Disarikan dari:
Herbert Packer, 1964, Two
Models of the Criminal Process;
-----------------------, 1968,
The Limits of the Criminal Sanction;
Kent Roach, 1999, Due
Process and Victims’ Rights: The
New Law and Politics of Criminal Justice
Crime-Control
Model (CCM)
Penekanan
adalah kepada bunyi undang-undang hukum pidana/hukum acara pidana yang dibuat
oleh DPR.Diharapkan agar sanksi pidana memang akan menjamin perlindungan HAM
tentang kebebasan hidup–sosial dan memang diperlukan untuk menjamin ketertiban
dalam masyarakat. Karena sumber daya Manusia (SDM) dalam proses penegakan hukum
terbatas, maka fokus proses dalam SPP
adalah kepada proses yang Cepat dan Tuntas (speed and finality). Caranya
adalah dengan memberikan wewenang penuh kepada Penegak Hukum (Polisi dan JPU) untuk
menyingkirkan mereka yang tidak (terbukti) bersalah dan memberi
wewenang penuh kepada Pengadilan untuk memeriksa
dan mengadili serta memberi putusan (bersalah atau tidak bersalah ) dan memberi sanksi pidana (bagi yang
bersalah), tanpa atau setidak-tidaknya seminimal mungkin tantangan dari
Terdakwa/Advokatnya maupun kesempatan upaya hukum banding dan kasasi.
Proses ini dapat
dibayangkan sebagai suatu assembly line (
“ban berjalan” dalam sebuah perusahaan buah) yang ditangani oleh Polisi dan JPU
yang profesional dan kompeten dalam bidangnya, untuk menyingkirkan para
Tersangka yang tidak-bersalah dari proses SPP, dan hanya membawa pilihan
Tersangka yang patut jadi Terdakwa dan Terpidana ke muka sidang Pengadilan.
Advokat hanya diperlukan di Pengadilan untuk membantu peringanan pidana.
Advokat hanya akan mengganggu “speed and
finality” dalam proses di Kepolisian dan Kejaksaan (dan KPK ?). Proses
banding dan kasasi harus dipergunakan seminimal mungkin, karena kemungkinan
peradilan sesat (miscarriage of justice)
adalah minimal dengan Penegak Hukum dan Peradilan yang profesional dan kompeten
dalam bidangnya. Disini kepercayaan masyarakat kepada proses yang adil dan dtangani SDM yang profesional haruslah besar.
Due
Process Model (DPM)
Penekanan
adalah kepada proses di Pengadilan tingkat pertama, banding dan kasasi. Putusan
kasasi Mahkamah Agung diharapkan dapat mengkukuhkan/menjamin adanya hak-hak hukum
dan upaya-upaya hukum yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang
Tersangka, Terdakwa dan Terpidana. Apabila seseorang menjadi Tersangka, maka
adalah Pengadilan yang harus menentukan melalui “Pra-peradilan” (preliminary hearing) apakah memang ada
cukup bukti (prima facie case)
menjadikannya Tersangka untuk nantinya didakwa dalam sidang Pengadilan tingkat
pertama. Dikatakan juga oleh Packer: “the
due-process model starts with skepticism about the morality and utility of the
criminal sanction “. Dalam DPM fokus adalah kepada “kesetaraan” (equality) dalam arti bahwa semua
Tersangka, -tanpa memperhatikan kekayaan maupun status sosial-,berhak atas
perlakuan yang sama, antara lain didampingi oleh Advokat. Memang DPM memberikan
berbagai “pengekangan” (restraints)
kepada Penyidik, terutama terhadap Tersangka dalam melaksanakan upaya-paksa,
seperti: penangkapan (arrest) dan
penahanan sementara (pre-trial detention ),
juga terdapat kewajiban Penyidik untuk memberitahu Tersangka tentang
hak-haknya, khususnya: the right to be
silent dan the right to contact counsel. Dikatakan oleh Packer :” … it is up to the state to make its case aginst a defendant without forcing him to co-operate in the
process and without capitalizing on his ignorance of his legal rights” ( MR:
…tugas Negara/Polisi dan JPU untuk membuktikan dakwaan terhadap seorang
Tersangka/Terdakwa, dan mereka tidak
boleh memaksa Tersangka/Terdakwa untuk membantu dalam proses tersebut dan juga
janganlah mereka memanfaatkan ketidaktahuan Tersangka/Terdakwa tentang
hak-haknya menurut hukum ).
Proses ini dapat
dibayangkan sebagai suatu “obstacle
course” ( “lari dengan rintangan”
dalam atletik), dimana tindakan Polisi dan JPU dalam tahap Penyidikan diawasi
oleh Advokat (ini rintangannya), untuk menghindari pemanfaatan “buta-hukumnya”
Tersangka/Terdakwa. Di asumsikan di sini bahwa kelompok yang “buta hukum”
adalah pada umumnya kelompok minoritas dan kelompok orang-miskin (inilah a.l. dasar
dibentuknya LBH oleh Buyung Nasution,dkk pada tahun 1970-an). Inilah juga yang
merupakan dasar disusunnya UU Bantuan Hukum dan kewajiban Kantor Advokat
memberikan “waktu pro deo” membantu
orang miskin dan kelompok minoritas yang buta-hukum.
Catatan MR:
(1)Model
CCM dan DPM ini dibuat opleh Packer berdasarkan pengamatan dan analisanya
tentang CJS/SPP di Amerika Serikat.
Dia juga mengakui bahwa dalam praktek “bandul SPP” akan selalu bergerak antara
CCM dan DPM, dalam arti untuk kejahatan-kejahatan ringan, maka “semangat
DPM” akan ditaati, namun dalam
kejahatan-kejahatan serius/berat, maka “semangat CCM” akan lebih dominan.
Peranan putusan Mahkamah Agung banyak menentukan dalam hal pengekangan atas kewenangan negara dalam menjalankan amanat memberantas
kejahatan, terutama apakah terjadi pelanggaran Konstitusi (ingat Amandemen IV,V dan VI Konstitusi USA).
(2)Untuk
Indonesia kedua Model ini dapat
dijadikan acuan untuk memperhatikan praktek proses penegakan hukum pidana. Menurut
saya, walaupun KUHAP 1981 sudah merupakan perbaikan daripada HIR, namun praktek
belum menunjukkan ketaatan kepada “semangat KUHAP 1981”. Apalagi dalam waktu
akhir-akhir ini dengan semangat (dan wewenang ?) Negara memberantas Terorisme,
Korupsi (ingat semangat/ wewenang KPK) dan Narkoba, maka “bandul model SPP”
Indonesia, masih mendekati CCM dan jauh dari DPM.
*[Tulisan
ini telah diberikan untuk mahasiswa Program
Kajian Ilmu Kepolisian Universitas
Indonesia – bahan kuliah IK-BPA-MSS 2013]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar