Assalamualaikum Wr.Wb. - Salam
Sejahtera Bagi Kita Semuanya,
Yth. Para Anggota Senat
Akademik Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera,
Yth. Pimpinan, Dosen dan
Mahasiswa serta Hadirin lainnya Yang Kami Muliakan.
Pertama-tama tentunya selamat kepada Sekolah Tinggi Hukum
Indonesia Jentera, atas hari peresmian
pembukaan perkuliahan tahun pertamanya ini. Tahun akademik 2015/2016 - yang
sekaligus juga merupakan Acara Penyambutan Mahasiswa Baru. Semoga kehadiran
sekolah tinggi ini akan menghasilkan lulusan yang dapat membantu mempercepat
reformasi hukum di Indonesia.
Hadirin yang kami
muliakan,
Doa saya tentang harapan dipercepatnya
reformasi hukum di Indonesia, disebabkan karena saya merasakan kekecewaan yang
besar tentang hal ini. Kepada saya diminta untuk memberikan Orasi Ilmiah
tentang “Reformasi Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, dan karena itu saya akan
fokus pada tema tersebut. Meskipun demikian, tentu saya hanya dapat “mengangkat”
(highlight) beberapa permasalahan
saja, yang secara subyektif, saya
rasakan telah atau akan merupakan “suatu tantangan untuk perubahan” (a challenge for change).
Pada tahun 2004 (11 tahun
yang lalu), saya menulis makalah dengan judul “Masih adakah Harapan untuk
Reformasi di Bidang Hukum ?”. Tulisan ini meminta antara lain, agar reformasi
hukum harus mendampingi reformasi di bidang politik dan di bidang ekonomi. Hal
ini disebabkan karena (menurut saya) pada tahun-tahun sebelumnya, hukum hanya
dianggap sebagai “embel-embel” (komponen tambahan yang tidak atau kurang
penting) dalam reformasi di bidang ekonomi dan bidang politik, di masa Orde
Baru Pemerintahan Presiden Suharto (1968-1998). Memang, tentu saja, telah ada
perubahan di bidang hukum, namun hukum di masa itu berarti sekedar perubahan peraturan
perundang-undangan.[1]
Tentu saja peraturan harus dan telah berubah, mengikuti perubahan iklim ekonomi
(pembangunan ekonomi antara lain melalui investasi modal asing) dan perubahan
iklim politik (pembaharuan politik antara lain melalui penyederhanaan partai
politik), namun tidak ada perubahan mendasar di bidang hukum. Dalam tulisan saya tahun 2004, saya mengatakan sebagai
berikut[2]:
“Salah satu masalah utama … adalah tidak adanya kepastian hukum untuk
berusaha di Indonesia. Ketidakpastian hukum terutama disebabkan oleh politik
pembangunan ekonomi selama kurang lebih 30 tahun, yang mengabaikan pembangunan sistem
hukum. Seharusnya hukum dapat membantu dan menunjang berbagai permasalahan dan
ketidakadilan yang timbul berbarengan dengan kemajuan ekonomi yang dicapai
masyarakat. Para pejabat pemerintah (birokrat) bersikap tidak membantu tegaknya
hukum, karena sering menerbitkan peraturan-peraturan yang bertentangan dengan
hukum dan sering pula membuat keputusan-keputusan yang bersifat diskriminatif
dan arbitrer (mementingkan dan mendahulukan kelompok dan golongan elite-ekonomi
tertentu).”
Dalam tulisan tersebut,
meskipun ada nada kecewa, namun saya
masih optimis, bahwa semangat
pembaruan dalam Era Reformasi (yang dimulai tahun 1998 – 17 tahun lalu), akan
berubah ke arah: “hukum yang adil,
berpihak kepada kepentingan umum (sebagian besar rakyat) dan berwibawa …”.[3]
Tetapi pada penghujung akhir tahun 2015 ini saya telah kehilangan optimisme itu. Namun demikian, saya ingin segera
menambahkan bahwa janganlah pesimisme
ini juga “menular” pada Anda para Mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum Jentera
ini, justru pada Anda terletak harapan
saya, agar optimisme 17 tahun yang lalu dapat kembali !
Hadirin sekalian,
Saya sekarang ingin
menjelaskan pesimisme saya, namun, dengan harapan agar menjadi cambuk dan pegangan para Mahasiswa
Jentera untuk senantiasa turut berjuang mengubah pesimisme ini menjadi
optimisme. Sesuai dengan fokus makalah ini, maka saya akan memberi catatan pada
bidang Hukum Pidana (materiil maupun formil) dan penegakan hukumnya.
Pembaruan Hukum Pidana Materiil
Ini dilakukan antara lain
melalui perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kita (S.1915 No.732)
yang mulai berlaku tahun 1938 (77 tahun yang lalu), warisan pemerintahan Hindia
Belanda. Setelah beberapa kali gagal, maka pada tahun 1982 (33 tahun yang lalu) suatu Tim RUU Hukum
Pidana mulai bekerja di Departemen Kehakiman (sekarang Kementerian Hukum dan
HAM). Hasil Tim (setelah lebih dari 10 tahun bekerja) diserahkan kepada Menteri
Kehakiman Ismail Saleh (tahun 1993 - yang “mewariskannya” sebulan kemudian
kepada Menteri Kehakiman Oetojo Oesman). Konsep KUHP Nasional ini, dinamakan
“re-kodifikasi”, untuk menekankan bahwa rancangan ini tetap menekankan asas
“kodifikasi” di bidang hukum pidana (dalam arti dan tujuan: “to improve the accessibility, comprehensibility,
consistency and certainty of the criminal law”[4]).
Secara singkat, kodifikasi bertujuan memperbaiki Hukum Pidana kita dalam hal: kemudahan mencapai semua aturan pokok, pemahaman
artinya, kemantapan atau konsistennya antara aturan yang satu dengan yang lain
dan kepastian dalam perumusannya. Adapun
pembaharuan yang dilakukan dalam Konsep KUHP Nasional ini berintikan asas-asas
berikut[5]
:
1)bahwa hukum pidana juga dipergunakan untuk menegaskan atau
menegakkan kembali nilai-nilai sosial
dasar perilaku hidup bermasyarakat dalam negara kesatuan Republik Indonesia
yang dijiwai oleh falsafah dan ideologi Negara Pancasila;
2)bahwa hukum pidana sedapat mungkin hanya dipergunakan dalam keadaan di mana cara lain melakukan pengendalian
sosial tidak atau belum dapat diharapkan keefektifannya;
3)dalam menggunakan hukum pidana sesuai dengan kedua pembatasan
di atas, harus diusahakan dengan sungguh-sungguh bahwa caranya seminimal mungkin menggangu hak dan kebebasan individu,
tanpa mengurangi perlindungan terhadap kepentingan kolektifitas masyarakat
demokratik yang modern;
4)harus secara jelas
dan dalam bahasa yang dapat dipahami masyarakat Indonesia merumuskan: (a)perbuatan apa yang merupakan tindak
pidana, dan (b)kesalahan macam apa yang
disyaratkan untuk memberikan pertanggungjawaban pidana kepada seorang pelaku.
Sebagaimana telah kita
ketahui bersama, Konsep KUHP Nasional ini, baru diajukan ke DPR pada penghujung
tahun 2013 (setelah 20 tahun beredar di jajaran
birokrasi) dan inipun dengan protes agar dicabut kembali dari DPR (menurut
saya dengan alasan yang tidak memahami arti kodifikasi dan dengan pertimbangan
politik, bukan pertimbangan hukum)[6].
Konsep terakhir yang saya peroleh (2015), menurut saya, juga tidak
memperhatikan secara seksama ke-empat asas tersebut di atas. Terutama keinginan
(yang tercermin dari media massa cetak dan elektonik) untuk selalu
mempergunakan hukum pidana dan hukuman yang berat untu melakukan pengendalian sosial.
Hal ini (menurut saya) mecerminkan semangat yang bertentangan dengan asas ke-2
di atas.
Asas ke-2 ini memang
terbawa oleh pemikiran di bidang Kriminologi, dan tentunya oleh latar belakang
pendidikan para perancang KUHP Nasional Versi ke-1 (1993).[7] Perbedaan pemikiran dan cara pandang
tentang penggunaan hukum pidana, yang banyak dianut oleh para sarjana hukum,
menurut saya, terbawa oleh pendidikan yang sifatnya terutama merupakan suatu
penjelasan rinci secara yuridis (juristic
exposition) tentang hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Memang
cara ini disertai pula pengenalan kepada
pasal-pasal dan pemahaman tentang asas-asas utama dan konsep-konsepnya, tetapi
pada dasarnya pendidikan ini adalah sangat teknis-yuridis, sebagaimana
diharapkan dikuasai oleh sarjana hukum yang akan bekerja sebagai praktisi hukum
(advokat, jaksa dan hakim). Jarang sekali Dosen memberikan suatu uraian kritis
tentang yurisprudensi (putusan pengadilan) tertentu, sebagai suatu sikap
tertentu dari pengadilan Indonesia, ataupun mengajak debat tentang latar
belakang penyusunan dan perumusan undang-undang pidana atau ketentuan pidana
tertentu, sebagai sikap tertentu dari pembuat undang-undang di Indonesia.
Politik kriminal (criminal policy) yang
berbeda untuk masa-masa tertentu, misalnya masa Hindia-Belanda, Militer Jepang,
Orde Lama, Orde Baru dan Era Reformasi, juga hampir tidak dibahas secara
kritis. Menurut pendapat saya, seharusnya, orientasi dari para sarjana hukum
kita (terutama para Jaksa dan Hakim) akan dapat diperkaya dengan pemahaman yang
lebih baik di bidang Kriminologi dan Sosiologi/Antropologi serta Psikologi.
Apalagi Negara kita ini adalah negara dengan masyarakat majemuk
(multi-kultural).[8]
Pembaharuan Hukum Pidana Formil
Pembaharuan hukum acara
pidana kita, dari HIR (atau RIB – Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui), telah
dilakukan pada tahun 1981 dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Kemajuan dalam bidang hukum acara ini, sebenarnya juga tidak terlalu menggembirakan, dilihat
dari “semangat reformasi” dikalangan komunitas hukum (saya maksudkan disini lembaga
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan kepengacaraan/advokat) dan “benturan
kewenangan” yang terjadi. Sebenarnya, keinginan mengubah HIR/RIB 1942, yang
dianggap “sangat bersifat inkuisitor (inquisitoir)”,
telah disepakati dalam Seminar Hukum Nasional Ke-2 tahun 1968 (di UNDIP-Semarang), tetapi baru
berhasil 13 tahun kemudian, dan itupun berkat perjuangan gigih dari Prof. Oemar
Senoadji dan Menteri Kehakiman Moedjiono. Meskipun di “promosikan” sebagai
“Karya Agung”, yang lebih mengedepankan HAM (Hak Asasi Manusia:
Tersangka-Terdakwa-Terpidana), namun masih banyak kritik yang diajukan, bahwa
“semangat inkuisitor”-nya belumlah hilang.[9]
Bagi saya hal ini tidak
mengherankan, karena euphoria mempunyai
KUHAP Nasional melupakan dua hal: 1)bahwa semangat (budaya-kerja) yang
dipunyai penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) dan penegak keadilan
(pengadilan) pada awal Republik Indonesia (1945-1950) adalah “semangat inkuisitor
IR (Inlands Reglemen)”, yang oleh Pemerintah
Hindia Belanda akan diganti dengan
HIR/RIB tahun 1942 (dan perubahan semangat ini belum sempat terjadi, karena
timbulnya perang Dunia Kedua); dan 2)semangat
cara pemeriksaan Kempetai Jepang (dan pengalaman kekerasan jaman perjuangan
revolusi kemerdekaan) telah juga mewarnai
“budaya-kerja” sistem peradilan pidana (SPP) Indonesia. Karena itulah, maka
sekarang ada usaha untuk mengajukan Konsep KUHAP Baru, yang bersama-sama dengan
Konsep KUHP Nasional, diajukan ke DPR pada Desember tahun 2013. Namun, seperti dapat dilihat dan dibaca (melalui media massa
cetak dan elektronik), Konsep KUHAP Baru ini telah mendapat tantangan pula dengan berbagai alasan, yang menurut saya,
merupakan alasan-alasan politik (masalah benturan kekuasaan dan kewenangan) dan
bukanlah alasan hukum.
Apa sebenarnya
permasalahannya ? Untuk para pendukung
perubahan, alasannya a.l. adalah KUHAP 1981 belum mencerminkan “promosinya”
sebagai “Karya Agung” yang menghormati HAM. Ini berarti kritik pada semangat
inkuisitor SPP Indonesia, yaitu:1)Tersangka
masih dinilai sebagai (hanya) obyek pemeriksaan; dan 2)Hakim terlalu memihak pada JPU dengan mendasarkan pemeriksaan di sidang
pengadilan (hanya) pada apa yang diajukan dalam Surat Dakwaan (yang berdasarkan
Berita Acara Penyidikan), dan karena itu melalaikan tugasnya sebagai Hakim
netral (tidak berpihak) memeriksa dan mencari “kebenaran materiil”.
Kecenderungan sifat
inkuisitor ini, menurut saya, lebih parah lagi ditahap penyidikan. Kecuali “kekerasan”
yang (dapat) dilakukan dalam tahap penyidikan, terutama terhadap Tersangka yang
“lemah ekonomi dan pendidikan”(miskin dan bodoh), pada akhir-akhir ini dapat
terlihat juga dilakukannya intimidasi dan perbuatan melawan hukum dengan cara “mengumumkan” (ke publik) bahwa seorang
adalah Tersangka suatu kejahatan. Tersangka ini tidak ditangkap (atau segera
dilepaskan setelah ditangkap) dan tidak-ditahan,
agar Penyidik tidak diajukan ke lembaga
Pra-peradilan. Namun, sebagai Tersangka, ia dapat dikenai berbagai pembatasan haknya, misalnya:
dibatasi kepergian ke luar negeri, dibatasi pemakaian rekening banknya,
digeledah kantor dan rumahnya, disita berbagai barang miliknya, semua dengan
alasan untuk mencari tambahan bukti
(?) kejahatan Tersangka. Saya berpendapat bahwa Tersangka (yang tidak ditangkap dan tidak ditahan) ini, berhak
mengajukan gugatan Pra-peradilan, karena posisi sebagai Tersangka ini dapat
“dibiarkan” oleh Penyidik sampai tidak terbatas waktunya (dengan alasan:”belum cukup
bukti untuk diajukan ke JPU” ??). Saya berkesimpulan bahwa perkembangan “cara
penyelidikan dan penyidikan” macam ini perlu diperhatikan dan diawasi, karena
mempunyai kecenderungan dapat menjadi
“pemerasan”.
Pembaharuan Penegakan Hukum
Pertama-tama koreksi saya
tentang istilah ini: -penegakan hukum memang berarti “the enforcement of the law” atau “rechtshandhaving”
dan menyangkut juga proses peradilan dalam sistem kehakiman (judicial system), tetapi kalau bicara
tentang lembaga atau orangnya, maka pengertian ini harus dibatasi menjadi hanya untuk Kepolisian dan Kerjaksaan, sebagai
law enforcement agencies/ officers. Karena
itu saya pernah menulis keberatan saya untuk menyebut Hakim sebagai Penegak
Hukum, sebaiknya “Penegak Keadilan” (Justice)
dan juga Advokat, sebaiknya
dinamakan juga “Pembela” (Defender) atau “Pengacara” ( Counsellors at Law).
Dalam periode akhir tahun
2014 dan permulaan tahun 2015 ini, menurut saya, tampak “buruknya” wajah
penegakan hukum kita. Kiranya tidak perlu diulang kembali secara rinci beberapa
kejadian yang mencoreng wajah penegakan hukum kita. Hanya untuk penyederhanaan
saja, saya ingin menggolongkannya dalam tiga
kelompok. Pertama adalah sengketa yang terjadi antara lembaga Kepolisian
dengan lembaga KPK, kedua adalah “debat” tentang perlunya kewenangan “istimewa”
dalam menghadapi kejahatan korupsi, dan ketiga masalah Lapas menjadi “pasar
narkoba”.
Masalah pertama dapat dianggap berakar pada
“persaingan kelembagaan”, yang “lumrah” terjadi selama dipicu semangat
meningkatkan prestasi. Tetapi apa yang terjadi, memberi gambaran yang berbeda,
“keinginan unggul” telah dijustifikasi untuk persaingan yang tidak-sehat. Hal
yang kedua, mungkin masih berakar
juga pada kompetisi menjadi “yang terunggul” dalam memberantas korupsi. Namun
dalam hal kedua ini, persaingan tidak saja berakibat kepada personil lembaga,
tetapi juga berdampak kepada hak-hak warga masyarakat. Sejauh mana “hak
privasi: privacy rights” dapat di
“korban”kan untuk perlindungan kepentingan kolektifitas ? Hal yang ketiga, untuk saya “menakjubkan” !
Lapas yang dengan konsepsi “pemasyarakatan narapidana” (yang digagas oleh
Menteri Kehakiman Sahardjo dalam tahun 1962-53 tahun lalu), yang seharusnya
menjadikan Negara “wali dan pelindung” warga-nya yang tersesat, dan
menjadikannya “sadar dan siap kembali ke masyarakat”, ternyata membenarkan
pendapat “kuno” bahwa “Lapas adalah
suatu sekolah tinggi untuk meningkatkan kemahiran melakukan kejahatan”.
Kembali kepada masalah utama tulisan ini : “tantangan untuk
melakukan perubahan” – maka dengan melihat kepada praktik penegakan hukum yang
terlihat (dan tersembunyi) selama ini, saya melihatnya dengan pesimistis.
Seharusnya banyak yang dapat dilakukan apabila “semangat reformasi hukum pidana”
dilakukan melalui antara lain, suatu “desain prosedur” yang saya sampaikan pada
awal tulisan ini. Dasarnya adalah menegaskan kembali nilai-nilai sosial dasar
perilaku hidup bermasyarakat (basic
social values) apa yang ingin ditegakkan hukum pidana kita, tetapi,hukum pidana hanyalah
dipergunakan dalam keadaan tertentu saja, yaitu dalam hal pengendalaian sosial dengan cara
lain tidak efektif (ultimum remedium),
dan selalu diingat agar seminimal
mungkin menggangu hak dan kebebasan warga, meskipun tanpa mengurangi
perlindungan untuk kolektivitas (tetap menghormati “the rights of offenders and prisoners”).Dalam kurun waktu dekat yang
akan datang, marilah kita komunitas hukum, mau melakukan refleksi tentang wajah “pembangunan
hukum pidana” kita pada masa-masa terakhir ini. Mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum
Jentera, dapat memeloporinya melalui debat, diskusi dan seminar kelas.
Penutup
Sebagai penutup, perkenankan
saya mengutip salah satu kesimpulan saya pada penghujung tahun 2011 (empat
tahun lalu), maaf, kembali lagi, secara
agak panjang:
“Setelah kita meliwati masa Orde Lama dengan Bung Karno
sebagai Pemimpin Besar Revolusi, yang mengutamakan politik sebagai panglima,
kita telah memasuki masa Orde Baru dengan Pak Harto sebagai Bapak Pembangunan
yang mengutamakan ekonomi sebagai panglima. Sekarang kita sedang memasuki Era
Reformasi yang pada awalnya menginginkan reformasi di segala bidang dan
terutama di bidang hukum, dimulai dari amandemen terhadap UUD 1945, berbagai
TAP-MPR(S) dan juga peraturan-peraturan yang menjurus kepada KKN. Adanya Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial,
KPK, Pengadilan TIPIKOR, PPATK, KPPU, KHN, Ombudsman (KON), Komisi Kepolisian,
Komisi Kejaksaan, Komnas HAM dan lainnya yang sejenis, menunjukkan bahwa
reformasi di bidang hukum dianggap penting, sebagai motor penggerak terjadinya
perubahan radikal dari keadaan iklim politik dan iklim ekonomi masa Orde Baru.
Sayangnya aspirasi awal Era Reformasi ini sekarang hampir tidak terdengar lagi”
[10]
Menurut pendapat saya,
keadaan ini belum berubah dan karena itu perkenankan saya mengutip lagi dari
tulisan tersebut, sebagai berikut:
“Aspirasi masyarakat memang sering tidak terdengar nyata, seperti
heningnya malam, tetapi seperti arus sungai, arus inspirasi ini terus mengalir,
makin lama makin deras dan kemudian terkumpul dalam ‘samudera frustasi’, yang
akhirnya dapat mengamuk seperti ombak yang dapat memecah batu karang”[11]
Sekian, dan terima kasih atas perhatian yang diberikan.
*Makalah ini telah disampaikan dalam Acara
Penyambutan Mahasiswa Baru dan Pembukaan Tahun Akademik 2015/2016 STHI Jentera
– Senin, 14 September 2015 di Puri Imperium Office Plaza, UG Floor
Unit 15 - Kuningan, Jakarta 12980.
[1]Lihat pendapat saya dalam “Mencoba Memahami Hukum dan Keadilan”
dalam Mardjono Resodiputro,2009, Menyelaraskan
Pembaruan Hukum, diterbitkan oleh Komisi Hukum Nasional RI, hal.3 – 9.
[2] Dalam Arief T.Surowidjojo
(Editor),2004,Pembaharuan Hukum:Kumpulan
Pemikiran Alumni FHUI, diterbitkan oleh Jakarta: ILUNI-FHUI, hal. 193 – 208.
[3] Ibid, hal.197.
[4] Mike Molan et all,2003,Modern
Criminal Law, Fifth Edition, London:Cavendish
Publishing Ltd.hal.10
[5] Lihat Mardjono Reksodiputro,2007.Pembaharuan Hukum Pidana-Kumpulan Karangan, Buku Keempat, diterbitkan
oleh Jakarta: Lembaga Kriminologi UI,hal.23-24.
[6]Serangan terhadap adanya Bab tentang Kejahatan KORUPSI dalam
Rancangan KUHP Nasional, sebagai usaha memperlemah KPK dan pemberantasan
korupsi di Indonesia, tidak kuat – dibanyak KUHP asing kita akan menemui bab
dan pasal tentang “Penyuapan dan Pengaruh Koruptif” (Bribery and Corrupt Influence).Pertimbangan politiknya, menurut
saya, terletak pada persaingan tidak sehat antar lembaga penegak hukum dan ketakutan
hilangnya kekuasaan yang diberikan undang-undang lama.
[7] Mardjono Reksodiputro, op.cit
,hal.13 untuk Daftar Panitia Penyusunan Rancangan KUHP (yang diserahkan
tahun 1993).
[8] Lihat untuk penjelasan lebih lanjut tentang “Pemikiran Kriminologi
dalam Rancangan KUHP Baru”, ibid, hal.37-51,
dan juga Mardjono Reksodiputro,1997, Kriminologi
dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan, Buku Kedua, diterbitkan
oleh Jakarta: Lembaga Kriminologi UI.
[9] Uraian lebih rinci dapat dibaca dalam Mardjono Reksodiputro,2007, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan
Pidana, diterbitkan oleh Jakarta: Lembaga Kriminologi UI.
[10] Mardjono Reksodiputro,2013,Perenungan
Perjalanan Reformasi Hukum, diterbitkan oleh Jakarta: Komisi Hukum RI,hal.34-35
[11] Ibid, hal.35