Abstrak: Sistem
Peradilan Pidana (SPP) merupakan salah satu pintu masuk dalam pemberantasan perdagangan
illegal narkoba di Indonesia. Kebijakan yang dipergunakan sekarang adalah
dengan mengatur perdagangan narkoba secara ketat dengan tetap menyediakan jalur
rehabilitasi disamping pemidanaan penjara. Makalah ini ingin merekomendasikan
adanya perubahan kebijakan dengan lebih memfokuskan “perang terhadap narkoba”
kepada organisasi-organisasi kejahatan nasional dan internasional yang
memanfaatkan geografi Indonesia untuk memasok narkoba dan mempergunakan
Indonesia sebagai “negara transit”. Juga diharapkan terdapat kebijakan yang
lebih manusiawi terhadap pengguna narkoba, dengan menyediakan panti-panti
rehabilitasi yang dapat dicapai dengan mudah oleh pengguna yang membutuhkannya.
Kata kunci : Sistem Peradilan Pidana, Narkoba, Kejahatan
Terorganisasi, Rehabilitasi.
Pengantar
Pada bulan Februari 2011 (lebih dari 5 tahun
yang lalu) diadakan Seminar BNN dengan tema yang sangat optimistis,yaitu
“Indonesia Bebas Narkotika 2015 – Penegakan Hukum yang Terintegrasi dan
Komprehansif”. Tema ini rupanya mengikuti slogan “Drug Free ASEAN 2015”- Sekarang (2016) sudah lebih setahun
dari target, namun – kalau mengikuti
Media Massa- keadaan belum berubah. Pada waktu itu, tahun 2011, kepada saya
diminta untuk menyusun suatu makalah dengan judul “Trend Perkembangan Sindikat Narkoba Internasional di Indonesia dan
Antisipasinya”. Waktu yang tersedia (dari saya) tidaklah cukup untuk
memenuhi permintaan itu, sehingga saya hanya dapat menyajikan makalah yang
berisikan beberapa catatan dari sudut pandang Kriminologi, tentang beberapa
strategi yang mungkin dapat dipikirkan pula oleh BNN. Makalah sekarang ini
mengambil alih sebagian dari tulisan itu dan catatan persiapan makalah tahun
2011 tersebut[1].
Saya mencoba dalam makalah ini untuk
menambah dan memperluasnya.
Perlu
disampaikan pula di sini, bahwa pendekatan makalah ini bukanlah pendekatan
yuridis (juristic approach), yang
melihat permasalahannya secara normatif, tetapi dalam pendekatan kriminologi (criminological/sociological approach),
yang melihat permasalahan narkoba ini sebagai suatu gejala sosial dan sebagai
perilaku manusia yang menyimpang dari norma dan nilai-nilai yang dominan
berlaku dalam masyarakat.
Tiga Aliran Pikir tentang
Melawan Perdagangan Ilegal Narkoba
Dikatakan
ilegal adalah karena ada sebagian narkotika dan psikotropika yang dapat
diperoleh melalui resep dokter di Apotik untuk pengobatan (umumnya adalah yang
dimasukkan dalam golongan-3) atau diperdagangkan untuk keperluan ilmu
pengetahuan di Laboratorium (riset atau eksperimen pengobatan). Yang sama sekali tidak boleh dipergunakan,
kecuali untuk pengembangan ilmu pengetahuan adalah yang termasuk golongan-1
(untuk jelasnya dapat dilihat pada UU 35/2009 tentang Narkotika dan UU 60/1997
tentang Psikotropika).[2]
Peredaran
gelap (ilegal) narkoba (narkotika dan obat/bahan berbahaya) memang dipandang
sebagai ancaman besar bagi kesehatan warga masyarakat, karena penyalahgunaan (abuse) narkoba ini menimbulkan
ketergantungan yang berdampak kepada cara berpikir dan menghilangkan
kreativitas seseorang. Ketergantungan ini telah dimanfaatkan untuk bisnis
illegal narkoba oleh sejumlah organisasi kejahatan. Untuk menanggulangi bahaya
ini, dalam bahan pustaka dapat disimpulkan secara garis besar adanya tiga aliran berpikir, yaitu:
1)Melegalisasi narkoba (mashab ke-1), dengan
tujuan utama menghapus keuntungan besar dari perdagangan narkoba oleh sindikat
internasional yang merupakan bagian dari jaringan organized crime. Keuntungan sangat besar sindikat-sindikat ini
telah menyuburkan berkembangnya organisasi ini hingga juga meliputi a.l. human trafficking, cyber crime, illegal gambling dan illegal trade in arms and counterfeit
goods. UNODC melaporkan bahwa sindikat-sindikat tersebut telah melakukan
kegiatan transnational organized crime sebagai
bagian dari the globalized illegal
economy. Dalam pemikiran melegalisasi narkoba, pengguna narkoba dianggap sebagai “orang sakit” yang memerlukan
perawatan medis melalui rumah-rumah rehabilitasi. Tetapi mereka tetap dapat
membeli narkoba secara “relatif bebas” (cukup dengan resep dokter). Hingga
sekarang tidak ada negara yang bersedia menggunakan pemikiran ini. Mungkin juga
karena hampir pasti kebijakan seperti ini akan ditentang oleh negara-negara
anggota di United Nations Office on Drugs
and Crime (UNODC). Pendekatan radikal ini juga dibawa oleh pemikiran bahwa
seorang pengguna narkoba sebenarnya melakukan suatu “victimless public order crime” (serupa pelaku tindak pidana
pornografi, homoseksual antar orang dewasa, dan pelacuran).
2)Mengatur perdagangan narkoba secara ketat
(mashab ke-2) oleh negara, karena
bahayanya yang dapat menjadikan seseorang tergantung kepada bahan ini dan
akhirnya pengguna ini akan menjadi beban bagi negara. Ketegantungan ini akan
menjadikan addict (pecandu; pengguna
narkoba) berusaha untuk membeli narkoba, dan bila ia miskin maka akan melakukan
berbagai cara memperoleh uang, antara lain dengan melakukan kejahatan, termasuk
menjadi pengedar (trafficking) narkoba.
Singapura dan Malaysia menentukan bahwa pengedar narkoba wajib dihukum mati (mandatory capital punishment-death penalty). Untuk menentukan
seseorang sebagai pengedar (presumed
trafficker), maka ditentukan beberapa batas-pemilikan berbagai jenis narkoba
itu. Memiliki suatu jenis narkoba di atas batas tersebut akan dianggap sebagai
pengedar. Kebijakan
ini juga dimaksudkan untuk mencegah Singapura dan Malaysia akan menjadi “daerah
transit” (untuk pengedaran ke negara-negara tetangga) perdagangan ilegal
narkoba. Rehabilitasi[3]
memang juga dimungkinkan, tetapi hanya bila jumlah narkoba yang ditemukan
pada seseorang kurang dari ketentuan yang akan memungkinkan hukuman mati.
Sistem ancaman tanpa alternatif ini (mandatory
death penalty) hanya dikenal di kedua negara tersebut. Mungkin Filipina
juga menganut pemikiran ini, namun dengan penegakannya yang sangat radikal!
3)Tetap
diperlukan pengaturan dan pelarangan
perdagangan ilegal narkoba (mashab ke-3), tetapi dengan target yang jelas
pada pemberantasan perdagangan gelap/ilegal yang dilakukan oleh
organisasi-organisasi kriminal (criminal
organization) yang didirikan secara illegal ataupun legal (dalam hal ini
bisnis legal hanya sebagai “kedok”). Organisasi
kriminal ini tidak saja melakukan kegiatan perdagangan gelap (impor dan
ekspor) narkoba, tetapi juga menguasai bisnis judi ilegal, pelacuran,
perdagangan manusia, dan penyelundupan (antara lain senjata dan barang-barang
palsu).Organisasi ini dapat bersifat lokal, tetapi juga (umumnya) internasional
(pemasok barang dan atau modal berada di luar dari negara target). Pengguna
narkoba dianggap orang yang memerlukan pendekatan medis, dan karena itu
“dipaksa” untuk mengikuti program rehabilitasi.
Pemaksaan dilakukan melalui jalur yudisial/pengadilan ataupun melalui jalur
eksekutif/dinas sosial. Pendekatan medis ini mewajibkan Pemerintah membangun
dan menjalankan sangat banyak panti-panti rehabilitasi yang tersedia dengan
ahli-ahli di bidang psikiatri, psikologi, dan kesejahteraan sosial (pekerja
sosial) yang terlatih dalam bidang terapi dan rehabilitasi pengguna narkoba. Sepengetahuan saya
Belanda menganut pemikiran ini, dengan antara lain membuka kesempatan
“perdagangan-bebas-terbatas”, bagi pengguna “soft drugs”, di tempat-tempat yang telah ditentukan dan di bawah pengawasan.
Antara lain, pemikiran di sini adalah untuk mencegah pengguna berhubungan
dengan penjual yang akan menawarkan “hard
drugs”.
Kalau
dilihat dari ketiga pendekatan pemikiran di atas (semacam tiga mashab – schools of thought), maka kebijakan Indonesia mendekati pemikiran
mashab ke-2 di atas. Terutama setelah Indonesia mengeksekusi sejumlah pelaku
tindak pidana narkoba dengan pidana
mati. Namun memang tidak sekeras Singapura dan Malaysia (dengan mandatory capital punishment). Karena
dari observasi dan pengetahuan saya melalui media massa, Indonesia telah
memilih strategi penanggulangan masalah narkoba melalui pemidanaan (punishment strategy), - semua pelanggar
UU Narkoba pada dasarnya akan mendapat hukuman berat, yang dimaksudkan untuk
menakuti “calon-pengguna narkoba”.Juga dipersiapkan Lembaga Pemasyarakatan
Khusus (atau Bagian Khusus dalam Lapas) untuk Terpidana Narkoba. Memang
tersedia juga kesempatan rehabilitasi, namun hanya dimanfaatkan secara
terbatas, karena seleksi yang ketat terhadap mereka yang akan mempergunakannya dan tempat yang
terbatas.
Dua Strategi Besar Dalam
Melawan Penggunaan Narkoba
Dalam
bahan Pustaka Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana (SPP) dikenal ada dua strategi pokok untuk menghadapi
ancaman narkoba ini, yaitu:
1)Law Enforcement
Strategies – di Indonesia
dilakukan oleh BNN dan Kepolisian, antara lain melalui pencegahan masuknya
narkoba melalui bandara udara dan pelabuhan laut, melalui razia-razia di tempat
umum (diskotek, klub malam dan kafe/bar), dan juga melalui undercover agents serta informasi dari masyarakat. Penangkapan para pengguna dan
pengedar/pembawa narkoba merupakan sarana utama dalam strategi ini.
2)Community
Strategies – di Indonesia ini juga telah dilakukan oleh BNN dan
Kepolisian dengan mengajak penyertaan warga masyarakat dan organisasi
anti-narkoba (seperti GRANAT/Gerakan Nasional Anti-Narkoba) melakukan “perang
melawan narkoba”. Sosialisasi
tentang bahaya narkoba melalui Media-massa dan sekolah-sekolah (termasuk
pesantren dan universitas) merupakan sarana utama dalam strategi ini.
Dalam
pendekatan bidang strategi, maka dapat dipelajari juga bagaimana Amerika
Serikat melakukannya dengan program nasional yang dikenal dengan nama “DARE” (Drug Abuse Resistance Education)[4]. Seperti terlihat dari namanya,maka
program ini berintikan pendidikan dengan tujuan membangun kemampuan
“perlawanan-diri terhadap tawaran narkoba”, moto utamanya adalah “Say No To Drugs”. Dalam pendidikan ini
ada 5 bidang fokus,yaitu:
a)Pemberian
informasi yang akurat tentang Tembakau, Alkohol dan Narkoba;
b)Membekali
para siswa teknik-teknik untuk melawan tekanan dari teman sekelompok;
c)Membekali
para siswa untuk menghormati hukum dan penegakan hukum;
d)Membekali
para siswa dengan gagasan sebagai usaha alternatif dibandingkan
dengan pemakaian
narkoba;
e)Membangun
rasa harga-diri dan kepercayaan-diri para siswa.
Adapun
falsafah yang dianut disini adalah melihat pengguna-narkoba itu sebagai “korban” keadaan masyarakat dan situasi
pribadinya. Dikatakan para pendukung program ini “young students need specific analytical and social skills to resist
peer pressure and refuse drugs”. Disini perlu diingat pula bagaimana
gencarnya pelaku-pelaku bisnis mempromosikan dagangan mereka (antara lain
melalui media TV) dengan mempergunakan pendekatan “peer group pressure” (tekanan teman sekelompok). Dalam bahan
pustaka pengertian “drugs” tidak saja
berupa narkoba/napza, tetapi juga nikotin (tembakau) dan alkohol.[5]
Di Indonesia kita telah mengalami bagaimana “gencar dan hebatnya” promosi
bisnis rokok dan secara lebih “halus” bisnis alkohol, sehingga dapat
diperkirakan bahwa hal ini juga akan atau mungkin telah terjadi dalam bisnis narkoba !
Bisnis Narkoba
Saya
pernah menulis mengenai Narkoba sebagai masalah ke-3 yang harus dihadapi
Presiden Joko Widodo sbb[6]:
“Permasalahan
ini bukan masalah domestik Indonesia saja, tetapi masalah dunia – telah menjadi
transnational organized crime. Ini
disebabkan karena perdagangan narkoba ini telah menjadi suatu-gurita kejahatan
yang dikuasai oleh “pengusaha-jahat” yang hidup bermewah-mewah di atas
penderitaan mereka yang menjadi “pengguna narkoba” (drug addicts). Kekuasaan “penjahat berdasi” (white collar criminals) yang menguasai perdagangan narkoba mencapai
puncaknya dengan kemampuan mereka menguasai lembaga-lembaga pemasyarakatan
(penjara) di Indonesia. Media massa memberitakan bagaimana Lapas dijadikan
“pabrik narkoba” dan bagaimana gembong narapidana kejahatan narkoba masih dapat
mengarahkan perdagangan narkoba di luar penjara di Indonesia dari dalam sel
penjara. Lebih mengherankan lagi, baik Dirjen Pemasyarakatan maupun kepala
Lapas seperti kebal dari tuduhan terlibat dalam ”perdagangan narkoba” di dalam
dan di luar penjara ini!”.
Beberapa
teman akademisi menganggap saya terlalu “keras” dan telah men”vonis” pejabat-pejabat
Lapas, tanpa bukti yang cukup. Saya mengakui, bahwa keterlibatan pejabat Lapas
dalam perdagangan ilegal/gelap narkoba oleh narapidana ini, memang sukar
dibuktikan karena “tertutupnya” lingkungan Lapas, sehingga Polisi dan petugas
BNN juga tidak akan mudah masuk dan melakukan investigasi/penyelidikan. Tetapi
kemudian keyakinan bahwa saya benar, adalah ketika saya membaca dua buah buku
(dalam bahasa Inggris) yang menceriterakan tentang peredaran narkoba di Bali,
dan pusat kegiatannya berada di Lapas Kerobokan. Penulisnya adalah seorang
wartawan Australia yang menulis dua buah buku (tahun 2012 dan 2015). Di bawah
ini adalah pengantar atau promosi yang diberikan untuk kedua buku itu oleh
penerbitnya, baik untuk Lapas Kerobokan[7] maupun
untuk pulau Bali sendiri[8]:
“Hotel K is the schocking
inside story of the jail and its inmates, revealing the wild ‘sex nights’
organized by corrupt guards for the prisoners who have cash to pay, the jail’s
ecstacy factory, the killings made like suicides, the days out at the beach,
the escapes and the corruption that means everything is for sale …”
Tentang
keadaan pulau Bali sendiri, buku yang bersangkutan dipromosikan dengan:
“Snowing in Bali is the
story the drug trafficking and dealing scene that’s made Bali one of the
world’s most important destination in the global distribution of narcotics …
From the highs of multi-million dollar deals to the desperate lows of death row
in Indonesian high security jail, Snowing in Bali is unique, uncensored inside
into a hidden world”.
Ceritera
di dalam kedua buku itu sangat mencengangkan dan “meyeramkan”! Bagaimana
mungkin hal tersebut dapat terjadi di Indonesia? Kalau kita dapat percaya separuhnya
saja, tentang fakta-fakta yang disampaikan (sedangkan setengahnya lagi kita
anggap penafsiran pribadi
penulisnya), maka sudah menjadi lebih jelas bagaimana peredaran narkoba dapat
dikendalkan dari dalam Lapas. Harus perlu ada bantuan dari petugas Lapas dan
anggota Polri, dan mungkin juga telah terlibat oknum-oknum Jaksa, Advokatn dan
Hakim serta pejabat daerah setempat. Kalaupun mereka yang terakhir ini tidak
aktif membantu, tetapi dengan “tutup-mata” saja atas kegiatan peredaran ilegal
narkoba ini di dan melalui Lapas, mereka juga turut bersalah !
Kedua
buku tersebut pasti telah dibaca di dunia internasional, karena sudah beredar
beberapa tahun. Bagaimana kredibilitas pemerintahan Indonesia di mata dunia
luar ? Karena membiarkan hal ini terjadi dan tidak membantahnya, baik dengan
melakukan “pembersihan” di sejumlah Lapas, ataupun dengan membuat “press release” tentang “kebohongan”
ceritera dalam kedua buku tersebut. Yang juga mengherankan adalah bahwa Gubernur Bali (yang merupakan mantan Jenderal
Polisi) pun tidak bereaksi. Mungkinkah anggota staf beliau belum membaca buku
ini ? Ataukah mungkin ada alasan lain, yang tidak boleh diketahui publik ?
Kejahatan Terorganisasi
Bahan
pustaka tentang perdagangan ilegal narkoba menceriterakan bahwa perdagangan
yang sangat menguntungkan ini di dunia, telah jatuh ketangan “kejahatan
terorganisasi” (KTO – organized crime).
Namun, kepastian keterlibatan KTO dalam perdagangan narkotika pernah pula tidak
dipercaya. Misalnya, di Amerika Serikat (AS) yang sudah lama mengakui adanya
KTO yang dikuasai oleh Mafia Italia (Cosa
Nostra), terlibatnya KTO dalam perdagangan narkotika pernah tidak
dipercaya.Dikatakan pada tahun 1970-an[9]:
“It is certainly
understandable that public support in the past has never been sustained and
zealous when one realizes that less than a dozen years ago the existence of a
nationwide organized crime conspiracy was denied by some of our most respected
law enforcement officials. Most of these have since been converted”.
Namun,
keadaan itu sekarang telah berubah dan Amerika Serikat melakukan “modern drug war” sejak Presiden Richard M.Nixon mencanangkan “Operation Intercept” dalam bulan
September 1969. Sejak waktu itu usaha pencegahan dilakukan menghadapi KTO yang
menyelundupkan narkotika dari Amerika Selatan (a.l.Mexico, Peru dan Colombia).
Keadaan
serupa juga pernah ditemui di Belanda (seperti juga di Hindia Belanda[10],
ada Opium Wet,1919 yang diubah pada
tahun-tahun 1928,1931 dan 1936) , di
mana baru pada tahun 1970-an juga terjadi perubahan dalam kebijakan perang
terhadap narkoba, yang semula ditujukan kepada pengguna dan penjual-jalanan,
mulai di arahkan kepada KTO. Dikatakan dalam suatu studi tentang masalah
narkotika di Belanda[11]:
“De ‘Richtlijnen voor het opsporings- … van
de Opiumwet, die in Oktober 1976 door de procureurs-generaal werden vastgesteld
…, bepleiten een prioriteitenstelling in de opsporing … van de georganiseerde
drugscriminaliteit die zich bezighoudt met de in-,uit- en doorvoer en vervaardiging
van een groothandel in drugs, …” (256; Pedoman penyidikan dari UU
Candu/Opium yang pada bulan Oktober 1976 ditetapkan oleh ‘Jaksa Agung’ ,
meminta suatu prioritas dalam hal penyidikan dari kejahatan narkotika yang
terorganisasi, yang melakukan impor, ekspor dan perdagangan-lintas serta
penyusunan suatu usaha pedagang-besar di bidang narkotika …).
Dan
kemudian dikatakan juga: “Zo bleek toen
pas … , dat de groothandel en de in- en uitvoer van verdovende middelen … zich
bewogen op het terrein van de georganiseerde misdaad. … Binnen de
Narcoticabrigades … werd de .dieptespecialisatie ingevoerd, …
‘Chinezenunits’, aangezien… Hongkong,
Singapore, Maleisie de marktleiders waren …
gevolgd door Turken en Pakistanenunits.” (281-282; Begitulah
kemudian terbukti, bahwa perdagangan-besar serta impor dan ekspor narkotika
bergerak di bidang kejahatan terorganisasi
… (karena itu) dalam ‘brigade narkotika’ (kepolisian) dibentuk
‘spesialisasi-pendalaman’ … ‘unit-unit Cina’ karena Hongkong, Singapura ,
Malaysia merupakan (tempat asal dan transit) “pimpinan/induk –pasar” … diikuti
kemudian oleh unit-unit Turki dan Pakistan ).
Belanda
dikenal sebagai negara yang “lunak” terhadap pengguna (a.l. dengan membuka
tempat-tempat khusus untuk pengguna mendapatkan “softdrugs dan mendorong rehabilitasi), tetapi memusatkan kegiatan
yang “keras” dalam perlawanan narkobanya kepada kejahatan terorganisasi (KTO)
yang menguasai perdagangan gelap narkoba di Belanda.
Kesan
saya, Indonesia sekarang masih
berada dalam situasi seperti tahun 1970-an di Amerika Serikat dan Belanda. Pada
waktu itu di kedua negara ini penegak hukum belum mau percaya bahwa
bandar-besar perdagangan gelap narkoba dikendalikan oleh organisasi kejahatan
internasional..Di Indonesia pun (menurut pengamatan saya) konsentrasi pemberantasan-narkoba sebagian
besar masih ditujukan kepada pengguna (kebanyakan warga masyarakat miskin),
pengedar-jalanan dan penyelundupan oleh kurir melalui laut dan udara.
Rehabilitasi penguna memang juga dilakukan, namun sebagian besar pengguna
berada di Lapas-lapas yang mempunyai bagian khusus napi-narkoba. Yang sangat
menyedihkan adalah keadaan di Lapas Kerobokan
Bali, di mana telah terjadi “korupsi moral dan material” dalam
penanganan masalah narkoba dengan para pemasok dan kaki-tangan
KTO.internasional ! [12]
Narkoba dan Kejahatan
Kepercayaan
umum adalah bahwa narkoba (selalu) akan berkaitan dengan kejahatan, dalam arti
bahwa pengguna akan melakukan kejahatan, karena ketergantungan yang dialaminya.
Beberapa penelitian memang membenarkan hal ini. Seorang yang terlibat kejahatan
yang merupakan kegiatan kelompok atau lingkungannya (terlibat dalam suatu geng
penjahat atau hidup dilingkungan dengan “criminal
subculture”), akan mengalami pengenalan terhadap berbagai jenis narkoba.
Penyalahgunaan narkoba akan menjadi bagian erat dengan berbagai kejahatan dalam
“sub-budaya kejahatan” bersangkutan. Temasuk di dalamnya tentu juga melakukan
kejahatan untuk dapa membeli narkoba. Dengan demikian akan terjadilah
“lingkaran setan” Kelompok atau lingkungan akan mendorong seseorang untuk
“menikmati” narkoba, sehingga dia menjadi kecanduan dan terpaksa/terdorong
melakukan kejahatan untuk dapat memperoleh/membeli lagi narkoba, dan demikian
seterusnya. Daerah-daerah tertentu di kota-kota besar, yang merupakan tempat
yang dihuni keluarga-keluarga pekerja miskin, memamg menjadi sentra jual-beli
dan penggunaan narkoba. Tetapi, seperti dicontohkan di Bali, Lapas-lapas pun
merupakan lingkungan di mana “drug
subculture” ini dapat berkembang tanpa terganggu.[13]
Suatu
kritik terhadap pendapat umum dan hasil penelitian di atas adalah, bahwa
kesimpulannya mengandung bias/pra-sangka terhadap golongan masyarakat dan
lokasi tertentu, yaitu kelompok miskin dan daerah kumuh. Karena tidak selamanya
dapat dibuktikan adanya hubungan sebab-akibat yang kuat (strong causal relationship) antara narkoba dan kejahatan. Banyak
juga penjahat yang tidak menggunakan narkoba dan sebaliknya banyak pula
pengguna narkoba yang tidak melakukan kejahatan. Pra-sangka lain adalah dengan
menvonis daerah kumuh sebagai “sarang
narkoba”, cukup bukti menunjukkan bahwa di tempat-tempat mewah seperti
klub-malam dan tempat-karaoke, sering terjadi jual-beli dan penggunaan narkoba.
Tempat-tempat itu sering merupakan tempat berkumpul/kongkow para eksekutif/pengusaha
muda yang mencari hiburan malam. Kecuali narkoba, di negara-negara maju di
Barat, masalah serupa juga terdapat sehubungan dengan ketergantungan kepada
alkohol. Dilaporkan bahwa:”… we have
neglected to comprehend the impact of alcohol on crime and violence. Indeed,
alcohol may very well make a greater contribution to crime and violence than
drugs”.[14]
Selain
kritik di atas (masalah hubungan sebab-akibat dan adanya pra-sangka terhadap
daerah keluarga miskin), dikatakan pula, bahwa masalah penggunaan narkoba gelap
tidak akan dapat dihapus tuntas. Seperti juga kejahatan, maka pengguna narkoba
akan selalu berada bersama kita dalam masyarakat. Perhatikan pendapat ini [15]
“The drug problem is expansive, cutting
across many segments of the population. As such it is impossible for the police
to eliminate drugs.Therefore the police should make harm reduction the criterion by which to guide drug enforcement
planning and to evaluate enforcement programming.Because the police will never
eliminate as law enforcement or social problem, they must expend their energy
and resources in such a way that the harm to the community as a result of drugs
is minimized.Prority must be given to solving problems that are the most
harmful to people and the community.This means the police should tearget
problems as opposed to apprehending offenders without regard to activities and
impact. The police should focus on problem solving as opposed to bean counting”
.
Seperti
dijelaskan di atas negara-negara Barat (contoh di atas adalah Amerika Serikat
dan Belanda), telah menghadapi masalah pengguna narkoba ini sejak tahun 1960-an
(jadi lebih dari 50 tahun), dan mereka masih belum dapat menghilangkannya dari
masyarakat mereka. Sumber utama narkoba di Amerika Serikat adalah dari Amerika Selatan (a.l.Mexico dan Colombia),
sedangkan sumber utama narkoba di Belanda adalah dari Asia Tengah dan Tenggara (a.l. segitiga
emas/Kamboja, India, Thailand, Malaysia, Indonesia dan Hongkong). Pendapat
Kappeler di atas, tidak bermaksud menghentikan “perang-lawan-narkoba”, tetapi
memindahkan fokus strateginya, tidak
semata-mata pada “law enforcement
strategies”, akan tetapi justru
memprioritaskan “community strategies”,
a.l. dengan pendekatan pemolisian-komuniti/pemolisian masyarakat, serta dengan
mengupayakan pemecahan masalah (problem
solving).
Mengutip
pendapat Moore dan Kleiman (2003), Kappeler mengidentifikasi enam tujuan pokok
(goals) yang bermanfaat untuk perang
melawan narkoba, melalui kegiatan pemolisian-masyarakat, yaitu[16]:
“--Reduce the gang violence associated with
drug trafficking, and prevent the emergence of powerful organized criminal
groups;
--Control the sreet
crimes commited by drug users;
--Improve the health and
economic and social well-being of drug users;
--Restore the quality of
life in urban communities by ending street-level drug dealing;
--Help prevent children
from experimenting with drugs; and
--Protect the integrity
of criminal justice institutions.”
Dua
tujuan pertama memang mengutamakan law
enforcement, khususnya terutama kepada organisasi-kejahatan (KTO) sebagai
bandar-besar, kemudian tiga tujuan
berikutnya merupakan usaha pemolisian-komuniti dengan mengutamakan kerjasama
dengan memberdayakan masyaraka dapat “melawan-sendiri” masalah narkoba (lihat
program DARE) di atas. Adapun tujuan
ketiga adalah mengakui bahwa keuntungan besar/luar biasa KTO dari perdagangan gelap narkoba, akan (dapat)
merusak integritas petugas-petugas sistem peradilan pidana kita ![17]
Menghadapi KTO Sebagai
Bandar-besar Narkoba
Kebijakan
ini dinamakan high-level enforcement, yang
bertujuan untuk memerangi narkoba justru di puncak dari drug trafficking hierarchy. Dikatakan Kappeler: “The reasoning behind high-level enforcement
is that if a drug kingpin is eliminated, the whole network will be rendered
useless, and it will cause a large gap in street drug supplies”.[18] Salah satu teori dalam kebijakan ini
adalah berlakunya “teori ekonomi”, bahwa berkurangnya peredaran narkoba di
jalan (karena rusaknya jaringan penjualan), akan meningkatkan harga narkoba di
jalan, dan tingginya harga narkoba akan mengurangi kemampuan pembeli, sehingga
peredaran narkoba di jalan akan berkurang. Teori ini juga sering diajukan
sebagai salah satu pembenaran melakukan pencegatan (interdiction) di bandara laut dan udara serta di jalan-jalan antar
propinsi di Sumatera, serta razia, perampasan dan pemusnahan barang bukti
narkoba. Menurut Kappeler teori ini ternyata tidak berlaku di Amerika Serikat,
karena tetap saja “increasingly large
quatities of drugs have been smuggled into the United States despite enhanced
enforcement efforts” dan dikatakannya pula:
“Large seizures of drugs serve as public
relations tool.The public sees such police action as victories in the war on
drugs even though they effectively are meaningless in terms of supply. The real
war on drugs, for any community, remains at the retail level [19]
Bagaimana
di Indonesia ? Kalau di AS dalam kurun waktu 50 tahun dengan program memerangi
bandar narkoba yang datang dari perbatasan daratan di Selatan (dengan Mexico,
Colombia dll), high level enforcement kurang
berhasil, dapatkah diharapkan Indonesia akan berhasil melakukan “pencegatan”
ini dalam suatu negara kepulauan ? Pertanyaan yang (mungkin) dapat dijawab
dengan melihat pengalaman kita dengan pencurian ikan dan penculikan pelaut kita
oleh kelompok teroris !
Bagaimana
dengan di Belanda ? Belanda dikenal sebagai negara yang dipergunakan juga
sebagai negara transit narkoba masuk ke negara-negara lain di Eropa
Kontinental, terutama melalui pelabuhan Roterdam dan Amsterdam. Kegagalan
menghadapi KTO ini rupanya dilaporkan Weijenburg sebagai berikut:
“Het wegvallen van de binnengrenzen zal
ongetwijfeld leiden tot een … toename van de smokkel van verdovende middelen…
De georganiseerde criminaliteit heeft zich nooit iets aangetrokkken van
landgrenzen.”(Hapusnya batas negara yang berada di daratan pasti akan
menambah penyelundupan narkoba … Kerjahatan terorganisasi (KTO) tidak pernah
memperdulikan adanya batas-batas negara di daratan).[20]
Bagaimana
kalau nanti Masyarakat ASEAN (MEA) juga akan melonggarkan batas-batas negara
Indonesia yang antara lain berbatasan dengan Malaysia (di daratan dan di laut)
serta dengan Singapura (di lautan) dan dengan Filipina (di lautan). Dengan
melihat pengalaman kita dengan penyelundupan Tenaga Kerja, maka jelaslah bahwa
perbatasan kita tidaklah cukup kokoh untuk menahan arus penyelundupan narkoba
meliwati perbatasan darat dan laut.[21] Kalau melihat kepada pengalaman kedua negara
(AS dan Belanda) tersebut, maka mereka juga memfokuskan kepada “retail level enforcement”. Melalui
kebijakan ini dikenal adanya dua jenis transaksi penjualan ilegal narkoba: “indiscreet drug trafficking” dan “discreet
drug trafficking”. Yang pertama adalah yang dilakukan secara relatif
terbuka (indiscreet), di daerah-daerah
yang dikuasai oleh kelompok preman, dan umumnya juga rawan terjadinya kejahatan
lain (seperti: pembunuhan, perampokan, penganiayaan, pencurian, perjudian dan
pelacuran). Dalam model kedua, transaksi dilakukan secara relatif tertutup (discreet), di tempat-tempat rekreasi
seperti diskotek, klub malam, tempat karaoke, dan sejenisnya. Penegakan hukum
di kedua tempat ini tentunya berbeda. Apa yang terjadi di Indonesia dapat
diikuti dari media massa, yaitu umumnya model kedua (discreet traffciking ) yang banyak diberitakan.
Ini biasanya menjadi berita menarik, terutama bila terdapat orang terkenal atau
selebriti yang tertangkap. Tetapi apakah di kota-kota besar tidak terjadi razia
di daerah-daerah yang dikuasai para preman ? Ataukah memang media
massa tidak merasa perlu memberitakannya ? Sesuatu yang mungkin perlu dikaji –
dan sama perlu dikajinya pula adalah
mengapa tidak tedengar berita tentang razia di lapas-lapas yang dihuni
gembong-gembong narkotika ! Bukankah dalam lapas-lapas ini telah terjadi juga “discreet drug trafficking” ?
Pemidanaan vs
Rehabilitasi
Indonesia
mengatur perdagangan narkotika secara ketat dengan mengancamkan pemidanaan,
namun memberi juga kesempatan dilakukannya rehabilitasi. Kebijakan pemidanaan
didasarkan kepada konsep deterrence (penghindaran).
Seperti pernah dinyatakan oleh Cesare Beccaria, pemidanaan memang bertujuan
untuk menimbulkan ketakutan dan Jeremy Bentham menjelaskan bahwa konsep
“penghindaran” itu mengandung pengertian adanya intimidasi oleh hukum. Dengan
pemberian pidana kepada seorang pelaku kejahatan, diharapkan orang lain atau
seorang calon pelaku kejahatan akan takut atau terintimidasi untuk tidak
melakukan atau menghindar dari perbuatan pelanggaran hukum itu. Konsep di atas
ini dinamakan juga “simple deterrence”.[22] Konsep sederhana ini tentu tidakalah
memuaskan, tetapi memang para legislator dan penegak hukum kita menerimanya,
dengan mengikuti pemikiran klasik dalam kriminologi. Dalam pemikiran klasik
seperti ini, manusia dipandang sebagai bersifat rasional dan hedonistik, juga
pemikiran ini percaya bahwa manusia pada dasarnya mempunyai kebebasan dalam
memilih. Karena itu, seseorang calon pelaku seharusnya takut atau terintimidasi
dengan ancaman pidana yang ditentukan undang-undang. Kalau pun dia memilih
untuk tetap melakukan perbuatan terlarang itu, maka sudah sewajarnyalah dia menerima hukuman yang dijatuhkan oleh
pengadilan. Dari sini timbullah istilah “hukuman yang setimpal”. Kepercayaan
disini adalah kepada “the deterrent power
of threatened and inflicted pain” (kekuatan penghindaran dari pengancaman
dan penjatuhan penderitaan).. Menurut saya, ketika Presiden Jokowi menyatakan
tidak akan memberi grasi (pengampunan)[23]
kepada narapidana narkoba yang dijatuhi hukuman mati, maka cara berpikir secara
“simple deterrence” inilah yang
terpikir oleh beliau.
Sebenarnya
masih ada berbagai konsep dan teori tentang “proses penghindaran” ini.Tidak ada
maksud untuk membahas masalah proses itu disini, namun sebagai sekedar
pengenalan tentang terlalu sederhananya penegak hukum kita berpikir, maka dapat
diajukan beberapa teori tentang fungsi “ancaman pidana” (the threat of punishment), yaitu sebagai:[24] “1.a
Teacher of Right and Wrong -- 2.as Habit
Builders – 3.as Mechanism for Building Respect for Law – 4.as a Rationale for
Conformity “. Dengan berdasarkan pemikiran bahwa konsep “simple deterrence” tidak memperhatikan
kompleksitas sifat manusia dalam memilih dan manusia itu tidak benar-benar
bebas dalam memilih sikapnya terhadap suatu peristiwa (karena dipengaruhi oleh
lingkungannya: fisik dan sosial), maka putusan untuk tidak memberi kesempatan mengajukan
grasi oleh seorang napi narkoba yang dihukum mati, adalah suatu kekeliruan besar.[25]
Grasi memang merupakan hak prerogatif Presiden, namun seorang negarawan tidak
boleh berpikir emosional dan menyimpang dari ketentuan undang-undang. Grasi
adalah juga hak seorang terpidana, dan penolakan hak ini tidak boleh dilakukan
sebelum memeriksa dengan seksama alasan permohonan grasi tersebut, disertai
pendapat dari Menteri Hukum dan HAM,
Jaksa Agung serta Ketua Mahkamah Agung.
Konsep
rehabilitasi yang dijalankan haruslah dalam rangka pemikiran harm reduction untuk masyarakat. Kecuali
tersedianya fasilitas panti-panti rehabilitasi yang cukup banyak, harus ada
pula kebijakan untuk hanya memidana penjara mereka yang telah mengalami
rehabilitasi di Panti Resmi Pemerintah ataupun Swasta, tetapi tertangkap
kembali karena tetap menggunakan narkotika[26].Konsep
pembinaan narapidana dalam Lapas mengisyaratkan bahwa Lapas tidak boleh
menjadikan narapidana
narkoba itu menjadi pengguna narkoba yang lebih buruk dari sebelumnya (misalnya
tidak boleh seorang pengguna soft drugs, karena
berada di Lapas kemudian menjadi pengguna hard
drugs).[27]
Adalah suatu dosa besar apabila hal
ini terjadi, karena dengan demikian berarti secara “tidak langsung” Pemerintah
telah membantu para pemasok/bandar narkoba mendapat keuntungan dari penjualan
gelap narkoba !
Penutup dan Kesimpulan
Masih
banyak yang perlu dilakukan di Indonesia dalam rangka “harm reduction” (mengurangi bahaya) untuk masyarakat, akibat perdagangan gelap/ilegal narkoba
di Indonesia. Pengamatan saya adalah bahwa pemerintah telah menjalankan
kebijakan keras (hard policy)
terhadap masalah narkoba di Indonesia (mengikuti mashab ke-2 pada awal makalah ini). Memang tidak dapat disangkal
bahwa telah terjadi “malapetaka narkoba”
untuk masyarakat Indonesia. Namun kebijakan yang dianut sekarang, terlalu
terfokus kepada penangkapan pengguna dan pengedar-jalanan. Ini yang dinamakan “low-level drug enforcement ” melakukan
razia dan penangkapan pengguna-narkoba. Rehabilitasi mereka pun tidak dilakukan
semestinya, karena sebagian besar akan masuk Lapas dan akan menjadi
pengguna-residivis. Diskriminasi telah juga terjadi, karena yang masuk Lapas
adalah mereka yang berasal dari kelompok ekonomi-lemah dan umumnya buta-hukum,
sedangkan yang masuk Panti Rehabilitasi adalah mereka yang berasal dari
kelompok ekonomi-kuat dan dibantu/dibela oleh advokat pribadi.
Sebaiknya
dilakukan evaluasi-kembali tentang kebijakan yang sekarang dianut, saya
merekomendasikan untuk mencoba pemikiran mashab
ke-3 di atas, di mana tetap dilakukan pengaturan tentang penjualan dan
pemakaian secara ilegal narkoba, namun sekarang semua kekuatan dana dan daya
dikerahkan untuk meghentikan dengan mencegat penyelundupan narkoba dalam kuantitas besar (interdiction policy) ke dalam wilayah
Indonesia melalui darat dan laut, serta mencari tempat-tempat pembuatan dan
penyimpanan narkoba di dalam wilayah Indonesia a.l. dengan menelusuri
lalu-lintas keuangan terkait bisnis gelap narkoba ini. Kebijakan ini harus
difokuskan kepada penyidikan dan penangkapan gembong KTO (drug lords) serta merampas hasil transaksi keuangan mereka yang
merupakan “pencucian uang” (money
laundering). Ini dinamakan high-level
law enforcement, dan yang menurut saya
belum cukup giat dan serius dilakukan di Indonesia.
*Makalah ini telah disampaikan
untuk Majalah MaPPI-FHUI Jurnal
“TEROPONG” - Desember
2016
DAFTAR PUSTAKA
1.Bonella,
Kathryn, The Shocking Inside Story of
Bali’s Most Notorious Jail Hotel K (London: Quercus, 2012)
2.Bonella,
Kathryn, Snowing in Bali – The Incredible
Inside Account of Bali’s Hidden Drug World (London: Quercus, 2015)
3.Gaines,
Larry K and Victor E.Kappeler, Policing
in America (Waltham,MA,USA: Elsevier, 2011)
4.Germann,
A.C.,Frank D.Day and Robert B.J.Gallati, Introduction
to Law Enforcement and Criminal Justice (Springfield,Illinois,USA: Charles
C.Thomas, 1975)
5.Ingersoll,
G, Crimes Against Criminals (New
York: Haskell House Publishers, 1974)
6.Kappeller,
Victor E./Larry K.Gaines, Community
Policing - A Contemporary Perspective (Waltham,MA,USA: Elsevier, 2011)
7.Reksodiputro,
Mardjono, “(Trend Perkembangan) Sindikat
Narkoba (Internasional) Di Indonesia dan Antisipasinya – Beberapa Catatan
Sementara”, mimeo, makalah pada Seminar BNN: Indonesia Bebas Narkoba 2015 –
Penegakan HukumYang Terintegrasi dan Komprehensif (Jakarta: 18 Februari 2011)
8.Reksodiputro,
Mardjono, “Harapan Untuk Presiden Yang Akan Datang – Perlunya Reformasi Moral
Di Indonesia” , Perenungan Perjalanan
Reformasi Hukum (Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2013 )
9.Weijenburg,
R, Drugs en Drugsbestrijding in Nederland
(‘s-Gravenhage: VUGA Uitgeverij, B.V., 1996)
10.Zimring,
Franklin E. and Gordon J.Hawkins, Deterrence
– The Legal Threat in Crime Control (The University of Chicago Press, 1973)
[1]Reksodiputro,
Mardjono, “(Trend Perkembangan)
Sindikat Narkoba (Internasional) Di Indonesia dan Antisipasinya – Beberapa
Catatan Sementara”, makalah tidak diterbitkan (Jakarta: 2011).
[2] UU 35 Tahun 2009-dalam
Pasal 6 dan Lampirannya menyatakan dan memperinci berbagai jenis narkotika
yang dimasukkan dalam tiga golongan.
[3] Rehabilitasi yang
dilakukan umumnya adalah rehabilitasi medis, namun sarana yang juga
dipergunakan adalah rehabilitasi sosial (a.l. dengan memberi pekerjaan dan
memperkuat fungsi keluarga) serta rehabilitas berbasis komunitas terapeutik
(dalam panti rehabilitasi khusus). Sesuai dengan arahan UNODC, maka
Indonesia/BNN juga sejak tahun 2014 mengusahakan rehabilitasi sebagai
alternatif pidana penjara, meskipun sebenarnya sudah lama pasal 54 UU 35/2009
memungkinkannya. Telah
disiapkan 16 Posko Rehabilitasi pengguna narkoba di 16 kota besar di Indonesia.
[4] Gaines, Larry
K. dan Kappeler, Victor E., Policing
in America, (Waltham,MA,USA: Elsevier, 2011) hal. 453-454, 456b.
[5] Menarik adalah bahwa
PerPres 23/2010 tentang Badan Narkotika Nasional, a.l. dapat ditafsirkan telah
menyatakan bahwa tugas BNN adalah :mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkoba, terkecuali
bahan adiktif tembakau dan alkohol.
[6] “Harapan Untuk Presiden
Yang Akan Datang – Perlunya Reformasi Moral Di Indonesia”, dalam Mardjono
Reksodiputro, ,Perenungan Perjalanan
Reformasi Hukum (Jakarta: Komisi Hukum Nasional
Republik Indonesia, 2013) hal.127-128.
[7] Bonella, Kathryn, The Schocking Inside Story of Bali’s Most
Notorious Jail Hotel K (Great
Britain (London): Quercus, 2012) last
cover page.
[8] Bonella, Kathryn, Snowing in Bali-The Incredible Inside Account of
Bali’s Hidden Drug World (London: Quercus, 2015) last cover page.
[9] A.C.Germann,
Frank,D.Day, dan
Robert B.J.Gallati, Introduction to Law Enforcement and Criminal
Justice, (Springfield,Illinois,USA:
Charles C.Thomas, 1975) hal.297.
[10] UU 9/1976 tentang
NARKOTIKA, telah mencabut S-1927-278 jo.536, tentang Verdoovende-middelen Ordonantie (Ordonansi OBAT BIUS).
[11] R.Weijenburg, Drugs en Drugsbestrijding in Nederland, (‘s-Gravenhage: VUGA,Uitgeverij,B.V., 1996) hal.256, 281-282.
[13] Lihat
Larry K.Gaines and Victor E.Kappeler, op.cit.
hal.447–449;dan R.Weijenburg, op.cit.
hal.254-257
[15] Victor E.Kappeler/Larry
K.Gaines, Community Policing, A
Contemporary Perspective, (Waltham,MA,USA: Elsevier,Inc., 2011) hal.366-367 (yang
dimaksud dengan “bean counting” adalah
sudah puas dengan hanya menghitung jumlah tangkapan pengguna dan jumlah
penyitaan/perampasan narkoba). Lihat juga “Presiden: Perang Besar terhadap
Narkoba”, Suara Pembaruan, (6
Desember 2016)
hlm.6 – di mana Presiden Jokowi menghadiri acara “Pemusnahan Barang Bukti
Narkoba” di Silang Monas, berupa: sabu 445 kg, ganja 422 kg, ekstasi 190.840
butir dan happy five 323.000 butir.
[17] Ingat
perdagangan narkoba illegal dalam masyarakat bebas yang dikendalikan melalui
napi di dalam Lapas – ingat pula laporan tentang Lapas Krobokan di Bali d
atas;dan Lihat pula “Tujuh Polisi Ditangkap Saat Pesta Narkoba”, Suara Pembaruan, (29 Nov. 2016) hlm.20.
[18] Victor E.Kappeler/Larry
K.Gaines,hal.368
[19] Op.cit.hal.371
[20] R.Weijenburg,
op.cit. hal.314. Yang dimaksud dengan
“hapusnya batas negara” adalah dengan terbentuknya Uni Eropah, maka batas-batas
negara-negara anggota menjadi hilang - tidak ada pemeriksaan ketat bea cukai
lagi !
[21] Lihat “TKW Bawa Sabu
dari Malysia Ditangkap di Bandara Juanda”, Suara
Pembaruan, (17 Nov. 2016) hlm.20; dan “Bawa Sabu 31,6
Kg dan Ekstasi, WN Malaysia Diamankan di Perbatasan” (Kalbar),Suara Pembaruan (3-4
Des. 2016) hlm.20.
[22] Franklin
E.Zimring dan
Gordon J.Hawkins, Deterrence – The Legal
Threat in Crime Control, (Chicago: The University of
Chicago Press, 1973) hal.75.
[23] Grasi/pengampunan dapat
berup pembatalkan pidana dengan mengubahnya menjadi jenis pidana yang lebih
ringan – dalam hal pidana mati dapat menjadi pidana seumur hidup
[24]Franklin E.Zimring and
Gordon J.Hawkins, loc.cit, hal.77 -
88
[25]Adalah pendapat saya,
bahwa hukuman mati hanya dapat diberikan:a)kepada seorang Terpidana, dalam hal
seluruh anggota Majelis Hakim menyetujuinya; b)dalam hal Terpidana Narkoba,
hanya kepada pimpinan organisasi kriminal (KTO) pemasok narkoba.
[26]Kepada mereka ini dapat
diberikan “indeterminate sentence”,
dengan batas waktu minimal (misalnya satu tahun) dan maksimal (misalnya lima
tahun) – pemidanaan semacam ini masih perlu diintrodusir.
[27] Membuat seorang
penjahat menjadi lebih jahat lagi setelah keluar Lapas, karena kekeliruan
kebijakan pemerintah dapat dinamakan “kejahatan oleh pemerintah, terhadap
seorang penjahat”- Lihat, G.Ingersoll, Robert,
Crimes Against Criminals (New York: Haskell House
Publishers Ltd. 1974)
hal.31-37.