Ketua
Mahkamah Agung, Bapak Purwoto S. Gandasubrata, S.H., menyatakan dalam makalah
beliau dua hal yang menarik perhatian kami. Pertama, bahwa meskipun sebagian
besar ketentuan-ketentuan hak asasi manusia (HAM) yang ada dalam Konstitusi
RIS (1949) dan UUD-sementara (1950) tidak terdapat dalam UUD-1945, "namun
tidak berarti bahwa HAM tersebut tidak berlaku di negara RI, karena ketentuan
HAM itu dapat ditemukan dalam pelbagai perundang-undangan dan hukum positif
yang berlaku di negara kita". Dan yang kedua dalam rangka pelaksanaan
kongkret HAM itu dikatakan beliau: "Tidak kalah pentingnya adalah peranan Pengadilan/Hakim
yang melalui putusan-putusannya dalam kasus kongkret ... selalu berpegang
teguh pada HAM berdasarkan Pancasila**.11
Kami ingin
mengambil contoh hukum positif Indonesia yang telah mengandung asas-asas HAM.
Kami ingin membahasnya dengan meminta perhatian yang lebih besar dari Pengadilan/Hakim,
bahwa kepada merekalah akhirnya semua pandangan ditujukan untuk menguji apakah
di Indonesia HAM secara kongkret dilindungi atau tidak. Adanya asas-asas HAM
dalam peraturan perundang-undangan kita, tidak banyak artinya apabila tidak
dilindungi dan ditegakkan oleh dan dalam Pengadilan.
HAM
berdasarkan Pancasila
Contoh hukum
positif Indonesia yang akan dipergunakan adalah Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP). Dalam Penjelasan KUHAP dapat dibaca "celaan"
terhadap HIR (yang berlaku di Indonesia sampai 1981) dan pernyataan bahwa KUHAP
(yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945) mementingkan: "... penghayatan,
pengamalan dan pelaksanaan hak asasi manusia maupun hak serta kewajiban warga
negara". Pernyataan yang segera muncul adalah apakah ada perbedaan antara
pengertian "hak asasi manusia" dan "hak warga negara"?
Dalam literatur, "human rights" (HAM) dikatakan
mempunyai tiga unsur: "civilrights" (-burgerrechten; hak
warga/warga negara),"political rights" dan "social
rights". T.H. Marshall mengatakan
bahwa "civil rights" adalah:
"the
rights to defend and assert all one's right on terms of
equality
with others and by due process oflaw".2)
Hak warga
negara inilah menurut hemat kami yang utama dibanding dengan hak politik dan
hak sosial. Mengapa? Karena hanya apabila "hak warga negara" ini
benar-benar dimiliki oleh para warga negara dan dipertahankan oleh pengadilan,
barulah hak politik dan hak sosial mempunyai arti.
Pengertian HAM itu sendiri, seperti dikatakan dalam makalah Ketua Mahkamah
Agung, adalah: "... hak yang inhaerent dipunyai oleh setiap manusia
makhluk Tuhan dan merupakan
anugrah
Tuhan kepada semua hamba-Nya tanpa pandang bulu..."3* Dari sini
dapat kita katakan bahwa HAM adalah hak- hak yang demikian melekat pada sifat
manusia, sehingga tanpa hak-hak itu kita tidak mungkin mempunyai martabat
sebagai manusia. Karena itu pula harus kita nyatakan bahwa HAM itu tidak dapat
dicabut (inalienable) dan tidak boleh dilanggar (invio-lable).
Inipun sejalan dengan pernyataan Presiden Republik Indonesia bahwa:
"...Konsep hak asasi yang kita anut adalah penjabaran dari sila
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, yang disemangati oleh sila-sila lainnya dari
Pancasila".4* Karakteristik inilah yang membedakan HAM dari
hak-hak lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan kita. Yang terakhir
ini hanyalah "legal rights"yang diberikan oleh hukum.
Dalam KUHAP dipergunakan untuk "civil rights" istilah hak
dan kewajiban warga negara. Pandangan bahwa penyebutan "hak" selalu
harus dibarengi dengan pengertian adanya "kewajiban" timbul dari
pemahaman yang benar, bahwa hak dan kewajiban itu adalah simetris. Yang
keliru adalah kesimpulan bahwa hak dan kewajiban itu berada pada subyek
(individu) yang sama. Dengan contoh: kalau A mempunyai hak X, maka B
mempunyai kewajiban yang berhubungan dengan hak X tersebut, atau kalau
A mempunyai kewajiban Y, maka B mempunyai hak yang berkaitan dengan
kewajiban Y itu. Seperti telah disampaikan terlebih dahulu, HAM (termasuk
hak warga negara) melekat pada manusia dan hanya dapat dimiliki oleh warga
negara. Sedangkan kewajiban yang merupakan bagian simetri dari hak warga negara
terdapat pada negara, karena hanya negaralah yang mempunyai kekuasaan
memelihara dan melindungi hak warga negara tersebut. Karena itu apabila ingin
dipergunakan istilah "hak dan kewajiban asasi manusia", maka
pengertiannya adalah adanya hak pada individu (manusia) dan adanya
kewajiban pada pemerintah (negara). HAM pada individu menimbulkan kewajiban
pada pemerintah/negara untuk melindungi individu tersebut terhadap setiap
kemungkinan pelanggaran, termasuk pelanggaran dari negara atau aparat
pemerintahan sendiri.
HAM dan KUHAP
Setelah orde
baru berhasil mengatasi kekacauan G30S/PKI, maka dengan semangat "negara
hukum", "rule of law", dan
"kembali kepada UUD 1945 secara mumi dan konsekuen", maka masyarakat
hukum Indonesia segera menyelenggarakan pertemuan nasionalnya berupa Seminar
Hukum Nasional II (27-30 Desember 1968). Dalam seminar yang bertemakan:
"Pelaksanaan Negara Hukum Berdasarkan Demokrasi Pancasila", terdapat
salah satu komisi yang membicarakan permasalahan: "hukum acara pidana dan
hak-hak asasi manusia". Dalam diskusi dan kesimpulan seminar terungkap
bagaimana parahnya pelanggaran HAM (terutama tentang "hak-hak
warga negara" dalam proses peradilan pidana) pada masa Orde Lama. Kritik
yang diajukan bukan lagi ditujukan kepada hukum acara pidana kolonial
yang masih diberlakukan di negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat, tetapi
sudah diarahkan kepada cara perlakuan aparat hukum dalam jaman Indonesia
merdeka kepada warga negara sendiri. Perbuatan sewenang-wenang yang tidak
berbeda sifatnya dengan apa yang pernah dialami oleh rakyat Indonesia dari
aparat hukum kolonial Hindia Belanda maupun kekuasaan militer fasis Jepang
tahun 1942-1945.
Diundangkannya hukum acara pidana nasional kita pada akhir tahun 1981
[tiga belas tahun setelah Seminar Hukum Nasional 1968) sangat melegakan
hati dan memberi harapan baru bagi terwujudnya cita-cita Orde Baru dalam bidang
keadilan hukum. Lebih-lebih lagi karena dalam Penjelasannya maupun dalam
pendapat akhir fraksi-fraksi di DPR ditegaskan bagaimana pentingnya KUHAP
mengatur perlindungan terhadap "keluhuran harkat serta martabat manusia
Indonesia".
Marshall dalam pengertian yang telah dikutip
sebelumnya menyatakan bahwa "hak warga negara" (civil rights) adalah:
"hak seorang untuk membela diri dan menuntut hak-haknya dengan pengakuan
atas kebersamaan kedudukannya di dalam hukum (equality
before law) dan dengan melalui proses hukum yang adil (due process
of law)" (terjemahan bebas dengan penafsiran penulis). Marilah
kita melihat nanti apakah KUHAP yang pernah dicanangkan merupakan "karya
agung" memuat perlindungan atas hak warga negara ini. Tetapi marilah kita
melihat dahulu apakah yang dimaksud dengan "due process of law" itu.
Sangat keliru, pengertian "proses hukum yang adil" atau "due process of law", hanya
dikaitkan dengan penerapan aturan- aturan KUHAP terhadap tersangka dan
terdakwa. Pertama harus dipahami bahwa "proses hukum yang adil"
adalah lawan dari "proses hukum yang sewenang-wenang, yang hanya berdasarkan
kuasa aparat penegak hukum" (arbitrary process). Kedua, bahwa makna
dan hakikat "proses hukum yang adil" tidak saja berupa penerapan
hukum atau peraturan perundang- undangan (yang diasumsikan adil) secara formal,
tetapi juga mengandung jaminan akan "hak atas kemerdekaan" dari seorang
warga negara (bandingkan dengan alinea UUD-1945 yang meyatakan: "Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa...").
Kembali ke "proses hukum yang adil" dalam KUHAP, maka dasar
pemikiran berikut ini kiranya dapat membantu. Meskipun seorang warga negara
telah melakukan suatu perbuatan yang tercela atau sangat tercela (sehingga
menimbulkan keresahan dalam masyarakat), hak-haknya sebagai warga negara
tidaklah hapus atau hilang (baik sebagai tersangka, terdakwa maupun terpidana).
Kitapun harus ingat, bahwa untuk diri kita sendiri kita dapat mendisiplinkan
diri untuk tidak melakukan pelanggaran hukum. Tetapi dapatkah kita menjamin
pada diri kita, bahwa kita akan "bebas dari risiko" menjadi
tersangka, terdakwa dan terpidana? Inilah yang merupakan inti keresahan dalam
tahun 1968 dan menimbulkan harapan dalam tahun 1981.
Marilah kita
kembali sebentar menengok pada sejarah. Suasana pada tahun 1968 dan perjuangan
selanjutnya mewujudkan KUHAP, kira-kira dapat dianalogikan dengan keadaan
menjelang Revolusi Prancis tahun 1789 (duaratus tahun yang lalu). Rakyat
Perancis mengambil inspirasi dari ucapan Montesquieu (1698-1755),
ahli hukum Perancis dan penulis filsafat tentang sejarah dan masalah
kenegaraan, yang menyatakan:
"Apabila warga negara tidak mempunyai perlindungan
untuk membela diri dalam
kesalahannya, maka dia tidak mempunyai perlindungan pula dalam mempertahankan
kemerdekaannya".5)
Tuntutan
perubahan hukum acara pidana Perancis pada waktu itu antara lain menyangkut 10
(sepuluh) hal:6)
(1) Keterbukaan
proses;
(2) Bantuan
penasehat hukum;
(3) Penghapusan
memaksa tersangka bersumpah;
(4) Persamaan
posisi antara penyidik/penuntut dengan tersangka/terdakwa;
(5) Pembatasan
kekuasaan hakim pemimpin penyidikan;
(6) Motivasi
yang jelas dalam putusan hakim;
(7) Penghapusan
menyeluruh pemeriksaan dengan penyiksaan;
(8) Penghapusan
peradilan pidana dalam bentuk khusus;
(9) Pengajuan ke
muka pengadilan 24 jam setelah penangkapan dan dalam hal delik yang tidak
serius pembebasan tersangka dengan jaminan; dan
(10)Kemungkinan
untuk para saksi dalam hal dikonfrontasikan dengan tersangka/terdakwa, menarik
kembali keterangan yang diberikan sebelumnya, tanpa ancaman pidana karena
memberi kesaksian palsu.
Dengan
uraian pendek tentang sejarah Perancis di atas ingin dikemukakan, bahwa hukum
acara pidana (KUHAP) janganlah dilihat sebagai hukum yang semata-mata
berhubungan dengan para penjahat dan pelanggar hukum pidana saja, tetapi harus
dilihat pula sebagai hukum yang menjamin kemerdekaan warga negara.
Asas-asas
dalam KUHAP mengenai HAM
Memahami KUHAP, tidak hanya dengan mempelajari pasal-
pasalnya. Seharusnya dipelajari pula; sejarah pembentukkan- nya dan
"desain prosedur" sistem peradilan pidana yang ditata melalui KUHAP.
Dan ternyata disinilah kita dapat membaca asas-asas HAM yang harus merupakan
pedoman dalam memahami dan menafsirkan arti ketentuan-ketentuan yang tercantum
dalam pasal-pasal KUHAP. Hal ini sangat sering dilupakan oleh para penegak
hukum (kepolisian dan kejaksaan), para pembela dan pengadilan. Mengenai
desain-prosedur (procedural design) dari KUHAP, dapat ditafsirkan bahwa
maksud pembuat undang-undang adalah memberi "peran utama" kepada
Pengadilan atau sidang pengadilan. Hal ini didasarkan antara lain pada ketentuan
KUHAP (pasal 191 dan 197) yang menyatakan bahwa baik dalam "putusan
bersalah" maupun "putusan bebas" hal ini harus didasarkan pada
"fakta dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan
di sidang". Karena itu pulalah sangat tepat pendapat Ketua Mahkamah Agung
yang melihat pentingnya peranan putusan Pengadilan/Hakim untuk selalu berpegang
teguh pada HAM.
Pemahaman kita tentang desain-prosedur ini sangat penting, karena hanya
dalam tahap di sidang pengadilan terdakwa dan pembelanya dapat berdiri tegak
sebagai pihak yang bersamaan derajatnya berhadapan dengan penuntut umum. Pengadilan
wajib menjamin sepenuhnya hak-hak kedua belah pihak, hak penuntut umum adalah
mendakwa dan hak terdakwa adalah membela diri terhadap dakwaan. Jaminan yang
penuh ini hanya dapat berlangsung apabila kita selalu dapat meyakini netralnya
dan bebasnya pengadilan/hakim (an independent- judiciary). Sering suatu
desain-prosedur hukum acara pidana, terlalu berat memberikan penekanan kepada
hak-hak pejabat negara untuk "menyelesaikan perkara" atau
"menemukan kebenaran", ketimbang memperhatikan hak-hak seorang warga
negara untuk membela dirinya terhadap kemungkinan persangkaan atau pendakwaan
yang kurang atau tidak benar ataupun palsu.
Kita dapat membayangkan bagaimana suatu masyarakat yang dihadapkan pada
krisis peningkatan kriminalitas atau pelanggaran hukum pidana tertentu ataupun
dikejutkan dengan terjadinya suatu tindak pidana, dapat menghadapi si
tersangka dengan kemarahan moral yang besar. Dalam keadaan seperti ini proses
penyidikan, penuntut dan pemidanaan di-anggap sebagai tidak mempunyai
permasalahan hukum. Dalam keadaan ini begitu mudah seorang tersangka, seorang
warga negara seperti kita, tanpa melalui prosedur hukum yang adil berubah
"status hukumnya" menjadi penjahat dan musuh masyarakat. Tidak jarang
proses semacam ini diikuti dengan degradasi si individu
tersangka/terdakwa/terpidana. Proses, pembelaan argumentasi hukum dan perlunya
hakim yang bebas dan tidak memihak dianggap sebagai mengada-ada. Suatu proses
yang dikenal dengan nama "lynchjustice" (proses keadilan semu
untuk menggantung orang) yang dapat kita lihat dalam film-film "Western".
KUHAP kita tidak menghendaki hal ini, tidak menghendaki suatu proses
peradilan dimana seorang tersangka sudah dijatuhi "putusan bersalah"
sebelum prosesnya dimulai. Perjuangan kita melepaskan diri dari penjajahan
Belanda, mengharuskan kita- pun tidak mengikuti proses peradilan yang cocok
untuk jaman kolonial Hindia-Belanda itu. Itulah sebabnya kita mengganti HIR
dengan KUHAP.
Apa yang ingin diganti oleh bangsa Indonesia dari HIR melalui KUHAP?
Proses pembentukan KUHAP (1969-1981) menunjukkan bahwa yang ingin
diperjuangkan adalah pemahaman untuk melihat proses peradilan pidana itu
sebagai bertandasan proses hukum yang adil (due process of law), di mana
hak-hak tersangka/terdakwa/terpidana dilindungi dan dianggap sebagai bagian
dari hak-hak warga negara (civil rights) dan karena itu bagian dari HAM.
Pertimbangan pertama dari KUHAP menyatakan: "bahwa negara Republik
Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum..." Dimanakah harus kita cari
asas-asas yang oleh pembuat undang-undang ingin dipergunakan sebagai pedoman
perlindungan HAM, yang harus dipergunakan untuk memahami dan menafsirkan KUHAP?
Ternyata dalam Penjelasan KUHAP kita dapat menemukan 10 (sepuluh) asas yang
mengatur perlindungan KUHAP terhadap "keluhuran harkat serta martabat
manusia". Adapun kesepuluh asas itu adalah:7'
(1) Perlakuan
yang sama di muka hukum, tanpa diskriminasi apapun;
(2) Praduga
tidak bersalah;
(3) Hak untuk
memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi;
(4) Hak untuk
mendapat bantuan hukum;
(5) Hak
kehadiran terdakwa dimuka pengadilan;
(6) Peradilan
yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana;
(7) Peradilan
terbuka untuk umum;
(8) Pelanggaran
atas hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan
penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat
perintah (tertulis);
(9) Hak seorang
tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya; dan
(10) Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan
pelaksanaan putusan-putusannya.
Kesepuluh
asas di atas harus dikembangkan lebih lanjut dan dijadikan pedoman bagi
pelaksanaan KUHAP yang benar-benar memperhatikan dan melindungi hak-hak sipil
(HAM). Inilah yang kemudian akan mendasari diperhatikan dan dilindunginya
unsur-unsur HAM yang lain, seperti hak-hak politik dan hak- hak sosial.
Di bawah ini akan diberikan sekedar contoh bagaimana asas- asas yang secara
singkat ada dalam Penjelasan KUHAP dapat ditafsirkan sehingga menjadi pedoman
dalam pelaksanaan KUHAP pada umumnya, dan (seperti yang diinginkan oleh Ketua
Mahkamah Agung) mempertegas peranan Pengadilan/Hakim dalam putusan-putusnya
untuk: "... selalu berpegang teguh pada HAM berdasarkan Pancasila".
Contoh yang diambil adalah mengenai asas ke-6: "peradilan yang bebas dan
dilakukan dengan cepat dan sederhana", serta asas ke-10 "kewajiban
pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan-putusanya".bahwa
tanggungjawabnya berakhir dengan diberikannya putusan. Sikap semacam ini
tidaklah benar, karena khususnya dalam hal pidana perampasan kemerdekaan
(pidana penjara) ketetapan keputusan pengadilan tersebut masih perlu diuji.
Apapun yang dianut dalam hal teori pemidanaan, tetapi yang tetap harus diingat
adalah bahwa dengan "hilangnya" terpidana dibalik tembok penjara dia
tidak kehilangan haknya sebagai warga negara. Perlindungan yang diberikan oleh
KUHAP terhadap "harkat dan martabat manusia" tetap mengikat
terpidana juga ke dalam penjara. Dalam suatu sistem peradilan pidana yang
terpadu (integrated criminal justice system) tahap purna-ajudikasi sama
pentingnya dengan tahap-tahap terdahulunya. Juga disini harus dianut pandangan
bahwa tahap ajudikasi (sidang pengadilan) tetap "dominan" dalam
seluruh proses. Proses baru terhenti pada saat terpidana dilepaskan kembali ke
masyarakat sebagai sorang warga negara yang telah menyelesaikan pidana yang
diberikan negara kepadanya melalui pengadilan. Tanggung jawab moral hakim
mewajibkan mengikuti dan melindungi hak-hak terpidana di dalam penjara. Lebih
kuat lagi alasan ini bilamana kita mengingat bahwa putusan pengadilan (hakim)
diberikan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Tegaknya keadilan bagi terpidana juga merupakan tanggung jawab hakim selama
yang bersangkutan berada dalam penjara.
Sehubungan asas kesepuluh ini, perlu dikemukakan tentang lembaga baru yang
diciptakan oleh KUHAP, yaitu "Hakim Pengawas dan Pengamat"
(selanjutnya Hakim Wasmat). Karena penjelasan KUHAP maupun Pidato Sambutan
Pemeritah Atas Persetujuan DPR terhadap Rancangan KUHAP (disampaikan tanggal 23
September 1981) tidak memberi keterangan lebih lanjut tentang Hakim Wasmat
ini, maka dipergunakan Penjelasan Rancangan (yang diajukan 12 September 1979)
dan Keterangan Pemeritah dihadapan Rapat Paripurna DPR tanggal 9 Oktober 1979.
Dengan mempergunakan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7 tahun 1985 (SE MA
7/1985), maka kami menafsirkan tugas "pengawasan pelaksanaan putusan
pengadilan" (pasal 33 ayat (2), UU No. 14/1970) dan tugas Hakim Wasmat
dalam KUHAP (pasal 277) sebagai: secara aktif menjaga agar tidak terjadi
pelanggaran terhadap hak-hak terpidana yang memperoleh putusan pidana penjara.9*
Bagaimana kalau Hakim Wasmat menemukan atau mendapat laporan tentang
pelanggaran terhadap hak-hak ini? Menurut pendapat (penafsiran) kami, selama
hal itu merupakan pelanggaran-pelanggaran kecil, hal ini dapat diselesaikan
dengan "pegawasan horizontal" (administratif-
persuasif dan koreksi sendiri oleh Lembaga Permasyarakatan). Akan tetapi dalam hal teijadi pelanggaran besar atau serius (misalnya penganiayaan atau matinya
narapidana), maka hal ini harus diselesaikan secara hukum melalui sidang
pengadilan. Dalam kaitan ini perlu diingat bahwa seorang narapidana pun tetap
dij amin haknya untuk meminta bantuan hukum. Tidak ada ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan Indonesia, yang menghilangkan hak-hak terpidana
(sebagai warga negara, dan karena itu tetap dilindungi hak-hak warga negara
atau hak- hak sipilnya) untuk memperoleh bantuan hukum dari seorang atau lebih
penasihat hukum untuk membela hak-hak sebagai narapidana dalam sistem
pemasyarakatan yang berdasarkan Pancasila.
Kesimpulan
Uraian yang
telah disampaikan ingin menggarisbawahi pendapat Ketua Mahkamah Agung, bahwa
dalam hukum positif kita (dalam hal ini KUHAP) telah terdapat ketentuan tentang
perlindungan HAM. Juga bahwa Pengadilan/Hakim melalui putusan-putusanya selalu
harus berpegang teguh pada HAM berdasarkan Pancasila. Adanya asas-asas yang
berintikan HAM dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, tidaklah banyak
artinya apabila tidak dilindungi dan ditegakkan oleh Pengadilan. Dalam hukum
selalu dikatakan: dimana ada hak, maka selalu harus ada kemungkinan untuk
menuntut dan memperolehnya apabila dilanggar (ubi jus ibi remedium). Kelanjutan
logis dari asas ini adalah penafsiran, bahwa hanya apabila ada proses hukum
untuk menuntutnya, dapat dikatakan adanya hak bersangkutan (ubi remedium ibi
jus).
KUHAP dalam
penjelasan telah memberi pedoman bagaimana hak-hak sipil (hak-hak warga
negara) dilindungi dalam proses peradilan pidana. Peradilan harus menjaga bahwa
selalu ada kemungkinan untuk menuntut dan menperolehnya apabila hak-hak
tersebut dilanggar. Hak-hak warga negara yang dilindungi dalam proses
peradilan pidana seharusnya tidak mempunyai perbedaan yang berarti
antara negara-negara ASEAN, juga tidak dengan negara-negara beradab di dunia
ini. Bukankah konsep hak asasi yang kita anut adalah penjabaran dari sila
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab?
*Tulisan ini telah dimuat dalam
buku “Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia” terbitan PT Eresco Bandung
tahun 1995
CATATAN
(1) Purwoto S. Gandasubrata, SH (Ketua
Mahkamah Agung Republik Indonesia, "Pandangan Umum tentang Hak Asasi
Manusia (HAM) Ditinjau
dari Aspek Hak-hak Sipil dan Politik (Di Indonesia)", makalah yang disampaikan pada
Seminar DPR-RI tanggal 5 Pebruari 1993.
(2) Dikutip dari Paul
Sieghart, The Lawful Rights of Mankind (An Introduction to the International
Legal Code of Human Rights), Oxford University Press, 1986.
(3) Purwoto S.
Gandasubrata, SH, op.cit.
(4) Pidato Presiden Republik Indonesia di muka Sidang DPR/MPR pada HUT ke-45
RI (16 Agustus 1990).
(5) Dikutip dari A.A.G. Peters, "Individuele Vrijheid en de positie van verdachten in het strafproces", dalam Praesidium Ubertatis,
Kluwer, 1975.
(6) Esmein (diterjemahkan oleh John
Simpson), A History of Continental Criminal Procedure. With Special
Reference To France, New York: A.M. Kelley, 1968.
(7) Mardjono
Reksodiputro, "Hak-hak
Tersangka dan Terdakwa
Dalam KUHAP Sebagai Bagian dari Hak-hak Warga Negara (Civil
Rights)", disampaikan
dalam Seminar tentang KUHAP di FHUI tanggal 6 Maret 1990.
(8)
Ibid.
(9)
Mardjono
Reksodiputro, "Peran dan Tanggung Jawab Hakim Pengawas dan Pengamat
terhadap Hak-hak yang Menurut HukumDimilikiNarapidana (suatu makalah
pembanding)", disampaikan dalam Seminar Senat Mahasiswa FHUI, tanggal
27 November 1991.