enforcement agencies), yaitu Kepolisian dan Kejaksaan (yang
terakhir ini juga punya “kewenangan
pendakwaan”). Harus dibedakan
adalah “kewenangan kehakiman” yang
berada pada Pengadilan (kekuasaan
Yudikatif) dan yang juga berbeda
adalah “kewenangan membuat
undang-undang” yang berada pada DPR (kekuasaan
Legislatif). Ini adalah pembagian secara umum tentang kekuasaan Negara “mengatur dan melindungi” warganya (division of powers, bukan separation of powers). Sekarang di Indonesia ada KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) yang mempunyai juga “kewenangan kepolisian” (mempunyai
kewenangan upaya-paksa),karena itu (menurut saya) lembaga ini adalah bagian dari Kekuasaan Eksekutif (namun mereka
menolaknya, dengan menafsirkan secara keliru istilah “independen”- sebagai
berarti “bebas” (dari kekuasaan eksekutif ???) – seharusnya adalah “tidak
berpihak” atau “netral” !!!
Tentang Sejarah Singkat KUHAP 1981
-Ada IR (Inlands Reglement - Reglemen Bumiputera)
– yang tidak manusiawi memperlakukan Tersangka/Terdakwa/Terpidana penduduk
Golongan Bumiputera – beda dengan Sv
(Strafvordering) yang berlaku untuk
penduduk Golongan Eropah;
-Kemudian diganti oleh HIR ( Herziene Indonesich Reglement – Reglemen Indonesia yang diperBarui
– RIB) – diundangkan setahun sebelum Militer Jepang menduduki Indonesia – RIB
dinyatakan berlaku dengan “semangat lama kolonial Belanda” dicampur dengan
“semangat militer Jepang”;
-Semangat inilah yang diwarisi
lembaga penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) dan lembaga peradilan
(PN-PT-MA) Indonesia mulai tahun 1945
! Diprotes dalam Seminar Hukum Nasional Kedua di UNDIP-Semarang tahun 1968 dan oleh Lembaga Bantuan Hukum
(diprakarsai Buyung Nasution, Yap Thiam Hien, dkk PERADIN) - Diteruskan sampai
tahun 1981 dengan KUHAP 1981 – Terjadi sejumlah “miscarriage of justice” (peradilan
sesat) – karena semangat KUHAP 1981 yang
ingin mengedepankan HAM Tersangka /Terdakwa /Terpidana, kalah oleh tradisi semangat IR (kolonial Hindia-Belanda yang
memandang rendah seorang rakyat Bumiputera yang berbuat salah) dan
warisan semangat militer Kempetai-Jepang (yang memakai penyiksaan fisik atau
pemaksaan psikis untuk medapat pengakuan).
-Sekarang mulai tahun 2017 ingin diperbaiki kesalahan dan
kekeliruan yang lalu melalui RKUHAP 2012
– tetapi prosesnya lambat dengan banyak hambatan, antara lain adanya “benturan kepentingan memperoleh kekuasaan”
– antara lembaga –lembaga penegak hukum (Kepolisian – Kejaksaan – KPK), dengan
lembaga peradilan – dan sekarang juga dengan lembaga legislatif (DPR). Menurut saya keinginan
untuk mempunyai suatu sistem peradilan pidana (SPP) yang rasionil (tidak emosionil), dan manusiawi (tidak sewenang-wenang) masih memerlukan
waktu lama (mungkin masiih perlu satu
generasi ?!).
Tentang
Jaminan terhadap hak-hak Tersangka, Terdakwa dan Terpidana
Di atas telah dikatakan
bahwa tujuan kedua HAP adalah untuk
mencegah terjadinya kesewenang-wenangan oleh Eksekutif dalam menjalankan “kewenangan kepolisian” dan
“kewenangan penuntutan”.Pada dasarnya mencegah kesewenang-wenangan dalam proses
SPP (arbitrary process), dan ini
dilakukan melalui due process of law (proses
hukum yang adil). Konsep lain yang juga penting dalam HAP adalah asas legalitas yang berbeda dengan asas oportunitas. Dalam asas pertama, maka
semua pelanggaran hukum pidana harus diselesaikan melalui seluruh proses SPP,
sedangkan dalam asas kedua, maka JPU mempunyai kewenangan “menutup perkara”
atas dasar kepentingan umum. Ada dua macam asas oportunitas: “negatif” (dilakukan sangat terbatas –
seperti dalam KUHAP Indonesia), tetapi ada pula yang “positif” (apabila tidak diperlukan oleh kepentingan umum, maka
penuntutan dihentikan – contoh, seharusnya untuk Nenek Minah yang
diadili atas pencurian 3 buah Kakao di PN Malang).
Untuk dapat membantu
menyusun suatu UU HAP yang memenuhi tujuan kedua di atas, yang dapat menjamin proses hukum yang adil dan menganut
asas oportunitas positif, maka diperlukan suatu “desain prosedur” (procedural
design) yang mengarah ke tujuan tersebut.
Saya bukan ahli desain
(bangun-rancang), tetapi ada beberapa asas atau hak
Tersangka/Terdakwa/Terpidana yang ingin saya usulkan (mengantisipasi ke depan):
A)Hak untuk tidak menjawab
Dalam pemeriksaan di muka
Polisi dan JPU (dikenal dengan istilah “interogasi”), maka kepada Tersangka
diajukan sejumlah pertanyaan yang harus dijawabnya. Dalam beberapa kasus yang
dapat dibaca di media cetak, maka di muka Majelis Hakim, Terdakwa
“menarik-kembali” jawabannya yang telah diketik dan ditandatanganinya dalam
Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Alasannya adalah karena jawaban yang
diberikannya itu Terdakwa lakukan karena merasa “ditekan”. Dalam bahan pustaka
asing, asas ini dikenal sebagai “the
right to be silent” (hak untuk berdiam diri)-kalau ditelusuri sejarahnya,
maka timbulnya asas ini dari pengalaman dipergunakannya “aniaya fisik” (torture) untuk membuat seorang Tersangka
mengakui apa yang dituduhkan Penyidik
kepadanya. Asas ini seharusnya diawali dengan kewajiban Penyidik untuk “sebelum
dilakukan interogasi, Tersangka diberitahukan bahwa dia tidak berkewajiban
menjawab pertanyaan”. Kewajiban ini bersandar kepada dua asas lain:1)adalah kewajiban
Penegak Hukum yang akan mendakwa Tersangka untuk membuktikan dakwaannya, dan
apa yang dikatakan Tersangka dalam BAP dapat dipergunakan sebagai bukti di
persidangan Pengadilan; 2)tidak ada kewajiban Tersangka untuk membantu Penyidik
untuk memecahkan masalah dalam peristiwa kejahatan tersebut. Dari sini timbul pertanyaan: Bolehkah Terdakwa menarik kembali semua jawabannya dalam BAP, dengan
alasan jawabannya diberikan karena ada tekanan dari Penyidik” ?
B)Hak untuk melindungi privasi badan
Dalam hal sesorang
dicurigai oleh Polisi telah melakukan pelanggaran hukum pidana, maka Polisi
berhak menggledah badan/pakaian orang tersebut. Wewenang yang dilakukan Polisi
haruslah berdasarkan adanya “dugaan keras” (strong
suspicion) telah terjadi tindak pidana. Orang yang dicurigai tersebut
bukanlah seorang Tersangka, karena belum ada “bukti permulaan yang cukup”
(diperlukan dua alat bukti), karena itu kewenangan ini harus dilakukan dengan
hati-hati dan dengan alasan “adanya kecurigaan
(suspicion) yang menimbulkan dugaan (expectation)
keras”. Privasi badan adalah salah satu unsur HAM yang dilindungi. Pertanyaan: 1)pemeriksaan dalam razia senjata di jalan ?-2)pemeriksaan urine dalam razia narkoba di Diskotek ?-3)pengambilan DNA untuk perbandingan ?
(Perlukah ijin Hakim ?)
C)Hak untuk melindungi privasi rumah tempat tinggal
Rumah tempat tinggal
seseorang dilindungi oleh hukum, karena memasuki pekarangan tempat tinggal
seseorang diancam pidana dalam KUHP kita Ada beberapa alasan kenapa Polisi
merasa perlu memasuki rumah tinggal: 1)dalam rangka penyidikan kejahatan;
2)untuk menyita
sejumlah barang; dan 3)menangkap seorang
Tersangka /Terduga. Pada dasarnya memasuki ini haruslah dengan ijin
Penghuninya, atau dapat juga dengan ijin Hakim. Namun, dalam keadaan “darurat”
maka Polisi dapat memasuki rumah tempat tinggal tanpa ijin Penghuni atau Hakim.Pertanyaan: apakah dalam perlindungan privasi ini, juga termasuk gedung tempat
bekerja (gudang, bengkel, kantor)?
D)Hak untuk melindungi privasi komunikasi lisan dan tulisan
Pertama di sini adalah
perlindungan atas surat (komunikasi tulisan) yang dikirim melalui kantor Pos/kurir. Disini belaku ketentuan
tentang “rahasia-surat” (briefgeheim).
Selama dalam “transit” antara pengirim dengan penerima, maka surat ini dilindungi
hukum. Kedua adalah surat dan komunikasi dengan tulisan lain yang diperlukan
Penegak Hukum dalam rangka penyidikan (berada pada penerima atau pihak ketiga).
Ini dapat disita dengan menyerahkan tanda terima. Dalam hal komunikasi lisan
melalui telepon atau alat komunikasi lain, maka mendengarkan tanpa diketahui
oleh para pembicara dinamakan “penyadapan”. Untuk melakukan penyadapan ini ,
diperlukan ijin dari Hakim. Ijin ini pada dasarnya harus khusus (menyebut nama
orang, alasan dan batas waktu).Biasanya dalam penyadapan ini akan
terambil/tersadap juga informasi yang tidak berkaitan dengan kejahatan yang
sedang disidik. Informasi semacam itu harus segera dimusnahkan.Pertanyaan: Bolehkah dilakukan penyadapan secara “acak” ?
Tentang Asas-Asas Yang
Ditegaskan dalam Penjelasan KUHAP 1981
-Asas-asas Umum:
1)Perlakuan yang sama di
muka hukum tanpa diskriminasi apapun;
2)Praduga tidak bersalah;
3)Hak untuk memperoleh
kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi;
4)Hak untuk mendapat
Bantuan Hukum;
5)Hak untuk kehadiran
terdakwa di muka pengadilan;
6)Peradilan yang bebas dan
dilakukan dengan cepat dan sederhana;
7)Peradilan yang terbuka
untuk umum.
-Asas-asas khusus:
8)Pelanggaran atas hak-hak
individu (penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan) harus
didasarkan pada undang-undang dan dilakukan denga surat perintah (tertulis);
9)Hak seorang tersangka
untuk diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya;
10)Kewajiban pengadilan untuk
mengendalikan pelaksanaan putusan-putusannya.
*Telah disampaikan sebagai Kuliah Pengantar pada mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum
Jentera -
Jakarta, Senin 4 September 2017.
Jakarta, Senin 4 September 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar