Senin, 03 Juli 2017

Merakyatkan Wibawa Negara Hukum



NOTABENE

Merakyatkan Wibawa Negara Hukum*

Presiden Joko Widodo baru-baru ini meminta agar ada sesuatu yang harus dilakukan dengan cepat. Ujar beliau: “… kalau ada percikan sekecil apapun untuk segera diselesaikan … (dan) selesaikan pada saat api itu masih kecil. Segera padamkan ! [1] Apa yang dimaksudkan oleh Presiden ? Beliau tentu tidak bermaksud membicarakan masalah “kebakaran”, tetapi ternyata masalah “penegakan hukum”. Apa yang menyebabkan seorang Presiden sampai menginstruksikan hal tersebut ? Tentu hal ini berkaitan dengan “iklim hukum” sekitar ucapan dalam pidato beliau waktu itu. Di mana pidatonya ? Rupanya di muka tokoh-tokoh agama yang tergabung dalam Forum Kerukunan Umat Beragama. Iklim hukum (ataukah iklim pelanggaran hukum ?) waktu itu menyangkut isyu-isyu antara lain tentang: demonstrasi besar-besaran yang dapat menimbulkan masalah SARA, dengan kemungkinan berimplikasi pada pecahnya kerukunan hidup dalam NKRI dan mungkin juga dapat berimplikasi pada di”goyang”nya  pemerintahan yang sah. Peristiwa “bom-bunuh-diri” yang terjadi di Kampung Melayu Jakarta Timur pada tanggal 24 Mei 2017, juga memperkuat dugaan adanya kelompok radikal ISIS yang “menargetkan” timbulnya kekacauan dan perasaan tidak aman dalam masyarakat Indonesia. Iklim hukum seperti ini tentunya tidak membantu usaha pemerintah menarik modal asing masuk ke sini untuk membantu pembangunan nasonal dan kekacauan pasti akan menggangu usaha memperkuat perekonomian Indonesia untuk  mensejahterakan seluruh masyarakat.

Sebuah buku yang terbit dalam tahun 1990-an di New York, berlatar belakang sebuah teori tentang kesigapan kegiatan polisi di kota tersebut, dan dikenal sebagai teori “Broken Windows”. Serupa dengan pendekatan Presiden Jokowi, maka teori itu mengibaratkan bahwa, “bila dalam suatu daerah pemukiman terdapat rumah kosong dengan jendela-jendela yang pecah (broken windows), maka masyarakat harus segera memperbaikinya, kalau tidak, hal itu akan menarik pelaku pelanggar hukum menempati rumah kososng tersebut dan menjadikannya pusat kegiatan pelangaran hukum di komunitas tadi”. Pemrakarsa teori ini membangunnya dari pengalamannya  menertibkan “kereta-api bawah-tanah” (underground subway) di New York, yang tadinya penuh dengan “graffiti” (coretan dan lukisan oleh anak-anak muda). Kereta-api dan statsiun disekitarnya menjadi anjang pertarungan perebutan kekuasaan antara kelompok-kelompok “anak-muda-brandal” dan menimbulkan rasa tidak-aman pengguna transportasi tersebut. Dengan segera membersihkan graffiti dan “melerai” perkelahian, telah dicegah timbulnya keadaan di mana kereta-bawah-tanah itu menjadi pusat kegiatan pelanggaran hukum (misalnya narkoba, mabuk alkohol dan pelecehan seksual).[2] Kerjasama kepolisian dengan masyarakat pengguna transportasi ini, kemudian antara lain menjadi bagian dari teori pemolisian komuniti (community policing). Usaha Polda Sumut, Kalbar dan Kalteng menjalankan kegiatan “patroli kampung” menghadang kemungkinan masuknya para “terduga teroris” melalui perbatasan di daerah-daerah tersebut, adalah tepat sekali dan  haruslah juga dengan falsafah “padamkan api, segera,  sewaktu kecil”.
Apa kesimpulan yang dapat kita tarik dari uraian di atas ini ? Dalam Notabene Desember 2016 yang lalu, saya mengutip dari dokumen program-kerja Presiden Jokowi, dengan logo #KERJANYATA, adanya topik khusus Reformasi Hukum yang dirumuskan sebagai “Revitalisasi Dan Reformasi Hukum dari Hulu ke Hilir”. Rumusan ini sangat menarik, lebih-lebih lagi dengan adanya dua alur pikiran yang mulai dengan kalimat :” Menghadirkan kembali Negara untuk melindungi segenap bangsa …”, dan “Menolak Negara  lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum …”. Mengkaitkan dokumen di atas dengan pernyataan Presiden tentang perlunya “penegakan hukum yang cepat/segera”, pada saya menimbulkan kesimpulan bahwa “Negara Indonesia yang sedang berada dalam posisi lemah itu harus segera dihadirkan kembali dalam posisi yang lebih kuat !”. Sekali lagi, dengan melihat iklim hukum pada saat pernyataan “dilontarkan”, dengan adanya masalah “kerukunan kehidupan berbangsa”, maka memang terlihat adanya urgensi perlunya bergerak cepat, “padamkan api sewaktu masih kecil, jangan tunggu apinya membesar!”. Tetapi apakah ini hanya ditujukan kepada alat penegak hukum ? Menurut pendapat saya tidak – bergerak cepat ini harus juga ditujukan kepada warga masyarakat, dan itu berarti mengajak partisipasi masyarakat  “bergerak cepat memadamkan api sewaktu masih kecil”. Dalam konteks teori “Broken Windows” ,hal itu berarti : perlu mengajak masyarakat menegakkan kembali wibawa hukum, mengajak mereka kembali memahami arti wibawa “negara hukum”.

Tidak mungkin kita dapat mengajak masyarakat, apabila mereka tidak diberikan pemahaman tentang arti dari “wibawa negara hukum” itu. Dan itu tidak dilakukan dengan indoktrinasi atau ceramah dan pidato maupun slogan. Yang perlu adalah keteladanan, yang perlu adalah masyarakat merasa manfaatnya wibawa negara hukum itu untuk mereka, yang perlu adalah bagaimana cara kita merakyatkan/mensosialisasikan wibawa negara hukum itu. Negara harus dapat membuktikan bahwa hukum adalah panglima, bukan kekuasaan. Bukan kekuasaan uang atau politik yang dijadikan acuan oleh para pemimpin negara kita, melainkan menjalankan hukum yang seadil-adilnya dan memberi kepastian hukum yang menimbulkan rasa aman.. Haruslah diakui bahwa hal ini tidaklah mudah. Penegakan hukum pidana, perdata dan administrasi negara oleh negara, haruslah dilaksanakan berdasarakan asas-asas proses hukum yang adil. Karena itu reformasi di bidang peradilan adalah yang utama dalam menjaga wibawa hukum. Pengadilan harus dikembalikan menjadi benar-benar “benteng keadilan”. 

Disamping usaha di atas, yang juga penting dipikirkan  adalah perlunya pendekatan atau strategi mengoperasionalkan konsep “Pemolisian Komuniti” (Community Policing). Masyarakat Indonesia yang majemuk (multi-ethnic society) harus didekati dengan konsep masyarakat multi-kultural (multi-cultural society), yang lebih menekankan kepada kesetaraan keanekaragaman kebudayaan Salah satu urgensi yang dihadapi sekarang ini adalah bagaimana memberdayakan pemolisian komuniti. Janganlah keanekaragaman suku-bangsa dapat menjadi potensi konflik,yang dapat di manfaatkan pihak-luar (ingat konsep proxy war) untuk memperlemah NKRI. Pemolisian Komuniti merupakan pendekatan reformasi dalam falsafah pemolisian yang memperluas misi kepolisian untuk tidak saja mengurus soal kejahatan dan penegakan hukum, tetapi juga mengajak masyarakat secara kreatif memecahkan permasalahan disekitarnya, agar dapat timbul “rasa aman dalam diri masyarakat”.(MR).-

*Diterbitkan dalam Jurnal SELISIK dari Program Magister Hukum Universitas Pancasila.
   



[1] Business News,No.8998, 29 Mei 2017, Induk Karangan
[2] Lihat buku George Kelling and Catherine Coles, Fixing Broken Windows. Restoring Order and Reducing Crime in Our Community (First Touchstone Edition, 1997).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar