IN
MEMORIAM Paul Moedikdo (1927-2016)
Pakar Kriminologi yang Berpendirian Tegas
Sebuah
nekrologi oleh Jan
van Olden**
Hidup jauh dari tanah
air
Paul Moedikdo hanyalah seorang
dari sekian banyak orang Indonesia yang bermukim di Negeri Belanda karena
dipaksa oleh keadaan akibat pergolakan politik di Indonesia pada tahun 1965
dimana terjadi “pengejaran-tanpa-ampun” terhadap segala sesuatu yang berbau haluan kiri sehingga
banyak cendekiawan dan aktivis yang dipaksa mencari kebahagiaan di luar negeri,
jauh dari tanah air. Perkenalan saya dengan sosok Paul Moedikdo terjadi pada
tahun 1977 di Jakarta dimana pada saat itu saya bekerja untuk Universitas
Leiden yang sedang menjalin kerja sama dengan Fakultas Ilmu Sosial, Universitas
Indonesia. Paul adalah seorang pakar dalam bidang kriminologi yang bekerja di Institut
Willem Pompe yang bernaung di bawah Universitas Utrecht. Sebagai seorang
Indonesia ia merupakan seorang dosen tamu yang ideal dalam upaya untuk meningkatkan
kualitas pendidikan dan penelitian pada Fakultas Ilmu Sosial di Jakarta. Inilah
awal persahabatan dan kerja sama di antara kami, yang diawali dari proyek yang terkait
dengan Fakultas Ilmu Sosial dan kemudian berlanjut pada kerja sama yang lebih
luas dalam bidang hukum antara Indonesia dan Belanda sepanjang kurun waktu
tahun 1985 sampai 1992 dan pada tahun-tahun berikutnya.
Paul Moedikdo Moeliono dilahirkan di Bandung pada tanggal
18 April 1927 dari lingkungan keluarga intelektual—keluarga campuran Indonesia
dan Belanda, dimana bakat dipupuk dengan baik dan prestasi akademik dianggap sebagai
sesuatu yang wajar. Ia memiliki 4
saudara berbakat yang semuanya menjadi guru besar (2 orang), dokter (1), penyair dan peneliti (1). Paul sendiri
mengenyam pendidikan tinggi Fakultas Hukum di Jakarta pada waktu tinggal di
Indonesia yang pada waktu itu sedang terlibat dalam perjuangan untuk meraih
kemerdekaan dari Belanda. Meskipun Paul adalah seorang patriot sejati yang juga
aktif terlibat dalam pergerakan nasional, tetapi hubungan keluarga (ia menikah
dengan seorang perempuan Belanda) dan hubungan budaya membuatnya merasa terikat
dengan Belanda dan tidak dapat dengan serta merta membenci segala sesuatu yang
berbau Belanda. Ia tumbuh dan dibesarkan sebagai seorang Katolik, sedangkan pendidikannya
memberinya suatu pandangan hidup yang hampir bersifat calvinistik—dimana
kewajiban untuk berbuat baik adalah sesuatu yang utama baginya dan sesungguhnya
ia selalu dibayangi oleh rasa bersalah karena kegagalan pribadi dalam
melaksanakan kewajiban tersebut.
Perintis
Studi Sosio-Legal
Paul merasa amat dekat
dengan Indonesia Merdeka dan oleh karenanya hidup serta karyanya dalam kurun
waktu setelah Indonesia meraih kemerdekaan dicurahkan bagi pembangunan dan
perkembangan negaranya dan tidak terlintas dalam pikirannya untuk meninggalkan
Indonesia dan pergi ke Belanda. Sementara itu sebagai dosen di Universitas
Indonesia ia amat disegani dan demikian juga sebagai seorang pakar dalam bidang
kriminologi serta tokoh pembaharu pendidikan dan salah satu pendiri jurusan
ilmu-ilmu sosial dalam lingkup Fakultas
Hukum. Disamping berkarya dalam bidang pendidikan tinggi, Paul juga seorang
pembela handal dan dalam perannya inilah ia mendampingi puluhan aktivis
masyarakat yang mengalami masalah karena kritik-kritik yang mereka sampaikan.
Tahun-tahun dan bulan-bulan sebelum tanggal 30 September
1965 adalah masa penuh gejolak di Indonesia; Soekarno sedang menggalang
konfrontasi melawan imperialisme Barat dan di berbagai kota sering diadakan
unjuk rasa oleh para mahasiswa atau pengikut partai-partai politik untuk
menentang praktik-praktik neokolonialisme di luar Indonesia atau ‘musuh-musuh masyarakat’
dan ‘para penindas masyarakat’.
Ini merupakan
iklim yang berbahaya bagi seseorang yang berpendirian keras seperti Paul
Moedikdo, seorang pembela aktivis yang hak demokratisnya dilanggar dan yang tidak
takut menghadapi debat publik. Walaupun demikian perasaan yang amat kuat mengenai
kewajiban yang seolah-olah menjadi misinya dalam hidup membuatnya terus
melanjutkan pekerjaannya dalam bidang hukum sampai suatu saat istrinya yang tidak
sanggup lagi menanggung tekanan dan ancaman yang mereka terima setiap hari, memintanya untuk mengungsi ke Belanda.
Akhirnya Paul Moedikdo menyerah dan pada tahun 1967 ia
dan keluarganya pindah ke Belanda. “Saya harus memilih antara dua cinta, dan
saya memilih cinta saya yang paling besar yaitu istri saya”. Ucapan ini
kelihatannya juga merupakan cara baginya untuk menghalau kepedihan atas pilihan
yang dibuatnya.
Di Belanda, Paul Moedikdo diangkat sebagai staf Institut Willem
Pompe untuk Ilmu Hukum Pidana yang sedang mengalami proses peremajaan dan pembaharuan. Pada penghujung tahun enam
puluhan di tengah merebaknya arus demokratisasi di Belanda, lembaga ini mencari
jalur baru untuk ”ikut membangun masyarakat yang bersifat lebih adil dan egaliter”.
Pengalaman serta pemahaman yang diperoleh Paul Moedikdo ketika di Indonesia bersambungan
persis dengan konsep serta cara-cara berpikir dari suatu generasi baru ahli-ahli
hukum pidana dan sosiologi hukum di Belanda seperti Toon Peters, Constantijn Kelk
dan Martin Moerings yang kebetulan semuanya juga aktif dalam kerja sama
Indonesia-Belanda. Hukum Pidana tidak diselenggarakan dalam suatu lingkungan
politik yang netral, tetapi pada suatu keadaan dimana terdapat ketimpangan
kekuasaan — kekuasaan negara
yang kuat melawan warga negara yang lemah. Suatu keadaan yang dirasakan sendiri
oleh Paul di Jakarta.
Lagi
Pembaruan Pendidikan di Indonesia
Sementara itu jalinan kerja sama
ilmiah antara Indonesia dan Belanda telah pulih kembali dan Paul Moedikdo,
sepuluh tahun setelah kepergiannya yang dramatis dari Indonesia, kembali
sebagai seorang pakar kriminologi dan dosen tamu pada Universitas Indonesia di
Jakarta. Ia memperoleh kesempatan untuk kembali melakukan pekerjaannya dan
bekerja sama dengan para sejawat lamanya dari Fakultas Ilmu Sosial yang
sekarang berdiri sendiri. Antara tahun 1977 sampai 1982 Paul Moedikdo berulang
kali mengunjungi Indonesia dalam rangka kerja sama antara Universitas Leiden
dan Universitas Indonesia untuk mengembangkan pendidikan kriminologi,
diantaranya memperkenalkan teori-teori baru dalam kriminologi termasuk yang
oleh beberapa orang disebut sebagai “teori-teori yang agak radikal”. Ia
menginginkan agar pemikiran-pemikiran baru ini dapat dimasukkan ke dalam kurikulum.
Pada awalnya usulan dan gagasan yang disampaikan dengan
penuh keyakinan ini disambut dengan antusias,
tetapi ketika kerja sama ini memasuki tahapan pengajuan proposal konkrit, yang
harus ditempuh dengan mendapat persetujuan dari Dekan dan Departemen Pendidikan,
timbullah ketegangan. Timbul pandangan bahwa usulan pembaruan yang diajukannya telah melangkah terlalu
jauh, termasuk diantaranya memperkenalkan berbagai kritik sosial dan teori yang
diilhami oleh gagasan Karl Marx, yang pada masa pemerintahan Soeharto merupakan
sesuatu yang mengandung risiko. Mahasiswa dan para pembantunya diawasi oleh
petugas intelijen negara dan sewaktu-waktu dapat diciduk dan mengalami
intimidasi. Ketika meletus protes pada tahun 1978, kampus Fakultas Hukum dan
Ilmu Sosial dikepung oleh tentara dan Dekan dipanggil untuk menurunkan semua
poster dan tempelan yang bernada anti Soeharto. Karena tekanan tersebut
pimpinan Fakultas dan Departemen akhirnya memutuskan untuk membatalkan
pembaruan kurikulum dan menghentikan bagian ini dari kerja sama yang sedang
berjalan. Hal ini sangat disesali oleh Paul Moedikdo, meskipun ia dapat
memahami keputusan ini karena ia menyadari bahwa yang akan menanggung risiko
adalah rekan-rekan Indonesianya serta para mahasiswa dan bukan sosok Paul Moedikdo
sendiri.
Tetapi bagi Paul masih terasa dampak lanjutannya. Pada
tahun 1982 ia menulis suatu makalah untuk konperensi yang diselenggarakan oleh
NUFFIC mengenai Eurosentrisme dan Ilmu Pengetahuan. Paul menguraikan bagaimana
upayanya untuk mengubah kurikulum mata kuliah kriminologi di universitas gagal
karena konteks politik pada proses perubahan tersebut. Pernyataan tersebut oleh
Dekan pada waktu itu dipandang sebagai suatu bentuk
penentangan terhadap Fakultas Ilmu Sosial, padahal Paul sendiri pernah ikut melahirkannya. Hal ini berakibat pada renggangnya hubungan Paul dan
Fakultas, meskipun Paul telah berusaha menerangkan posisinya.
Pembaruan
Bantuan Hukum
Sementara itu di Belanda
Direktur NOVIB, Sjef Teunis, mengajak Paul untuk bekerja sama dengan pimpinan Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dalam menerapkan suatu strategi baru dimana lembaga
tersebut tidak lagi sekedar memberikan bantuan hukum kepada para pencari
keadilan perorangan, tetapi juga dengan berbagai cara mengkritik struktur
politik dan ekonomi yang tidak adil serta penyalahgunaan kekuasaan. Pendiri dan
Ketua LBH Adnan Buyung Nasution adalah seorang pembela hak-hak azasi manusia
yang flamboyan dan terkenal di dunia internasional. Bersama Paul, Adnan dengan
kawan-kawannya telah membawa LBH menjadi lebih radikal dan menggalakkan debat
publik mengenai hal-hal yang berkaitan dengan ketidak-adilan struktural dalam
bidang hukum dan sosial yang mengakibatkan posisi hukum yang lemah, pemutusan
hubungan kerja yang sewenang-wenang dalam konflik perburuhan atau pengambil alihan
lahan tanpa kompensasi yang adil.
Strategi yang lebih berbau politik dan dinamakan bantuan
hukum struktural ini memiliki dampak yang amat besar terhadap bangkitnya
kesadaran sosial serta hak-hak azasi manusia di Indonesia. Menurut beberapa
orang mungkin inilah warisan intelektual yang paling penting dari Paul Moedikdo.
Sebenarnya melalui LBH yang bergerak dengan lebih bebas dari
pada suatu institusi pendidikan, Paul berhasil meraih
apa yang tidak dapat diraihnya ketika ia berkiprah di lingkungan Fakultas Ilmu
Sosial.
Paul memperoleh peluang baru untuk melanjutkan karyanya
untuk memajukan pendidikan dalam bidang kriminologi, ketika pada tahun 1985 kembali
terjalin suatu kerja sama dalam bidang hukum yang lebih luas antara Indonesia
dan Belanda, dimana pemeran utama kali ini bukan lagi Fakultas Ilmu Sosial
tetapi Fakultas Hukum. Paul Moedikdo menyambut dengan tangan terbuka dan tidak
menyia-nyiakan peluang ini dan bersama Toon Peters seorang pakar
sosiologi-hukum dari Utrecht mereka menggarap suatu program yang bertemakan “hukum dan masyarakat”. Mereka kemudian juga duduk sebagai penasihat dan
pendamping bagi lima ahli hukum terkemuka Indonesia, salah satu diantaranya
Adnan Buyung Nasution, dalam penelitian yang mereka lakukan. Titik puncak dari
tujuh tahun pendampingan yang intensif dan diskusi serta dorongan yang mereka
berikan adalah ketika pada tahun 1992 Adnan Buyung Nasution berhasil
mempertahankan promosi doktornya dengan disertasi yang menjawab pertanyaan
apakah demokrasi parlementer merupakan suatu konsep Barat,
seperti yang sering didengung-dengungkan oleh
Soekarno dan lain lain, atau dapatkah hal tersebut diterapkan di Indonesia.
Suatu pertanyaan yang setelah dikaji dengan seksama oleh Adnan dengan bantuan
Paul Moedikdo, terutama dalam kaitannya dengan perdebatan yang terjadi di
Konstituante antara tahun 1956 sampai
1959, dapat secara tegas dijawab dengan “ya, dapat diterapkan di Indonesia".
Setelah memasuki masa pensiun, ‘oom Paul’ tetap menjadi
guru dan menjadi tempat bertanya bagi orang Indonesia maupun Belanda yang
menggeluti kajian kritis mengenai hukum di Indonesia. Alih pengetahuan dipandangnya
secara harafiah: sebagian besar perpustakaannya diberikan kepada para mahasiswa
dan peneliti serta seringkali disertai pesan pribadi, yang kemudian menyebabkan
diskusi yang menimbulkan inspirasi melalui telepon dan surat.
Pada
tahun-tahun terakhirnya, ia lebih banyak menarik diri dari umum, tidak lagi banyak
tamu yang mengunjunginya (pada saat itu kondisinya sudah menurun) dan ia menjadi
lebih senang mendengarkan musik karya Bach daripada membaca buku. Ketika
istrinya jatuh sakit, tanpa ragu Paul merawatnya dengan sepenuh hati. Tetapi hal
inipun hampir tidak dapat dilakukannya lagi, hanya rasa tanggung jawabnya yang
besar yang memberinya kekuatan sampai akhir tahun. Beberapa saat kemudian Paul
harus menjalani perawatan di rumah sakit, karena suatu keluhan yang ringan, dan menjelang hari
Natal pada tanggal 22 Desember 2016, Paul
Moedikdo Moeliono wafat pada usia
89 tahun.
** Jan van Olden – adalah seorang sahabat dari Paul Moedikdo. Nekrologi atau catatan ini dibuat
pada April 2017. Tulisan asli yang berbahasa Belanda dapat dilihat di Newsletter “Nederlandse Vereniging voor Criminologie” beralamat di https://criminologie.nl/portfolio/de-criminoloog-17/ halaman 6 dan 7 -MR.
¨¨¨