NOTABENE
Merakyatkan Wibawa Negara
Hukum*
Presiden
Joko Widodo baru-baru ini meminta agar ada sesuatu yang harus dilakukan dengan
cepat. Ujar beliau: “… kalau ada percikan
sekecil apapun untuk segera diselesaikan … (dan) selesaikan pada saat api itu
masih kecil. Segera padamkan ! [1]
Apa yang dimaksudkan oleh Presiden ? Beliau tentu tidak bermaksud membicarakan
masalah “kebakaran”, tetapi ternyata masalah “penegakan hukum”. Apa yang
menyebabkan seorang Presiden sampai menginstruksikan hal tersebut ? Tentu hal
ini berkaitan dengan “iklim hukum” sekitar ucapan dalam pidato beliau waktu
itu. Di mana pidatonya ? Rupanya di muka tokoh-tokoh agama yang tergabung dalam
Forum Kerukunan Umat Beragama. Iklim hukum (ataukah iklim pelanggaran hukum ?)
waktu itu menyangkut isyu-isyu antara lain tentang: demonstrasi besar-besaran
yang dapat menimbulkan masalah SARA, dengan kemungkinan berimplikasi pada
pecahnya kerukunan hidup dalam NKRI dan mungkin juga dapat berimplikasi pada
di”goyang”nya pemerintahan yang sah. Peristiwa
“bom-bunuh-diri” yang terjadi di Kampung Melayu Jakarta Timur pada tanggal 24
Mei 2017, juga memperkuat dugaan adanya kelompok radikal ISIS yang
“menargetkan” timbulnya kekacauan dan
perasaan tidak aman dalam masyarakat Indonesia. Iklim hukum seperti ini
tentunya tidak membantu usaha pemerintah menarik modal asing masuk ke sini
untuk membantu pembangunan nasonal dan kekacauan pasti akan menggangu usaha
memperkuat perekonomian Indonesia untuk
mensejahterakan seluruh masyarakat.
Sebuah
buku yang terbit dalam tahun 1990-an di New York, berlatar belakang sebuah
teori tentang kesigapan kegiatan polisi di kota tersebut, dan dikenal sebagai
teori “Broken Windows”. Serupa dengan
pendekatan Presiden Jokowi, maka teori itu mengibaratkan bahwa, “bila dalam suatu daerah pemukiman terdapat
rumah kosong dengan jendela-jendela yang pecah (broken windows), maka
masyarakat harus segera
memperbaikinya, kalau tidak, hal itu akan menarik pelaku pelanggar hukum
menempati rumah kososng tersebut dan menjadikannya pusat kegiatan pelangaran
hukum di komunitas tadi”. Pemrakarsa teori ini membangunnya dari
pengalamannya menertibkan “kereta-api bawah-tanah”
(underground subway) di New York,
yang tadinya penuh dengan “graffiti”
(coretan dan lukisan oleh anak-anak muda). Kereta-api dan statsiun disekitarnya
menjadi anjang pertarungan perebutan kekuasaan antara kelompok-kelompok “anak-muda-brandal”
dan menimbulkan rasa tidak-aman pengguna transportasi tersebut. Dengan segera
membersihkan graffiti dan “melerai” perkelahian,
telah dicegah timbulnya keadaan di mana kereta-bawah-tanah itu menjadi pusat
kegiatan pelanggaran hukum (misalnya narkoba, mabuk alkohol dan pelecehan
seksual).[2]
Kerjasama kepolisian dengan masyarakat
pengguna transportasi ini, kemudian antara lain menjadi bagian dari teori
pemolisian komuniti (community policing).
Usaha Polda Sumut, Kalbar dan Kalteng menjalankan kegiatan “patroli kampung”
menghadang kemungkinan masuknya para “terduga teroris” melalui perbatasan di
daerah-daerah tersebut, adalah tepat sekali dan haruslah juga dengan falsafah “padamkan api,
segera, sewaktu kecil”.
Apa
kesimpulan yang dapat kita tarik dari uraian di atas ini ? Dalam Notabene
Desember 2016 yang lalu, saya mengutip dari dokumen program-kerja Presiden
Jokowi, dengan logo #KERJANYATA, adanya topik khusus Reformasi Hukum yang dirumuskan sebagai “Revitalisasi Dan Reformasi Hukum dari Hulu ke Hilir”. Rumusan ini sangat
menarik, lebih-lebih lagi dengan adanya dua alur pikiran yang mulai dengan
kalimat :” Menghadirkan kembali Negara
untuk melindungi segenap bangsa …”, dan “Menolak Negara lemah dengan
melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum …”. Mengkaitkan dokumen di atas
dengan pernyataan Presiden tentang perlunya “penegakan
hukum yang cepat/segera”, pada saya menimbulkan kesimpulan bahwa “Negara
Indonesia yang sedang berada dalam posisi lemah
itu harus segera dihadirkan kembali
dalam posisi yang lebih kuat !”. Sekali lagi, dengan melihat iklim hukum pada
saat pernyataan “dilontarkan”, dengan adanya masalah “kerukunan kehidupan
berbangsa”, maka memang terlihat adanya urgensi perlunya bergerak cepat, “padamkan api sewaktu masih kecil, jangan
tunggu apinya membesar!”. Tetapi apakah ini hanya ditujukan kepada alat
penegak hukum ? Menurut pendapat saya tidak – bergerak cepat ini harus juga
ditujukan kepada warga masyarakat, dan itu berarti mengajak partisipasi
masyarakat “bergerak cepat memadamkan api
sewaktu masih kecil”. Dalam konteks teori “Broken Windows” ,hal itu berarti : perlu mengajak masyarakat menegakkan kembali wibawa hukum, mengajak mereka
kembali memahami arti wibawa “negara hukum”.
Tidak
mungkin kita dapat mengajak masyarakat, apabila mereka tidak diberikan
pemahaman tentang arti dari “wibawa negara hukum” itu. Dan itu tidak dilakukan
dengan indoktrinasi atau ceramah dan pidato maupun slogan. Yang perlu adalah keteladanan,
yang perlu adalah masyarakat merasa
manfaatnya wibawa negara hukum itu untuk mereka, yang perlu adalah bagaimana
cara kita merakyatkan/mensosialisasikan wibawa negara hukum itu. Negara
harus dapat membuktikan bahwa hukum adalah panglima, bukan kekuasaan. Bukan
kekuasaan uang atau politik yang dijadikan acuan oleh para pemimpin negara kita,
melainkan menjalankan hukum yang seadil-adilnya dan memberi kepastian hukum yang menimbulkan rasa aman..
Haruslah diakui bahwa hal ini tidaklah mudah. Penegakan hukum pidana, perdata
dan administrasi negara oleh negara, haruslah dilaksanakan berdasarakan
asas-asas proses hukum yang adil. Karena
itu reformasi di bidang peradilan adalah yang utama dalam menjaga wibawa hukum.
Pengadilan harus dikembalikan menjadi benar-benar “benteng keadilan”.
Disamping
usaha di atas, yang juga penting dipikirkan adalah perlunya pendekatan atau strategi mengoperasionalkan konsep “Pemolisian
Komuniti” (Community Policing).
Masyarakat Indonesia yang majemuk (multi-ethnic
society) harus didekati dengan konsep masyarakat multi-kultural (multi-cultural society), yang lebih
menekankan kepada kesetaraan keanekaragaman kebudayaan Salah satu urgensi yang
dihadapi sekarang ini adalah bagaimana memberdayakan pemolisian komuniti. Janganlah
keanekaragaman suku-bangsa dapat menjadi potensi konflik,yang dapat di
manfaatkan pihak-luar (ingat konsep proxy
war) untuk memperlemah NKRI. Pemolisian Komuniti merupakan pendekatan
reformasi dalam falsafah pemolisian yang memperluas misi kepolisian untuk tidak
saja mengurus soal kejahatan dan penegakan hukum, tetapi juga mengajak masyarakat secara kreatif memecahkan permasalahan
disekitarnya, agar dapat timbul “rasa aman dalam diri masyarakat”.(MR).-
*Diterbitkan
dalam Jurnal SELISIK dari Program Magister Hukum Universitas Pancasila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar