Pengantar
Saya pernah menulis dengan judul: “Re-negosiasi Kontrak antara Pemerintah RI
dengan Investor Asing: Retorika ataukah Kebijakan Rasional ?”[1] Tulisan ini dibuat Juli 2011 dan
mendapat kritikan sejumlah pembaca (Kawan dan Mahasiswa). Intinya apakah saya berpihak
pada Investor Asing dan tidak setuju pendapat mantan-Presiden B.J.Habibie?[2] Dalam buku yang memuat tulisan diatas,
ada juga karangan saya: “Hukum Agraria
1960 dan Masyarakat Hukum Adat (Perlukah Reformasi Hukum Agraria ?)”.
Tulisan ini juga dipertanyakan/dikritik oleh beberapa pembaca, yang isinya
berintikan: mengapa saya tidak setuju dengan reformasi hukum Agraria ?!
Uraian di bawah ini mencoba untuk
menjawab (pendapat subyektif saya) kedua kritikan di atas dengan mengkaitkannya
dengan tema dalam judul makalah ini.
Warisan untukTim Ekonomi Presiden Terpilih
Dalam debat Capres dan penyampaian
visi dan misi mereka, maka program pembangunan ekonomi di Indonesia mendapat
tempat utama. Keduanya menargetkan kedaulatan ekonomi dan kemandirian ekonomi. Dari
kedua target ini mereka juga menjanjikan pertumbuhan ekonomi minimal 7% untuk
dapat mengatasi meningkatnya pengangguran di Indonesia. Jangan lupa pula tahun
depan (2015) dengan berlakunya AFTA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), akan terjadi
persempitan peluang kerja warga negara Indonesia dengan “serbuan tenaga kerja
profesional asing”.[3] Karena
itu salah satu strategi kebijakan ekonomi adalah untuk meningkatkan daya serap
angkatan-kerja Indonesia ke dalam pasar-kerja. Tim Ekonomi pemerintahan yang
akan datang harus serius memperhatikan hal ini.
Namun, Presiden yang akan datang
juga akan tersandera dengan
kebijakan-kebijakan ekonomi yang dilakukan Presiden-presiden yang lalu. Yang
mendapat perhatian tulisan ini adalah tentang “re-negosiasi kontrak di bidang pertambangan”
dengan PT Freeport Indonesia (Presiden Direktur: Rozik B.Sutjipto) dan PT
Newmont Nusa Tenggara (Direktur Utama: Martiono Hadianto). Sesuai dengan UU
Minerba (UU No.4/2009) mereka diharuskan untuk membangun smelter (pabrik
pemurnian dan pengolahan) di Indonesia, agar tidak lagi ada ekspor
mineral-mentah.Meskipun UU ini sudah terbit tahun 2009, namun Peraturan
Pemerintah pelaksanaannya baru keluar awal tahu 2014. Entah apa yang
menyebabkan kelalaian aparat birokrasi Kementerian ESDM hingga menunggu sampai
5 tahun ![4]
Newmont yang tidak dapat menerima
perubahan secara unilateral oleh Pemerintah RI yang mengubah Kontrak Karya,
telah membawa permasalahannya ke ICSID (International
Centre for the Setlement of Investment Disputes) yang khusus membantu
melalui arbitrase perselisihan penanam-modal dengan negara (host country). Indonesia adalah anngota
dari ICSID sejak tahun 1967 (awal UU Penanaman Modal Asing di Indonesia). Tidak
mau kalah Pemerintah telah membawa permasalahannya ke UNCITRAL (United Nations Commission on International
Trade Law). Pemerintahan yang sekarang (melalui Menteri Chairul Tanjung)
telah pula mengancam akan “mengambil-alih” Newmont dan ditawarkan ke a.l. PT
Aneka Tambang Tbk[5].
Agak berlainan adalah kasus
Freeport. Meskipun tadinya juga menolak perubahan secara unilateral dari
Pemerintah RI, namun kemudian setelah melalui beberapa kali perundingan, dapat
dicapai kesepakatan sementara. Dikabarkan bahwa Freeport telah menandatangani
Nota Kesepahaman (MoU) untuk melakukan amandemen Kontrak Kerjanya dengan
membangun smelter di Indonesia dan
juga bersedia menaikkan royalty.[6].
Kekeliruan Dalam Cara berpikir
Perjuangan untuk memperoleh
kedaulatan negara atas sumber daya alam (SDA) sebenarnya merupakan perjuangan lama. Sejarah mencatat bahwa PBB
telah menyatakan (declares) melalui Resolusi Sidang Umum PBB 1803 (XVII)
tanggal 14 December 1962 tentang “Permanent sovereignty over natural
resources” a.l. sebagai berikut:
“1.The right of peoples and
nations to permanent sovereignty over their national wealth and resources
must be exercised in the interest of their national development and of the
well-being of the people of the State concerned.” Dan selanjutnya:
“7.Violations of the rights of peoples and
nations to sovereignty over their natural wealth and resources is contrary to
the spirit and principles of the Charter of the United Nations …”
Karena itu, usaha mencari pendapat
tentang kedaulatan Negara atas kekayaan yang terkandung dalam bumi Indonesia
(bahan mineral, batubara, minyak dan gas) adalah hal yang tidak perlu diperdebatkan ataupun diperjuangkan lagi. Sudah
setengah abad (50 tahun) hal ini dinyatakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB). Jadi kalau begitu apa masalah utamanya ? Menurut saya masalahnya berasal dari tidak konsistennya kita
menjalankan Undang-Undang Pokok Agraria 1960 !
Dalam UUPA 1960 itu sudah dinyatakan adanya Hak Menguasai Negara (HMN) atas
tanah. Dan seperti telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), HMN bukanlah “pemilikan atas tanah oleh
Negara), tetapi hanya memberi Negara kewenangan untuk merumuskan “kebijakan (beleid)”, melakukan “pengaturan (regelen)”, “pengurusan (besturen)”, “pengelolaan (beheren)” dan “pengawasan (toezicht houden)”. Pengertian “agraria”
juga bukanlah sekedar “tanah”, tetapi diartikan sebagai “bumi Indonesia dengan segala yang ada di dalamnya, serta di atasnya”.
Kewenangan ini telah dijalankan dengan membuat Kontrak Kerja dengan
perusahaan-perusahaan besar (asing dan domestik) a.l. dibidang pertambangan.
Kalau dikaitkan dengan pasal 33 UUD/Konstitusi RI, maka “pengambilan kekayaan
alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa wilayah RI, haruslah
untuk “sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat” (dalam kata-kata Deklarasi PBB 1962: “in the interest … and … well-being of the people of the State
concerned”). Kesalahan Presiden-Presiden yang lalu (Suharto, Habibie,
Megawati, Abdurachman Wahid dan SBY) adalah membuat ataupun memperpanjang
Kontrak-kontrak di bidang Pertambangan (dan juga Perkebunan dan Kehutanan) yang
tidak memperhatikan “kemakmuran
rakyat di sekitar konsesi Pertambangan, Perkebunan dan Kehutanan” tersebut.
Jadi tidak
ada masalah dengan kedaulatan Negara atas Bumi Indonesia” – masalahnya adalah
pejabat-pejabat yang lalu yang mengijinkan dibuatnya kontrak-kontrak yang
merugikan tujuan memakmurkan rakyat”! Tidak dapat memakmurkan penduduk
di sekitar lokasi konsesi – dan membawa
seluruh keuangan pajak dan rolyalty ke Pemerintah Pusat di Jakarta.
Ternyata kontrak-kontrak yang akan
di re-negosiasi itu hanya menguntungkan keuangan Pemerintah Pusat dan
segelintir Pejabat yang merundingkan dan menyetujui kontrak-kontrak tersebut.
Sekali lagi tidak ada masalah dengan kedaulatan Negara atas sumber daya alam
(selalu ada dan diakui oleh Konstitusi RI 1945 dan Resolusi PBB 1962) – masalahnya adalah kontrak-kontrak yang
dibuat atau diperpanjang di bawah pemerintahan 5 (lima) Presiden yang lalu.[7]
Kekeliruan dalam pemikiran ini ingin
saya namakan “logical fallacy”
(kekeliruan tentang cara berpikir logis) tentang
“ mengembalikan kedaulatan negara atas Sumber Daya Alam”
di Indonesia.Dan juga tidak ada masalah dengan UU Pokok Agraria 1960 – tidak
perlu dicabut/diganti - masalahnya adalah pada penafsiran dan pelaksanaan oleh
para pejabat pemerintah (Pusat dan Daerah). Mengikuti paham bahwa tanah haruslah berdasarkan”ekonomi berbasis
kesejahteraan rakyat” dan bukan
“ekonomi neo-liberal yang mengandalkan mekanisme pasar “, maka kekeliruan dan kesalahan adalah pada para
pejabat yang dahulu merundingkan kontrak-kontrak yang sekarang akan dire-negosiasi. Merekalah yang harus
dimintakan pertanggungjawabnya, dan bila dapat dibuktikan mereka menerima
keuntungan yang tidak wajar dalam mengijinkan kontrak-kontrak tersebut, maka
mereka harus mengembalikan keuntungan tersebut kepada Negara.[8] Dan jangan pula sekarang re-negosiasi ini dijadikan
proyek-pejabat untuk mendapat keuntungan (pribadi maupun kelompok/partai).
Perlu Inovasi Dalam Hal Kontrak SDA
Kasus tentang usaha mencari
keseimbangan baru (re-balance) antara
kepentingan Negara/ kesejahteraan rakyat dengan kepentingan Swasta (Asing dan
Domestik) dapat kita simak dalam berbagai kasus di luar Indonesia, a.l.. di
Amerika Selatan (Venesuela dan Bolivia). Dalam mencari keseimbangan baru ini,
maka diperlukan adanya klausula tentang re-negosiasi yang menyatakan bahwa
dalam hal terjadi perubahan dalam keadaan sehubungan kelangsungan kontrak ini (change of circumstances), maka para
pihak akan membuka perundingan. Klausula dalam Resolusi PBB 1962 yang dapat
membantu hal ini adalah:
“2.The exploration, development and disposition of such resources, as well
as the import of the foreign capital required for these purposes, should be in accordance with the rules and
conditions which the peoples and nations freely consider to be necessary or
desirable … “ Dan selanjutnya dinyatakan pula :
“3.In
cases where authorization is granted, the capital imported and the earnings on
that capital shall be governed by the
terms thereof, by national legislation in force, and by international law. …
due care being taken to ensure that there is no impairment, for any reason, of
that State’s sovereignty over its natural wealth and resources.” Dan
kemudian :
“8.Foreign
investment agreements … shall be observed
in good faith; States and international organizations shall strictly and conscientiously respect the sovereignity of peoples
and nations over their natural wealth and resources …”
Pendapat pribadi saya adalah, bahwa
(sekali lagi) tidak perlu ada debat tentang “mengembalikan” kedaulatan, karena kedaulatan ini tidak pernah hilang dari “host country”. Mungkin memang
berkurang, tetapi ini adalah kekeliruan dalam kontrak-karya bersangkutan. Dan
ini menurut saya dapat dire-negosiasi dengan mendalilkan adanya “hanky-panky” atau kolusi antara Pejabat
negosiasi yang lalu dengan Pimpinan perusahaan yang lalu, sehingga telah
terjadi “impairment” atas “State’s sovereignty”, sehingga kontrak tersebut tidak “in accordance with the rules and conditions
… necessary or desirable”.
Tentu di sini kemudian akan timbul
masalah hukum lain, yaitu asas tentang “berlakunya kontrak sebagai
undang-undang bagi kedua belah pihak” atau dikenal juga dengan “the sanctity of contract principle”. Jawaban
saya, karena itulah maka perlu ada “inovasi” dalam kontrak-karya ataupun bentuk
kontrak lainnya, yaitu antara lain:
1)Ada klausula yang memungkinkan
re-negosiasi bila ada “economical need to
re-balance State and Private interest under the contract” disebabkan karena
antara para pihak “its equilibrium is
negatively affected, beyond the control of the parties”– dan secara umum
apabila ada “change of circumstances in
the contract”.[9]
2)Menegaskan bahwa sesuai dengan
Konstitusi RI, maka bahan mineral, batubara dan hydrocarbon yang ada dalam
daerah pertambangan bersangkutan adalah tetap milik dari Negara, juga atas
dasar pada Resolusi PBB 1962 tentang Permanent
sovereignty over natural resources”,dan karena itu yang merupakan milik
Investor adalah hanya instalasi dan infrastruktur pertambangan.[10]
Klausula terakhir ini perlu agar
dalam hal pemutusan kontrak sepihak (unilateral
termination) oleh Pemerintah RI dan pengambil-alihan (expropriation),maka yang perlu dinilai adalah hanya harga instalasi
dan infrastruktur bersangkutan. Dalam hal terakhir ini (expropriation), maka tentunya perlu ada kompensasi yang adil,
sesuai ketentuan dalam Resolusi PBB 1962, yang menyatakan:
“4.Nationalization, expropriation
or requisitioning shall be based on grounds or reasons of … the national
interest which are recognized as overriding purely individual or private
interest … In such cases the owner shall
be paid appropriate compensation …
Tidak Ada Resep Selesaikan Masalah Dengan Cepat
Masalah yang dihadapi sehubungan
dengan investasi di bidang pertambangan adalah banyak. Pertama harus diingat
bahwa investasi ini akan bersifat jangka panjang (long term investments), dan karena itu kita harus juga pandai
melihat jauh ke depan (ingat Freeport mulai tahun 1967 dan Newmont tahun 1985 –
keduanya dalam masa Presiden Suharto). Kedua, dunia investasi pertambangan
adalah capital intensive, sehingga
hanya perusahaan besar kelas dunia dapat atau mau menanam modal besar dengan
syarat-syarat yang ditentukannya (sering host
country terpaksa menerima). Ketiga, kecuali modal besar, investor juga
menghadapi risiko besar, yaitu dari segi hasil survey geologi, aspek
komersial/pasar, teknologi mutahir yang mahal, manajerial yang sulit dilihat
dari aspek lokasi dan pekerja, serta terakhir juga risiko dari aspek politik.
Semua akan dan harus mereka perhitungkan
dengan cermat dan kontrak pun akan mencerminkan ketiga hal itu: bahwa ini usaha
jangka panjang, dengan investasi modal yang besar dan dengan risiko yang cukup
besar pula.
Keputusan Tim Ekonomi Presiden SBY
untuk memaksa para investor pertambangan membangun smelter (UU Minerba 2009)
tidak keliru, namun kelihatannya masih setengah-hati, karena PP yang memuat
perincian pelaksanaannya baru keluar awal tahu 2014 dan kemudian tenggat akhir
adalah 2017 (?).Hampir 5 tahun (2009 -2014) kebijakan ini “mengambang”
menandakan bahwa “tekanan politik” dari pihak-pihak yang berkepentingan cukup
kuat. Menurut pendapat saya Tim Hukum Presiden SBY yang turut merencanakan dan
membidani kebijakan ini, kurang
memanfaatkan momentum awal dari Kabinet SBY jilid II. Banyak dugaan bahwa
perlawanan terhadap kebijaksanaan ini datang juga dari dalam kalangan pemeritah
sendiri dan partai politik. Tentu saja hal ini dimanfaatkan pula oleh investor
(Freeport dan Newmont), untuk memperkuat posisi tawar-menawar mereka.
Masalah “berat dan strategis” ini
tidak akan dapat diselesaikan dengan cepat – perlu waktu – namun sayangnya
periode 2009 – 2014 kurang dimanfaatkan secara efisien. Sekarang pada akhir
masa jabatan Presiden SBY, masalah ini menjadi “bola panas” yang akan
“diwariskan” kepada Presiden RI yang akan datang.Apalagi ini merupakan isyu
“nasionalisme vs pragmatism ekonomi” ! Sekali lagi,perlu diingat bahwa masalah ini mempunyai berbagai dimensi: politik
– ekonomi- dan hukum, yang belum tentu sejalan.Dan dimensi hukum – menurut saya
- perlu penanganan yang baik, jangan menjadi “bom waktu” yang akan menggangu
program-ekonomi utama Presiden yang akan datang: khususnya tentang pertumbuhan ekonomi di atas 7% setahun dan
pengurangan pengangguran serta kemiskinan !
*Tulisan ini dibuat pada tanggal 5 Agustus 2014