(Keynote Address pada Seminar Nasional Program
Studi Magister Ilmu Hukum - Universitas Bhayangkara
Jakarta Raya; 13 Juni 2015)
Yang terhormat Pimpinan Universitas Bhayangkara,
Yang terhormat Pimpinan dan Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum,
Para Hadirin yang kami muliakan,
Merupakan kehormatan bagi
saya mendapat undangan dari Ketua Progaram Studi Magister Ilmu Hukum, Bapak
Prof. I Made Widnyana, menjadi pembicara pengantar dalam Seminar Nasional ini.
Saya mencoba untuk memenuhi harapan dari Panitia Seminar,namun apabila saya
telah tidak mengikuti TOR Panitia,saya mohon maaf. Kemungkinan besar saya telah
mengikuti pandangan subyektif saya tentang Tema Seminar yang sangat menarik ini.
Ijinkan saya menyampaikan ikhtisarnya terlebih dahulu.
Pertama-tama saya akan
menjelaskan tentang keberpihakan saya kepada salah satu dari dua arus pendekatan
dalam teori-teori penegakan hukum pidana. Begitu juga tentang persepsi saya
tentang tidak adanya penelitian mendalam tentang akar permasalahan terjadinya tindak
pidana di Indonesia, sekaligus menjelaskan perlunya diperhatikan tiga prinsip
dalam menyusun KUHP Nasional kita. Pada akhirnya saya akan mencoba mengulas
singkat proses penegakan hukum pidana yang sedang berlangsung di Indonesia,
diikuti dengan beberapa saran dan kesimpulan.
Pengantar
Kalau
melihat pada berita di media massa maupun laporan dari kepolisian, maka kejahatan di Indonesia dalam 10 tahun terakhir
ini memang meningkat. Yang banyak menarik perhatian karena keseriusannya,
adalah tentunya kejahatan korupsi dan
kejahatan narkoba. Pada korupsi yang menimbulkan kegelisahan masyarakat
adalah banyaknya pejabat negara dan tokoh politik yang menjadi pelakunya.[1] Sedangkan dalam hal narkoba peranan
pelaku berkebangsaan asing kelihatannya cukup dominan dan penyebaran narkoba
ini sudah hampir merata di Indonesia, termasuk pada generasi muda. Dan
baru-baru ini Presiden secara menyeluruh dan dengan kebijakan “sekarang untuk
masa akan datang” (nu en bij voorbaat),
menyatakan akan menolak semua dan setiap permohonan Grasi dari Terpidana Mati
Delik Narkoba. Apa yang sedang terjadi di Indonesia ?
Dua Arus Pendekatan dalam
Penegakan Hukum
Saya
ingin mengemukakan dahulu, bahwa ada dua arus pendekatan dalam hal kita melihat
peranan Penegakan Hukum Pidana: pertama,
adalah yang melihat bahwa ketidaktertiban
warga masyarakat menaati peraturan hukum pidana yang dibuat Negara, hanya dapat
diberantas dengan melalui “sikap yang keras”, sehingga hanya sedikit warga yang
berani melanggar peraturan. Sedangkan pendapat berbeda datang dari pendapat kedua,
yang mengutamakan pendekatan moral
dan melihat kepada kenyataan atau realitas di bidang sosial dan ekonomi
masyarakat, dan karena itu melihat bahwa warga akan menaati peraturan Negara hanya
apabila mereka memang percaya bahwa peraturan dan penegakan hukumnya tersebut
adil bagi mereka. Kedua pendekatan ini mempengaruhi saya dalam menulis
makalah ini, dan sejujurnya saya
berpihak kepada pendekatan kedua.
Berbagai teori tentang
sebab-musabab kejahatan:
Selanjutnya
perlu juga saya sampaikan bahwa, Kriminologi
(ilmu pengetahuan yang saya tekuni) telah
mencoba menjelaskan mengapa orang
melakukan kejahatan. Tetapi
hingga kini tidak ada teori yang memuaskan dalam menjelaskan sebab-musabab
kejahatan itu. Mengapa demikian ? Perlu
juga dijelaskan bahwa berbeda dengan
pendekatan yuridis (juristic approach),yang
melihat kejahatan ini secara normatif, maka Kriminologi melihat kejahatan itu
sebagai suatu gejala sosial dan
sebagai suatu perilaku manusia yang
menyimpang dari norma-norma dan nilai-nilai yang dominan dalam masyarakat yang bersangkutan.
Secara
umum pendekatan dalam teori-teori tersebut dapat digolongkan ke dalam 3(tiga) mashab besar : Klasik,
Positivis dan Kritis. Mashab Klasik
adalah yang melihat manusia sebagai bersifat “bebas-memilih”, rasional dan hedonistik. Ini menjadi inti falsafah
hukum pidana (materiil dan formil) yang tumbuh di Eropa Kontinental (berakar
pada Code Napoleon 1810). Tokohnya
adalah a.l. Cesare Beccaria dan Feuerbach. Lawan mashab ini adalah mashab Positivis yang melihat manusia
itu dipengaruhi oleh konstitusi fisiknya
dan lingkungan sosialnya. Tokohnya adalah a.l.Cesare Lombroso (1876), van
Hamel dan Von Liszt. Sedangkan mashab ketiga adalah teori-teori yang berorientasi sosiologis mulai dari Lacassagne,
Tarde dan Bonger (Economic Conditions and
Crime,1916), kemudian Edwin Sutherland
tahun 1940-an (teori differential
association dan white collar crime) sampai
dengan teori-teori “radikal” tahun 1970-an dari Ian Taylor dkk (The New Criminology dan Critical
Criminology).
Berdasarkan
hukum pidana yang berlaku dan diterapkan di Indonesia, maka pendekatan/falsafah
Mashab Klasik masih dipertahankan, karena
para pejabat penegak hukum kita masih percaya bahwa manusia itu punya kemampuan
“bebas-memilih” (free will) dan “rasional” (karena itu cukup
disosialisasikan saja aturan-aturan perbuatan yang diancam pidana), serta juga
bersifat “hedonistik” (akan menolak sesuatu yang merugikan/menyakiti dirinya). Politik kriminal ini slogannya adalah: “berilah ancaman pidana yang berat”,
dibarengi “prevensi-individual” dan “prevensi-umum”, maka hal ini akan cukup
untuk mencegah orang melakukan kejahatan. Politik
kriminal yang menganjurkan hukuman penjara berat/lama (termasuk hukuman mati)
adalah penganut mashab ini. Contoh yang menarik untuk dikaji adalah
kewajiban Hakim menjatuhkan hukuman mati (mandatory
death sentence), bagi seseorang yang memiliki sejumlah gram tertentu
narkoba di Singapura dan Malaysia. Benarkah delik narkoba telah berkurang di
negara-negara tersebut ?
Adalah
berbeda teori-teori yang dikembangkan oleh
Mashab Positivis yang lebih
menekankan pada perlunya differensiasi pelaku (misalnya perempuan hamil, anak,
motivasi pelaku dan perlunya individual treatment) serta merujuk pada perlunya usaha perbaikan
lingkungan sosial (broken homes, kemiskinan,
kebodohan, dan daerah kumuh). Teori ini ditujukan pada “politik kriminal” yang
berintikan “re-sosialisasi” atau pemasyarakatan narapidana (seperti
“pengobatan” untuk pecandu narkotika dan “pembinaan mental” untuk teroris/pengikut
ajaran-agama radikal yang sesat).
Sedangkan
teori-teori Mashab Kritis ( (misalnya teori “differential
association” dari Sutherland ) menyadarkan kita bahwa tidak akan dapat dibuat satu teori umum yang akan menjelaskan semua
macam kejahatan yang dilakukan manusia. Suatu teori hanya dapat menjelaskan sebagian saja dari
“kebenaran” yang menyebabkan perbuatan tersebut dilakukan. Banyak faktor (multiple factors theories) yang
berkonvergensi menyebabkan terjadinya suatu perbuatan melanggar hukum pidana (misalnya:
keserakahan – frustrasi – agresivitas dapat menyebabkan seorang menjadi pembunuh). Tetapi juga politik kriminal dari kelompok yang berkuasa (political power) dapat mempengaruhi dan menentukan perbuatan macam apa
yang dianggap kriminal (misalnya perbuatan subversi, terorisme dan korupsi).[2]
Bertambahnya perbuatan
yang dianggap kejahatan, telah juga lebih menyulitkan kita untuk menjelaskan apa yang dinamakan kejahatan. Makin modern dan
kompleksnya kehidupan kita, maka lebih banyak juga aturan yang harus kita taati,
dalam administrasi pemerintahan. Pada waktu ini untuk setiap undang-undang baru
yang mengatur kehidupan bermasyarakat kita (hukum administrasi negara), maka hampir pasti ada ketentuan tentang sanksi pidananya (administrative penal law).[3]
Oleh karena itu tidak mungkin akan
ada teori umum atau penjelasan umum tentang sebab orang melakukan kejahatan. Melalui riset kriminologi yang dicari adalah hanya a.l. pemahaman yang
lebih baik tentang bagaimana terbentuknya
aturan-aturan hukum pidana dan bagaimana
reaksi masyarakat terhadap masing-masing bentuk kejahatan tersebut
(termasuk reaksi dari masing-masing penegakan hukumnya – misalnya dalam
masalah gratifikasi dan pengiriman parcel
Lebaran). Melalui hasil riset-riset
tersebut dicoba untuk dibuat kebijakan kriminal yang tepat. (Contoh adalah kebijakan kriminal di
Indonesia sekarang yang tidak
menghukum penjara, tetapi merehabilitasi, pengguna
narkoba).
Seperti
dikemukakan di atas, maka memang tidak ada Teori sebab-musabab kejahatan secara
umum yang memuaskan dan tentunya hal ini juga berakibat kepada tidak adanya kata sepakat tentang pendekatan penegakan hukum apa yang paling
efektif.
Beberapa Prinsip dalam
peyusunan Per-UU-an Pidana
Penegakan
hukum pidana, pada dasarnya bermaksud menegakkan KUHP. Dan KUHP kita aslinya
dan yang otentik teksnya, adalah Wetboek
van Strafrecht voor Nederlands Indie tahun 1918 (tiga tahun lagi akan berumur
100 tahun !). Umurnya yang sudah hampir 100 tahun tentunya mencerminkan
juga nilai dan norma pada masa itu.
Usaha untuk menciptakan KUHP Nasional sudah beberapa kali dilakukan (mulai tahun
1982) dan Rancangan terakhir (2013) pada dasarnya masih mengacu pada Rancangan
yang diserahkan 22 tahun yang lalu kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh.[4]
Adapun
3 (tiga) prinsip yang menurut saya, merupakan
pedoman dalam merumuskan perbuatan-perbuatan
tertentu menjadi terlarang dan diancam
pidana dalam Rancangan KUHP 1993, adalah sebagai berikut :
a)
hukum pidana hanya dapat dipergunakan untuk menegaskan ataupun menegakkan kembali nilai-nilai
sosial dasar (basic social values)
hidup bermasyarakat dalam Negara Indonesia – nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi
Negara Pancasila tentunya adalah penting disini;
b)
namun demikian, hukum
pidana juga sedapat mungkin hanya
dipergunakan dalam keadaan dimana cara
lain melakukan pengendalian sosial (social
control) tidak atau belum efektif (ingat asas: ultimum remedium), karena
itu harus dihindari kriminalisasi yang berlebihan; dan
c)
dalam menggunakan hukum
pidana sesuai dengan kedua prinsip di
atas, haruslah diusahakan dengan sungguh-sungguh bahwa caranya seminimal mungkin mengganggu hak dan
kebebasan individu, tanpa tentu saja mengurangi perlindungan terhadap kepentingan kolektifitas masyarakat Indonesia yang demokratis dan modern – untuk
itu perlu diperhatikan Bab XA dalam
Konsitusi kita.
Prinsip
pertama dan kedua penting dalam kita
mempertimbangkan apakah suatu perbuatan
itu pantas untuk masuk dalam perundang-undangan hukum pidana (hukum pidana
materiil/hukum pidana substantif). Sedangkan prinsip ketiga, penting dalam tata-cara
pemidanaannya dan penegakkannya (hukum pidana formil/hukum
acara pidana).
Menurut hemat saya, diperlukan
riset untuk menentukan apakah ketiga prinsip tersebut di atas memang telah dipergunakan
dalam menentukan aturan hukum pidana dalam RKUHP maupun di luar KUHP 1918 kita,
ataukah terlalu banyak perbuatan
dinyatakan pelanggarannya adalah kejahatan, sehingga terjadi “inflasi pengertian
kejahatan”,yang dapat berakibat kurang
dihargainya hukum dan penegakan hukum pidana.[5]
Proses Penegakan Hukum
Pidana
Kita
lihat sekarang tentang proses penegakannya. Hukum pidana ditegakkan dengan
membawa pelakunya ke Pengadilan dan memberinya hukuman. Tujuan penegakan hukum
pidana tidak saja untuk memberi kepuasan
kepada korban (doktrin retribusi/pembalasan), tetapi juga untuk mencegah pelaku mengulangi perbuatannya,
dan tentu juga untuk mencegah pelaku potensial meniru perbuatan
tersebut.[6] Dalam konsep hukum pidana, yang
pertama disebut individual deterrence, sedangkan
yang kedua dikenal sebagai general
deterrence. Kedua konsep ini sebenarnya mengandung makna “membuat takut, sebagai dasar pencegahan”.
Oleh karena itu sering dikatakan bahwa dalam usaha pencegahan ini, maka hukuman
penjara yang lama akan merupakan cara yang benar untuk individual deterrence (tidak mengulangi lagi perbuatannya) dan general deterrence (tidak mau meniru
perbuatan tersebut). Pendekatan seperti ini mengikuti mashab
Klasik (seperti saya utarakan di atas dan juga merupakan pendekatan “garis
keras”), karena berpendapat: manusia “rasional" yang “bebas-memilih”,
tidak akan mau melakukan perbuatan yang akan “menyengsarakannya” (pidana
penjara atau pidana mati). Perlu
juga dicatat, bahwa proses SPP yang berlaku atau dijalankan di Indonesia pada umumnya adalah Crime Control
Model (CCM), yang intinya adalah “speed and finality”, dan tidak menyukai
rintangan yang dibawa oleh campur-tangan Advokat pada proses Penyidikan.
Banyak
bahan Pustaka yang menjelaskan bahwa Riset-riset yang dilakukan untuk
memverifikasi apakah penjatuhan pidana yang berat (penjara yang lama atau
seumur hidup) memang dapat memenuhi tujuan penegakkan hukum itu tidak atau belum membawa kepastian.
Seharusnya hal ini tidaklah mengherankan, karena kita juga belum memahami apa yang mendorong
seseorang melakukan kejahatan.
Ambillah
contoh, seperti kejahatan korupsi atau kejahatan narkoba.Usaha untuk memberi “ketakutan
yang besar” kepada pelaku-potensial (seperti kepastian hukuman mati/mandatory capital punishment untuk pelanggaran narkoba di Singapura dan
Malaysia, serta beberapa kali hukuman
mati untuk pelaku korupsi di RRT) ternyata
tidak memberi efek jera yang diharapkan.Dengan mengambil contoh di atas,
maka pendekatan “penjeraan” dan
“menakuti” yang dijadikan konsep inti dari penegakan hukum untuk kejahatan
serius, memang perlu dikaji ulang. Kalau kita ingin mengurangi kejahatan, maka
pidana yang berat yang bertujuan menakutkan warga, bukanlah “obat-mujarab”nya.[7]
Pendekatan
“penjeraan” melalui pemberian hukuman yang “menakutkan” menimbulkan permasalahan baru. Kita tidak ingin
hidup dalam masyarakat yang dicekam oleh rasa takut yang mendalam , karena pidana
yang dijatuhkan Pengadilan adalah semata-mata karena mengikuti keinginan
“balas-dendam” publik (didorong oleh pandangan penguasa) yang kecewa (akibat ke-4 teori sub-sosial Vrij). Kita pun harus sadar, bahwa suatu negara
dimana penguasa dapat sewenang-wenang
menentukan apa saja yang boleh dan tidak-boleh dilakukan warga dan dapat mengendalikan
pengadilan, akan membawa masyarakatnya kepada suatu negara otoriter (ingat
tentang undang-undang subversi di masa Orde Baru).
Sampailah
saya kepada bagian akhir Pembicaraan ini : …
Apa yang harus dilakukan
?
Pertama,
kita harus mau mengakui bahwa hukuman berat tidak akan menjerakan atau
menakutkan bagi pelaku atau calon-pelaku kejahatan serius, apalagi yang
bermotif keuntungan finansial (seperti korupsi atau penjualan narkoba illegal).
Karena mereka akan selalu merasa yakin dapat “lebih-pintar” dari pelaku yang
tertangkap, dan kalau pun tertangkap dan dipidana, mereka dengan keuangan yang
dipunyainya merasa akan dapat “membeli” kemudahan dan keringanan dalam sistem
peradilan pidana kita. Karena itu suatu sistem
peradilan pidana yang “tidak-korup” dan bekerja secara efisien yang diperlukan
di sini.
Kedua,
yang terpenting adalah bahwa seorang pelaku kejahatan mengetahui adanya kepastian yang kuat, bahwa dia akan tertangkap dan diadili untuk
perbuatannya. Dan dalam kejahatan yang berimplikasi finansial (seperti
Korupsi dan Penjualan Narkoba illegal), dia tidak akan dapat menikmati
keuntungan finansialnya, malahan akan menjadi “lebih miskin” (denda
yang sangat tinggi, disertai perampasan keuntungan dari kejahatan), dari pada
sebelum melakukan perbuatannya. Kepastian tertangkap ini, tentunya harus pula
diikuti dengan keyakinan seorang pelaku bahwa dia tidak akan dapat menghindar
dari hukumannya. Karena itu sistem peradilan
pidana yang efektif dengan tenaga-tenaga yang benar-benar profesional yang mutlak diperlukan di sini.
Ketiga,
kita harus berani mengakui juga bahwa sistem
pemasyarakatan pidana di Indonesia merupakan kegagalan kita bersama, dalam menerapkan
konvensi PPB tentang “standar minimum perlakuan terhadap narapidana” (tidak menderitakan narapidana berlebihan dan
tidak menjadikan perilakunya lebih-buruk). Kebijakan kriminal menghindarkan
pengguna-narkoba dari Lembaga Pemasyarakatan (dan memberi mereka kesempatan rehabilitasi) adalah
kebijakan kriminal yang positif. Di dalam LP mereka tidak akan dapat
menghidarkan diri dari “dorongan” tetap mengkonsumsi narkoba, malah akan
diperalat “bandar narkoba” (perhatikan laporan media massa tentang mudahnya bandar-narkoba yang berada di dalam
LP tetap dapat menjalankan usahanya di luar LP [8]
– sungguh mengherankan dunia bahwa kurang
profesionalnya para petugas Lapas, ditolerir selama ini di Indonesia ! Tidak
terlihat usaha untuk memperbaiki SDM Pemasyarakatan)[9].
Keempat,
kita harus dapat menerima pendapat bahwa “masalah kejahatan” adalah bagian dari masalah sosial kita. Tidak
saja pelaku kejahatan adalah hasil
dari mayarakat kita (the society deserves
its criminals), tetapi juga cara kita menghadapi kejahatan itu adalah hasil masyarakat kita (the way you treat crime,reflects your
society). Jadi, lakukanlah
penelitian dan taatilah hasil penelitian dalam merumuskan kebijakan kriminal
yang efektif, efisien dan dengan tetap memperhatikan hak-hak Tersangka,
Terdakwa dan Terpidana.[10]
Kelima,
memang sering sekali kejahatan yang terjadi menimbulkan
amarah kita – misalnya; dalam kejahatan seksual (apalagi terhadap anak-anak
atau remaja) ,atau dalam kejahatan finansial yang menimbulkan kerugian besar
pada negara (seperti Korupsi dan
penipuan finansial yang merugikan banyak warga) – tetapi reaksi kita sedapatnya janganlah emosional. Kepercayaan harus tetap diberikan kepada
Penegak Hukum dan Pengadilan untuk memeriksa dan mengadili perilaku kejahatan
ini secara rasional.
Penutup - Kesimpulan
1)
Apabila dikaji secara
jujur, maka sebagian besar pendekatan tersebut di atas belum atau tidak dilaksanakan selama ini. Pendekatan yang dilakukan
adalah masih melihat kepada kejahatan (seperti Korupsi dan Narkoba) sebagai perilaku sifat manusia perorangan yang
buruk/jahat dan karena itu perlu hukuman yang seberat-beratnya[11].
Akar permasalahan yang ada dalam sistem
pemerintahan dan masyarakat tidak/belum
dicari. Tidak heran bahwa, obat
mujarab “tangkap-adili - dan hukum berat” tidak memberi hasil berkurangnya kejahatan
Korupsi dan Narkoba di Indonesia.
2)
Meskipun usaha bersama/kerjasama
antar Penegak Hukum (Kepolisian –
Kejaksaan – KPK – BNN) serta Lembaga Peradilan (PN – PT – MA) telah menunjukkan
peningkatan, namun “gesekan” dan “benturan” antar lembaga juga masih terjadi.[12]
Ketidakpercayaan kepada sistem penegakan hukum dan sistem peradilan (perdata
dan pidana) kita, diakibatkan kuatnya intervensi non-profesional dan intervensi
politik pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Meskipun
hal ini sudah mulai berkurang, namun
perlu dijaga, agar keangkuhan/arogansi sektoral tidak berkembang kearah merasa
paling berjasa dalam peperangan melawan kejahatan (terutama kejahatan Korupsi dan Narkoba, yang telah dijadikan isyu
politik).
3)
Untuk masa lima tahun
Pemerintahan sekarang ini, maka sebaiknya diusahakan agar strategi pemberantasan kejahatan (terutama Korupsi dan Narkoba)
tidak dijadikan isyu politk pencitraan perorangan atau instansi. Sebagaimana juga strategi meningkatkan kemakmuran rakyat-kecil
di Indonesia harus didasarkan pada kenyataan masyarakat kita, maka perang melawan korupsi dan
perdagangan illegal narkoba juga harus serupa (yaitu diperoleh dari kajian
ilmiah dan hasil penelitian).
Seperti
dicoba disampaikan sebelumnya dalam tulisan ini, pendekatan rasional dengan sistem peradilan pidana
terpadu (terutama antar instansi
penegak hukum) -berdasarkan penelitian
dan pengkajian tentang akar permasalahan berbagai macam kejahatan
di Indonesia- harus diusahakan menjadi strategi
perang melawan kejahatan. Slogan yang dapat ditiru adalah : ”Striving
for Prosperity without Crime” – Berusaha-kuat menuju Kemakmuran tanpa
Kejahatan”.[13]
13/06/2015
-OO000OO-
[1] A.l.kasus KomJen Polri
Susno Duadji (mantan Ka Bareskrim); kasus Bank Century; kasus Bendahara Umum
Partai Demokrat M.Nazaruddin; kasus Ketua Umum PSSI Nurdin Halid; kasus Gayus
Tambunan (Pejabat Dirjen Pajak); kasus Anggota2 DPR; dan terakhir (September
2014) kasus Gubernur Riau, dll.
[2]
Seorang
sarjana Belanda Prof M.P.Vrij dengan teori
“subsosial”-nya mengatakan bahwa suatu tindak pidana/ kejahatan akan
mempunyai empat akibat subsosial: 1)dorongan
mengulangi dari pelaku; 2)rasa tidak
puas korban; 3)keinginan meniru oleh
pihak ketiga; dan 4)rasa kecewa
pihak ke-empat/publik. Akibat sub-sosial ke- tiga dan ke-empat inilah yang mempengaruhi
putusan hakim tentang hukuman.
[3] Lihat Idlir Peci,2006, Sounds of Silence, Disertasi
di Universitas Groningen Belanda – membahas a.l. perbedaan antara criminal law dengan administrative sanctioning law.,
[4] Rancangan KUHP yang
diserahkan Tim kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh bulan Maret 1993,
berturut-turut diketuai oleh: Prof.Soedarto, kemudian Prof.Roeslan Saleh dan
selanjutnya Prof.Mardjono Reksodiputro. Naskah tersebut disusun dari tahun 1982
sampai dengan tahun 1993. Dan sampai sekarang belum juga sempat dibicarakan di
DPR- setelah 22 tahun selesai !
[5] Legal
cynicism :”Laws were made to be broken” – “To make money, there are no right
and wrong ways anymore, only easy ways and hard ways” – menunjukkan bahwa
warga menilai hukum tidak mengikat.
[6]
Lihat
pendapat M.P.Vrij dengan teori sub-sosialnya di Catatan Kaki No.2 di atas.
Perlu juga diperhatikan pendapat Packer tentang perbedaan antara Crime Control Model (CCM) dan Due Process Mode (DPM)l.
[7] Menarik adalah pendapat yang pernah dilontarkan tahun 2009 oleh
Budayawan Emha Ainun Najib, dikatakannya: “ Korupsi (adalah) milik kita
semua …(adalah) penyakit sistem
(struktural) – (dan) penyakit
manusia … (serta) penyakit budaya (diunduh
dari
InfoKorupsi – Artikel- Maret 2009).
[8] Lihat misalnya, berita
“Napi Narkoba Rutin Kirim Rp 100 Juta
dari Penjara” (kasus Pony Tjandra dan istrinya Santi), dalam Suara Pembaruan 2
Oktober 2014, hal.A 21
[9] Seluruh penghuni
Lapas dan Rutan per 30 September 2013, adalah 156.965 orang – yang terlibat
dalam delik Narkoba dan Psikitropika adalah sebanyak 56.240 orang – atau
sejumlah -/+ 36 %
[10] Perlu dikaji pendapat “adanya suatu sistem
nilai dalam masyarakat kita (birokrasi – pengusaha – politisi) yang mentolerir penyimpangan
dari aturan di bidang keuangan dan perdagangan – melihat secara sinis terhadap
hukum dan penegak hukum”.
[11] Lihat pendapat Hendardi
(Setara Institute) tentang “Pencabuatan
Hak Politik Koruptor”, dalam Suara Pembaruan
29 September, hal.A 10
[12]
Yang
terakhir adalah bentrokan antara TNI
dengan Polri di Batam, Kepulauan Riau; sebelumnya ada kasus yang terkenal
dengan nama “Cicak vs Buaya” dan
mungkin ada lagi yang lain.
[13] Slogan Asia Crime Prevention Foundation – yang
berpusat di Jepang – didirikan tahun 1982 untuk membantu UNAFEI – dan tahun 2000 mendapat status “General Consultative Status” dari PBB.