NOTABENE
REFORMASI HUKUM JOKOWI*
Kantor
Staf Presiden RI yang dikomandoi oleh Teten Masduki menerbitkan sebuah buku
tebal 510 halaman yang memuat juga berbagai foto kegiatan Presiden Joko Widodo
(Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kala (JK). Sangat impresif dalam menjelaskan
kegiatan Negara dalam buku berjudul: “2 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK, Akselerasi
Mewujudkan Indonesia Sentris”. Banyak kegiatan di bidang pembangunan ekonomi dan politik
diuraikan secara cukup rinci masalahnya dan tujuannya. Memang suatu laporan
kemajuan ekonomi yang dapat dianggap cukup meyakinkan !
Tetapi
bagaimana dengan pembangunan di bidang
hukum, yang merupakan pelaksanaan dari NAWACITA
butir ke-4 program pemerintahan Jokowi-JK, yaitu; “Reformasi Sistem dan Penegakan
Hukum, Bebas Korupsi, Bermartabat dan Terpercaya ?” Rupanya dalam laporan kegiatan dua tahun ini, pembangunan bidang
hukum terdapat dalam Bab-4 yang berjudul: “Reformasi Birokrasi dan Perundangan” (hal.126 – 192) dan laporannya terutama
berkisar pada kegiatan:pembangunan E-Government
a.l. melalui kegiatan Kemdagri menyusun suatu sistem Perda Elektronik,
menderegulasi Perda Diskriminatif dan yang tidak Pancasilais, serta mempercepat
program reformasi regulasi terutama untuk 42 ribu jenis Perda yang menghambat
investasi. Kalau dipandang dari segi pembangunan ekonomi dan politik, maka yang
direformasi dalam pembangunan hukum disini adalah (hanya) pembangunan hukum untuk menopang ekonomi digital.
Cukupkah
ini kalau dibandingkan dengan program pembangunan ekonomi yang terdiri dari
berbagai macam paket reformasi ekonomi ? Tentu kita sepakat bahwa hal ini belum
cukup ! Meskipun memang ada reformasi di bidang perundang-undangan,khususnya
yang menyangkut hambatan terhadap investasi ekonomi, namun bagaimana dengan
reformasi birokrasi ? Tidaklah cukup untuk mengatakan bahwa dengan e-government
juga akan terjadi reformasi di bidang birokrasi. Kekeliruan ini kemudian juga
disadari oleh Presiden dengan mengganti Menteri PAN-RB pada waktu perombakan
kabinet 27 Juli 2016 !
Jadi
apa yang sebenarnya diinginkan oleh Presiden untuk mengoperasionalkan NAWACITA
butir ke-4 di atas ? Kalau merujuk kepada laporan kinerja dua tahun di atas,
maka terlihat adanya “Enam Masalah Pokok Kabinet Kerja” ini. Dan dalam uraian
permasalahan yang perlu diselesaikan terdapat antara lain: tugas ke-3 berupa reformasi hukum dengan fokus kepada
penegakan dan kepastian hukum, tugas
ke-5 menanggulangi terorisme dan
narkoba illegal, serta mungkin tugas
ke-4 yaitu melaksanakan amnesti pajak,
dengan semboyannya: ungkap-tebus-lega.
Pertanyaan kalangan hukum adalah, apakah hanya
ini yang merupakan program kerja pemerintahan Jokowi-JK untuk reformasi hukum, yang masih akan
dilanjutkan dalam dua tahun yang akan datang ?
Rupanya
masih ada dokumen lain yang (mungkin) menggambarkan apa yang ingin dilaksanakan
dalam sisa dua tahun ke depan. Dokumen dengan logo #KERJANYATA mempunyai topik khusus Reformasi Hukum yang dirumuskan
sebagai “Revitalisasi dan Reformasi Hukum dari Hulu ke Hilir”. Rumusan
yang sangat menjanjikan ini, ditopang dengan dua alur pemikiran yang (menurut
saya) masih memerlukan penjelasan yang logis tentang alasan dan maksudnya. Dua
alur pemikiran yang dinyatakan merupakan atau dijadikan dasar “Revitalisasi dan Reformasi Hukum dari Hulu
ke Hilir”, itu berbunyi:
1.Menghadirkan kembali Negara untuk melindungi
segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara.
2..Menolak Negara lemah dengan melakukan
reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan
terpercaya.
Bagi
saya kedua alur pikiran di atas ini
sungguh terkesan “bombastis” (banyak
menggunakan kata yang indah serta muluk, tetapi tidak ada artinya). Padahal
tujuannya sederhana dan (menurut
saya) masuk akal, yaitu yang dinyatakan dalam Dokumen tersebut di atas sebagai: “Pemulihan
Kepercayaan Publik, (pada) Keadilan dan Kepastian Hukum”. Sungguh,
inilah inti dari permasalahan hukum dewasa ini !
Tujuan
“Revitalisasi dan Reformasi Hukum” itu, kemudian dijabarkan ke dalam dua tingkatan
program yang juga cukup masuk akal,
yaitu:
Program tingkat pertama
(yang dapat kita namakan tiga progam induk) berupa:
A.Penataan
Regulasi Berkualitas;
B.Pembenahan
Kelembagaan Penegak Hukum Profesional;
C.Pembangunan
Budaya Hukum Kuat.
Program
Induk ini dijabarkan kembali dalam tujuh program
tingkat dua, yaitu:
1.Pelayanan
Publik;
2.Penyelesaian
Kasus;
3.Penataan
Regulasi;
4.Pembenahan
Manajemen Perkara;
5.Penguatan
SDM;
6.Penguatan
Kelembagaan; dan
7.Pembangunan
Budaya Hukum.
Terlepas
dari alur pikiran yang bombastis di atas, kita masih harus melihat bagaimana
ke-7 program tingkat dua ini akan dioperasionalkan dengan tetap berpegang
kepada ke-3 program induknya. Inilah yang akan jadi batu ujinya. Pertanyaan
adalah siapakah arsitek program pembangunan hukum pemerintahan Jokowi-JK ini ?
Kalau para investor dan pelaku usaha memuji paket-paket ekonomi yang telah
diajukan Tim Ekonominya, namum tidaklah hal ini dapat dikatakan kepada Tim
Hukum pemerintahan ini. Tampaknya mereka ini kurang menguasai persoalan yang
dihadapi dalam bidang pembangunan hukum. Ataukah memang pembangunan bidang
hukum hanya dianggap perlu sebatas mendukung pembangunan ekonomi, sehingga
tujuan kepercayaan publik, pada keadilan dan kepastian hukum itu, hanyalah
suatu ilusi (sesuatu yang hanya di angan-angan; khayalan) saja ? (MR-Nov-2016) -.
*Diterbitkan dalam Jurnal SELISIK dari Program Magister Hukum Universitas Pancasila.